Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1958
Maryland, 1914
Suara musik yang keras menggema ke seluruh penjuru teater. Richard duduk di salah satu sudut panggung dan menyaksikan saat cahaya lampu menyorot wajah Alda yang baru saja muncul di balik tirai keemasan. Wanita itu membuka mulutnya dan mulai menyanyikan sesuatu dengan suara merdu. Itu adalah lagu paling lembut dan paling romantis yang pernah di dengar Richard. Alda kemudian berjalan mengelilingi panggung. Rambut merah yang tergerai memanjang di belakang bahunya terlihat seperti lidah api yang menari-nari di atas panggung. Kemudian wanita itu mulai terlihat gelisah. Ia melangkahkan kakinya mengelilingi setiap sudut panggung sembari menyerukan suatu kalimat. Richard mendengarnya dengan jelas, wanita itu memanggil seseorang, hingga tak lama kemudian kemunculan satu aktor lain di atas panggung memecah keheningan. Sang aktor tampil aneh dengan pakaian dan cat di wajahnya. Rupaya ia sedang memainkan peran sebagai si miskin yang buta. Selama beberapa menit, Richard menyaksikan dua aktor itu saling berputar-putar di atas panggung. Masing-masing dari mereka mengatakan sesuatu dengan cepat, keduanya tampak sedang berdebat, kemudian sang aktor kembali meninggalkan Alda di atas panggung sendirian. Kini cahaya kembali menyorot wajah sang aktris yang tampak putus asa.
Cahaya lampu perlahan memudar, sementara Alda menghempaskan tubuhnya dan duduk di atas panggung sembari meringkuk. Ia mulai menangis. Cahaya dipadamkan, seisi tempat tiba-tiba menjadi gelap, kemudian beberapa detik setelahnya seluruh cahaya lampu kembali menyala. Tirai dibuka dan seluruh aktor yang memainkan drama itu, membentuk barisan di atas panggung. Masing-masing dari mereka tersenyum dan melambai ke arah penonton yang menyaksikannya. Suara tepuk tangan dan sorakan yang meriah mengisi panggung, saat itulah Richard melihat Alda di antara barisan aktor lainnya. Kedua mata Alda tampak berkilat saat balik menatapnya, wanita itu tersenyum lebar, kemudian dengan cepat meninggalkan panggung begitu drama berakhir.
Richard menunggu Alda persis di belakang gedung teater. Wanita yang sudah mengganti pakaiannya itu kini sedang mengendap-endap keluar, mengenakan dress satin birunya yang lebih sederhana selagi berpapasan dengan Richard. Mata hitam gelap itu kini memandanginya dengan mendamba. Wanita itu tampak gelisah. Kemudian, tanpa aba-aba, lengan kecil Alda tiba-tiba merangkulnya. Ia membisikkan sesuatu dengan pelan ke telinga Richard.
“Bawa aku pergi dari sini!”
Selama sesaat Richard hanya berdiri terpaku di tempatnya, tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba semua yang dipikirkannya buyar. Persis ketika Alda melepas dekapan itu Richard hanya berdiri disana sembari memandanginya. Cahaya matahari pagi yang menyentuh permukaan jalanan di dalam gang memantul dan jatuh di atas wajahnya. Di bawah topi coklat tuanya, Richard mengedipkan mata, diam sementara wanita itu mengguncangkan bahunya, berusaha menyadarkan Richard dari lamunan.
“Richard! Richard.. kau disini?”
Saat itu juga lamunannya buyar. Richard meletakkan kedua lengannya di atas bahu Alda selagi bertanya, “kemana kita pergi?”
“Aku tidak tahu, tolong.. bawa saja aku pergi dari sini, Richard!”
Selagi menatap ke sekelilingnya, Richard meraih satu tangan Alda kemudian menariknya pergi meninggalkan gang. Mereka berlari menyusuri sudut kota, berusaha menjauhi kerumunan orang yang mencuri pandang dan mengenali wajah Alda.
“Ayo!” kata Richard ketika menyadari ada tiga orang yang berlari mengikuti mereka di belakang.
Alda tertawa cekikikan, merasa geli ketika mengikuti Richard berlari dengan alas kaki tipis dan menerobos kerumunan orang. Wanita itu mengangkat gaun satinnya dan menahan topinya agar tidak lepas. Sementara Richard terus menariknya, kali ini menuju stasiun.
“Apa kau pernah naik kereta, Lady?”
“Ya, ketika aku masih kecil.”
“Well, rasanya akan sangat menyenangkan kali ini. Ayo!”
Richard menerobos antrean orang yang berbaris membawa tiket. Ketika seorang petugas menyadarinya, ia langsung menarik Alda dan berlari lebih cepat untuk menghindari kejaran si petugas. Sementara alarm kereta baru saja dibunyikan dan kereta mulai bergerak pelan. Merasa tersudutkan, Richard nekat masuk ke salah satu pintu gerbong yang terbuka. Ia menjuluran tangannya ke arah Alda dan meminta wanita itu ikut naik ke sana.
Kini Alda tampak gelisah. Senyumnya sudah menghilang, digantikan oleh kerutan tipis pada dahinya yang mulai berkeringat.
“Kau bodoh sekali, Richard! Apa yang kau lakukan?”
Alih-alih menanggapi sarkasme itu, Richard justru berkata, “ayo cepat naik, Alda! Kereta akan segera pergi, petugas itu akan menangkapmu.”
“Kemana kita pergi?”
“Aku tidak tahu. Ayo!”
“Kau gila!” Alda menggerutu, tapi akhirnya tersenyum, meraih juluran tangan Richard kemudian mendorong tubuhnya masuk ke dalam gerbong.
Angin berembus masuk melalui pintu. Mereka nyaris saja jatuh kalau saja Richard tidak berpegangan kuat pada gagang pintu. Alih-alih histeris karena rasa panik, mereka justru tertawa. Petugas yang mengejar mereka kini tertinggal di belakang, Richard memandanginya, tersenyum, kemudian melambaikan tangan.
“Kau sangat gila!”
“Aku tahu.”
Mereka duduk menempati kursi kosong sembari bercengkrama panjang selagi kereta bergerak cepat di atas rel. Alda terus menatap keluar jendela, merasakan angin yang menyusup masuk ke dalam menyentuh kulit wajahnya, kemudian tersenyum. Wanita itu begitu menikmati pemandangan di luar jendela sampai Richard merasa enggan untuk menegurnya. Akhirnya setelah keheningan yang panjang selama lima belas menit, Alda memutar wajah untuk menatapnya dan berkata, “ini sangat indah.”
“Ya memang,” Richard menyetujui.
Alda menunjuk keluar jendela, tepat dimana bukit-bukit tinggi yang berbaris dikejauhan menutupi pemandangan langsung ke arah kota besar.
“Kau tahu tempat itu, Richard?”
“Itu disebut kota Velencia. Sebuah kota besar yang dikelilingi oleh pantai dan dermaga-dermaga besar.”
“Ya, aku yakin itu tempatnya.”
“Kau tertarik dengan Velencia?”
“Aku pernah bermimpi untuk pergi kesana dan memulai karierku sebagai aktris. Mereka bilang bayarannya lebih tinggi dari yang kuterima sekarang.”
Richard mengerutkan dahinya, merenung kemudian bertanya, “benarkah?”
“Ya, disana orang-orang suka menghabiskan uang mereka untuk menyaksikan sebuah pertunjukkan. Kota hiburan, mereka menyebutnya begitu.”
“Benar.”
“Kau pernah pergi kesana?”
“Aku pernah berlabuh di dermaganya, hanya sebentar untuk urusan pekerjaan.”
“Apa kau menemui wanita dengan dress hitam di dekat sana?”
“Tidak, memangnya kenapa?”
“Ada lagenda kuno yang mengatakan kalau melihat wanita dengan dress hitam di kota itu akan mendatangkan nasib buruk.”
“Ya?”
“Ya.”
“Kau percaya itu?”
Alda mengibaskan satu tangannya dengan tidak acuh. Matanya masih menatap ke arah kota yang sama. “Tentu saja tidak! Cerita-cerita seperti itu sangat konyol.”
“Ya, aku setuju padamu.”
Keheningan sejenak merayap. Alda masih menatap keluar jendela ketika Richard bertanya, “kemana kau berencana pergi?”
Kini wanita itu berbalik menatapnya dan berkata, “kemana kau berencana membawaku pergi?”
Richard menelan liur selagi menatap ke sekelilingnya. orang- orang yang sebelumnya mengiri kursi-kursi kosong di gerbong itu, kini perlahan menghilang satu persatu, menyisakan kekosongan di dalam sana.
“Kau sungguh-sungguh ingin pergi bersamaku?”
“Ya, Richard! Kau pikir aku hanya bercanda?”
“Tidak, Alda, tapi dengarkan ini dulu. Kupikir kau perlu tahu apa dengan apa kau terlibat.”
Kini wanita itu menampilkan seret gigi putihnya yang rata dan menggoda Richard dengan bertanya, “dengan apa? Seorang penjahat bermuka dua?”
“Tidak, ini serius. Aku tidak punya banyak uang..”
Dengan kedua alis bertaut, Alda menimpali, “tapi kau punya kapal, kan?”
“Itu hanya sebuah kapal tua yang hampir rusak. Itu tidak ada apa-apanya. Kalau dijual itu tidak akan cukup untuk membeli rumah, perhiasan, pakain-pakaian bagus.. Uangnya hanya akan bertahan dalam hitungan bulan.”
“Apa kau benar-benar berpikir kalau aku begitu mempermasalahkan uang disini?”
“Tidak, aku yakin tidak. Kau sudah memiliki semua itu. Tapi kehidupanmu mungkin akan berbeda jika kau ikut bersamaku.”
“Oh ya? Jadi sekarang kau berusaha untuk meramal masa depanku?”
“Tidak, aku hanya berusaha untuk bersikap rasional. Jika kita pergi, apa rencana kita?”
Ada kesungguhan dalam tatapan Richard yang membuat perut Alda melilit. Wajahnya memerah dan dahinya berkeringat. Meskipun keyakinannya mengatakan bahwa Richard mencintai Alda sama besarnya seperti Alda mencintai laki-laki itu, tetap saja Alda merasa perlu untuk mendengar pengakuan Richard. Dengan tangan bergetar yang bersembunyi di bawah meja, Alda memberanikan diri untuk bertanya, “apa kau mencintaiku Richard?”
Richard tidak butuh waktu lama untuk menjawab, “ya.”
“Maka berhentilah mengkhawatirkan segalanya! Aku bisa mencari pekerjaan untuk membantumu, aku punya tabungan yang bisa kita gunakan untuk membeli rumah, atau jika kau mau, kita bisa membeli kapal-kapal baru dan kau bisa memanfaatkannya untuk berbisnis. Kita mulai segalanya dari awal. Bagaimana menurutmu? Aku ingin hidup bersamamu, Richard. Aku bersungguh-sungguh tentang itu.”
“Aku tidak punya keluarga, aku tidak punya gelar..”
“Aku tidak peduli!” kilah Alda dengan cepat.
“Kau mungkin akan membenciku suatu hari nanti karena aku terlalu sering berlayar..”
“Kita akan lihat, tapi yang pertama..” Alda mengangkat kedua tangan yang sedari tadi disembunyikannya di kolong meja, kemudian meletakkannya di atas punggung tangan Richard. “.. bawa aku bersamamu, Richard!”
Richard tidak menjawab, tapi sudut bibirnya perlahan mulai terangkat. Ia mengulas senyum kecil selagi menangkup tangan Alda dan mengusapnya pelan. Melalui sepasang mata gelap milik Alda yang tampak berkilat itu, Richard melihat harapan dan kesedihan yang berkumpul disana. Meskipun kelihatannya Alda merupakan sosok yang suka bertindak impulsif, Richard lebih meyakini bahwa ada sesuatu yang mendorong Alda untuk mengambil keputusan gegabah itu, hanya saja ia tidak tahu jawabannya. Jauh di lubuk hatinya Richard tahu bahwa Alda tidak akan mengatakan alasannya saat itu juga. Namun, apakah itu penting? Entahlah. Segalanya tampak kabur saat itu dan satu-satunya yang terlihat hanyalah Alda.
“Baiklah,” putus Richard. “Kita pergi.”