BAB 16: Obati Aku

2269 Words
Satu persatu orang pergi keluar, para tetangga apartemen perlahan keluar nampak lega karena kali ini mereka tidak sampai mendengar baku tembak panjang untuk saling menyerang hingga harus menelpon tukang pembersih karena dinding apartement di hiasi banyak darah. Tidak ada yang bisa mereka lakukan meski tahu bahwa penyebabnya adalah keberadaan Aric Hemilton yang tinggal di gedung apartement. Bahkan polisi tidak begitu berani menangkap Aric Hemilton meski sudah beberapa kali terjadi keributan berdarah dalam dua tahun terakhir ini. Jika polisi menangkapnya, pengacara ayah Aric akan datang lebih dari sepuluh. Beberapa petinggi kepolisian hanya akan balik menyerang bawahan mereka di bandingkan dengan berusaha memenjarakan Aric Hemilton. Tidak hanya sampai disitu, ayah Aric akan menekan kepolisian dengan membuka banyak kasus kejahatan yang belum terungkap dengan bertujuan mempermalukan kepolisian. Beberapa oknum petinggi keamanan memilih bungkam karena memenjarakan Aric, sama dengan membawa nasib mereka ke sisi jurang karena semua kejahatan terselubung di kota Andreas berada di bawah pekerjaan ayah Aric Hemilton. Jika polisi saja tidak berani, apalagi warga sipil dan mahasiswa yang tinggal di apartement. Tidak hanya itu saja, bahkan gedung apartement yang kini mereka tinggali, beberapa puluh kamar apartement yang kosong itu sudah di beli Aric Hemilton. Secara keseluruhan, hampir setengah jumlah unit di gedung apartement itu miliki Aric Hemilton. Tidak ada yang bisa orang-orang lakukan selain menganggap semuanya keributan yang sering terjadi itu menjadi hal biasa. Jika mereka benci dengan keributan yang ada, mau tidak mau mereka yang harus pindah bukan mengusir Aric Hemilton. Begitu keadaan sudah membaik, semua penghuni apartement kembali melanjutkan aktivitas mereka dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Calla masih berdiri di tempatnya memperhatikan Aric yang sama-sama berdiri dengan tubuh terluka. Aric sempat pergi turun mengantarkan kepergian beberapa anak buahnya yang terluka harus di bawa ke rumah sakit. Kini Aric kembali dan melihat banyak bekas darah segar di lantai tengah di bersihkan. Calla yang masih berdiri di depan pintu dapat melihat kedua buku-buku tangan Aric terluka, lengannya memiliki sayatan itu terlihat panjang dan berdarah. Wajahnya lebam di hiasi oleh beberapa darah yang turun membasahi pipinya. Aric yang mengenakan kaus putih selengan itu terlihat di hiasi banyak bercak darah. Pria itu bersikap seolah semuanya bukan apa-apa, bahkan tidak ada ekspresi kesakitan apapun di wajahnya. Aric sudah terbiasa dengan perkelahian dan luka.  Hati Calla sedikit goyah melihatnya karena kasihan dan khawatir dengan keadaan Aric, dia adalah calon seorang Dokter, jiwa simpati dan empati sangat rentan untuknya meski Aric Hemilton pria yang menyebalkan, mes*m dan berbahaya. Bahkan Calla membencinya. Para polisi sudah kembali pergi, sebagian dari mereka berjaga-jaga dengan senjata lengkap di depan apartement karena takut akan kembali terjadi perkelahian susulan. “Kau tidak apa-apa?. Kau mau ke Dokter?” tanya Calla sedikit berbasa-basi tidak yakin dengan apa yang dia ucapkan. “Memangnya aku terlihat seperti baik-baik saja?” tanya Aric sambil tersenyum dengan bibir yang sedikit berdarah. Calla terdiam, Aric mengetahui bahwa dia sedang bebasa basi. “Lukamu terlihat cukup parah, segeralah ke Dokter.” Bisik Calla memberitahu. “Aku baik-baik saja.” Jawabnya segera memasuki apartemennya. “Tidak tahu terima kasih” decih Calla dengan sebal. Andai Calla tidak cepat-cepat menelpon polisi, mungkin pria itu sudah mati di keroyok preman. Calla kembali masuk ke dalam kamaranya dengan bantingan kesal di pintunya. “MENYEBALKAN!” Teriaknya marah, Calla sangat marah karena semenjak bertemu dengan seorang Aric Hemilton dia harus terus-terusan berada dalam situasi buruk. Entah apa yang ada di pikiran Aric, dia sangat suka membuat masalah. Masalah yang di buat Aric tidak hanya mengganggu dan merugikan orang lain, namun juga dirinya sendiri. Calla tertunduk menatap lantai apartementnya yang berwarna hitam. Calla terlihat gelisah karena  teringat Aric yang terluka cukup parah. Hati nuraninya lebih kuat dari kemarahannya,  Pada akhirnya Calla mengambil kotak P3K miliknya, dan mengambil beberapa obat-obatan yang di perlukan. Calla segera keluar apartementnya lagi dan dan melihat ke sekitar yang sepi tidak menunjukan akan ada orang yang melihat. Gadis itu berdiri di depan pintu kamar Aric dan terlihat ragu untuk menekan bel. “Aku bersikap baik karena aku calon Dokter. Jangan pernah berpikir aku melakukan ini karena aku peduli padamu. Kau pria menyebalkan. Aku berbuat baik padamu karena kau tetanggaku dan kita sesama mahluk hidup meski sikapmu terkadang