Bab 10. Menjadi Calon Janda

1127 Words
"Mama! Lihat!" Nala berseru menunjuk ke arah televisi yang sedang ia lihat. Aya yang tadi sedang fokus ke ponselnya, jadi menoleh ke arah yang ingin ditunjuk dan diberitahu Nala. Nala sangat senang melihat kartun. Di sampingnya, Nadia juga ikut menonton di samping Nala dengan menggunakan tempat duduk balita. Tidak terasa, waktu berjalan dengan sangat cepat. Sudah satu tahun berlalu. Rasanya, Aya baru melahirkan Nadia kemarin. Namun, sekarang usia Nadia sudah satu tahun lebih. Masa-masa setelah melahirkan, masih terasa sulit dan berat. Aya, yang harus merawat bayi dan anak berusia lima tahun sendirian, bukanlah hal mudah. Aya jadi kekurangan tidur, amat kelelahan, di saat masa pasca melahirkan saat itu, Aya juga belum pulih benar. Ditambah, Aya masih harus terus mencari nafkah demi kedua anaknya. Untungnya, ia masih bisa berpenghasilan dari hasil menulis n****+. Meski tidak banyak, tapi paling tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Kadang Aya merasa tertekan karena ia menjadi single mom, di saat statusnya secara hukum masih bersuami. Ia harus menjadi tulang punggung, yang seharusnya menjadi tulang rusuk yang dilindungi. Ia juga harus bertanggung jawab penuh atas kedua anaknya, di mana suaminya sama sekali tidak peduli. Meskipun begitu, Aya tetap bersyukur. Jika dibandingkan kehidupannya ketika masih bersama dengan Abian, dulu. Saat ini, Aya merasa jauh lebih baik dan sudah merasa tidak terkekang lagi. "Ma! Nanti beli ini, ya!" kata Nala yang menunjuk ke arah televisi yang sedang mengiklankan mainan. "Tentu, Sayang," jawab Aya tersenyum. Setelah sekian lama, Aya akhirnya bisa membelikan mainan untuk Nala. Makanan enak, baju bagus dan mengajak Nala jalan-jalan. Bedanya, saat ini Nala memiliki seorang adik. Ketika masih bersama Abian, Aya tidak pernah merasa kehidupan ekonominya sebaik sekarang. Dulu, bahkan untuk membeli satu mangkuk bakso saja selalu kurang dari lima ribu rupiah. Untung penjualnya bisa mengerti. Suaminya bekerja atau tidak bekerja, keuangannya tetap saja di bawah standar. Bukan soal pekerjaan, tapi lebih ke sifat suaminya yang egois dan mementingkan diri sendiri. Sekarang, banyak sekali hal-hal yang perlu disyukuri. Aya bisa lebih fokus pada putrinya. Memang keluarganya tidak utuh. Tapi, bukan berarti yang utuh lebih bahagia dari dirinya saat ini, bukan? Hanya saja, yang terlihat tidak selalu berpikiran sama dengannya. Sejujurnya, ada kelegaan yang amat besar dalam hati Aya sekarang. Akhirnya, setelah ini Aya bisa menjadi siapa saja yang diinginkannya. Ia bisa mengembangkan hobi, mencari nafkah dengan tenang dan membahagiakan anak-anaknya. Meskipun, saat ini statusnya tidak lama lagi akan menjadi janda. Tiba-tiba, terdengar suara deru motor yang berhenti di depan rumah. Membuyarkan lamunan Aya sejenak soal pikirannya di masa lalu. Aya yang duduk di sofa, berdiri dan melihat ke arah jendela. Ada Prisa yang baru sampai. Aya pun tersenyum antusias dengan senang. Ia segera berdiri dan membukakan pintu rumah. Prisa yang baru datang, disambut oleh kedua keponakannya. "Kamu sudah datang? Memang suamimu sudah berangkat?" tanya Aya pada adiknya yang baru masuk. "Sudah, Kak. Makannya aku ke sini. Hari ini panas sekali, ya?" Prisa menutup pintu dan duduk di atas sofa. Aya pun juga ikut duduk untuk bersantai sejenak. "Kak Aya, kelihatan lemas sekali? Kantung mata Kak Aya sampai berwarna hitam. Kakak kurang tidur lagi, ya?" "Aku harus menyelesaikan target kata untuk bulan ini." "Semangat ya, Kak. Bagaimanapun juga, Kak Aya hebat bisa berpenghasilan dari rumah. Kak Aya juga kuat sekali masih bisa bertahan setelah mengalami hal pahit seperti ini." "Kalau melihat Nala dan Nadia, tidak ada alasan untuk menyerah. Lagi pula, ini juga salahku sendiri. Aku salah memilih suami." Aya berbicara sambil tersenyum. Prisa memperhatikan Aya dengan menahan rasa sedihnya. Ia tidak tahu, kalau ternyata kakaknya ini sangat ikhlas dalam menghadapi masalahnya. "Kak Aya ingat tidak yang pernah aku tawarkan pada Kak Aya kemarin?" tanya Prisa lagi yang mengganti topik pembicaraan. "Soal apa?" "Kak Aya, sebaiknya mencari jodoh," ungkap Prisa dengan suara kencang dengan setengah berbisik. "Suamiku, punya teman namanya Bagas. Dia, lumayan. Dia memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Dan dia juga sedang mencari jodoh. Apa mungkin, Kak Aya mau aku kenalkan dengannya?" tawar Prisa menaikkan salah satu alisnya. "Aku akan memberikan kontak nomor Kak Aya pada orang bernama Bagas itu ya, Kak?" "Pris! Apa yang kamu pikirkan? Aku ini kan masih belum bercerai." "Tapi kan tidak masalah, Kak. Itu hanya secara hukum saja. Lagi pula, memangnya Kak Aya tidak ingin mendapat pasangan?" "Tentu saja ingin, Pris. Tapi, sepertinya tidak untuk sekarang." "Kenapa memangnya, Kak?" "Seperti kataku tadi. Aku masih berstatus istri orang." "Tapi, kan Kak Aya tidak lama juga akan cerai." "Memang. Tapi, tetap saja saat ini aku merasa tidak percaya diri." "Kak! Jujur saja, Kak Aya yang sekarang, jauh berbeda dari Kakak waktu pertama datang ke sini dulu. Kakak sekarang jauh lebih cantik, lebih terawat dan kelihatan lebih berkelas lho, Kak." "Aku tidak hanya mencari suami, tapi juga pasangan yang bisa menerima anak-anakku. Lagi pula, aku masih belum siap." "Belum siap kenapa, Kak?" "Aku rasa, aku masih berproses. Masih banyak hal yang perlu aku perbaiki. Berkaca dari pernikahanku yang sebelumnya, kali ini aku tidak gegabah dalam memilih pasangan. Dan aku masih fokus pada Nala dan Nadia." "Kak Aya kuat sekali, Kak," ujar Prisa dengan tatapan nanar. Aya hanya tersenyum tipis mendengarnya. "Kalau dipikir, enak sekali si Abian itu! Dia lepas tanggung jawab begitu saja!" ujar Prisa dengan nada kesal. "Sudahlah. Asalkan, dia tidak lagi mengganggu, itu juga sudah cukup. Memang, kalau aku fokus pada perbuatan mas Abi, aku justru semakin kecewa dan marah. Sekarang, aku ingin perhatian pada pada masa depan anak-anak saja." "Jadi, kapan Kak Aya mau mengurus cerai?" "Aku masih menunggu akta kelahiran Nadia keluar dulu. Setelah itu, aku akan langsung mendaftar ke pengadilan." "Apa selama ini dia tidak berusaha menghubungimu?" "Dia tidak memiliki nomorku. Dan juga, aku memblokirnya di semua media sosialku. Dia juga tidak berani ke sini." "Syukurlah. Kalau butuh bantuan, kapan saja katakanlah padaku, Kak." "Terima kasih, Pris." "Oh iya, Kak. Aku mau pinjam baju warna putih yang baru Kak Aya beli kemarin, ya. Ada undangan mendadak dari temanku," kata Prisa mengalihkan pembicaraan. "Ambillah di lemari kamar," pinta Aya. Prisa pun berdiri. Ia berjalan ke arah kamar dan menuju ke lemari. Di dalam lemari, Prisa mencari baju yang diinginkannya di dalam tumpukan lipatan baju-baju yang lain. Saat mencari, Prisa melihat sebuah jaket laki-laki. Karena rasa penasaran, Prisa pun mengambil jaket itu dari lipatan. Ia membuka jaketnya dan memperhatikannya heran. "Sudah ketemu, Pris?" Aya dari luar kamar masuk ke dalam, mencoba membantu Prisa untuk menemukan bajunya. Namun, ketika Aya baru masuk, ia melihat Prisa sedang menenteng jaket milik laki-laki yang menolongnya itu. Membuat Aya ikut tercekat melihatnya. "Kak, ini punya siapa?" tanya Prisa heran. Aya terdiam sejenak. Sudah hampir sekitar dua tahun, jaket itu masih berada di dalam lemari Aya. Tiba-tiba saja, ia jadi teringat malam yang mencekam waktu itu. Jaket itu pun mengingatkannya, pada laki-laki yang menolongnya. "Itu, milik laki-laki yang berbuat baik, menolongku di malam ketika suamiku mencekikku," jawab Aya dengan pandangan menerawang mengingat kejadian tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD