Bab 12

2310 Words
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1998 Pikir Karen ada cara terbaik untuk menghabiskan waktu kosong seperti membaca buku atau menata kebunnya. Jesse lebih senang berkeliaran di sekitar kota, bertemu orang-orang baru dan mengobrol panjang. Terkadang dalam satu kesempatan ketika mereka memutuskan untuk makan di luar, laki-laki itu seringnya hanyut dalam percakapan bersama orang-orang yang dikenalnya. Sementara Karen punya desakan untuk kembali ke rumah secepatnya, menyikirkan keringat dari tubuhnya kemudian tenggelam dalam lautan buku-buku tebal di ruang bacanya, Jesse justru terlibat dalam percakapan panjang bersama teman yang ditemuinya secara tidak sengaja. Pada hari spesial tertentu, ketika Karen pulang lebih awal dari tempat kerjanya demi mendapat kesempatan waktu untuk duduk di atas meja makan, memusatkan seluruh perhatiannya pada laki-laki itu dan membicarakan bagaimana kehidupan mereka bergerak, Jesse justru merusak momen itu dengan pulang larut malam. Makanan yang telah disiapkan Karen sudah mendingin, lampu-lampu sudah dimatikan, perapian sudah menyala, dan Karen sudah siap untuk pergi tidur. Akhirnya mereka melewatkan satu lagi kesempatan untuk mendapat momen kebersamaan yang intim. Hal itu sudah terjadi selama tiga tahun terakhir, ketika penjualan naskah Jesse secara tiba-tiba melesat tinggi dan dengan begitu editor yang mengurus semua hal terkait naskah itu, Harry, mulai menyusun jadwal tur yang padat untuk Jesse. Karen masih ingat hari itu. Ia mengantar Jesse ke bandara untuk tur bukunya. Myra sedang tidur di kursi belakang mobil, sementara Jesse kelihatannya begitu antusias. Karen ikut senang untuk laki-laki itu. Ia memastikan semua yang dibutuhkan Jesse sudah tersedia. Karen sendiri yang memasukkan pakaian dan obat-obatan ke dalam tas Jesse - mengingat laki-laki itu punya riwayat asma. Jesse akan pergi selama dua minggu. Laki-laki itu berjanji akan menghubunginya dan pulang dengan cepat. Awalnya Karen sama sekali tidak keberatan. Gagasan untuk mengurus putrinya seorang diri sementara ia masih harus membagi waktu untuk urusan pribadi dan pekerjaannya di galeri, diredam oleh kebahagiaan akan keberhasilan Jesse. Tapi kemudian ia sadar bahwa memikirkannya saja jauh lebih mudah ketimbang melakukannya. Minggu pertama setelah kepergian Jesse, Karen yang tidak terbiasa menjaga Myra sendirian, merasa benar-benar kelelahan. Biasanya Karen akan berbagi tugas dengan Jesse untuk melakukan pekerjaan itu. Putrinya masih berusia tiga tahun kala itu, sangat aktif dalam membuat kekacauan di dalam rumah. Akhirnya Karen memutuskan untuk bekerja di rumah sepanjang minggu. Tiba ketika hari dimana Jesse seharusnya kembali dari tur bukunya, Karen sudah tidak sabar untuk menyambut laki-laki itu, tapi kemudian Jesse menghubunginya dan memberitahu bahwa tur itu diperpanjang karena ada beberapa hal yang ditunda. Karen merasa kecewa, tapi ia meredamnya. Beberapa bulan kemudian, tidak lama setelah tur buku yang pertama, Jesse kembali meninggalkan Karen - lagi-lagi untuk urusan pekerjaan. Pikir Karen hal itu tidak akan berlangsung selamanya, tapi semakin hari ketika nama Jesse sebagai penulis fiksi kian melejit, semakin Karen merasa jauh dari laki-laki itu. Tiba-tiba Jesse berubah menjadi laki-laki yang tidak pernah dikenalnya. Tidak hanya sekali mereka melewatkan rutinitas pagi mereka. Makan malam bersama di atas meja menjadi suatu hal yang jarang terjadi. Biasanya Jesse selalu menjemputnya di tempat kerja, kini Karen harus mengendarai mobil sendiri ketika pergi dan kembali ke rumah. Ada begitu banyak perubahan yang terjadi dalam hidup mereka - lebih banyak dari yang dapat diterima. Pada tahun-tahun pertama mereka menikah, Karen dan Jesse hanya mampu menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Mereka menetap disana selama berbulan-bulan selagi keduanya sama-sama bekerja untuk memperbaiki kehidupan mereka. Segalanya berjalan lancar, karier Karen bagus, Jesse belum menjadi penulis terkenal, tapi pekerjaannya mengalir begitu saja. Mereka mendapat penghasilan lain dari bisnis kecil yang mereka jalankan bersama. Kemudian Karen mengandung bayi pertamanya dan mereka harus menghentikan bisnis kecil mereka hanya agar Karen mendapat lebih banyak waktu untuk istiharat. Pada tahun pertama setelah Myra lahir, mereka akhirnya mampu menyewa rumah yang layak dimana tempatnya cukup jauh dari kerumunan. Meskipun rumahnya tidak cukup besar, struktur bangunannya terbuat dari kayu-kayu yang sudah cukup tua dan hanya ada satu ruang tidur yang harus mereka bagi bersama-sama, tapi mereka cukup bahagia tinggal disana. Satu hal yang baik tentang rumah itu adalah kebunnya yang luas dan pemandangan langsung ke arah danau. Di seberang, terdapat jalur kereta sehingga tiap malam mereka akan mendengar suara mesinnya yang berdesing keras, bergerak melewati rumah mereka. Karen suka terbangun tengah malam, berdiri di belakang jendela dan memandang ke arah cahaya keemasan dari lampu kereta itu. Suatu hari Jesse mendekatinya, merangkulkan lengannya ke seputar pinggang Karen selagi membisikkan sesuatu. “Tidak bisa tidur lagi?” katanya. Karen memejamkan mata saat merasakan nafas hangat laki-laki itu di atas tengkuknya. Ia sangat senang tiap kali Jesse memeluknya seperti itu. “Ya,” bisiknya pelan agar tidak membangunkan Myra. “Penjualan bukuku meningkat dan aku dapat bonus bulan ini. Kita akan mencari rumah baru.” “Tidak apa-apa, aku suka berada disini.” “Dengan suara berisik kereta setiap malam?” “Itu indah,” ledek Karen hingga Jesse tertawa lepas. Rumah di belakang rel itu menyimpan banyak memori yang indah. Tapi mereka harus meninggalkannya dan pindah ke rumah baru yang dibeli Jesse dari hasil penjualan bukunya. Rumah itu jauh lebih besar, memiliki banyak ruangan kosong, garasi, juga kebun yang luas, tapi setiap tempat terasa dingin. Dulu Karen sangat menginginkannya, sekarang tidak lagi. Jika ia diberi pilihan untuk menukar semua itu dengan momen kebersamaan mereka di dalam rumah kayu kecil, maka Karen tidak akan ragu untuk menukarnya. Namun kini semua itu hanya ada di kepalanya. Sementara ia tidak tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan Jesse. Penjelasan berubah menjadi tebakan-tebakan semu yang tidak berdasar. Tidak satupun di antara mereka yang bersedia untuk memulainya. “Apa yang sedang kau pikirkan?” pertanyaan Jesse segera membuyarkan lamunan Karen. Karen yang baru saja kembali pada momen itu cepat-cepat mengusap wajahnya kemudian menggeleng pelan dan berkata, “bukan apapun.” Laki-laki itu kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan secarik kertas yang masih tertutup rapat dari dalam sana. Seketika Karen menegakkan tubuhnya dengan kaku saat menatap surat itu. Tak lama kemudian Jesse menjelaskan, “Kate memberiku ini. Dia memintaku untuk membacanya di depanmu.” Karen tahu persis isi surat itu. Ia sendiri yang menulisnya. Pada sesi kedua terapi mereka, Kate meminta Karen secara pribadi menulis semua hal yang disukainya tentang Jesse. Terlepas dari ketidakharmonisan mereka beberapa hari terakhir, Kate meminta Karen untuk mengingat setiap aspek dalam diri Jesse yang membuat ia mencintai laki-laki itu. Karen tidak tahu maksud Kate memintanya untuk menulis itu, hingga dua hari lalu sebelum keberangkatan mereka Kate memberinya secarik surat lain yang masih di segel dan meminta Karen untuk membacanya di depan Jesse. Sekarang ia mengerti tujuan Kate memintanya menulis surat itu. Meskipun Karen tidak ingat persis dimana ia meletakkan surat yang diberikan Kate, melihat suratnya sendiri ada di tangan Jesse tiba-tiba membuat darah Karen mengalir deras. “Dia memberikannya padamu?” ulang Karen dengan tidak percaya. “Ya. Aku sama sekali belum membacanya. Aku melakukannya persis seperti yang diminta Kate dan kurasa dia juga memberikan surat yang kutulis padamu, bukan?” “Ya, dia memberikannya padaku.” “Kalau begitu kita bisa membuka dan membacanya bersama-sama disini.” “Aku lupa,” ucap Karen dengan cepat. Tiba-tiba Jesse bergeming. “Apa?” “Aku lupa dimana meletakkan surat itu.” “Kau.. lupa?” Jesse membeokan seolah-olah Karen sedang berusaha membodohinya. “Ya, aku lupa.” Bola mata Jesse berputar, kedua bahunya merosot dan laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke sekitar selagi berusaha mengatur nafasnya. “Serius Karen, kau lupa?” “Apa pentingnya? Itu konyol.” “Ya Tuhan!” “Apa?” “Apa kau menganggap ini dengan serius, Karen?” Karen merasakan wajahnya memerah dan rahangnya menjadi keras. “Apa maksudmu?” “Kau melupakan surat itu!” Jesse menegaskan. “Ya, lalu kenapa?” “Kupikir ini adalah salah satu tahapan penting yang tidak boleh dilewatkan.” “Tidak, kita bisa saja melupakannya. Itu tidak akan membawa perubahan apa-apa.” “Aku akan tetap membacanya. Suratmu.” Karen sempat tertegun, dan ketika ia menjulurkan tangan untuk merebut surat itu, Jesse dengan cepat mengakat lengannya, membawa surat itu jauh dari jangkauan Karen. “Jesse, berikan itu!” Laki-laki itu membuka segel surat alih-alih mendengarkan Karen. Karen mencoba merebutnya lagi, tapi kemudian Jesse menepis tangannya. “Jangan konyol!” desis Karen sembari menahan rasa malu. Kini ia mengedarkan pandangannya ke sekitar hanya untuk memastikan tidak ada seseorang yang menyadari keributan kecil mereka. Sementara Jesse tidak mengacuhkannya sama sekali. Perhatiannya sudah terpusat pada tulisan di dalam kertas itu. Pelan-pelan laki-laki itu membacanya dengan suara keras. “Apa yang kusuka darinya adalah..” “Jesse, hentikan! Ini konyol, kau tidak harus membacanya keras-keras.” Jesse tidak mengacuhkan Karen dan terus membaca. “Aku mencintainya karena dia adalah ayah yang hebat. Aku mencintainya karena dia selalu bangun lebih pagi dariku dan membuatkan kopi untukku. Aku mencintainya karena dia adalah pendengar yang baik sejak dulu. Ketika kami bertemu di satu sekolah yang sama, dia adalah sahabatku. Aku mencintainya karena dia tidak sama seperti laki-laki lain di sekolah. Dia tidak suka memilih pakaian bagus, dia memilih apa yang terasa nyaman untuknya. Dia tidak merokok - mungkin karena penyakit asmanya, tapi aku bersyukur karena dia tidak merokok. Aku mencintainya karena dia sangat pandai, kami tidak pernah merasa kesulitan untuk memahami pikiran satu sama lain. Aku mencintainya karena dia selalu menyemangatiku saat aku benar-benar terpuruk. Aku mencintainya karena dia adalah laki-laki yang berdiri di tengah hujan, menungguku, bahkan ketika aku mengusirnya. Aku mencintainya karena dia mengenalku begitu baik - mungkin lebih dari diriku sendiri. Terkadang dia menjadi begitu jeli untuk melihatnya. Aku mencintainya karena dia tidak pernah gagal membuatku tersenyum. Aku mencintainya karena sekacau apapun suasana hatiku, dia tidak pernah memprotes atas hal itu. Aku mencintainya karena dia adalah satu-satunya laki-laki yang kupikirkan sebelum aku tidur, dan ketika aku terbangun. Aku mencintainya karena dia adalah Jesse - laki-laki yang melamarku ketika aku benar-benar terpuruk, dan menyakinkanku kalau semuanya akan baik-baik saja. Dan aku percaya padanya. Aku hanya memercayainya begitu saja.” Isi surat berakhir, keheningan yang ganjil menyelimuti mereka bahkan di tengah suara berisik mesin kereta yang terus berdesing. Kini Jesse duduk diam mengamati surat itu, seolah sedang membacanya sekali lagi. Karen disisi lain beringsut di atas kursi dengan tidak nyaman. Tatapannya tidak fokus dan wajahnya sudah memerah. Meskipun amarahnya sudah teredam, keheningan yang ganjil itu tetap saja mengganggunya. Jesse kemudian melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku jaket. Kini matanya menatap lurus ke arah Karen, jari-jarinya menutupi mulut seolah laki-laki itu sedang menilai. Tindakan itu sekaligus membuat Karen semakin tidak nyaman di kursinya. “Apa?” “Kau tidak pernah mengatakan padaku semua itu,” ucap Jesse. “Sekarang tidak penting lagi.” “Itu penting untukku.” “Jesse, tolong..!” satu tangan Karen terangkat untuk menghentikan laki-laki itu. “Jangan pernah mengatakan sesuatu yang tidak kau maksudkan.” “Dan bagaimana kau tahu kalau aku tidak memaksudkannya?” “Sikapmu tidak mencerminkan ucapanmu.” “Beri aku satu contoh!” “Contoh?” “Ya.” “Itu tidak akan mengubah apa-apa..” “Berikan saja contohnya!” potong Jesse dengan kesal. Karen sempat bergeming, tapi melihat Jesse masih duduk disana, menunggunya untuk mengucapkan sesuatu membuat Karen akhirnya menyerah untuk bicara, “kau lupa anniversary terakhir kita.” Karen harus mengakui, meskipun enggan, ada satu kelegaan ganjil setelah ia mengakuinya. Jawaban itu sekaligus membuat Jesse duduk terpaku di atas kursinya. Kedua lengannya terangkat, jari-jarinya menyisir rambut gelap kecoklatannya yang mulai memanjang dan laki-laki itu mendesah pelan. “Itu..” Jesse membuka mulut untuk memecah keheningan, meskipun begitu, ucapannya terdengar ragu-ragu, seolah-olah laki-laki itu merasa kesulitan untuk menemukan kalimat yang tepat. “Aku benar-benar..” “Tidak apa-apa,” potong Karen. “Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa. Aku tahu kau sangat sibuk. Lagipula, itu sudah berlalu dan kukatakan kalau tidak ada yang penting tentang semua itu. Kenyataannya kita bisa melewati hari itu tanpa merasakan apa-apa.” “Seburuk itukah?” Hening. Karen menimbang, kemudian menggangguk pelan. “Ya, seburuk itu.” “Karen, aku minta maaf.” “Tidak! Kau yang memaksaku untuk mengatakannya, aku tidak menginginkannya, Jesse. Aku sudah melupakannya..” “Tidak, kau belum melupakannya.” “Bagaimana kau bisa begitu yakin? Kau tidak tahu apa yang kurasakan..” “Apa yang kau rasakan?” “Hari itu?” “Ya.” “Sebaiknya tidak kukatakan.” “Aku ingin mendengarnya, Karen. Apa yang kau rasakan?” Kereta bergerak melambat. Suara desingan mesinnya mulai hilang perlahan. Kemudian kereta berhenti di tengah rel. Orang-orang saling bertukar pandang dengan kebingungan sampai suara seorang petugas memberitahu mereka kalau kereta sedang menunggu jalur rel dikosongkan. Hal itu tidak hanya terjadi sekali, Karen sering menghadapinya setiap kali ia berpergian jauh menggunakan kereta sehingga ia tidak bertanya-tanya lagi. Sementara itu, Jesse masih menatapnya lurus. Kedua tangannya terlipat dengan rapi di atas meja. Kelihatannya laki-laki itu tidak akan menyerah sampai ia mendapatkan jawabannya. Hanya saja setiap kali ia menatap ke dalam mata Jesse, Karen akan merasa kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat. Jadi sembari mengalihkan pandangannya ke luar jendela, persis ke arah bukit-bukit tinggi di kejauhan, Karen membuka mulutnya untuk berkata, “Aku mengingat itu beberapa hari sebelumnya, tapi aku tidak mengatakannya padamu dan aku sengaja melakukannya karena.. aku ingin tahu apa kau akan mengingatnya juga. Kemudian, ketika hari itu tiba, paginya aku terbangun menatap ke dinding dan menunggu kau mengucapkan sesuatu. Tapi.. kau tidak mengucapkan apa-apa. Kau bangun pagi seperti biasanya, kau sedang menerima telepon di dapur ketika aku datang, kemudian sekitar pukul delapan kau pergi untuk membangunkan Myra. Aku sedang berdiri di dekat kebun. Aku melihatmu mondar-mandir di dalam rumah dan aku tahu ketika kau sudah mulai sibuk dengan pekerjaanmu. Aku tidak bekerja hari itu, dan aku berbohong padamu dengan mengatakan kalau kondisiku sedang tidak fit. Aku hanya ingin tahu apa yang benar-benar kurasakan. Kupikir aku kecewa, atau sedih, atau apapun. Tapi tidak. Yang kurasakan adalah sesuatu yang lain.. itu bukan kesedihan, atau kekecewaan – itu adalah rasa bingung. Aku kebingungan karena seharusnya tidak seperti itu. Itu kosong, Jesse. Aku tidak merasakan apa-apa lagi..” Hening, kemudian kereta kembali bergerak pelan di atas rel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD