Bab 11. Sebuah Kontes

1097 Words
"Kenapa Kakak tidak pernah cerita padaku sebelumnya? Tentang laki-laki yang menolong Kakak waktu itu?" tanya Prisa dengan wajah penasaran. "Aku lupa. Lagi pula, waktu itu yang ada di kepalaku hanya bagaimana caranya agar aku bisa segera lari dari mas Abian." "Bagaimana orangnya, Kak? Tampan? Tinggi? Putih?" Prisa semakin antusias bertanya soal laki-laki yang menolong Aya waktu itu. Aya menautkan alis heran melihat Prisa. "Kenapa sepertinya kamu semangat sekali? Dan kenapa memangnya kamu bertanya seperti itu?!" "Kak! Mungkin saja dia adalah jodoh Kakak dari Tuhan setelah Kak Aya salah memilih jodoh pada pernikahan kak Aya yang pertama?" "Apa yang kamu bicarakan, Pris! Dia hanya kebetulan lewat." "Kak, tidak ada yang kebetulan di dunia ini! Semua sudah ditakdirkan lewat jalannya, Kak." "Ya, kalau dipikir-pikir sih, memang iya tidak ada yang kebetulan. Andai tidak ada laki-laki itu, aku mungkin sudah ditemukan mas Abi dan disuruh kembali ke rumah waktu itu." "Siapa namanya, Kak?" "Mana aku tahu?!" "Loh, kenapa kakak tidak bertanya?!" "Memangnya aku kepikiran untuk bertanya?! Saat itu aku hanya kepikiran Nala yang menggigil sendirian." "Apa, Kak Aya suka dengan laki-laki itu?" "Apa yang kamu bicarakan?! Aku saja tidak tahu dia siapa?! Bisa saja dia itu istri orang. Atau dia laki-laki yang mempunyai pasangan, kan? Mana mungkin aku bisa suka dengan orang hanya dengan sekali pandang?!" "Tapi, kenapa Kak Aya masih menyimpan jaketnya?" "Hanya dengan menyimpan jaketnya, bukan berarti aku menyukai seseorang, Prisa!" Prisa menahan tawanya dan menaikkan kedua bahunya dengan memutar bola matanya ke atas. Aya hanya menggelengkan kepala melihat sikap adiknya. Aya kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain dan memutar kembali memorinya pada sikap laki-laki yang menolongnya waktu itu. "Aku, hanya merasa berterima kasih saja. Saat itu, dia peduli dengan Nala. Dia bilang, kalau jaket itu untuk Nala, agar tidak kedinginan. Waktu itu, aku hanya terharu padanya. Ternyata, masih ada orang baik yang juga peduli pada anak kecil seperti Nala," jelas Aya berbicara dengan setengah melamun. Menerawang mengingat masa itu. Prisa diam mendengarkan. "Saat itu, aku juga merasa sangat sedih, karena ayahnya sendiri saja tidak sampai memikirkan hal-hal kecil yang sebenarnya berdampak besar. Dulu, bahkan jajan Nala saja kalah dengan rokoknya. Setiap kali Nala ingin memeluknya saat dia pulang kerja, dia malah marah-marah karena bajunya kotor. Dia juga sangat jarang menemani Nala." "Kalau itu, aku sendiri juga tahu, Kak. Dia tidak pernah peduli pada Nala saat Nala main sendirian. Dia bahkan melakukan kekerasan di depan Nala. Sudah jelas dia itu bukan seorang ayah!" kata Prisa dengan nada kesal. "Nala, sudah kehilangan sosok ayah, padahal ayahnya masih hidup. Memang dia jarang memarahi atau membentak Nala. Tapi, sikap tidak peduli pada anaknya sendiri, sebenarnya adalah rasa sakit yang paling dalam untuk Nala. Aku jadi merasa bersalah pada Nala." "Kenapa Kakak merasa bersalah?" "Karena aku yang salah memilih suami. Sekarang Nala harus menanggungnya. Ia menjadi anak yang kehilangan kasih sayang seorang ayah," kata Aya yang mulai berkaca-kaca melihat ke arah Nala. "Sudahlah, Kak. Siapa yang tahu kalau dia orang yang seperti itu. Padahal, dulu saat masih pacaran dengan Kakak juga, dia selalu mengalah kan? Siapapun bisa tertipu, apa lagi Kak Aya yang melihatnya dengan perasaan?" ujar Prisa mencoba menenangkan Aya. Aya menganggukkan kepala pelan mendengarnya. "Sekarang, dia menelantarkan Nala. Laki-laki yang tidak bisa menyayangi keluarganya adalah laki-laki yang tidak selesai dengan dirinya. Aku yakin, Kak Aya pasti akan dapat penggantinya yang jauh lebih baik!" tambah Prisa. "Semoga saja," ujar Aya menanggapi kalimat adiknya. "Aku jamin, Kak. Tidak ada hal yang sia-sia. Dan bisa saja ... penggantinya adalah laki-laki yang menolong Kak Aya itu!" Prisa tertawa terkekeh bermaksud bercanda pada Aya lagi. Aya hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia tidak menanggapi kalimat Prisa itu. Sedangkan Prisa, semakin terbahak karena ia berhasil menggoda kakaknya. *** "Selesai!" ucap Aya mantap. Aya baru selesai menamatkan salah satu n****+ yang sedang ia kerjakan belakangan ini. Ia merasa lega, karena ia juga sudah menyelesaikan kerjaannya dari rumah. Aya kemudian melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu malam. Kemudian ia menolehkan kepala ke arah kedua putrinya yang masih tertidur pulas. Saat ini, tidak ada pemandangan indah selain melihat wajah polos mereka. Aya melihat ke arah meja kecil dekat ranjang. Di sana, lagi-lagi ia melihat jaket dari laki-laki yang menolongnya waktu itu. Tadi siang, ia lupa tidak mengembalikannya lagi ke dalam lemari. "Tidak ada yang kebetulan! Mungkin saja dia adalah jodoh Kakak dari Tuhan setelah Kak Aya salah memilih jodoh yang pertama?" Aya terlintas kalimat Prisa tadi siang. Aya kembali menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Ia mendengus pelan akan kalimat sembarangan yang diucapkan adiknya itu. "Prisa ... Prisa. Sembarangan sekali bicaranya," gumam Aya berbicara sendiri. Setelah itu, Aya berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke arah jaket itu. Mengambilnya dan kembali meletakkannya ke dalam lemari. Entah, kenapa Aya masih saja ingin menyimpannya? "Kalau dipikir-pikir sih, memang laki-laki yang menolongku waktu itu, lumayan tampan," lirih Aya berbicara sendiri sambil mengingat masa itu. "Aduh! Apa yang sudah aku pikirkan?!" Aya tiba-tiba memukul kepalanya sendiri beberapa kali dengan cukup keras. "Kenapa otakku jadi amburadul seperti ini?! Apa yang sedang aku pikirkan?!" Aya kembali memukul kepalanya sendiri. Aya pun menghela nafas panjangnya. Ia meletakkan jaket laki-laki tadi di tumpukan baju yang paling bawah. Hingga jaket itu sama sekali tidak kelihatan. Setelah itu, Aya menutup kembali lemarinya rapat-rapat. Aya kemudian kembali lagi ke laptopnya. Ia mematikan laptopnya dan ingin beristirahat. Sesaat ketika laptopnya sudah mati, ia berjalan ke arah ranjangnya, dan naik berbaring di samping kedua putrinya. Saat itu, Aya menatap langit-langit kamarnya. Aya berpikir, novelnya sudah tamat. Artinya, ia tidak lagi memiliki kontrak baru untuk berpenghasilan. Sehingga Aya masih harus tetap produktif agar ia berpenghasilan. Aya akhirnya membuka ponsel. Ia melihat dan mengusap-usap layar ponselnya, dengan wajah serius. Salah satu n****+ yang ditulisnya, sudah tamat. Saat ini, Aya harus membuat n****+ baru. Akhir-akhir ini, Aya suka menulis n****+ dengan tema romantis. Karena memang itulah yang diminati pembaca saat ini. Baik untuk dewasa atau remaja. Ketika Aya melihat website milik Dane Publisher, Aya terhenti sejenak. Di sana, Aya melihat ada sebuah pengumuman lomba. Lomba itu, adalah lomba n****+ yang berhadiah cukup besar. Membuat jantung Aya memompa kencang karena hormon dopaminnya bekerja tiba-tiba. Tentu saja, Aya sangat tertarik. Aya membaca persyaratan dan ketentuan lomba. Tidak jauh berbeda dengan yang Aya lakukan saat mengirimkan novelnya selama ini. Aya juga melihat hadiahnya lumayan besar. Hal yang paling menggiurkan adalah, bagi n****+ yang menang, akan dicetak dan akan dijadikan film. Aya tentu sangat antusias untuk ingin mengikuti lomba ini. Ia benar-benar sangat bersyukur. Tuhan selalu saja memberikannya jalan. Aya pun tidak jadi tidur. Ia kembali bangun dan duduk serta kembali mengusap layar ponselnya. Karena ia sangat senang, ia mulai untuk mengerjakan n****+ yang akan ia kirim untuk lomba itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD