Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1918
Alarm dibunyikan. Kereta perlahan bergerak melambat di atas rel hingga berhenti di stasiun pemberhentian pertama. Sejumlah penumpang telah bersiap untuk turun, begitu pintunya dibuka, mereka segera bergerak meninggalkan gerbong dan mengambil waktu untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
John dan Mary menatap ke sekelilingnya. Beberapa bangku sudah kosong. Di luar jendela, siang telah begulung, langit sore menampakkan dirinya. Mary kemudian melirik arlojinya dan bertanya, “berapa waktu yang kita punya?”
“Satu jam sebelum perjalanan dilanjutkan.”
“Kau mau berkeliling?”
“Ya, kenapa tidak?”
“Ayo!”
Mereka akhirnya turun dan berjalan bersisian ketika keluar dari pintu stasiun. Di luar, udaranya tampak sejuk. Deretan bangunan bertingkat berjejer di depan. Jalanan tampak riuh oleh belasan pejalan kaki dan juga kendaraan yang berlalu lalang. Suara bising percakapan menggantung di setiap sudut tempat. Toko-toko yang menjual makanan cepat saji sudah dibuka. Di beserang ada sebuah bangunan dengan cat dinding berwarna coklat tua. Sebuah plang tua yang dipajang di depannya mengatakan kalau bangunan itu merupakan sebuah galeri seni yang dibuka untuk umum. Mary yang pertama kali melihatnya langsung menunjuk ke sana.
“Mau kesana?”
“Ya. Ayo kesana!”
Dengan tergesa-gesa mereka berlari menyebrangi jalan kemudian menyusuri trotoarnya yang cukup lebar untuk sampai di galeri. Kota itu cukup besar, dipenuhi oleh bangunan-bangunan bertingkat yang bagus dan lingkungan yang cukup bersih. Tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang disana sehingga udaranya tidak tercermar. Beberapa taman kota dan air mancur berada di tengah-tengahnya, orang-orang terlihat berkeliaran di sekitar mereka. Kebanyakan dari mereka memakai pakaian cerah berupa dress dan topi berenda. Para laki-lakinya kebanyakan memakai jas, raut wajah mereka tampak serius, dan selagi menenteng tas di salah satu tangannya, mereka terlihat sedang berjalan menuju sebuah tempat luas yang diduga Mary sebagai balai kota.
Begitu mereka sampai di dalam galeri, mereka dibuat terpukau oleh arsitekturnya yang tampak elegan. Galeri itu cukup luas. Dindingnya yang polos diisi oleh kaca-kaca tinggi yang memantulkan cahaya ke tempat yang tepat. Lantainya dibuat dari marmer, dan sebuah patung sosok wanita dipajang di depan untuk menyambut para pengunjung yang baru datang. Mary berjalan mengelilingi patung itu dan menelaah terksturnya.
“Ini lilin,” katanya. “Patung lilin yang indah. Siapa yang membuat mahakarya sebagus ini?”
John yang sedang berdiri di depan papan berisi tulisan mengenai informasi tentang patung itu mengatakan, “itu John Dhomer.”
“Yang benar saja!”
“Ya, aku serius.”
Mary tersenyum lebar, kemudian dengan penasaran wanita itu berputar mengelilingi patung untuk melihat ke ara papan yang sama. Sembari menatap papan itu, Mary membaca tulisannya keras-keras.
“John Dhomer 1859-1900, dalam karyanya yang paling dikenal ‘Cerita Orang-Orang Mati’. Patung ini dibuat untuk menghormati Elizabeth Moore, yang tewas karena dibakar hidup-hidup setelah melawan teori konsipirasi alam oleh Napoleon. Namun, lima belas tahun setelah kematian Elizabeth, laboratorium berhasil membuktikan bahwa teori yang disampaikan olehnya terbukti akurat. Orang-orang akhirnya menobatkan Elizabeth sebagai ibu alam.”
“Tragis,” komentar John sembari mengerutkan dahinya.
Mary menyetujuinya. “Ya, tragis. Orang-orang terlalu marah untuk menahami kebenaran, terlalu fanatik untuk mendengar dan melihat bahwa dunia adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi.”
“Itu benar! Tidak jarang seseorang diberi penghargaan setelah kematian mereka. Kau tahu bagaimana Charlie Brown menghabiskan akhir khayatnya di dalam penjara, mati dan membusuk disana sementara orang-orang baru menyadari kalau fanatisme sama saja seperti p********n?”
“Itu konyol. Aku tidak tahu Charlie Brown.”
Sembari melangkah meninggalkan patung itu dan menyusuri sisi galeri yang lain John menanggapi Mary dengan berkata, “ayahku sering menceritakan tentang laki-laki pertama yang membawa revolusi itu. Namanya memang tidak begitu dikenal. Dia tidak pernah mendapatkan penghargaan apapun atas kerja kerasnya melawan perbudakan.”
“Siapa sebenarnya Charlie Brown ini?”
“Dia pengusaha kain katun.”
“Ya Tuhan! Yang benar saja?”
“Ya, itu benar. Dia yang membebaskan ratusan b***k kemudian memberi mereka pekerjaan yang layak di pabriknya, tapi tindakannya dikatakan sebagai suatu penghianatan terhadap negara, yang mana sebenarnya orang-orang itu hanya ingin menjatuhkan bisnis Charlie yang sukses besar. Perlahan-lahan negara mengambil alih bisnisnya, dan pada saat itulah Charlie memberontak. b***k-b***k yang dia selamatkan ikut membantu, tapi sebelum penyerangannya terhadap para petinggi negara dilakukan, seisi desa itu dibakar hingga menewaskan banyak b***k yang tinggal disana.”
“Siapa yang melakukannya?”
“Seseorang yang tidak menyukai Charlie..”
“Maka itu pasti bukan satu orang saja.”
“Ya. Charlie yang selamat dari kebakaran itu ditangkap dan dibawa ke penjara. Dia mengajukan petisi untuk para dewan. Dia juga membuat surat berisi tulisan tentang penolakan keras terhadap aksi p********n, tapi tulisannya tidak dipublikasikan. Malahan setelah dia tewas, seseorang baru membuka suratnya dan tebak apa.. Tulisan Charlie yang menarik perhatian petinggi yang memimpin saat itu akhirnya dipublikasikan. Sampai sekarang tulisannya masih dipajang sebagai bentuk gagasan revolusi pertama pembebasan terhadap budak.”
Sebuah dinding polos di depan mereka memajang tiga karya lukis abtrak yang menarik perhatian. Mary dan John sempat berhenti untuk mengamati lukisan itu. Goresan tinta hijau dan biru yang tampak berantakan menutupi permukaan kanvas. Kemudiaan ada garis panjang yang melintang di bagian tengah dan dikelilingi oleh tiga titik dengan cat tinta kuning yang tampak seperti kumpulan titik cahaya yang saling bekejaran mengelilingi garis itu.
“Ini sangat indah,” Mary terpukau saat melihatnya. Kedua tatapannya terus terpaku pada lukisan abstrak itu. Sementara John mengamatinya sembari mengerutkan dahi, berusaha keras untuk memahami makna keindahan yang dimaksud Mary.
“Apa yang begitu bagus tentang titik dan garis yang disusun secara tidak beraturan?”
“Ini disebut lukisan abstraksi, John, dan itu berarti ‘tanpa bentuk'. Seseorang pernah mengatakan bahwa hidup ditemukan dalam ketidakteraturan yang nyata. Itu kelihatan kacau dan berantakan, tapi ada suatu pesan yang tersirat di dalamnya. Terkadang pesan itu tanpa makna, terkadang itu dimaksudkan untuk menyalahi nilai-nilai yang sudah ada tapi jelas itu bukan suatu hal yang menyimpang. Jadi kumpulan garis dan bentuk ini adalah sebuah ekspresi yang tidak dapat disampaikan dalam bentuk kata.”
“Aku mengerti..” John menunjuk ke arah lukisan di seberang mereka dan bertanya, “bagaimana dengan yang satu itu?”
Lukisan berikutnya memperlihatkan wajah sosok wanita dalam bentuk lanskap alam terbuka dengan langit berwana merah muda. Barisan pohon digambarkan sebagai mahkota sedangkan sungai panjang di belakangnya membentuk surai rambut yang tak berujung.
“Ini lukisan surealis. Suatu objek mati digambarkan seolah-olah hidup sedangkan yang lainnya merupakan suatu bentuk penyimpangan yang tidak akan kau temukan di dunia nyata.”
“Aku suka yang satu ini.”
Sembari menatap lukisan itu dengan kagum, Mary mengangguk dan berkata, “aku juga.”
“Kau kelihatannya tau banyak tentang lukisan, apa kau bisa melukis?”
“Aku mencoba, tapi hasilnya tidak sebagus itu.”
“Benarkah? Boleh kulihat?”
“Aku masih mengerjakannya, itu hanya berupa sketsa biasa yang tidak menarik..”
“Boleh aku melihatnya?” John mengulangi, kali ini sembari memutar tubuhnya ke arah wanita itu.
Mary tersenyum. Tubuhnya disandarkan ke dinding kemudian satu tangannya terangkat untuk menyampirkan helai rambutnya ke balik telinga. Begitu menyadari kalau John masih berdiri diam menunggunya, Mary akhirnya luluh untuk merogoh ke dalam tas kemudian meraih lipatan kertas berisi sketsa itu dan menunjukkannya pada John.
Reaksi John tidak seperti yang dipikirkan Mary. Laki-laki itu diam sebentar selagi mengamati lukisannya. Dahinya mengerut dan kedua matanya menyipit. John tanpak serius sampai Mary bertanya, “apa? Apa yang kau pikirkan? “
“Serius? Kau masih mengerjakan ini?”
“Ya.”
“Ini sempurna! Seseorang harus memajangnya di galeri ini.”
“Tidak, jangan berusaha menghiburku! Itu buruk sekali!”
“Kau harus melihat lukisanku kalau memang begitu. Aku serius.. Ini sangat bagus. Siapa wanita yang ada dalam sketsa ini?”
“Itu nenekku saat dia masih berusia tiga belas tahun.”
“Dia sangat cantik.”
“Ya memang.”
“Kau menyayanginya?”
“Aku mencintainya. Lebih dari siapapun.”
John melipat kembali kertas itu dan menyerahkannya pada Mary sembari berkata, “maka kau harus menyimpan ini.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Mary setelah meletakkan kembali sketsanya ke dalam tas. Mereka kembali berjalan bersisian menyusuri setiap lorong di galeri itu, mengbrol sembari sesekali mengamati belasan lukisan yang dipajang disana. “Siapa orang yang kau cintai?”
John sedang mengamati patung lilin yang disimpan di dalam kotak kaca selagi menjawab, “ibuku, ayahku.. dan kakak-kakakku..”
Ketika Mary tertawa, John langsung memutar wajahnya ke arah wanita itu dan bertanya, “apa yang begitu lucu?”
“Bukan itu maksudku..”
“Lalu?”
“Apa kau pernah menemukan seseorang yang kau cintai?”
“Maksudmu seorang wanita?”
“Ya.”
Tatapan John menelunsuri permukaan kaca selagi berpikir. Di sampingnya Mary masih menunggu dengan penasaran.
“Umm.. tidak.”
“Sungguh?”
“Sebenarnya aku pernah menyukai seorang wanita. Itu lebih seperti rasa kagum saja. Usianya lebih tua dan dia seorang penyanyi.”
“Siapa dia?”
“Tidak, tidak, kau tidak akan mengenalinya. Dia hanya penyanyi di tempat asalku.”
“Berikan aku namanya!”
John sempat tertegun, tapi akhirnya luluh untuk menjawab, “Sylvia. Madame Sylvia.”
“Berapa usianya?”
“Saat itu aku masih lima belas tahun, dan dia lima belas tahun lebih tua dariku..”
Mary membuka mulutnya dan kedua matanya karena terkejut, wajahnya tiba-tiba memerah dan reaksinya membuat John tertawa.
“Jangan meledekku!”
“Kenapa kau menyukainya?”
“Aku tidak tahu.. dia kelihatan muda dan cantik. Dia punya suara yang bagus dan cukup ramah. Dan matanya.. aku suka matanya. Ketika dia bernyanyi aku terus memandangi matanya. Aku tahu itu aneh, tapi.. aku benar-benar menyukainya.”
“Bagaimana dia sekarang?”
“Dia sudah menikah dan punya dua anak. Aku baru mengetahuinya akhir-akhir ini..”
“Ohh.. aku minta maaf.. apa kau kecewa?”
“Tidak! Tidak seperti itu.. aku hanya menyukainya, bukan berarti aku ingin menjadi kekasihnya. Dia lebih cocok menjadi ibuku mengingat usia kami yang terpaut sangat jauh.”
“Jadi kau belum pernah bertemu wanita lainnya?”
John menggeleng. “Aku menghabiskan waktuku di karantina. Wanita merupakan suatu hal yang jarang sekali kulihat selama berada disana.”
Mary mengangguk-anggukan kepalanya dengan pelan sembari tersenyum. Seisi lorong telah kosong, para pengunjung lain menyebar di sisi galeri yang berbeda.
“Bagaimana denganmu?”
Ada jeda panjang setelah pertanyaan itu. Mary yang terus menundukkan kepalanya membuat John penasaran.
“Aku dijodohkan..”
John bereaksi dengan mengangkat kedua alisnya. Selama beberapa saat ia kehilangan kata-kata. Akhirnya John menatap ke sekelilingnya, sementara pikirannya mulai sibuk menebak-nebak. Di hadapannya Mary tampak gelisah. Wanita itu berdiri dengan tidak nyaman hingga membuat John bertanya-tanya, “kau mencintainya, bukan?”
Sepasang mata hijau Mary terangkat, kini menatap John lurus. Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan pelan dan berkata, “aku tidak tahu.”
“Siapa orangnya?”
“Kau sudah melihatnya..”
Tiba-tiba hawa panas menjalar naik ke atas wajah John ketika ingatannya mengulang kejadian yang dialaminya pagi tadi sebelum kereta berangkat. Mary yang menempati salah satu kursi di gerbong ketiga tampak berusaha menutupi sebagain wajahnya dengan buku ketika John datang. Tak lama kemudian seorang pria dengan topi hitam mendekati jendela dan menyebutkan nama wanita itu di depan wajah John. John berbohong dengan menggelengkan kepala hingga pria itu pergi dan terus mencari ke gerbong lain.
Mereka sudah duduk dan mengbrol selama berjam-jam di dalam gerbong, tapi John tidak terpikir sedikitpun untuk menyinggung tentang laki-laki itu. Sekarang pertanyaannya sudah terjawab dan seandainya John mengetahui hal itu lebih awal, mungkin semuanya akan berbeda.
“Ohh..”
Mary yang tampaknya kesulitan untuk mengucapkan suatu kalimat yang sudah tertahan di ujung lidah, meremas jari-jarinya dengan gelisah. John mengamati reaksinya, sampai akhirnya Mary menyerah untuk berkata, “aku tidak mencintainya, John. Aku tidak mengenal laki-laki ini, aku tidak ingin bersamanya.”
“Apa kau sudah mengatakan itu padanya?”
“Orangtuaku tidak mau mendengarkannya.”
“Pria itu kaya, dia punya banyak uang bisnis yang besar. Kalau kami menikah dia menjanjikan sebuah investasi yang besar pada orangtuaku, dan tanpa mempertimbangkan keputusanku, orangtuaku menyetujuinya begitu saja. Aku merasa seperti barang transaksi yang tidak punya perasaan. Laki-laki ini, namanya William Manson, dia belasan tahun lebih tua dariku dan dia baru saja bercerai dengan istrinya. Kami sudah pernah mengbrol, rasanya sangat tidak alami. Dia terus membicarakan betapa sukses bisnisnya dan mengatakan kalau aku akan beruntung jika menikahinya. Maksudku.. aku tidak peduli berapa banyak uang yang dia punya, John.. aku tidak suka laki-laki ini.”
John tertegun sembari menatap lantai di bawah kakinya sembari berpikir. “Apa karena itu kau memutuskan untuk meninggalkan rumahmu?”
“Salah satunya.”
“Bagaimana jika orangtuamu datang untuk menjemputmu?”
Mary menggeleng, kesedihan menghiasi raut wajahnya. “Aku tidak ingin kembali kesana. Aku sudah dewasa sekarang, aku ingin hidup mandiri.”
“Kau pikir kau bisa melakukannya? Hidup di luar sendirian sangat keras, terutama untuk seorang wanita.”
Ada keraguan dalam suara Mary saat wanita itu menjawab, “ya, aku cukup yakin. Aku bisa berakting. Aku bisa menjahit. Aku juga punya sedikit keterampilan memasak. Aku bisa bekerja di toko kue, mendapatkan uang dari sana dan menyewa rumah. Lagipula aku juga punya tabungan yang cukup untuk bertahan sampai aku mendepatkan pekerjaan.” Ada keheningan yang ganjil. Mary mengangkat wajahnya, untuk kali pertama melihat John dan penasaran apa yang dipikirkan laki-laki itu.
“Menurutmu aku naif?” tanya Mary kemudian.
John bergeming, kemudian menggeleng pelan. “Tidak. Kau tidak naif.”
“Menurutmu aku harus kembali pada orangtuaku dan menikahi Manson?”
“Apa itu akan membuatmu bahagia?”
“Tidak.”
“Maka jangan kembali.”
“Ya. Aku tidak akan kembali.”
Mereka saling bertatapan. Ada kilat dalam sepasang mata John yang membuat Mary tersenyum. Mary tahu kalau John hendak mengatakan sesuatu, tapi sesuatu menahannya. Jauh di lubuk hati, Mary berharap John benar-benar mengatakannya.