Bab 13

1955 Words
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1918 “Ini adalah bagian paling menarik tentang akting,” ucap Mary dengan antusias. John mencondongkan tubuh di atas meja selagi mengamati wanita itu. Kemudian, sembari tersenyum lebar, Mary melanjutkan ucapannya, “untuk mendalami karakter yang kau bawakan, kau hanya perlu membayangkan dirimu dalam situasi itu.” “Beri aku contoh!” ucap John. “Apa yang ingin kau saksikan?” “Seorang wanita yang baru saja kehilangan cintanya karena sebuah insiden.” “Baik. Jadi dia akan duduk disini, bersama kerumunan orang di sekelilingnya, tapi pikirannya kosong. Satu-satunya yang dapat ia dengar adalah suara di kepalanya. Sementara orang-orang di sekelilingnya tidak terlihat. Ia benar-benar merasa kosong..” Mary menengadahkan wajah. Dadanya membusung ketika wanita itu menarik nafas kemudian mengembuskannya perlahan. Kini kedua matanya terarah lurus ke depan, tapi wanita itu tidak sedang menatap John atau penumpang lain di dalam gerbong, tatapan itu kosong. Pikiran wanita itu pergi jauh entah kemana. Dahinya mengernyit. Wanita itu tersenyum ganjil, kemudian matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar, dan kedua bahunya berguncang pelan ketika secara bertahap, air mata jatuh dari pelupuk matanya. John berdeham kemudian mengetuk meja dan berkata, “permisi, Bu!” Saat itu juga Mary menatapnya. Kesedihan masih hinggap disana dengan kentara. Wanita itu tampak sangat gelisah. “Apa kau baik-baik saja?” tanya John kemudian. “Ya, Pak. Aku baik-baik saja.” “Kau yakin? Kau menangis.” Sembari memasang ekspresi bingung, Mary mengangkat satu tangan untuk mengusap wajahnya. “Oh..” “Jika ada yang bisa kubantu, katakan saja!” Hening. Bola mata Mary berputar, wanita itu sedang mempertimbangkan ucapannya sebelum mengatakannya dengan tegas. “Suamiku meninggal, bisakah kau mengembalikannya?” John mengerutkan dahi, kedua tangannya kini terbuka di atas meja dan laki-laki itu beringsut mundur di kursi. “Well, Bu, kalau itu berada di luar kuasaku.” “Maka kau tidak bisa membantuku.” “Kurasa aku bisa..” “Bagaimana mungkin?” “Aku bisa melakukan hal lain..” “Seperti apa?” “Aku bisa mengusir rasa kehilanganmu dan menggantikan posisi suamimu.” Ekspresi Mary tiba-tiba mengeras. Kedua alisnya saling bertaut dan tanpa aba-aba wanita itu mengangkat tangannya untuk menampar John. “Aduh!” “Berani-beraninya kau bicara seperti itu! Kau sangat tidak sopan melamar wanita di hari ketika suaminya baru saja meninggal!” John tidak bereaksi, laki-laki itu masih menutupi wajahnya yang memerah akibat bekas tamparan. Kemudian Mary mengakhiri sandiwara itu dengan senyuman lebar. Kini kedua tangannya terjulur untuk menangkup wajah John. “Maafkan aku!” katanya. “Waw..” desis John. “Kau punya tamparan yang bagus.” “Yang tadi itu hanya sandiwara. Apakah sakit?” “Tidak,” John berbohong, kemudian cepat-cepat memperbaiki ucapannya. “Maksudku, ya.” Mary menanggapinya sembari terkikik pelan. “Bagaimana kau melakukannya?” “Melakukan apa?” “Peranmu barusan. Aku nyaris percaya kalau kau benar-benar wanita yang sedang berduka.” “Kau baru saja melihat bagian menariknya.” “Ya, tapi bagaimana kau melakukannya.” Dengan malu-malu, Mary melipat kedua tangannya di atas meja dan mulai berbisik. “Kurasa aku hanya perlu mengingat suatu kejadian, merasakannya, kemudian menumpahkan emosi itu ke permukaan.” Jawaban itu membuat John tertarik. Rasa sakit di rahangnya perlahan menghilang. Bekas tamparan itupun sudah memudar. “Mengingat?” tanya John. “Ya.” “Apa yang kau ingat?” “Kematian nenekku.” “Kami pernah begitu dekat saat aku masih kecil. Bisa dibilang aku lebih dekat dengannya ketimbang orangtuaku, ingat? Nenekku adalah orang yang sangat baik. Semua orang merasa sangat kehilangan atas kepergiannya. Begitupun aku. Aku diam sepanjang hari, tidak mengatakan apa-apa dan yang muncul di kepalaku hanyalah wajahnya, dan saat itulah aku menangis.” Cahaya putih terang menyusup masuk melewati celah jendela dan jatuh persis di atas meja putih yang membasahi kursi mereka. Ketika John sedang memandangi Mary yang hanyut dalam kenangan masa lalunya, seorang pelayan hadir di tengah-tengah mereka untuk menawarkan makanan. “Apa kalian ingin pesan sesuatu? Kami punya beberapa menu spesial untuk makan siang.” “Ya aku mau pesan,” ucap Mary kemudian melirik buku menu yang baru saja disodorkan oleh pelayan itu. Mary membacanya dengan cepat kemudian memutuskan, “bisa kau bawakan aku salmon dan teh lemon?” “Ya, tentu saja. Kau mau pedas atau saus manis untuk salmonnya?” “Yang mana yang paling enak menurutmu?” “Aku suka saus manis.” “Kalau begitu saus manis.” Pelayan itu mengangguk, kemudian berputar ke arah John. “Dan kau Pak?” John sejenak menimbang saat menatap daftar menu itu kemudian mengatakan, “bawakan aku menu yang sama.” Pelayan mencatat pesanan mereka dengan cepat kemudian bergerak pergi meninggalkan mereka. Begitu si pelayan sudah menghilang, John mencondongkan tubuhnya dan berbisik ke arah Mary, “mereka menaruh harga terlalu tinggi untuk masakan yang biasa-biasa saja.” Mary membeliakkan matanya, tampak seolah-olah baru saja mendengar suara petir di siang bolong. “Benarkah? Apa kau sudah pernah mencobanya?” “Aku naik kereta beberapakali.” “Kemana kau pergi?” “Aku bersama saudara-saudaraku suka berpergian. Terkadang kami pergi ke Texas.” “Apa yang kalian lakukan disana?” “Seseorang mempekerjakan kami untuk mengembala biri-biri di pegunungan. Pada musim dingin, biri-biri itu harus dijaga sementara pemiliknya berpergian ke luar kota. Kami akan menginap disana selama kurang lebih dua bulan, makan, membuat tenda, dan tinggal disana.” “Oh ya? Kedengarannya menarik..” John mengerutkan dahi, kemudian mengangkat kedua bahunya dengan tidak acuh. “Tidak juga. Kau tahu kan udara di pegunungan itu sangat dingin. Ditambah lagi itu adalah musim dingin. Kami bertiga: aku, Isaac, dan Ryan, hanya sanggup membuat tenda seadanya. Tendanya tidak cukup tebal untuk menghangatkan kami, dan terkadang itu tidak bisa menopang anginnya yang cukup kencang. Kami bergantian menjaga biri-biri itu. Setiap pagi kami harus mengawasi biri-biri itu berkeliaran di sekitar gunung. Sorenya kami harus mengembalikan mereka ke dalam kadang, dan kami juga harus memastikan jumlah mereka tidak berkurang.” “Kenapa? Apa biri-biri itu tersesat?” “Tersesat bisa saja, tapi itu jarang terjadi. Yang kami khawatirkan adalah serigala hutan. Kami berjaga siang dan malam hanya untuk memastikan biri-biri itu tidak dimangsa oleh serigala hutan. Lebih mudah untuk mengawasi biri-biri itu ketika langitnya masih cerah, yang sulit adalah ketika langitnya mulai gelap. Kami hanya mengandalkan api unggun untuk mengusir hewan buas dan kami haus berjaga secara bergantian.” “Tapi bagaimana kalian bertahan? Maksudku.. dua bulan bukan waktu yang sebentar.” “Kami membawa banyak persediaan makanan. Kebanyakan adalah jangung, kentang, dan kacang kedelai. Selama berminggu-minggu, kami bisa bertahan dengan semua makanan itu, tapi ada masanya ketika kami benar-benar membutuhkan daging untuk disantap. Ryan punya ide gila, dia memotong salah satu biri-biri itu untuk kami santap. Isaac sempat menolaknya, tapi Ryan mengatakan satu biri-biri tidak akan membawa masalah besar. Kita bisa mengatakan kalau biri-biri itu mati karena cacing pita di dalam perutnya. Masalah selesai. Akhirnya kami semua sepakat. Kami harus menghemat persediaan daging itu selama sebulan untuk dibagi tiga dan mengubur sisa-sisa tulang biri-biri itu di kaki gunung. Meskipun dagingnya tidak dimasak dengan tepat, entah bagaimana aku dan saudaraku benar-benar menikmatinya. Mungkin karena sudah lama kami tidak makan secara layak. Kami dapat tidur nyenyak beberapa hari setelahnya. Saat itu musim dinginnya semakin menggila, tapi setidaknya kami benar-benar dalam kondisi fit untuk menghadapinya. Suatu hari, aku kedapatan bagian berjaga malam. Aku seharusnya tidak menyepelekan kesempatan untuk tidur siang, tapi aku malah berjalan mengelilingi hutan untuk mengumpulkan kayu bakar. Akibatnya malam itu aku ketiduran. Dua ekor biri-biri hilang. Paginya, aku dan saudara-saudaraku menyebar ke penjuru hutan untuk menemukan biri-biri itu. Saat itu hari cukup cerah, kami seharusnya melepas semua biri-biri dari kandang dan menggiringnya ke ladang kosong, tapi karena insiden itu, semuanya jadi kacau. Ketika kami tidak juga menemukan dua biri-biri yang hilang itu, saudara-saudaraku mulai menyudutkanku. Mereka marah besar dan aku benar-benar lepas kendali dan mulai berteriak di depan wajah mereka. Hari itu aku merasa konyol dan kelelahan. Aku juga merasa takut jika pemilik itu menyalahkan kami semua. Maksudku.. satu atau dua biri-biri yang tewas akibat cacing pita masih masuk akal, tapi tiga? Itu terlalu banyak! Terutama karena kami juga tidak memiliki sisa bangkainya. Dan benar saja. Hari terakhir ketika tugas kami selesai, pemiliknya marah besar. Dia mengatakan kalau dia tidak akan menggaji kami atas hilangnya biri-biri itu, tapi Ryan tidak menerimanya begitu saja. Aku merasa bersalah karena jelas itu adalah kesalahanku, jadi kukatakan pada pemilik itu kalau aku lengah menjaga biri-biri yang hilang dan saudaraku tidak ada hubungannya dengan semua itu. Pemiliknya akhirnya memberi kami kelonggaran. Dia bersedia menggaji Isaac dan Ryan, tapi dia tidak menggajiku sepeserpun..” “Itu sangat tidak adil!” potong Mary dengan kesal. “Maksudku.. kau menghabiskan waktu dua bulan pegunungan itu dengan hanya memakan biji kedelai dan jagung, dan dia tidak memberimu apa-apa?” “Aku menghilangkan biri-birinya. Biri-biri itu senilai bayaran kami selama bekerja disana.” “Dan dua saudaramu tidak melakukan apa-apa? Mereka tidak mengatakan apa-apa?” “Dengar, Mary!” John mencondongkan tubuhnya. Suaranya menjadi rendah saat berkata, “itulah yang dilakukan seorang saudara. Jika aku berada di posisi mereka, aku juga akan membiarkan salah satu dari kita tidak mendapatkan bayaran ketimbang kami semua tidak dapat apa-apa. Lagipula kami menggunakan semua uang itu untuk membantu urusan ladang milik orangtua kami. Pada akhirnya, kami semua akan menikmati hasil jerih payah itu. Itu masalah apakah aku, Isaac, atau Ryan yang mendapatkan bayaran, selama kami semua bisa keluar dari situasi itu, kami akan membayar harganya.” “Ya, tapi tetap saja pemilik itu tidak adil.” “Jika memang begitu, apa yang akan kau katakan tentang rahasia kotor kami ketika mencuri salah satu biri-biri itu untuk dimakan?” Mary mengangkat kedua bahunya dengan tidak acuh. Bola matanya berputar selagi wanita itu berusaha menemukan alasan yang tepat. “Yah, itu berbeda. Kurasa aku bisa memakluminya. Siapa yang akan bertahan dalam cuaca seperti itu dengan makanan yang sama selama berbulan-bulan?” “Katakanlah kau adalah pemilik biri-biri itu, apa kau akan tetap memakluminya?” Mary tertegun, kemudian menyipitkan kedua matanya sembari mengatakan, “itu cerita yang berbeda.” “Itu yang kumaksud.” “Tapi aku tidak pernah melakukan hal segila itu sebelumnya. Maksudku.. menetap selama berbulan-bulan di pegunungan, dengan tenda dan persediaan makanan seadanya.” Untuk sejenak, John menatap Mary di atas kursinya. Jari-jarinya saling beraut. Dari tatapannya yang penuh penilaian, Mary tahu bahwa laki-laki itu tidak hanya sedang memikirkan sesuatu, tapi juga mempertimbangkan ucapannya. “Itu jelas. Kami – aku dan saudara-saudaraku, dibesarkan untuk melakukan semua hal itu..” “Tunggu, apa maksudmu?” “Maksudku.. kami dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Kami harus bekerja ekstra untuk memenuhi apa yang kami butuhkan. Sementara kau tidak dibesarkan untuk itu. Kau berasal dari keluarga yang berkecukupan. Kau tidak harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang benar-benar kau inginkan.” “Kau tidak tahu apa yang benar-benar kuinginkan, John..” ucap Mary dengan tegas. John kemudian sadar kalau ia baru saja menyentuh topik yang sangat sensitif. Dengan terburu-buru, John langsung memperbaiki ucapannya. “Maaf, aku tidak bermaksud untuk..” “Tidak, aku tidak tersinggung dengan ucapanmu! Aku benar-benar ingin membahasnya sekarang.” “Kurasa kau tidak ingin membahas itu sekarang.” “Berhenti berusaha menebak-nebak apa yang kupikir atau apa yang kurasakan.” Dua pemuda itu saling menatap satu sama lain. John menunggu Mary mengatakan sesuatu, tapi Mary justru diam di kursinya, memberi John kesempatan untuk berbicara. “Kau benar-benar ingin membahasnya?” “Ya.” “Baiklah. Percakapan ini resmi dibuka.” Mary tersenyum lebar, kedua matanya menyipit sedangkan bahunya yang tegang mulai mengendur. Tak lama kemudian seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Keduanya menyambut makanan itu dengan antusias. Selagi mengangkat gelas lemonnya, Mary mengatakan, “tapi pertama-tama ayo kita coba makanan mahal ini dulu.” John ikut mengangkat gelas, kemudian tersenyum sebelum menyesap minumannya dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD