Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1998
Kereta bergerak pelan, sesekali berhenti kemudian melaju kembali. Selama belasan menit yang panjang, keheningan merayap di atas meja. Jesse dan Karen sesekali menolak tawaran seorang pelayan yang mendatangi mendatangi meja mereka, kemudian menatap ke sekitarnya. Tepat di barisan bangku ketiga, mereka melihat pasangan muda tengah asyik bercengkrama sembari menikmati makanan mereka. Di seberangnya, dua wanita tua yang duduk bersebelahan saling berbicara sembari menatap keluar jendela dengan gelisah. Pria paruh baya menempati sebuah kursi di barisan ke lima, kerutan di dahinya muncul sesekali ketika ia sedang membaca surat kabar. Pasangan suami istri dengan seorang anak laki-laki seakan sedang merencanakan sesuatu, dan tepat di seberang kursi mereka, ada pria muda yang sedang tertidur lelap sampai kedatangan seorang pelayan tiba-tiba membangunkannya.
Di seberang meja, Karen masih duduk diam membisu sembari menggigiti kuku jarinya. Wanita itu akan melakukan kebiasaan itu ketika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sementara, map berisi tumpukan surat perceraian masih tergeletak di sudut meja, dibiarkan terbengkalai begitu saja. Suara mesin menderu keras. Kereta bergerak melewati kawasan perbukitan yang membentang sepanjang belasan meter jauhnya. Kota yang tersembunyi di kejauhan kini hanya terlihat seperti titik gelap yang pudar, sementara langit biru cerah membentang luas. Awan tebalnya menyelimuti pegunungan dimana kabut yang turun dari atasnya menyelimuti kawasan di bawah sana. Sungai dan ngarai panjang dapat terlihat dengan jelas. Kawasan itu diberondong oleh pohon-pohon yang tinggi dan lebat, airnya cukup jernih dan tempatnya sepi.
Jesse kemudian mengingat liburan yang pernah dilewatinya bersama Karen dan Myra dua tahun yang lalu, ketika Myra masih balita dan belum begitu pandai berbicara. Saat itu adalah pekan terakhir di musim panas. Mereka pergi ke kawasan pegunungan dan menyewa vila tempat penginapan. Jesse ingat ia sudah menyusun banyak rencana sesampainya mereka disana, tapi kemudian Myra terserang flu. Balita itu sakit sehingga mereka terpaksa harus tinggal di penginapan selama dua hari. Semua rencananya hancur, namun itu sekaligus merupakan hari dimana Jesse merasa begitu dekat dengan keluarganya. Tidak ada sinyal di sekitar kawasan itu yang memungkinkan ia menerima panggilan dari tempat kerjanya, tidak ada saluran televisi, dan hanya ada sebuah podok kayu tua di pinggir danau. Keheningan menyelimuti seisi tempat itu.
Sepanjang sore ketika Myra tertidur, ia bersama Karen akan mengambil kesempatan untuk duduk di belakang pondok, menatap ke arah danau yang permukaannya tenang dan berbicara. Tidak seperti di kota, tempat itu begitu hening sehingga mereka tidak perlu meninggikan suara agar bisa terdengar, dan karena susahnya sinyal, percakapan mereka tidak akan diganggu oleh panggilan telepon dari siapapun. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Jesse benar-benar merasa dekat dengan Karen. Dan karena Jesse seseorang yang tidak pandai menyembunyikan emosinya, ia mengatakan dengan Karen apa yang dipikirkannya saat itu.
“Ini indah sekali,” katanya. “Aku tidak pernah merasa setenang ini sebelumnya.”
Tanpa mengangguk, atau memutar bola matanya untuk menatap Jesse, singkat saja Karen berkata, “aku juga.”
“Beritahu aku apa yang kau pikirkan!” pinta Jesse.
“Aku mengikuti seminar dua hari yang lalu.”
“Seminar yang kau hadiri bersama Laurie?”
Laurie teman dekat Karen, mereka bekerja bersama di galeri.
“Ya.”
“Ya, ceritakan padaku tentang seminar itu!”
“Dia membicarakan tentang bagaimana pernikahan dapat mengubah segalanya.”
“Menarik..”
“Itu juga tentang fase cinta. Dia menjelaskan mengapa cinta menggebu-gebu di awal suatu hubungan, dan begitu pasangan memasuki zona pernikahan, kadar cinta itu menipis. Alasannya karena begitu banyak ekspektasi, dan begitu ekspektasi tidak terpenuhi, hubungan seringnya berakhir dengan kekecewaan.”
“Jadi menurutmu ekspektasi itu tidak diperlukan dalam suatu hubungan?”
“Tidak dalam kadar yang berlebihan. Maksudku.. terlalu banyak ekspektasi bisa mengaburkan segalanya. Kau tidak mencintaiku lagi karena apa adanya diriku, kau mencintaiku karena kau mengharapkan sesuatu, entah itu perubahan, kepuasan, atau apapun.. Karena setiap individu: pasangan suami - istri, mereka terpisah. Mereka memiliki keinginan dan kebutuhan masing-masing. Mengharapkan sesuatu dari pasangan, itu adalah sesuatu yang normal, tapi harapan itu seringnya mengabaikan fakta bahwa mereka terpisah. Mereka tidak bisa mengontrol apa yang mungkin dikatakan atau dilakukan pasangannya. Ketika itu tidak selaras dengan apa yang mereka harapkan, mereka akan berakhir kecewa.”
Jesse sejenak merenung, kemudian mengangguk-angguh pelan. “Mmm.. aku mengerti.”
“Terkadang aku suka berpikir kalau itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan,” ucap Karen dengan tatapan kosong yang tertuju ke depan. “Maksudku.. kenapa harus mencari alasan untuk sesuatu yang sudah jelas?”
“Apa? Apa yang sudah jelas?”
“Bahwa cinta itu sudah tidak ada. Apa hubungannya pernikahan dengan semua itu? Dan kenapa juga seseorang harus mempertahankannya?”
Lamunan Jesse buyar begitu Karen mulai berdeham. Wanita itu sedang membenahi kemejanya ketika Jesse berkata, “ceritakan padaku tentang malam itu!”
Tiba-tiba kedua alis Karen terangkat, keningnya berkerut. “Apa?”
“Malam Februari tanggal dua puluh lima ketika mobilmu mogok. Apa yang terjadi?”
“Serius? Itu sudah lama sekali..”
“Ya, tapi kau tidak pernah menceritakannya padaku.”
“Itu bukan hal yang menarik untuk didengar, terutama dalam situasi seperti ini..”
“Aku ingin mendengarnya, Karen. Tolong..”
Karen menatap Jesse dengan kedua mata disipitkan. Mulanya wanita itu mengambil jeda yang cukup lama untuk berpikir, tapi kemudian Karen luluh untuk memenuhi keinginannya.
“Itu malam yang panjang di bulan februari ketika hujan badai datang. Aku sedang meeting bersama Laurie dan Debby, saat itu hampir pukul delapan. Aku seharusnya pulang lebih cepat, tapi pukul tujuh kau menghubungiku. Kau bilang tur-mu diperpanjang sampai minggu depan, sementara aku tidak punya persiapan apapun. Aku mengatakan pada Annie kalau kau akan tiba sekitar pukul tujuh di rumah sehingga dia tidak harus menjaga Myra sampai larut malam, sementara itu ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di galeri. Aku merasa kecewa, ya itu benar, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi aku harus meninggalkan meeting itu dengan cepat dan mengendara pulang untuk menjaga Myra. Sialnya, mobilku mogok di tengah jalan. Aku tidak tahu dimana bengkel terdekat dan tempat itu sangat sepi. Aku tidak melihat ada orang yang berlalu lalang, jadi aku berjalan sejauh ratusan meter untuk mencari bantuan. Aku harus berlari-larian karena aku tahu, aku harus tiba di rumah dengan cepat. Aku mencoba menghubungi Annie, tapi baterai ponselku habis. Aku berada di tengah jalan, jauh dari rumah dan berkeliling untuk menemukan bantuan, dan seolah itu belum cukup buruk, hujan deras turun. Aku tidak membawa apa-apa, jadi aku harus berteduh sampai hujan reda, sementara itu sudah hampir pukul sepuluh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku menggerutu di sepanjang jalan dan karena aku harus terus bergerak, jadi aku menerobos hujan begitu saja. Aku sudah basah kuyup ketika akhirnya ada seseorang yang bersedia membantu. Dia menghubungi bengkel untuk mengambil mobilku dan dia memberiku tumpangan sampai di rumah. Itu umm.. aku tidak tahu. Aku tidak tahu bagaimana malam itu akan berakhir kalau saja bantuan itu tidak datang. Aku harus minta maaf pada Annie karena perubahan rencana dadakan itu. Tapi seperti kataku, itu sudah terjadi dan tidak ada yang bisa mengubahnya.”
Jesse menangkupkan kedua tangannya sembari tertegun. Di hadapannya Karen enggan mengalihkan tatapan dari luar jendela. Kedua matanya terus menatap keluar sana selagi ia berbicara, seolah dengan melihat Jesse membuatnya kesulitan untuk menyampaikan semua itu. Jesse bisa menyadarinya dengan jelas. Kegelisahan menyelimutinya. Fakta bahwa Karen sudah menyembunyikan semua itu darinya untuk waktu yang lama membuatnya menyadari betapa kacaunya situasi itu. Alih-alih mengatakan sesuatu untuk menanggapinya, Jesse masih termenung, menunggu hingga Karen selesai berbicara.
“Aku berusaha melupakan malam itu, tapi aku tidak bisa. Aku terus memikirkannya sepanjang malam. Saat itu aku merasa kalau.. aku sendirian - benar-benar sendirian. Paginya aku pergi bersama Laurie dan bersenang-senang untuk melupakan apa yang terjadi semalam. Itu tidak bertanggungjawab, maksudku.. aku seharusnya di rumah, bersama putriku dan menunggunya sampai kau pulang. Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam disana dan setiap kali aku melihat Myra, aku merasa bersalah. Aku bukan ibu yang baik untuknya dan aku mulai berpikir kalau aku belum siap untuk semua itu..”
“Untuk apa?”
“Untuk pernikahan, untuk seorang bayi..” jawab Karen dengan putus asa. “Semua itu mengurasku. Kehidupanku sebelum itu hebat, dan aku baik-baik saja. Kemudian setelah memiliki bayi, aku merasa tiba-tiba semua ditumpahkan ke tanganku, dan aku tidak tahu bagaimana cara mengurusnya, sementara kau begitu sering berpergian. Aku tidak memiliki seseorang untuk diajak berbicara. Terkadang aku hanya membayangkanmu berada di sofa, dan kita berbicara. Tapi itu tidak benar, kau tidak ada disana dan itu sangat menyedihkan.”
Sepasang kekasih yang tertawa cekikikan di kursi terdepan sejenak mengalihkan perhatian Karen, tapi kemudian wanita itu berdeham dan menatap Jesse dengan putus asa.
“Sekarang jangan berpikir untuk mengasihaniku.. aku tidak mengatakan semua itu untuk membuatmu merasa kasihan padaku..”
“Tidak,” kilah Jesse. “Aku sama sekali tidak..”
Laki-laki itu belum menyelesaikan kalimatnya ketika Karen memotongnya dengan mengatakan, “apa yang perlu kau tahu bahwa aku sudah merasa baik-baik saja sekarang. Ya, aku tidak melupakannya, tapi aku baik-baik saja sekarang.”
Sembari meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Karen, Jesse mengatakan dengan suara pelan, “Karen, maafkan aku..” hanya saja permintaan maafnya ditepis begitu saja oleh Karen yang dengan cepat menarik tangannya menjauh.
“Tidak, tolong jangan!” katanya. “Aku tidak mengatakan semua itu untuk menyalahkanmu. Jadi jangan minta maaf..”
“Kenapa? Kenapa aku tidak boleh minta maaf?”
“Karena kau selalu mengatakan itu, Jesse! Kau mengatakannya setiap saat dan kau tetap mengulanginya. Apa kau sadar setiap kali kau mengatakan itu, kau membuat aku seolah-olah pihak yang egois disini..”
“Egois?” Jesse membeokan. Kedua alisnya terangkat. “Kau bilang egois?”
“Ya itu yang kurasakan. Kau mengatakan maaf seolah itu bukanlah sebuah perkara besar, dan kemudian kau melepas tanggungjawabmu begitu saja. Kau tidak berusaha untuk memperbaikinya karena kau selalu sibuk!”
Nada suara Karen meninggi beberapa oktaf hingga ia nyaris berteriak di atas kursinya. Saat amarah itu muncul ke permukaan, Karen dapat merasakan hawa panas menjalar ke sekujur tubuhnya, membuat darahnya mendidih.
“Ya Tuhan!” ujar Jesse seraya menatap langit-langit kereta. Laki-laki itu sedang berusaha mengatur nafasnya, tapi kelihatannya Jesse sama frustasinya seperti Karen. “Kau yang menginginkan pernikahan, Karen..”
“Tidak! Orangtuamu yang menginginkannya, dan kau bilang ya, karena kau pikir itu akan menyenangkan mereka.”
“Dan kau bilang ‘ya’ juga.”
“Jika aku tahu akhirnya akan jadi seperti ini, kenapa aku harus menikah? Tapi aku sudah berbicara pada Laurie, dan kau tahu apa yang dia katakan padaku? Tidak apa-apa untuk berpisah. Terkadang itu berhasil, kadang tidak. Orang-orang menikah dan bercerai. Negara dan hukum tidak bisa mencegahnya.”
Merasa kesal mendengar hal itu, Jesse yang naik pitam langsung menyudutkannya. “Kau mendengarkan wanita itu? Kau meminta pendapatnya sementara aku tidak?”
“Wanita itu adalah sahabatku, Jesse! Kami sudah bersama-sama jauh sebelum aku mengenalmu dan ya aku memang berbicara padanya dan meminta pendapatnya di belakangmu karena aku tahu berbicara denganmu tidak akan menyelesaikan apapun. Kau hanya akan berusaha meredakan situasi kemudian berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Tapi aku tidak sepertimu. Aku tidak bisa tinggal diam saja, aku butuh seseorang untuk diajak bicara, dan Laurie yang ada disana. Jadi aku berbicara padanya. Dia mengatakan semua itu - dan dia benar. Kau tahu apa? Aku mulai berpikir kalau semua ini hanyalah omong kosong..”
“Apa? Apa yang omong kosong?”
“Pernikahan ini, diskusi ini..”
“Kau bilang itu omong kosong? Bagaimana dengan Myra, apa dia juga merupakan omong kosong?”
“Tidak, dia putriku. Dia makhluk paling indah yang pernah kulihat sejak dia lahir dan sampai sekarang tetap begitu. Pernikahan dan semua ini adalah sebuah kesalahan..”
“Tidak, itu tidak benar.”
“Ya itu benar.”
Jesse menggeleng keras, bersandar di kursinya. “Tidak, kau hanya marah dan kau ditutupi oleh emosi yang membuatmu tidak memikirkan apa yang kau katakan..”
Karen tertawa, tapi tawa itu lebih terdengar seperti ironi. “Tidak, kau salah! Aku sudah sejauh ini untuk mengatakan kalau aku sepenuhnya sadar dengan apa yang kukatakan Jesse.”
“Tapi kau mencintaiku.. Kau yang mengatakan itu padaku,” ucap Jesse untuk meyakinkan Karen. “Kau mencintaiku dan kau mau menikah denganku.”
“Ya itu benar. Itu benar kalau aku pernah mencintaimu. Itu benar kalau kau pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku, tapi sekarang tidak lagi, Jesse. Aku sudah selesai denganmu – aku sudah selesai dengan semua ini. Aku hanya ingin kembali pada kehidupan lamaku, aku hanya ingin..”
“Apa?”
Derap langkah kaki terdengar, seorang penumpang baru saja meletakkan koper hitam berisi barang-barang di loker penyimpanan kemudian duduk menempati dua kursi di depan mereka. Sejenak Karen mengamati penumpang itu, kemudian menunduk. Ia sempat ragu-ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk bicara.
“Kau tahu berapa lama aku berpikir untuk pergi meninggalkan rumah itu?” tidak ada jawaban, jadi Karen melanjutkan. “Setiap detik, setiap menit, setiap jam yang kuhabiskan disana. Dan setiap harinya keinginan itu menjadi semakin besar dan semakin besar saja. Itu bukannya terjadi seminggu atau dua minggu saja, itu sudah berbulan-bulan yang lalu sejak aku berpikir untuk meninggalkanmu, tapi tidak kulakukan karena putriku masih membutuhkanku. Aku berusaha untuk tinggal dan belajar untuk berpikir bahwa mungkin saja ada sesuatu yang bisa kuperbaiki tentang hubungan ini. Bahwa mungkin saja itu hanya perasaanku. Aku tidak mau bertindak gegabah, kau tahu aku bukan orang seperti itu. Aku sudah memikirkan semuanya secara matang dan seolah itu belum cukup, ada suara yang terus berbisik di kepalaku dan ia memintaku untuk ‘pergi! Pergi! Dan pergi!’ tapi kuabaikan saja. Kuabaikan suara itu selama berbulan-bulan, dan segalanya bukannya menjadi semakin baik, malahan tidak ada yang berubah. Kemudian aku sadar.. aku tidak dimaksudkan untuk hubungan itu lagi. Pernikahan itu bukan untukku.”
Jesse memejamkan kedua mata, kepalanya menggeleng untuk menolak gagasan itu, sementara laki-laki itu masih berusaha menahan nafasnya. Namun, tubuh Jesse bergetar, Karen bisa merasakanya ketika ia mendekat untuk meraih tangan Jesse dan menatap langsung ke dalam matanya yang tampak sayup.
“Dengarkan aku! Tidak ada yang salah tentangmu, kau adalah orang yang baik, dan ya, aku mencintaimu, hanya saja.. sekarang kita tidak cocok lagi. Aku ingin kau tahu kalau semuanya akan baik..”
“Aku tidak mau mendengar ini,” potong Jesse sembari menarik tangannya dari genggaman Karen. Laki-laki itu beringsut mundur di atas kursinya. “Jangan tumpahkan semua itu padaku. Aku tidak merasa begitu sampai kau menumpahkan segalanya padaku. Aku pikir aku baik-baik saja, aku pikir hubungan kita baik-baik saja.”
“Aku tidak menumpahkan semua itu padamu! Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku berusaha memberitahumu..”
“Tidak, kau tidak memberitahuku! Kau mendikte perasaanku tentang semua ini. Aku tidak pernah merasa begitu sampai kau mendikte semua itu padaku. Tidak ada yang salah dengan semua ini dan aku ingin kau tahu kalau semuanya akan kembali seperti semula.”
Karen menegakkan tubuhnya perlahan, kemudian menelan liur. Dengan putus asa, ia membuang tatapannya ke luar jendela, sejenak menghela nafas kemudian menyandarkan tubuhnya di atas kursi.
“Itulah kenapa aku tidak ingin membicarakan semua ini. Kau tidak akan mendengarkanku.”
“Aku tidak mendengarkanmu, kau bilang?” Jesse mengulangi.
“Ya, kau tidak. Kau bilang kau mendengarkanku, tapi kenyataannya tidak begitu. Kau hanya duduk disana, berusaha membela dirimu tanpa keinginan untuk memahami apa yang kukatakan atau apa yang kurasakan tentang semua ini. Kau pikir aku egois dalam hal ini, tapi menurutku tidak begitu, Jesse – kita, egois dalam hal ini dan kita sama-sama tahu itu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi aku harus mengatakannya padamu. Aku menyerah. Aku benar-benar menyerah sekarang.”
Sebuah suara yang baru saja keluar dari mikrofon memberitahu mereka kalau kereta akan sampai di pemberhentian pertama dan menunggu selama satu jam sebelum diberangkatkan kembali. Sementara langit siang telah bergulung, orang-orang siap turun untuk mencari udara segar, setidaknya sampai hari mulai gelap, mereka baru bisa kembali ke dalam kereta untuk melanjutkan perjalanan. Berpikir bahwa situasi itu tidak bisa menjadi lebih mencekam lagi, Karen memutuskan untuk bangkit berdiri dan keluar bersama sejumlah penumpang lain yang ikut mengantre di pintu demi mendapatkan udara segar.
“Aku butuh udara segar,” katanya sebelum meraih mantel kemudian pergi meninggalkan Jesse.