Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1958
Ketika kereta sampai di pemberhentian utama, Richard dan Norma memutuskan untuk menikmati udara segar di luar stasiun. Mereka berjalan berdampingan menyusuri jalanan dan pinggiran kota kemudian duduk menempati salah satu bangku di taman. Dari sana mereka dapat menyaksikan pemandangan kesibukan kota di kejauhan. Rumput hijau di bawah kaki mereka tampak subur. Puluhan pepohonan tinggi memberondong seisi tempat di taman itu, beberapa anak kecil sedang berlari-larian di dekat danau dengan diawasi oleh kedua orang tua mereka, pasangan muda terlihat menggelar tikar di bawah pohon rindang untuk duduk dan mengbrol.
Sore itu sejuk. Angin menyapu lembut rumput dan semak-semak di sekitarnya. Dahan pohon bergerak melambai ketika tertiup angin, sementara suara kebisingan kota tertinggal di belakang mereka. Di atas bukit, langit diselimuti oleh cahaya jingga yang menyala terang. Sebentar lagi mataharinya akan tenggelam, Richard dan Norma menyaksikan itu dengan kedua mata terbuka. Tiba-tiba Norma teringat sesuatu yang membuatnya menitihkan air mata. Meskipun Norma cepat-cepat menyeka wajahnya, ia tidak dapat menyembunyikannya dari Richard karena laki-laki itu sudah meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Norma dan bertanya, “apa yang terjadi?”
“Aku teringat Arthur dan Lily ketika mereka masih kecil. Kita pernah pergi ke danau, kau ingat? Mereka menaiki perahu rakit dan Arthur begitu bersemangat sampai dia melompat-lompat diatas perahu itu. Dia berusaha meneriakkan namaku berkali-kali untuk menunjukkan aksinya, tapi aku tidak memerhatikannya, dan kemudian Lily jatuh dari perahu itu. Dia nyaris saja tenggelam kalau kau tidak cepat-cepat masuk ke dalam air untuk menyelamatkannya.”
“Ya, aku ingat itu..”
Norma tersenyum sembari menyeka kedua matanya yang basah. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak ada disana. Putri kita mungkin tidak akan selamat.”
“Tapi dia selamat..”
“Ya. Dan aku marah besar pada Arthur karena hal itu. Kurasa sejak saat itulah dia jadi tidak menyukaiku. Aku seharusya tidak menyalahkan dia seperti itu. Dia hanya anak kecil berusia lima tahun yang sangat antusias, aku tidak habis pikir kenapa aku harus menyalahkannya sebegitu kasar.”
“Dia tidak pernah membencimu, Norma. Sama halnya seperti kau tidak pernah membenci anak itu. Kau hanya berusaha melindunginya, itu saja..”
“Ah kau selalu bilang begitu. Kau tahu apa yang hal tentangmu yang begitu menggangguku, Richard?”
Richard sempat tertegun memikirkan jawabannya tapi kemudian menggeleng dan bertanya, “apa itu?”
“Kau tidak pernah marah. Jika ada sesuatu yang salah, kau tidak akan mengatakan apa-apa, dan itu sangat mengganguku.”
“Kenapa aku harus mengatakan sesuatu?”
“Karena aku tidak tahu apa yang kau pikirkan! Aku tidak tahu kapan aku membuatmu kesal. Kau selalu bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal tidak begitu. Aku tahu sesekali aku membuatmu kesal, hanya saja kau tidak pernah memberitahuku..”
“Tidak..” kilah Richard sembari melingkari satu lengannya di pundak Norma. “Tidak pernah.”
Norma menatap laki-laki itu dan kembali merasakan air matanya merebak. Melihat ke dalam mata gelap Richard membuat Norma kembali teringat kali pertama pertemuan mereka. Richard selalu menyembunyikan emosinya dengan baik, bahkan dalam situasi genting sekalipun, laki-laki itu akan tampak tenang. Ada kalanya ketika Richard merasa sedih, ia akan menyendiri dan tidak mengizinkan siapapun melihatnya. Terkadang Norma merasa tersinggung dengan sikap itu. Pernah ia berpikir bahwa Richard tidak benar-benar membutuhkan Norma berada di sampingnya, tapi kemudian Norma menyadari bahwa sikap itu adalah bagian dari kebiasaan lama Richard. Suatu hari laki-laki itu pernah menceritakan masa kecilnya, ketika ia dilarang untuk menangis atau menunjukkan emosinya dihadapan orang-orang, bahkan orang yang dipercayainya sekalipun. Richard, dapat dikatakan punya banyak pengalaman aneh dalam hidupnya dan Norma masih penasaran tentang Alda. Bagaimana Richard akhirnya berpisah dengan wanita itu jika mereka sempat merencanakan pelarian bersama?
“Omong-omong, apa yang terjadi setelah kau dan Alda merencanakan pelarian kalian?”
“Kau benar-benar ingin mendengarnya?”
“Aku ingin mengetahui semuanya. Beritahu aku!”
Richard berdeham, tubuhnya bergeser di atas kursi. “Baiklah.. sampai dimana kita tadi?”
Maryland, 1914
Richard menyulutkan api pada putung rokoknya kemudian bergerak mondar-mandir di depan sebuah ruko yang menjual pakaian selagi ia menunggu kedatangan Alda. Asap mengepul dari mulut dan hidungnya, dahinya berkeringat karena gelisah dan tatapannya terus menyapu jalanan di sekitarnya. Sore tampak gelap, jalanannya basah setelah diguyur hujan. Orang-orang yang berkeliaran di sekitarnya tampak sibuk membawa barang-barang, suara dengungan percakaapan menggantung dimana-mana. Richard melirik arlojinya saat itu: pukul empat lima belas sore. Kapal yang disewanya di pelabuhan akan berangkat pukul lima sesuai yang dijanjikan. Barang-barangnya sudah dikemas ke dalam sebuah tas coklat yang ia dapatkan dari toko pagi ini.
Richard tidak berpamitan pada awak kapalnya, ia hanya meninggalkan sebuah catatan dan sejumlah uang untuk membayar sewa. Ia sudah mengatur segalanya dan meminta para awak itu pergi ke pelabuhan besok pagi untuk meninggalkan kota itu dan kembali ke rumah mereka. Ricard juga memberitahu mereka kapal mana yang dapat mereka tumpangi dan karena Richard tidak mampu membeli tiket untuk kapal yang lebih layak, maka terpaksa para awaknya harus menumpangi kapal nelayan. Menurut Richard itu tidak masalah. Para awak boleh menerima tawarannya, jika tidak, sudah saatnya menentukan jalan hidup masing-masing.
Air hujan yang menetes dari atap ruko menyentuh bagian ujung topinya dan membuat lamunan Richard seketika buyar. Di kejauhan ia mendengar suara kereta kuda yang perlahan bergerak mendekat. Richard melempar sisa putung rokoknya ke jalanan begitu kereta berhenti di depannya. Tirai hitam yang digunakan untuk menutupi jendela kereta itu kemudian dibuka dan wajah Alda kemudian muncul dari dalam sana. Wanita itu menatap ke sekelilingnya sebelum membuka pintu kereta dan membiarkan Richard masuk bersamanya. Begitu Richard sampai di dalam, Alda menutup kembali pintu dan tirai jendela kemudian mengetuk atap kereta hingga kereta kembali bergerak. Baru setelah beberapa meter jauhnya meninggalkan jalanan itu, Alda membuka tudung yang menutupi sebagian wajahnya sembari mengembuskan nafas lega.
“Pakaian ini membuatku gerah,” gerutunya selagi membuka sarung tangan.
“Kenapa kau pakai dress?”
“Aku harus mencari alasan untuk bisa keluar.”
“Perjalanannya akan sangat panjang dan aku tidak membawa persediaan makanan apa-apa, jadi sebaiknya kita berhenti dulu di tempat makan. Bagaimana?”
“Ya, tapi jangan di dekat sini.”
“Kau tahu tempat makan yang tepat?”
“Ya, jaraknya beberapa ratus meter lagi.”
“Bagus.”
Dua puluh menit kemudian, kereta kuda yang ditumpangi mereka akhirnya berhenti di sebuah tempat makan yang terletak di pinggiran hutan. Dengan bantuan Richard, Alda turun dari kereta itu kemudian berjalan hati-hati ketika masuk ke dalam kedai yang telah dipadati oleh sejumlah orang. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki yang pekerjaannya menambang di hutan.
Sementara Richard memesan makanan untuk mereka, Alda langsung memilih meja di sudut ruangan. Itu satu-satunya tempat kosong yang dekat dengan jendela. Alda membutuhkan udara segar karena udara di dalam sana terasa cukup panas. Begitu Richard bergabung dengannya, laki-laki itu menggosok kedua telapak tangannya kemudian menatap Alda dan bertanya, “bagaimana kau bisa tahu tempat ini? Ini jelas bukan tempat makan yang biasa kau kunjungi, bukan?”
“Dulu, aku sempat berhenti untuk makan disini bersama adik-adik perempuanku.”
Setelah mendengar jawaban itu, Richard langsung mengerutkan dahinya dan bertanya, “tunggu..! Adik-adikmu?”
Tiba-tiba saja wajah Alda memerah. Wanita itu hendak menghindari pertanyaan itu, tapi kelihatannya Richard bersikeras agar Alda menjawabnya.
“Ya.”
“Kau tidak pernah mengatakan padaku tentang adikmu?”
“Memang tidak. Mereka tidak tinggal bersamaku di kota, mereka tinggal bersama bibiku, dan mereka hanya adik tiri, jadi..”
“Ada berapa?”
“Aku punya tiga adik perempuan, masing-masing berusia enam belas tahun, tiga belas, dan delapan tahun. Mereka anak dari pernikahan kedua ibuku, tapi sejak ibu dan ayah tiriku meninggal karena kecelakaan kereta, mereka ikut bersamaku.”
“Siapa yang menjadi walinya? Kau atau bibimu?”
“Bibiku sudah tua untuk menjadi wali, dia juga tidak punya pekerjaan yang mumpuni untuk menghidupi mereka, jadi itu aku. Ketika pertama kali aku datang ke kota ini, aku membawa tiga adikku bersamaku. Si bungsu masih balita saat itu, kami harus bertahan hidup dengan uang peninggalan orangtua kami. Tapi kemudian aku mendapat pekerjaan yang cukup bagus dan karierku juga bagus sebagai aktris panggung, itu benar-benar membantu mengangkat hidup kami.”
“Jadi kau yang membiayai hidup mereka, dan bibimu?”
“Ya.”
Richard tertegun menatap ke sekelilingnya. Seisi kepalanya dipenuhi oleh banyak hal sampai Alda meraih tangannya dan bertanya, “apa yang kau pikirkan?”
Ada jeda panjang selagi Richard mempertimbangkan ucapannya. Ia menatap permukaan meja kayu, dengan bimbang mengetukkan jari-jarinya di atas sana. Alda tampaknya menyadari kegelisahan itu karena wanita itu telah mengerutkan dahi dan menegakkan tubuhnya di atas kursi.
“Richard!” tegur Alda. “Ada apa?”
“Menurutmu siapa yang akan menanggung hidup adik-adikmu jika kita pergi?”
Wajah Alda berubah pucat. Richard tidak senang melihat wanita itu gelisah, tapi ia perlu meluruskan situasinya.
“Apa? Apa maksudmu?”
“Kau bilang kau yang menanggung adik dan bibimu, lalu siapa yang akan menanggung mereka jika kita pergi?”
“Aku meninggalkan tabungan untuk mereka. Itu bisa mereka gunakan untuk melanjutkan hidup.”
“Berapa lama?”
“Aku tidak tahu..”
“Berapa lama?” desak Richard.
“Mungkin akan bertahan dua sampai tiga minggu kalau mereka tidak boros.”
“Dan apa yang akan terjadi pada mereka setelah itu?”
“Aku tidak tahu Richard, mereka bukan tanggunganku, dan mereka punya rumah. Bibiku punya hak atas rumah itu, seharusnya mereka bisa bertahan disana dan menemukan cara untuk bertahan hidup. Mereka bisa mencari pekerjaan, mereka tidak selamanya bisa bergantung padaku..”
“Dan berapa usia mereka katamu tadi?”
Merasa bahwa Richard sedang berusaha menyudutkannya, raut wajah Alda berubah. Punggungnya menegak dengan kaku dan jari-jarinya saling bertaut di atas meja. Wanita itu tidak menjawab pertanyaan terakhir Richard alih-alih menatap keluar jendela, menarik nafas, kemudian berkata, “aku merasa lebih nyaman jika kita tidak membahas ini.”
“Dengar Alda! Hei, lihat aku!”
Hening. Richard tidak berbicara sampai Alda mengangkat wajah untuk menatapnya.
“Pergi meninggalkan keluargamu adalah tindakan egois.”
“Aku sudah cukup merawat mereka, Richard!” Alda menegaskan. “Ibuku tidak memberiku pilihan untuk itu. Lagipula ini hidupku. Aku tidak menghabiskannya dengan melakukan semua itu. Aku ingin sekali saja melakukan apa yang ingin kulakukan. Ini yang kuinginkan!”
“Dengarkan aku..” ucap Richard dengan sabar. Ia meletakkan satu punggung tangannya di atas punggung tangan Alda. “Kita tidak punya rencana. Kita tahu apa ini akan berhasil atau tidak. Pergi bersamaku sama artinya dengan meninggalkan kariermu yang bagus, dan keluargamu.. dan itu tidak salah, tapi kau punya tanggungjawab. Mereka membutuhkanmu dan disanalah kau seharusnya berada. Atau kita bisa pergi sekarang, meninggalkan kehidupan lamamu dan semua tanggungjawab itu, kemudian kita akan menyesal nantinya.”
“Bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya Alda dengan suara serak. Kesedihan tampak kentara dalam sepasang mata birunya yang cerah.
“Apa kau mencintai keluargamu, Alda? Apa kau mencintai adik-adikmu?”
“Ya, dan aku mencintaimu juga.”
“Maka, cinta yang baik seharusnya tidak egois.”
“Tidak, Richard, tolong.. kita sudah merencanakan semua ini. Aku hanya ingin pergi dari sini.”
Richard mengembuskan nafasnya sebelum berkata, “aku punya rencana.. Kau tinggal dan aku akan pergi untuk mengurus semuanya. Beri aku waktu satu tahun untuk mengumpulkan uang yang cukup. Aku akan menjual kapalku dan menukarnya dengan puluhan galon oli. Oli sangat dibutuhkan saat ini dan aku akan memulai bisnis baru. Aku yakin ini akan berhasil, hanya saja berikan aku waktu. Aku tidak ingin pergi bersamamu dan tidak memiliki apa-apa. Keluargamu membutuhkanmu, dan aku berjanji padamu aku akan kembali. Pada saat itu tiba, kita akan lebih siap untuk pergi. Bagaimana?”
Air mata Alda sudah merebak. Richard menjulurkan tangannya. Jari-jarinya menyentuh dagu Alda dengan lembut selagi ia berkata, “aku akan kembali, aku janji.”
“Bagaimana jika tidak?”
“Maka aku mati.”
Dengan demikian, itu menjadi percakapan terakhir mereka. Alda pergi meninggalkan kedai kecil itu menggunakan kereta sendirian dan berbalik ke rumahnya. Sementara Richard berdiri disana, mengamati wanita itu perlahan menghilang di kejauhan. Hawa panas menjalar naik ke atas wajahnya. Jantungnya serasa mencelos seolah ia baru saja kehilangan apa yang begitu berarti untuknya. Namun, ketika Alda menarik tirai jendela hingga terbuka dan melongokkan wajahnya disana kemudian melambai, Richard berusaha untuk mengubur kesedihannya dan balik melambai. Senyum lebar mengambang di wajahnya, tapi ia tidak bisa menahan air matanya jatuh.