BAB 1 : Hidup Baru
Cuaca cerah hari itu terasa cukup menghangatkan, bunga-bunga liar tumbuh dengan baik di setiap penjuru tempat bersama rumput-rumput liar.
Matahari mulai bergerak menuju barat, sinar kekuningannya menembus beberapa celah dedaunan hijau yang tumbuh segar. Pohon-pohon tumbuh tinggi dengan baik di sebrang sebuah padang rumput yang luas.
Sebuah kota kecil bernama kota Andreas yang memiliki cukup banyak penduduk terlihat memiliki pemandangan indah dan tertata dengan baik dan rapi.
Tidak terlalu banyak gedung pencakar langit yang berdiri disana, namun segala akses yang sangat mudah ke penjuru manapun menjadi daya tarik kota. Tidak hanya itu, pusat perbelanjaan, rumah sakit yang berfasilitas lengkap, pemadam kebakaran dan beberapa rel kereta api berada di sepanjang pinggiran jalan dapat di lihat di setiap tempat.
Calla masih duduk di kursi rotan tua dan memandangi riak air kolam di depannya menunggu seseorang yang di tunggunya sejak beberapa menit yang lalu.
Sebuah koper dan tas masih berada di sisinya sejak awal. Calla tetap diam dan menunggu kehadiran orang yang di tunggunya. Sekilas Calla melihat ke sisi berharap seseorang memberikan segelas saja air minum yang bisa melepas dahaganya. Namun tidak ada satupun yang menawarkannya.
Calla menelan salivanya dengan sedikit kesulitan karena tenggorokannya menjadi kering.
“Calla” panggil pria paruh baya yang berdiri di ambang pintu. Pria paruh baya itu berpakaian dengan sangat bagus dan terlihat tersenyum kaku melihat kehadiran Calla.
Tangan Calla saling bertautan, wajah cantik itu bersemu kemerahan, rambutnya yang panjang kecokelatan tergerai menyapu hoddie hitam yang di kenakannya. Calla hanya memakai hoodie yang sudah mulai usang dengan jeans dan sepatu biasa, gadis tersenyum lebar begitu cantik begitu melihat seseorang yang sudah sangat lama tidak di temuinya.
Ekspresi senang di wajah Calla berbeda jauh dengan pria paruh baya yang kini perlahan mendekat ke arahnya. Pria itu terlihat waspada dan tidak begitu nyaman dengan penampilan Calla yang terlalu biasa.
“A.. ayah” panggil Calla terbata melihat pria yang sudah hampir sepuluh tahun tidak di temuinya.
“Kau mau apa kemari?”
Senyuman Calla memudar mendengarkan pertanyaan Alex yang sudah sepuluh tahun tidak di temuinya itu. Kedua orang tua Calla bercerai sejak dia masih kecil, sejak hak asuh jatuh ke tangan ibunya, Calla tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya karena Alex sibuk dengan kehidupan barunya.
Dan kini Calla sudah berusia delapan belas tahun. Calla mendapatkan beasiswa di sebuah sekolah elit di kota Andreas, karena ibunya yang bekerja di sebuah perusahaan pangan di kota lain. Ibunya membiarkan Calla pergi sendirian ke kota Andreas untuk sekolah dan menemui ayahnya agar bisa tinggal bersama selama Calla sekolah.
Calla yang masih memiliki harapan untuk memperbaiki hubungan dirinya bersama Alex rupanya harus menahan diri karena kehadirannya tidak begitu di sambut dengan baik oleh ayahnya.
“Itu.. aku mendapatkan beasiswa di Sky University. Aku ingin tinggal bersama Ayah selama aku sekolah.” Ucap Calla dengan ragu melihat Alex yang perlahan berjalan semakin mendekat. “Aku tidak akan lama tinggal bersama Ayah karena tujuanku adalah Belanda.” jelas Calla menenangkan perasaan Alex.
Alex melihat ke sekitar dan menunjukan kebingungannya karena kini dia memiliki keluarga baru dan seorang puteri seusia Calla. “Calla, kenapa kau datang mendadak?. Kenapa tidak menghubungiku dulu?. Kau tahu kan sekarang situasi kita sudah berbeda.”
Wajah cantik Calla berubah pias, bagaimana bisa Calla tidak datang mendadak, semenjak Alex pergi, Calla tidak pernah lagi bisa menghubungi ayahnya. Jangankan membiayai dan memberi nafkah kepada Calla sebagai anak, Alex sama sekali tidak pernah berbicara dengan Calla selama sepuluh tahun terakhir ini. Masih untung bila Calla masih mengingat wajahnya.
“Apakah ayah tidak senang?. Ayah tidak merindukanku?” Tanya Calla dengan kecewa.
Alex terdiam terlihat bingung dengan pertanyaan Calla.
“Siapa Alex?” Seorang wanita cantik berpakaian modis datang, wanita itu melihat Calla dengan sedikit terkejut hingga membuat heels yang di pakainya menciptakan suara kasar di lantai karena berhenti melangkah.
“Ayaahhh” suara manja seorang gadis berlari keluar langsung memeluk lengan Alex. “Dia siapa?” Tanya Zea setelah melihat koper dan tas yang di bawa oleh Calla dengan pandangan penuh tanya.
“Alex, kita bicara sekarang” putus Sarah dengan tegas, wanita itu langsung berbalik pergi.
“Ayah, siapa dia?.” Tanya Zea yang belum mendapatkan jawaban.
“Nanti kita bicara Zea” senyum Alex dengan nada akrab lembutnya.
“Baiklah, aku tunggu di halaman belakang. Cepatlah, aku tidak mau menunggu lama.” Jawab Zea seraya melepaskan pelukannya dan segera pergi meninggalkan Calla dan Alex berdua lagi.
“Tunggu sebentar” nada datar dan dingin Alex kepada Calla langsung membuat Calla terhenyak kaget hingga merasa sangat tidak nyaman karena Alex bersikap asing kepadanya, berbeda jauh saat bicara dengan Zea.
Napas Calla berubah menjadi tidak beraturan, tangannya yang berkeringat dingin di usaphkan pada celananya.
Bibir Calla menekan melihat bayangan Alex dan Sarah yang kini berbicara berdua bahkan keduanya terlihat tengah berdebat, Alex melihat Calla di balik kaca lalu berbicara lagi dengan Sarah tanpa menghentikan perdebatan di antara mereka.
Calla langsung bisa mengerti jika kedatangannya tidak di setujui oleh Sarah, tidak hanya sarah yang kini menjadi ibu tirinya yang tidak suka dengan kehadiran Calla. Alex juga begitu, ayahnya terlihat tidak begitu senang menyambut kedatangannya.
Tidak berapa lama Alex keluar seorang diri.
“Calla duduklah” kata Alex meraih tangan Calla dan menuntunnya untuk duduk. “Calla, Sarah tidak begitu menyetujui kedatanganmu kemari. Aku takut kau menjadi tertekan jika memaksakan diri untuk tinggal disini, ini” Alex mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang kertas. “Ambilah ini, cari apartemen untuk kau tinggal. Uang sewa akan ayah tanggung.”
Calla menarik tangannya dari genggaman Alex dan tersenyum memaksakan, tangannya menepis uang Alex yang sudah berhasil melukai hatinya. “Tidak apa-apa Ayah. Aku juga memiliki uang yang banyak, tidak perlu merepotkan. Mungkin sebaiknya aku pergi sekarang jika Nyonya Sarah tidak setuju. Aku bisa membayar apartemenku sendiri selama satu tahun” Calla langsung bangkit dan menarik koper, menggendong tasnya lagi segera pergi meninggalkan kediaman rumah Alex dengan kekecewaan.
***
Calla membuang napasnya dengan kasar membuang kesedihannya atas penolakan ayahnya atas kedatangannya, dia datang bukan karena kekurangan biaya hidup, Calla datang hanya berharap bisa mendapatkan perhatian ayahnya yang sudah lama tidak Calla dapatkan lagi.
Namun rupanya ayah Calla tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.
Calla pikir kehadirannya pada Alex akan membuat pria itu berubah karena sejak dulu sudah menelantarkannya, namun rupanya Alex masih ayah yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Alex adalah ayah yang tidak peduli dengan Calla.
Calla tidak menemukan sorot mata yang teduh penuh kerinduan dan cinta lagi di mata ayahnya, semuanya kosong tidak berarti apa-apa.
Bibir Calla menekuk kesal dan sedih menggenggam kunci apartemen yang sudah di sewanya, untuk kali ini dia harus hidup dengan baik agar ibunya tidak khawatir.
Ibu Calla adalah seorang manajer dalam perusahaan pangan keluarga Giedon, Calla sempat bekerja menjadi seorang pelayan pribadi Endrea Giedon selama setengah tahun dengan gaji lebih dari tiga ribu dollar setiap bulannya. Karena itu pula sekarang Calla mendapatkan beasiswa di sekolah elit karena Calla mengikuti ujian khusus anak-anak yang orang tuanya bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan Julian Giedon.
Calla sudah bekerja keras, dia tidak akan menganggap penolakan Alex menjadi penghalang mimpinya untuk menjadi sukses.
Calla sudah mendapatkan bantuan dari teman Harry agar bisa mendapatkan apartement secepatnya, dan kini Calla sudah mendapatkan apartementnya.
Biaya sewa seribu dua ratus dollar setiap bulannya, Calla mampu membiayai kehidupannya sendiri selama satu tahun dari tabungannya. Dia tidak akan mengambil apartemen murah dan menunjukan seberapa menyedihkan dirinya di hadapan ayahnya jika Calla pergi sendirian.
Calla mampu sendirian meski ayahya tidak mau menerimanya dan memilih takut dengan isteri barunya dan mengurus anak tirinya. Tidak masalah untuk Calla, dia baik-baik saja.
Dengan kuat Calla menyeret koper besar di tangannya, lantai marmer di pijaknya, Calla melangkah beberapa langkah menuju lift. Apartement yang di dapatkan sangat bagus dan kebetulan murah, Calla dapat melihatnya hanya melalui lantai yang dia pijak.
Calla akan menghubungi ibunya setelah memasuki apartemen barunya.
Dalam dua langkah lebar Calla memasuki lift. Peluh keringat membasahi pelipis Calla, gadis itu menarik kopernya lebih mendekat ketika melihat seorang pria seusianya masuk dan berdiri di sampingnya.
Bibir Calla menekan dan kakinya semakin bergeser hingga di berdiri pojokan lift menyadari jika pria yang berdiri sampingnya sangat tampan dan menawan hingga membuat Calla susah untuk berkedip dan tidak memperhatikannya.
Pria itu memiliki rambut berwarna tembaga, wajah tampannya terlihat dingin dengan tubuh tinggi semampai, pakaiannya yang casual di padukan dengan coat hitam membuatnya terlihat seperti seorang bintang yang di takdirkan memiliki wajah dan tubuh yang sempurna. Bahkan pakaian mewahnya yang rapi itu memperjelas kesempurnaan yang di milikinya karena bisa di pastikan bahwa pria itu memiliki banyak uang.
Calla tertunduk seketika ketika pria di sampingnya menengok dan merasakan tatapannya, gadis itu membuang mukanya yang memerah malu karena kedapatan memperhatikan.
Begitu pintu lift terbuka, Calla langsung menyeret kopernya keluar dengan cepat, namun hanya dalam beberapa langkah itu, sepatu Calla tersandung dengan kakinya sendiri dan membuatnya jatuh tersungkur ke lantai.
“Arrgth” ringis Calla merasakan lutunya seperti tersetrum karena benturan keras di lantai. Calla bergerak kecil melenturkan tubuhnya.
Sebuah tangan terulur di hadapan Calla, pria tampan yang satu lift dengannya kini berdiri di hadapannya, “Kau baik-baik saja?” Tanya Theodor dengan tubuh membungkuk menatap Calla yang berkaca-kaca melihat ke sekeliling, rasa sakit yang Calla rasakan tidak seberapa dengan rasa malunya.
Dengan perlahan tangan kecil Calla meraih tangan Theodor dan bangkit dalam tarikannya.
“Aku tidak apa-apa” cengirnya namun matanya berkaca-kaca karena kesakitan. “Terima kasih” ucap Calla seraya mengambil kopernya lagi dan menyeretnya dengan kaki sedikit tertatih-tatih.
“Dimana kamarmu?” Tanya Theodor menambil koper di tangan Calla dan membawanya lebih dulu.
“Nomer lima sembilan” jawab Calla dengan kaki yang bergerak cepat menyamai langkah Theodor, gadis itu tidak menyangka jika pria tampan yang tidak di kenalinya itu memiliki hati yang baik.
Tanpa sadar Calla tersenyum lebar dengan kagum dan sedikit berlari begitu Theodor meletakan koper Calla di depan pintunya.
“Terima kasih” ucap Calla dengan sedikit gugup melihat senyuman menawan pria di hadapannya hingga membuat Calla sedikit tidak fokus. “Namaku Calla.”
“Theodor” jawabnya menerima uluran tangan Calla. Pria itu memperhatikan bagaiman kegugupan Calla yang langsung menarik tangannya lagi.
“Baiklah, sampai jumpa” Calla langsung berbalik dan memasukan kartu apartemennya, pintu itu terbuka.
Kepala Calla bergerak ke sisi dan mendapati Theodor masih berdiri di tempatnya. Calla membungkuk memberi hormat kembali mengucapkan kata terima kasih dan terburu-buru memasuki kamarnya.
Theodor terkekeh melihat pintu kamar Calla tertutup dengan cepat, kepalanya menengadah melihat pintu di samping apartemen Calla yang bernomer enam puluh. “Well.. sekarang dia punya tetangga.” Gumammnya sebelum memutuskan menekan tombol di pintu nomer enam puluh itu.
To Be Continue...