BAB 10: Ke tidak Adilan Dunia Calla

2046 Words
PENGUMUMAN. Ada pergeseran bab sehingga isi bab berubah. kabar baiknya, bulan depan di perkirakan cerita ini akan update setiap hari dan kalian tidak perlu menunggu lagi. Terima kasih. *** “Kau bisa menghisap jariku kucing kecil, itu akan lebih menggairahkan.” Bisik Aric meniup telinga Calla. “Jika kau terus menggigitnya, aku semakin termotivasi untuk memeliharamu dengan sangat baik.” Napas Calla berubah cepat, gigitannya terlepas ketika Aric menarik tangannya dan semakin erat menggenggam kedua pergelangan tangan Calla hingga Calla sedikit meringis. Aric langsung meraup bibir  Calla dalam ciuman kuat tidak mempedulikan berontakan Calla yang berusaha mendorong dadanya. Mulut Calla yang terbuka hendak berteriak semakin memanjakan Aric untuk merasakan mulutnya lebih dalam lagi. Wajah Calla memerah berusaha untuk tidak terbuai pada sentuhan Aric yang tidak bisa di bohongi jika pria itu sangat pandai dalam dalam mengendalikan kesadaran perempuan. Calla sangat ingin menggigit lidah Aric yang kini menari di dalam mulut, Calla ingin menggigit lidah orang itu hingga putus, namun Hatinya tidak memiliki keberanian itu karena itu kejahatan. Mulut Calla semakin terbuka lebar, dalam satu gerakan dia menggigit bibir Aric dengan keras memberinya pelajaran. Napas Calla berubah cepat ketika ciuman Aric terlepas, bibirnya terasa kebas dan basah. Tangan Calla terkepal kuat menahan segumpal emosi yang membeludak di dadanya, genggaman tangan Aric pada pergelangan tangan Calla perlahan terlepas. Aric mengusap pipi Calla yang memerah karena malu dan marah kepada dirinya sendiri. Calla memaki dirinya sendiri atas apa yang telah dia lakukan barusan dengan Aric. Seharusnya Calla berani bertindak lebih keras untuk menolak. Namun pesona Aric Hemilton mengalihkan semua keberanian yang di milikinya. “Kau sangat agresif” puji Aric mengusap bibirnya yang kini berdarah karena gigitan Calla. “Aku benar-benar akan melaporkanmu pada atasan agar pria bajing4n me5um sepertimu tidak bisa masuk lagi kesini” geram Calla mencengkram lengan Aric untuk melepaskan pelukannya. “Lepaskan aku!.” Teriaknya marah. “Kenapa?” Aric meraih wajah Calla dan mencengkramnya, menariknya untuk semakin mendekat.  Gadis itu sangat menggoda, dia seperti kucing kecil yang bisa di ajaknya bermain sepanjang waktu. Entah kenapa Aric merasa senang mengganggunya dan melihat matanya yang polos itu gemetar ketakutan. “Kau seperti kelopak mawar di pagi hari kucing kecil, lihat mata indah itu. Sangat bagus dalam keadaan apapun.” Puji Aric bersilat lidah dengan handal. Tidak ada respon apapun dari Calla selain kemarahan yang semakin memuncak merasakan usapan tangan nakal Aric berpindah ke pahanya. Tangan Calla terkepal semakin kuat karena takut yang tidak terbendung, entah apa yang harus dia lakukan mengingat semua nasihat  Jerome yang meminta Calla untuk tidak berhubungan dengan seorang Aric Hemilton. Calla sudah berusaha melakukannya, Calla berusaha untuk tidak pernah berhubungan dengan Aric Hemilton. Namun pria itu seperti magnet yang terus menarik Calla untuk mendekat ke arahnya. Mata Calla berubah berkaca-kaca, tubuh mugilnya gemetar hingga setetes air mata terjatuh membasahi pipinya. Pelukan Aric merenggang, pria itu terlihat kaget dengan tangisan Calla. “Apa salahku?. Kenapa kau mengangguku?.” Tanya Calla dengan suara gemetar. “Jika aku telah berbuat salah kepadamu, aku minta maaf. Tolong jangan ganggu aku.”  “Salahmu?. Kau terlalu cantik dan menggodaku.” Tuduh Aric dengan tatapan intens. “Kalu begitu, bagaimana cara menghilangkan kecantikanmu kucing kecil?.” Dalam satu tarikan napas dalamnya Calla mendorong d4da Aric dengan kasar. Dengan cepat Calla berdiri dan berlari dengan sepatu terantuk-antuk ke lantai. Tangisan Calla sudah tidak terbendung lagi, derai air mata berjatuhan membasahi pipinya. Calla merasa lelah dan tidak tahan dengan ke tidak adilan yang datang kepadanya. “Kenapa kau mengganggunya?. Dia wanita baik-baik” komentar Sabrina yang sejak awal menonton dan memberikan Aric ruang untuk mengganggu Calla. Sangat mengheran melihat Aric Hemilton melakukan sesuatu yang konyol di depan umum. Meski Aric seorang Cassanova, dia bukanlah seorang pria pemaksa karena Aric selalu memikat wanita dari tutur kata dan sikap lembutnya. Untuk pertama kalinya Sabrina melihat Aric bersikap kasar dan memaksa pada soerang gadis. Sudut bibir Aric terangkat membentuk senyuman menawannya, “Dia menarik.” “Menarik karena baru untukmu. Berhenti bermain-main dengan orang yang tidak sepantasnya kau permainkan Aric.” Nasihat Sabrina memperingatkan. “Apa aku seperti sedang bermain-main?” tanya Aric dengan kepala mendongkak melihat Sabrina yang semakin mendekat dan akhirnya duduk di sampingnya. “Kau membuat gadis polos menangis dan membawanya ke jalan kehidupan yang salah. Kau akan mendapat karma yang buruk.” Aric tertawa mendengar nasihat Sabrina, tidak ada yang dia takutkan. Semua gadis yang di temuinya sama, lambat laun Calla juga mungkin akan seperti itu. Dia akan menjadi seperti seseorang yang selama ini Aric lihat. *** Calla duduk meringkuk memeluk lututnya sendiri, gadis itu menangis terisak di belakang bangunan bar meninggalkan pekerjaannya yang tinggal setengah jam lagi. Calla merasa lelah meski dia sudah bersabar, Calla berusaha untuk tidak mengeluh dengan keadaannya dalam keadaan apapun, namun Calla merasa tidak tahan dengan apapun yang menghancurkan mental dan merendahkan martabat dirinya. Calla tidak memiliki apapun di dunia ini selain ibu, Harry, keberanian dan kerja kerasnya. Namun orang-orang yang berada di atas dirinya selalu menginjak dirinya seakan Calla tidak pantas untuk mendapatkan ketenangan seperti mereka. Tangan Calla gemetar, dia masih memiliki banyak waktu yang harus di lewati di Andreas sebelum ke Belanda. Entah apa lagi ke depannya masalah yang harus Calla hadapi. Calla menerima diri bahwa dia di tolak oleh Alex ayahnya, kebencian Zea yang tidak berdasar dan kini Aric Hemilton semakin semana-mena memperlakukan dirinya dengan buruk. Calla marah, benci dan takut, namun mulutnya tidak mampu mengeluh. “Calla, kau kenapa?”  Tanya Kevin yang baru kembali, dia melihat tubuh Calla gemetar ketakutan. Kevin segera duduk di sampingnya dan mengusap bahu Calla. Calla terperanjat kaget karena sentuhan Kevin. Kevin langsung mengangkat tangannya terlihat merasa bersalah. “Aku tidak bermaksud menyentuhmu sembarangan. Maaf” uncap Kevin merasa tidak enak hati dengan reaksi waspada Calla. Calla tertunduk kembali  memeluk lutunya dan menangis kembali. “Calla, kau kenapa?. Apa yang terjadi?.” Bisik Kevin semakin di buat khawatir dengan tangisan Calla. “Calla, apa yang terjadi?.” Tanya Kevin lagi dan kini mulai memberanikan diri untuk mengusap bahu Calla. “Aku ingin mengundurkan diri” isak Calla mengusap derai air matanya. “Mengapa?. Ada yang menganggumu?.” Calla menggeleng mengusap air matanya lagi, dia ingin mengundurkan diri. Calla tidak ingin hanya karena masalah uang dia mengorbankan keselamatan dirinya sendiri. Calla bisa mencari pekerjaan lain yang lebih baik. “Bisakah aku memelukmu Kev?.” Tanpa bertanya lagi Kevin langsung bergeser mendekat dan memeluk Calla, dia paham bagaimana sulitnya bekerja di sebuah bar. Mungkin itu yang menjadi masalah Calla, gadis itu sangat polos dan baik. Mungkin itu yang membuat banyak orang mengganggunya. “Kau bisa menangis sepuasmu sekarang. Namun nanti jangan menangis lagi. Kita berhak mengeluh dan merasa lelah, namun jangan menghabiskan waktu kita untuk bersedih-sedih. Selama kita masih hidup di dunia ini, kita harus terus berdiri meski kaki kita terluka karena sempat terjatuh. Jika perlu merangkak daripada harus berdiam diri. Bahkan, seseorang yang tidak memiliki kaki sekalipun, mereka bisa berjalan dengan kedua tangannya dan mengangkat kepala mereka dengan terhormat karena bisa bertahan.” Tangisan Calla terpecah, pelukannya mengerat memeluk Kevin. Apa yang Kevin katakan kepadanya sangat berarti untuknya karena Calla tidak memiliki siapapun di Andreas. *** Calla terbangun dari tidurnya setelah menangis cukup lama, rupanya  Kevin sudah tidak ada di sampingnya dan kembali bekerja setelah menghibur dan menasihatinya. Calla melihat jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul dua belas lebih. Mata Calla berkedip dengan berat, ad sisa rasa perih dan kering karena terlalu banyak menangis. Calla bangkit dan kembali masuk ke dalam bar, suasana bar sedikit lenggang saat itu. Beberapa teman Calla sudah membersihkan beberapa meja yang mulai di tinggalkan. Calla menyempatkan diri berbicara dengan Avril dan meminta maaf, dengan pengertian Avril tidak banyak berbicara dan memahami masalah Calla. Setelah berbicara dengan Avril, Calla segera berganti pakaian dan kembali keluar untuk berpamitan pada teman-temannya yang kebagian bekerja tengah malam hingga menjelang pagi. Malam ini Calla ingin segera sampai ke apartementnya dan belajar, Calla sudah melupakan semua hal yang telah terjadi, hatinya sudah kembali tenang karena nasihat Kevin. Meski pekerjaan Kevin tidak begitu baik, namun pria itu adalah sosok teman yang sempurna. “Aku baik-baik saja” teriak Zea yang terlihat mabuk berat, sementara pria yang bersamanya masih bermain dengan beberapa wanita dan terlihat sama-sama mabuk berat, Zea berjalan terhuyung meninggalkan mejanya. Langkah Zea sempoyongan menyusuri dinding ruangan memaki siapapun yang di lihatnya karena sudah mabuk berat. “Calla, bantu wanita itu sampai ke depan.” Titah Jonathan ketika melihat Zea jatuh ke lantai tidak kuat dan tidak bisa untuk bangun lagi. Dengan hembusan napas beratnya Calla mengambil sedikit keberanian untuk mendekat, Calla segera mendekati Zea hendak membantunya. Meski Calla tidak begitu menyukai Zea, namun dia harus tetap bersikap professional. “Mari saya bantu” Calla membungkuk memperhatikan Zea yang mabuk berat hingga tidak begitu mengenali Calla, mungkin jika Zea masih mendapatkan kesadarannya dia tidak akan sudi dekat-dekat dengan Calla. “Tidak usah, aku baik-baik saja” jawab Zea seraya menepis tangan Calla dan mencari-cari hanpone di tasnya yang tengah berdering, Zea sangat mabuk berat hingga tidak bisa membedakan handpone dan barang yang lainnya. Dengan terpaksa Calla mengambil handpone Zea dan menerimanya. “Zea, kau dimana?. Ayah sudah dalam perjalanan” Wajah cantik Calla berubah pucat, pupil matanya sedikit gemetar karena yang menelpon Zea adalah Alex. “Nona Zea mabuk berat, cepatlah datang karena nona Zea membutuhkan bantuan sebelum membuat keributan yang lebih besar.” Ucapnya dengan cepat dan segera memutuskan sambungan teleponnya. Calla memasukan kembali barang-barang milik Zea dan segera membantunya berdiri. “Aku bisa sendiri” teriak Zea meracau dan menolak bantuan Calla. “Ya, Anda memang bisa sendiri” jawab Calla seraya tetap memapah Zea untuk berjalan keluar bar. Ketika mereka sampai di depan bar rupanya Alex sudah berada di depan bar tengah memarkirkan mobilnya. Alex segera keluar dari mobilnya dan langsung dapat melihat kedatangan kedua puterinya yang keluar dari bar, ekspresi pertama yang di tunjukan Alex melihat Calla yang membawa Zea adalah terkejut dan tidak percaya. Alex segera melangkah dengan cepat menghampiri puterinya, “Jadi kau yang membuat  Zea mabuk berat?” Tanyanya dengan tuduhan yang tidak berdasar kepada Calla. Calla hanya menggeleng ketika Alex menarik Zea dan memeluknya seakan takut bahwa Calla akan menyakiti Zea. Sangat menyakitkan untuk Calla mendengarkan tuduhan Alex terlontar begitu saja tanpa memikirkan perasaannya. “Lantas, kenapa kau ada disini?” tanya Alex sedikit tenang. Perhatian Alex tertuju pada wajah Calla yang masih memakai riasan. “Ada apa dengan penampilanmu?.” “Aku bekerja disini” jawab Calla dengan ragu. Rahang Alex mengeras terlihat marah saat mendengarnya, pelukannya sedikit lebih kuat pada Zea karena gadis itu bergerak meracau. “Jadi apa?. Wanita penghibur?.” Tanya Alex dengan waspada. Calla tercekat kaget mendengar lontaran pertanyaan Alex. “Pelayan.” “Pelayan bar tetap saja menjadi penghibur Calla.” “Setidaknya aku bekerja Ayah. Bukan meminta dan mengandalkan uang orang lain. Apalagi bersandar hidup.” Sentil Calla dengan  pupil mata yang bergetar, Calla menyindir Alex yang bergantung hidup pada isterinya sekarang, Sarah juga yang mengatur pekerjaan Alex. Bahkan segala aturan hidupnya Alex pun di atur isterinya karena Alex tidak memiliki kekuasan apapun selain memiliki isteri yang kaya raya. “Jaga bicaramu Calla.” Geram Alex marah. Calla tertunduk sedih mendengarnya.  Alex membuang napasnya dengan kasar dan melihat mata Calla yang bengkak bekas menangis. “Calla, jika kau merasa kekurangan uang, seharusnya kau bicara padaku bukan bekerja di tempat kotor seperti ini. Kau akan mencorengkan nama baik ayah dan ibu. Bagaimana jika ada orang yang tahu bahwa puteri ayah bekerja di bar. Tempat seperti ini tidak baik untuk siapapun.” Calla tertegun, tangan mungilnya mengepal, “Aku tidak kekurangan uang, Ayah. Aku hanya ingin mandiri. Aku sudah terbiasa mencari uang sendiri setelah kau pergi meninggalkan aku dan ibu.” Jawab Calla dengan suara bergetar. Jawaban Calla sedikit menyentil hati Alex, pria itu terdiam sesaat sebelum berbicara lagi dengan lebih kasar. Hati Alex mengakui kebenaran bahwa dia menelantarkan puterinya, namun mulut Alex tidak akan pernah berucap untuk mengakuinya.  “Baiklah” jawab Alex dengan mata yang lebih terbuka dan rahang mengetat, Alex kembali angkat suara  “Aku akan menghargainya, jika itu pilihanmu. Namun, jangan pernah memanggilku ayah lagi di depan umum jika kau sedang bekerja menjadi pelayan seperti ini. Aku tidak ingin Zea merasa malu memiliki kakak tiri yang bekerja sebagai pelayan, aku harap kau mengerti Calla. Ini untuk kebaikanmu juga agar kau tidak di ganggu ketenangan Zea.”   To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD