Bab 12. Memenangkan Kontes

1032 Words
Suara ketuk pintu terdengar dari dalam kamar. Aya yang saat itu sedang menemani Nadia tidur, pun perlahan bangun dengan hati-hati agar Nadia tidak ikut bangun. Ia lalu berjalan keluar kamar untuk melihat siapa yang sedang mengetuk pintu di luar rumah. Aya mengintip dari jendela. Di sana, ia melihat ada seorang laki-laki yang memakai seragam kantor pos berdiri tepat di depan pintu. Aya pun segera membukakan pintunya. "Permisi, ada surat untuk mbak Aya Haninda," kata pegawai pengantar pos tersebut, begitu pintu rumah dibuka. "Ya. Saya sendiri," jawab Aya. "Ini untuk Anda." Pak pos tadi memberikan sebuah surat untuk Aya. "Silahkan tanda tangan di sini," lanjut pak pos itu. Aya pun menuruti perkataan tukang pos tersebut. Ia menanda tangani tempat kosong yang ditunjuk pak pos. Kemudian, pak pos itu pamit pergi. Setelah pak pos pergi, Aya membuka surat dengan masih mengira-ngira, apa isinya? Ketika sudah membaca dan paham, ia tersenyum senang. Itu adalah akta kelahiran Nadia yang sudah jadi. Aya merasa sangat lega. Satu surat data diri hukum anaknya sudah sah. Satu langkah lagi, agar ia bisa segera menggugat cerai Abian. Aya membaca akta itu dengan saksama, sekalian meneliti mungkin saja ada yang salah. Dengan jelas, nama ayah kandung Nadia yang tertera di atas surat itu adalah Abian. Ada satu perasaan marah, emosi dan kecewa yang amat besar begitu membaca nama Abian di sana. Mana tahu kalau Abian memiliki anak? Tapi, meskipun ia tahu pun, tidak akan merubah apa-apa. Abian, pasti tidak akan bereaksi. Mengingat mereka sudah cukup lama berpisah. Aya memegangi kening dengan menghela nafas berat. Terkadang, ada rasa bingung dan gelisah yang melanda saat ini. Dosakah ia tidak memberitahu pada suaminya kalau Nala memiliki adik dari darah daging Abian? Tapi, Aya takut akan kehidupan masa lampaunya, di mana ia hanya dijadikan alat pemuas ego Abian saja. Aya masuk kembali ke dalam rumahnya. Setelah berada di dalam, ia menutup pintunya dari dalam. Ia lalu duduk di sofa ruang tamu. Hari-hari yang dijalani Aya, memang seperti ini. Bapaknya ke kebun, Nala masih belum pulang sekolah, dan Nadia tidur dalam kamar. Selalu ada waktu merenung ketika ia sendirian seperti ini. Aya merebahkan badannya di sofa. Saat sendirian seperti ini, tiba-tiba pikirannya melayang ke dua tahun lebih, saat ia masih hidup bersama Abian. "Kenapa baru pulang jam segini?!" "Aku lembur, Mas. Aku kan tadi sudah kirim pesan." "Besok tidak usah kerja lagi. Nala nangis terus kamu tinggal!" "Lha, kita gimana bayar cicilan kalau aku tidak kerja, Mas?" "Bayar ya tinggal bayar! Kenapa pusing?!" "Kamu kan juga belum ada panggilan kerja lagi, Mas." "Kamu mau menyalahkan aku?!" Aya diam tidak menjawab. Kalau dijawab, maka akan terjadi pertengkaran yang tidak ada ujungnya. Karena selalu seperti itu. Ia hanya menahannya dan menarik nafas panjangnya. "Mama!" Nala kecil, berlari ke arah Aya yang baru datang dari kerja itu. Aya segera memeluknya. Saat melihat Nala, Aya heran. Baju yang dipakai Nala sama dengan bajunya tadi pagi ketika Aya akan berangkat kerja. "Lho, Mas. Nala belum mandi dari tadi pagi?" "Belum." Singkat sekali jawaban Abian. Aya mendesah kasar. "Kenapa kamu tidak memandikannya?!" "Dia tidak mau, kok." "Mama, lapar," kata Nala yang kembali mengalihkan fokus bicara Aya. "Apa jangan-jangan Nala juga belum makan, Mas?!" "Belum." Lagi-lagi, jawaban Abian sangat singkat. "Dari tadi, kamu ngapain aja sih, Mas?!" keluh Aya dengan kesal. Tapi, suaminya tidak menjawabnya. "Mama, lapar." rengekan Nala untuk kedua kali. Dari pada mengomel, lebih baik Aya memasak sendiri saja. Lagi pula, diomeli sebanyak apapun, suaminya itu tetap hanya menonton televisi dengan santai. Bukankah hanya sia-sia? Padahal pagi sebelum Aya berangkat kerja, ia sudah memasak lebih dulu, untuk suami dan anaknya. Ia sendiri bahkan belum sempat sarapan karena harus menyuapi anaknya dulu. Sedangkan suaminya yang masih menganggur, masih belum bangun. Saat itu, Aya sudah berada pada situasi di mana, ia menerima apapun sikap suaminya. Dengan kata lain, terserah suaminya, mau melakukan apa? Karena menciptakan komunikasi sebaik apapun, tetap tidak akan berhasil. Percayalah. Aya sudah melakukannya ratusan kali. Naasnya, hasilnya nihil. Aya sering tidur dengan menahan rasa sakit hati karena Abian yang tidak peka. Karena apa yang menjadi pikiran Abian, itulah hal yang paling benar. Tiba-tiba, ada panggilan masuk di ponselnya. Membuyarkan Aya mengingat soal masa lalu kelamnya. Ia pun jadi berkonsentrasi ke arah ponselnya. Aya melihat layar ponsel dan membaca Prisa sedang memanggilnya. Aya segera mengangkat panggilannya. "Halo, Pris?" Aya menyapa lebih dulu. "Kak? Aku mau memberitahu, kalau aku dapat kenalan pengacara dari teman." "Benarkah?!" "Iya, Kak. Kita bisa hanya sekedar berkonsultasi dulu." "Syukurlah. Terima kasih, Pris. Aku juga sudah mencari tahu lewat internet soal menggugat perceraian. Jadi, aku juga sudah menyiapkan berkas-berkasnya." "Bagus, Kak. Aku akan menghubungi Kak Aya kalau nanti sudah berhasil menghubungi pengacaranya ya, Kak." "Terima kasih, Pris. Kebetulan, hari ini akta lahir Nadia sudah jadi dan baru dikirim ke sini." "Wah! Semoga semuanya berjalan lancar ya, Kak. Pokoknya, Kak Aya harus segera mengurus cerai. Demi kebahagiaan Kakak dan anak-anak." "Aku tahu. Aku akan segera mendaftar setelah ini." "Bagus, Kak. Ya sudah, Kak. Aku tutup dulu ya, Kak. Aku ada janji. Nanti kalau aku sudah menghubungi pengacara yang aku beritahu tadi, aku akan segera memberitahu Kak Aya." "Iya, Pris. Terima kasih." Panggilan terputus. Aya menjauhkan ponsel dari telinga. Ia kemudian juga menggeser kursor berwarna merah untuk mematikan panggilannya itu. Aya sekali lagi melihat ke arah akta yang masih dipegangnya. Ia tidak ikhlas, ada nama Abian sebagai ayah kandung Nadia. Masalahnya mau mengelaknya pun, Aya tidak bisa. Nadia memang darah daging Abian. Aya menjauhkan akta dari pandangannya. Ia lalu melihat ponselnya. Kembali mencari tahu soal proses perceraian. Mulai dari cara mendaftar, syarat dan ketentuan hingga biaya yang diperlukan. Aya jadi berpikir sejenak. Biayanya memang tidak begitu banyak, tapi Aya juga masih harus mengeluarkan biaya untuk pengacara nanti. Ia kembali menghela nafas beratnya. Tiba-tiba, ada panggilan masuk kembali di ponsel Aya. Membuatnya terjeda saat membaca internet. Kali ini ada nomor tidak dikenal. Membuat Aya menautkan kedua alisnya heran. Aya kembali mengangkat panggilan itu. "Halo?" sapa Aya lebih dulu. "Halo." Terdengar suara laki-laki seberang sana. Membuat Aya lebih mengkerutkan keningnya dalam. "Apa benar ini dengan Aya Haninda?" "Iya? Maaf. Ini siapa, ya?" "Perkenalkan. Saya Rendy dari Dane Publisher. Kami memberitahu kalau n****+ kamu, terpilih menjadi pemenang kontes." Seketika Aya tercekat mendengarnya. Ia sampai tidak bisa berkata-kata sangking senangnya. Benarkah ini terjadi padanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD