Bab 11

1657 Words
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1958 Maryland, 1914 Apa yang terjadi setelah malam di pelabuhan adalah sesuatu yang tidak diduga-duga. Saat itu masih puluh enam. Langit fajar baru saja bergulung, menyisakan awan cerah dengan kebut tebal yang menyelimuti seisi kota. Richard bangun lebih pagi dari biasanya. Di pasar jalanan telah dipadati oleh orang-orang berlalu lalang. Beberapa diantara mereka sibuk mengangkut barang. Beberapa yang lain sudah berpakaian rapi: setelan jas, topi hitam, dan sepatu mengilap. Orang-orang itu siap untuk pergi bekerja. Suara lonceng sepeda terdengar nyaring ketika bergerak melewatinya. Bannya yang tipis menerjang genangan air kotor yang mengisi lubang di jalanan. Tanpa sengaja air itu menyiprat ke celana Richard. Tubuhnya tersentak mundur sampai ia secara tidak sengaja menabrak seorang wanita dengan dress putih di belakangnya. Wanita itu kini memelototi Richard sembari menggerutu, tapi ia tidak menghentikan langkahnya. Richard menatap ke sekeliling dan mencari-cari toko-toko yang menjual makanan siap saji. Namun pada waktu itu, hanya ada dua kedai di pinggir jalan yang sudah siap menerima pengunjung. Masing-masing dari kedai itu menjual roti dan minuman hangat. Merasa tidak punya pilihan, Richard akhirnya pergi kesana. Pintu sejumlah bangunan bertingkat masih ditutup rapat. Richard berjalan melewati pabrik roti yang baru saja beroperasi. Bau tepung dan mentega yang dipanggang di dalam oven bergerak keluar melewati cerobong pembuangan asap dan tercium tajam di hidungnya. Jalanan masih lembab karena hujan. Gang-gang sempit di antara dua bangunan tinggi tampak gelap dan kosong. Richard melihat seorang pria dengan topi hitam sedang berdiri mondar-mandir di depan gedung bertingkat. Pria itu sedang mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian asap mengepul keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Richard mengamati pria itu, wajahnya penuh dengan keriput, tubuhnya juga kurus, tapi dia berpakaian rapi. Tiba-tiba saja pria itu memandanginya. Richard balik memandangi pria itu sampai tidak memerhatikan jalanan di depannya. Kemudian, saat ia melangkah lebih jauh, ia menabrak seseorang. Tubuhnya kini tersentak. Richard menjulurkan tangan untuk menopang tubuh wanita yang ditabraknya itu agar tidak jatuh tersungkur di atas aspal. Sepasang sepatu berhak warna merah yang dikenakan wanita itu menginjaknya, tapi Richard menahan protes itu di ujung lidah sementara kakinya gemetar kesakitan. “Maaf.. maaf!” katanya. Kemudian ketika menatap wajah di balik topi hitam itu, Richard langsung mengenalinya. Itu adalah Alda, sang aktris yang berpakaian rapi dan bergerak tergesa-gesa menuju gedung di depannya. Alda sempat menatapnya sekilas, tapi tidak berlama-lama sebelum wanita itu bergegas menuju bangunan di depan sana. Sementara Richard berdiri diam mengamatinya dari belakang. Baru disadarinya kalau pria di depan bangunan itu tidak sedang menatap Richard melainkan Alda. Kini tangan pria itu terjulur untuk menyambut Alda. Dalam satu kesempatan singkat, Alda kembali menatap Richard dari atas bahunya, kemudian sang aktris menjulurkan lengannya untuk menyambut pria bertopi hitam itu. Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam bangunan bersama-sama. Richard tidak segera pergi darisana. Ia masih menatap pintu bangunan yang sudah tertutup rapat itu sembari bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Alda disana. Selepas menyantap makanannya di kedai, Richard seharusnya pergi ke pelabuhan, tapi ia malah berdiri di ujung jalan sembari mengamati barisan antrean pengunjung yang hendak masuk ke bangunan bertingkat tepat dimana pagi tadi ia melihat Alda masuk ke dalam sana. Sementara hari sudah semakin siang, cahaya mataharinya yang memantul di tembok-tembok bangunan tinggi, memukul jalanan beaspal. Asap tebal kendaraan mengepul di udara, sekilas mengaburkan pandangannya. Jalanan kian padat, seisi kota semakin riuh. Setidaknya Richard sudah berdiri disana selama hampir satu jam, mengisap putung rokoknya dalam-dalam kemudian mengepulkan asapnya. Karena penasaran Richard akhirnya memutuskan untuk mendekati bangunan itu, bergabung ke dalam barisan antrean untuk masuk ke dalam sana. Di dalam, puluhan orang sedang berkerumun di dekat tangga. Seorang pembicara sedang memberitahu mereka tentang pertunjukkan teater mendatang. Di tengah-tengah mereka muncul wajah tiga aktris yang sedang tersenyum lebar. Alda merupakan salah satu di antara mereka. Gadis itu mengedarkan tatapannya ke sekeliling lingkaran, tampaknya kebingungan. Richard bisa melihatnya dari jauh. Ketika Richard akhirnya sampai di tengah-tengah kerumunan, Alda sempat menatapnya, tapi ia hanyalah satu diantara puluhan laki-laki di dalam ruangan yang sedang mengamati wanita itu. Bagi Alda, Richard bukanlah sesuatu yang spesial. Meskipun begitu, Richard masih suka mengamatinya, garis-garis kerutan tipis di atas dahinya, dan juga tatapannya yang sendu. Meskipun senyumannya lebar, tampak jelas kalau wanita itu berusaha meredam kesedihannya, dan setiap detiknya emosi itu menjadi semakin kentara hingga pada satu titik ketika Alda tidak dapat membendungnya lagi, Richard melihat wanita itu berpaling meninggalkan kerumunan dan pergi ke ruang ganti. Richard sedang berdiri di balkon, menikmati satu putung rokok lainnya dan angin yang berembus kencang disana ketika Alda secara tak terduga muncul dari balik pintu kayu itu sendirian. Tiba-tiba, Richard menjadi tegang. Pemandangan keriuhan kota dari atas sana sudah tidak lagi menarik perhatiannya. Yang dilihatnya saat itu hanyalah Alda, dan sepasang matanya yang sembab. Sang aktris panggung yang dielu-elukan kemudian tersenyum lemah ke arahnya. Alda berjalan mendekati tepi balkon untuk memandang ke bawah sana. Ia membiarkan angin menyapu kulit wajah dan rambutnya yang pucat. Sementara itu kedua matanya tampak kosong. Richard menunggu sampai ketegangan mencair sebelum ia menjulurkan putung rokok itu ke arah Alda. Wanita itu sempat memandanginya, tapi kemudian menggeleng pelan. “Wanita terhormat tidak merokok,” katanya dengan aksen khas selatan yang mengejutkan Richard. “Kau berasal dari Selatan?” “Illinois,” ucap Alda untuk menanggapi Richard. Alda tertegun, kemudian balik bertanya, “kau berasal dari mana?” “Aku tidak tahu.” Wanita itu mengangkat satu alisnya. “Aku tidak tahu dimana tepatnya aku dilahirkan. Sejak kecil aku suka berpindah-pindah.” “Itu menarik, beritahu aku! Mengapa kau berpindah-pindah?” “Orangtua biologisku meninggalkanku di perternakan hingga aku ditemukan oleh pasangan petani tua yang meninggal ketika aku masih berusia dua tahun. Seseorang kemudian membawaku ke panti asuhan, tapi aku tidak lama berada disana karena seseorang yang mengaku sebagai pamanku datang untuk membawaku pergi dan tinggal bersamanya. Sayangnya dia seorang pecandu dan dia ditangkap karena melakukan aksi pencurian di tempat umum. Aku akhirnya pindah ke panti asuhan lain dan menetap disana selama hampir lima tahun, tapi aku tidak begitu suka tinggal disana. Pengurusnya sangat tidak adil dan dia suka berteriak di depan wajahku, jadi kuputuskan untuk kabur dan memulai petualanganku menyusuri kota-kota. Sejak remaja aku tidak suka menetap lebih lama dari satu tahun di suatu tempat. Aku sering pergi berlayar dan mengunjungi kota-kota baru, bertemu orang-orang baru. Tidak ada rumah - tidak ada keluarga. Jadi jika kau bertanya darimana aku berasal, jawabannya aku tidak tahu. Begitu banyak tempat dari yang bisa kuingat, dan semua tempat itu adalah bagian dari diriku.” Kini Alda berdiri melongo memandangi Richard. Kedua matanya membeliak, bibirnya terbuka. Kemudian ketika wanita itu tidak kunjung bergerak, Ricard tersenyum lebar dan memecahkan keterkejutannya dengan berkata, “hanya bercanda! Aku berasal dari perternakan kecil di Texas.” “Oh, Ya Tuhan!” wanita itu tertawa menanggapi reaksinya sendiri. “Apa yang kau lakukan disini ketika ada puluhan orang di bawah sana yang membayar mahal untuk melihatmu?” tanya Richard kemudian. Alda menarik nafasnya kemudian mengangkat kedua bahu dan berkata, “aku tidak tahu.” “Kau tahu alasannya,” kilah Richard sembari menatap lurus ke sepasang mata biru itu. “Kau hanya tidak ingin mengatakannya.” “Ya.” “Jadi sebaiknya aku tidak bertanya.” Setelah keheningan yang panjang, Richard berdiri di tempatnya sembari mengamati kesibukan kota di bawah sana. Kemudian tiba-tiba saja wanita itu berbalik ke arahnya dan berkata, “jika kukatakan padamu yang sebenarnya, apa kau akan merahasiakannya?” “Aku tidak punya teman disini. Aku tidak membencimu. Tidak ada alasan untuk membeberkan rahasiamu.” “Well, aku tidak suka orang-orang itu.” “Apa maksudmu?” “Maksudku, mereka membayar untuk melihat gadis cantik yang tersenyum dan menggoyangkan tubuhnya di atas panggung. Mereka tidak membayar untuk melihatku.” “Apa yang menarik tentang gadis itu?” “Maksudmu tentangku?” “Aku membicarakan gadis yang kau sebut. Bukan gadis yang menampilkan wajahnya di atas panggung. Apa yang menarik tentang gadis itu?” Kini Alda tertegun. Kedua matanya berkedip lemah. “Aku tidak tahu. Dia tidak menarik - dia bahkan tidak memiliki apa-apa. Tapi dia ada. Dia selalu ada disana – duduk di sudut panggung sendirian. Diam ketika semua orang berteriak. Hanya ada dia yang sedang menatap dirinya, tapi sementara orang-orang bertepuk tangan, dia diabaikan. Tidak ada yang melihatnya. Hanya ada gadis cantik di atas panggung. Bagi orang-orang dia tidak pernah ada.” Richard menjentikkan putung rokok untuk terakhir kali. Abunya kini berterbangan. Kemudian, sembari memutar tubuhnya, ia telah memusatkan perhatian penuh pada wanita yang berdiri di hadapannya itu. Sementara Alda menegadahkan wajahnya dengan anggun. Kesedihan tersembunyi dengan baik di balik mata birunya yang cemerlang. Bibir merah tipisnya hendak tersenyum, tapi ragu-ragu, seolah ironi yang sedang dihadapinya saat itu mengatakan yang sebaliknya. Di balik ekspresi kerasnya, ada gadis polos yang mendambakan sesuatu. Pikirannya kemudian berkelana ke tempat yang jauh, sesekali singgah di atas panggung besar nan megah dengan belasan cahaya lampu yang menyorot persis ke wajahnya. Rahangnya ditarik lebar, gadis itu dipaksa untuk tersenyum, kemudian gendang telinganya seketika pecah begitu mendengar suara sorakan yang keras. Sorakan itu memberitahunya untuk menghibur mereka. Bagi gadis itu, ia tidak berbicara dengan siapapun melainkan cahaya lampu yang terlalu berisik. Tidak ada yang benar-benar nyata di atas sana. “Miss Alda?” sapa Richard untuk membuyarkan lamunannya. Tiba-tiba wajah Alda memerah. Kedua matanya berkilat geli. “Maafkan aku,” katanya. “Kenapa kau minta maaf?” “Aku tidak tahu, tapi aku benar-benar lupa dialogku.” Kini Richard tertawa. “Apa kau punya waktu luang untuk mengelilingi kota ini? Aku masih baru disini dan aku akan senang jika kau bersedia memberiku tur singkat.” “Kapan?” “Malam ini.” “Malam ini? Aku tidak bisa.” Richard mengerutkan dahinya, kemudian mengangguk pelan. Ketika ia hendak berbalik pergi, wanita itu justru menghentikannya dengan berkata, “besok aku bisa meluangkan waktu.” “Besok. Dimana aku bisa menjemputmu?” “Disini. Aku ada disini.” “Baiklah.” “Senang mengenalmu.. ??” “Richard.” “Richard,” Alda membeokan, kemudian tersenyum lebar. “Aku Alda.” “Aku tahu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD