Bab 1. Melarikan Diri
"Aaak — Ma — Maass!"
Suara Aya tertahan di kerongkongan. Ia tidak bisa berbicara, meskipun hanya untuk memanggil suaminya. Karena saat itu, kedua tangan suaminya, menekan leher Aya, sehingga suaranya tidak bisa keluar.
"Katakan! Apa yang sudah kamu lakukan dengannya?!" Sorot mata tajam Abian pada istrinya.
"Sa — kit," rintih Aya dengan berusaha keras menahan cekikan tangan Abian yang ada di lehernya. Sekuat apapun Aya mencoba, tenaga Abian tetap lebih besar. "Lepas, Mas!"
Nafas Aya semakin habis. Abian akhirnya masih mengikuti hati nuraninya. Ia melepas kedua tangannya dari leher istrinya. Aya sesegera mungkin menarik nafas untuk memenuhi semua permukaan paru-parunya. Ia juga sampai terbatuk-batuk, seraya memegangi lehernya yang sakit.
"Mengaku saja! Kamu menjalin hubungan dengan yang namanya Rehan itu, kan?!" tuduh Abian.
"Aku — sama sekali tidak melakukan apa-apa," jawab Aya dengan terengah karena susah bernafas.
Aya melirik ke arah Nala yang hanya diam melihatnya bertengkar dengan ayahnya. Anak berusia empat tahun itu, bahkan tidak menangis. Hanya berdiri menggigil di sudut ruang tamu.
"Kenapa kamu berbohong?! Katakan saja! Kamu menggodanya?! Orang yang bernama Rehan itu, kan?!" bentak Abian sekali lagi.
"Mas! Kenapa kamu menuduh tanpa bukti seperti itu?!"
"Aku sering melihatmu berbicara berdua dengannya! Apa yang kalian bicarakan?! Apa saja yang kalian lakukan?! Kalian berhubungan badan kan?! Mengaku saja!" Suara Abian lebih keras dari sebelumnya.
"Demi Tuhan, tidak Mas! Kenapa aku dipaksa mengakui hal yang tidak aku lakukan?!"
Aya kali ini ikut meninggikan nada bicaranya, seolah membalas Abian. Rehan yang hanya rekan kerja Aya, bisa membuat mata Abian gelap, hanya karena pernah melihat mereka mengobrol berdua. Istri mana yang tidak sakit hati, dituduh melakukan hal rendah seperti itu, oleh suaminya sendiri? Tentu saja Aya ikut marah, geram, sedih dan kecewa.
"Pasti kamu membicarakanku di belakangku?!" Kedua tangan Abian kembali mengarah pada leher Aya. Penjelasan apapun pasti akan ditolaknya, karena ia merasa paling benar.
"Tidak, Mas! Tunggu!" kata Aya cepat-cepat karena ketakutan. "Aku tidak ber ...."
Suara Aya kembali terputus. Ia kembali mengalami hal serupa. Susah berbicara, karena Abian lagi-lagi mencekiknya.
Aya berusaha keras untuk melawan Abian. Memukul, mencakar bahkan menendang, juga berteriak. Tetap saja, Abian mencepit badannya, sehingga Aya kalah kuat. Aya kembali melihat ke arah Nala yang tetap diam.
"Na — la ...." ujar Aya dengan memberi isyarat mata pada suaminya.
Setengah detik Abian pun kembali melepaskan tangannya dari Aya. Aya yang tadinya menempel pada dinding, lalu terjatuh dan duduk di atas lantai. Memegangi lehernya. Ia kembali menarik nafasnya dengan susah payah.
"Dasar istri tidak berguna!" bentak Abian. Kemudian ia berjalan ke arah dapur dengan emosi yang mulai terkontrol.
Aya masih berusaha mengatur nafasnya yang tersengal. Ia kemudian melihat ke arah Nala lagi. Aya memiliki firasat buruk soal putrinya yang hanya berdiri menciut di sudut ruang.
Aya lalu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja, memori buruknya memenuhi seluruh isi otaknya. Goresan, lebam, beberapa memar dan luka-luka, terdapat di bagian tertentu pada tubuhnya. Air matanya mulai keluar begitu saja. Demi apapun, ia tidak bisa menahannya.
***
Aya terus membuka dan menutup kedua matanya secara bergantian. Ia melirik ke arah jam dinding, dilihatnya sudah tengah malam. Tapi tentu saja, ia sama sekali tidak mengantuk meskipun badannya sangat lelah seharian.
Aya mendengar dengkuran dari suaminya yang ada di belakangnya. Saat ini, tangan Abian sedang memeluknya dari arah belakang. Seolah tidak terjadi apa-apa, meskipun tadi Abian hampir membunuhnya.
Seperti itulah perubahan drastis sikap Abian pada istrinya. Setelah marah dan melakukan aktifitas fisik pada Aya, Abian kembali mesra, seperti tidak ada masalah apapun yang terjadi. Tentu saja, kata maaf sama sekali tidak terdengar keluar dari mulut Abian, karena ia pikir semuanya sudah selesai.
Aya merasa sesak nafas mendadak. Saat itu, di dalam kepalanya sangat kacau. Mana mungkin ia bisa bersikap biasa setelah ini? Dari semua perlakuan fisik Abian padanya, tadi adalah yang paling parah. Ketika Abian mencekik lehernya.
Tidak! Aya tidak bisa begini terus! Ia harus bertindak! Kalau seperti ini terus, Aya bisa mati kapan saja. Aya menoleh ke arah Abian. Dilihatnya, suaminya itu masih mendengkur dengan kerasnya.
Aya perlahan-lahan memindahkan tangan Abian dari badannya. Ia lalu berusaha bangun dengan hati-hati, agar tidak ikut membangunkankan suaminya. Aya kemudian melihat ke arah Nala yang juga terlelap.
Aya turun dari ranjangnya. Berusaha keras tidak menimbulkan suara, ia berjalan ke arah lemari. Aya mengambil semua uang yang ada di dalam lemari dan buku nikah, lalu dimasukkan ke dalam sakunya.
Setelah itu, Aya menggendong Nala yang masih terlelap. Ia membawanya keluar kamar. Masih dengan sangat pelan-pelan, Aya keluar rumahnya. Tentu saja, Aya berniat akan pergi dari rumah. Melarikan diri dari suaminya yang mudah melayangkan tangan padanya itu.
Setelah berada di luar rumah, Aya berjalan setengah berlari keluar kompleks. Di tengah malam yang sangat sepi itu, ia memberikan kekuatan pada kakinya untuk lari sejauh-jauhnya.
Aya tidak bisa menggunakan motor karena kontak motor ada di dalam saku suaminya. Jika Aya mengambil kontaknya, resikonya suaminya bisa terbangun. Lagi pula, untuk mengeluarkan motor, dan menggendong anak usia empat tahun yang tertidur, pasti bukan hal yang mudah.
Belum lagi, jika suara deru motor saat dinyalakan bisa membuat kegaduhan. Jika saja Nala terbangun dan merengek, itu juga bisa membuat Abian ikut terbangun. Aya tidak berpikir terlalu panjang. Asalkan ia bisa menghindar dari suaminya.
"Mama ...." rengek Nala yang akhirnya terbangun karena Aya mengendongnya sambil berlari.
"Tenang Sayang. Mama bersamamu. Kamu tidurlah. Mama pasti akan melindungimu," kata Aya gemetar.
Aya sudah keluar kompleks perumahannya. Ia ada di pinggir jalan raya saat ini. Namun, mana ada angkutan umum di jam seperti ini? Meskipun begitu, Aya tidak menyerah. Ia berusaha terus berlari sampai ia tidak bisa ditemukan suaminya sendiri.
Dalam kesunyian malam itu, ia sudah berlari lumayan jauh. Kakinya mulai lemas dan ia sangat kelelahan. Aya yang setengah linglung itu, berlari menyeberang jalan untuk mengambil salah satu sisi dari jalan raya.
Namun, karena pikirannya sedang penuh, Aya bahkan tidak melihat dulu ke kanan dan kiri untuk keselamatannya. Saat ia menyebrang, ada sebuah motor yang hampir menabraknya, karena ia menyeberang seenaknya tanpa melihat-lihat terlebih dulu.
"Kyaaaa!" teriak Aya sampai terjatuh di atas aspal karena rasa depresi dan ketakutan yang bercampur jadi satu.
Aya terjatuh dengan masih membawa Nala dalam gendongannya. Untung saja, motor tadi berhenti di waktu yang tepat. Suara decit rem motor tersebut, terdengar sangat kencang karena tadinya motor tersebut mengerem mendadak.
Saat motor itu berhenti, orang yang mengendarainya melepas helm. Dari balik helm, muncul laki-laki berwajah tampan yang memasang ekspresi terkejut dan cemas. Ia langsung menyangga motornya yang masih menyala, lalu ia turun dari motor, dan langsung berjongkok di dekat Aya.
"Apa Anda baik-baik saja?!" tanya laki-laki itu. Aya masih tersengal mengatur nafas yang benar-benar hampir habis karena kaget.
"Maaf. Maafkan saya. Saya tidak melihat jalan sebelum menyebrang," kata Aya dengan tersengal.
Laki-laki itu memperhatikan Aya dengan tatapan aneh penuh pertanyaan. Perempuan ini kelihatan gemetar karena ketakutan. Membuatnya penasaran.
"Apa yang Anda lakukan? Kenapa Anda membawa anak kecil dan berlari-lari di tengah malam seperti ini?" tanya laki-laki itu.
"Tolong! Aku ingin lari dari suamiku. Kalau dia menangkapku, dia pasti akan membunuhku! Tolong aku!" kata Aya bercampur Isak tangis.
"Aku akan mengantarmu ke kantor polisi!"
"Tidak! Aku mau pulang ke rumah orang tuaku!"
"Di mana rumahnya?"
"Di luar kota. Sekarang aku mau ke terminal bus."
"Apa tidak ada orang yang bisa kamu hubungi?"
"Ponselku rusak karena dibanting suamiku. Jadi, aku tidak bisa menghubungi orang tuaku."
"Sudah malam begini, kenapa tidak ke kantor polisi saja?"
"Aku tidak ingin diinterogasi! Ini sudah malam. Anakku pasti rewel. Dia juga pasti datang mencariku kalau aku masih ada di kota ini!"
"Baiklah ... baiklah. Aku akan mengantarkanmu sekarang juga ke terminal!" ujar laki-laki itu.
Laki-laki itu, membantu Aya untuk berdiri. Ia kemudian kembali berjalan ke arah motornya. Setelah itu, Aya mendadak mencerna sesuatu di dalam kepalanya. Kenapa ia minta tolong pada laki-laki yang tidak dikenal? Bagaimana kalau laki-laki itu jahat?
"Naiklah!" pinta laki-laki itu yang membuyarkan lamunan Aya soal prasangka buruknya. Aya, masih belum juga naik dan justru setengah melamun karena bingung.
"Ayo, naiklah!" pinta laki-laki tadi sekali lagi.
"Ah ... Iya," jawab Aya yang kembali membuyarkan lamunannya itu.
Aya tidak mau pikir panjang lagi! Lagi pula, ia tidak punya pilihan lain. Hanya ada satu kesempatan baginya malam ini. Jika ia tidak mau ditolong laki-laki ini, maka ia akan kembali pada suaminya yang kasar itu.
Aya pun akhirnya menaiki motor laki-laki yang menolongnya itu dengan menggendong Nala. Kali ini ia benar-benar akan pergi menjauh dari suaminya.