seperti ibliis” ucapnya dengan ketus melihat pintu, membayangkan wajah tampan Aric Hemilton yang menyebalkan. Calla membungkuk meletakan semua obatnya di depan pintu, dia menekan bel beberapa kali dengan cepat, kaki kecilnya bergerak gesit berlari terburu-buru memasuki apartementnya lagi sebelum Aric membukakan pintu. *** Aroma masakan tercium harum lezat memenuhi ruangan, sangat jarang Calla makan di rumah dan memasak. Berkat makanan gratis, Calla bisa membeli bahan makanan yang sedikit lebih mahal dari biasanya. Calla memasukan beberapa adonan ke cetakan dan merapikannya. Di bukanya oven yang berada di belakangnya, Calla meletakan adonan itu ke dalam oven untuk di panggang beberapa menit. Calla mematikan kompornya karena sudah selesai memasak beberapa potong daging dan sayuran, Calla sengaja memasak sedikit lebih banyak karena untuk persediaan nanti malam. Sesaat Calla terdiam dan melihat ke arah pintu, Calla penasaran apakah Aric sudah mengambil obat yang dia berikan atau sebaliknya, membuangnya ke tempat sampah. “Sekarang aku tidak perlu memikirkan apapun lagi.” gumam Calla mencoba mengembalikan fokusnya lagi. “Aku harus belajar lagi sebelum makan dan pergi bekerja.” Kesibukan Calla yang bekerja, sekolah, dia tetap tidak pernah meninggalkan pelajarannya untuk mempertahankan nilainya. Calla juga tidak ingin berhenti belajar agar dia bisa mengimbangi perkembangan zaman yang semakin hari semakin berubah cepat. Ilmu membuat Calla merasa tercerahkan dan melewati kehidupan sedikit lebih ringan meski ada setumpuk beban harus dia pikul. Calla belajar keras dalam banyak hal  semenjak Calla di  tinggal ayahnya, dia selalu melatih dirinya sendiri untuk tidak mengeluh dan bekerja keras agar ibunya tidak bersedih. Calla selalu belajar untuk mandiri dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri, bila perlu dia yang menjadi tameng keselamatan ibunya. Calla terduduk di meja belajarnya dan mencatat banyak hal untuk mempersiapkan ujiannya. Calla tidak akan menyia-nyiakan kesempatannya untuk segera pergi ke Belanda. Tumpukan buku tebal kedokteran berdiri rapih di atas meja terdiri dari beberapa bahasa dengan reperensi dari beberapa negara. Tok tok tok Suara ketukan di jendela terdengar. “Hay.” “Astaga” Calla hampir terjatuh dari kursinya melihat keberadaan Aric di balkonnya, berdiri di depan pintu kaca. Sepertinya Aric sudah terbiasa melompati pagar tinggi dengan jarak yang jauh. Pria itu bertelanjang dad* memakai celana hitam menggantung sembarangan di pinggulnya. Tubuhnya basah dengan rambut yang berantakan masih basah. Aric sangat suka memamerkan kesempurnaan yang dia miliki di tubuhnya. Aric terlihat selesai mandi karena kini pria itu terlihat segar dan bersih meski luka-luka yang di milikinya terlihat kontras dengan sisa-sisa darah yang tersingkirkan oleh sabun. Punggung kokohnya terlihat terluka, tulang rusuk dan perutnya biru lebam, wajahnya meninggalkan banyak lebam dengan tangan yang terluka. Namun karena dia sudah mandi, luka-luka itu terlihat sudah di bersihkan. Aric memasuki kamar Calla tanpa permisi, dia meletakan semua obat yang di berikan gadis itu di atas meja belajarnya. “Kau yang memberikan ini kan?.” Senyum Aric terlihat senang karena kepedulian Calla. Calla tidak menjawab karena malu dan tidak ingin Aric beranggapan salah dengan kebaikannya. “Aku bukan calon Dokter, aku tidak tahu bagaiamana cara mengobati luka dan mana obat yang harus aku minum.” Ucap Aric yang kini langsung duduk di ujung meja. Aroma shampoo dan sabun tercium segar memenuhi penciuman Calla. Aric berhasil menggoda Calla dan membuat gadis itu kehilangan fokusnya karena pesona dan aroma pria itu yang kini semakin memenuhi penciuman Calla. Wajah Calla memerah hingga telinga dan lehernya. Calla tidak suka kebencian dan kemarahannya teralihkan oleh ketampanan Aric yang menggoda, apalagi sekarang pria itu bertelanjang dad*. Aric sedikit menyeringai karena menyadari reaksi malu Calla yang terus berusaha menundukan pandangannya. Perlahan pria itu tertunduk mendekatkan wajahnya dengan Calla hingga sisi pipi Aric menempel dengan pipi Calla. Diam-diam Calla meremas kuat buku di tangannya, gadis itu terlihat mematung. Tubuhnya diam membeku tidak memiliki kekuatan untuk bergerak dan menjauh. Wajah Calla terasa memanas dengan detak jantung yang berdegup cepat. Bibir Aric berada tepat di sisi telinga Calla. Pria itu semakin tersenyum lebar merasa terhibur dan semakin suka menggoda kepolosan Calla.  “Kenapa telingamu memerah?.” Bisik Aric dengan lembut. “Bukan urusanmu!.” “Sentuhlah aku, obati aku.” Pinta Aric lagi terdengar ambigu. Dalam satu tarikan napas dalamnya Calla mengumpulkan kekuatan untuk kembali berpikiran rasional. Begitu sudah mendapatkan kembali keberaniannya, Calla menjauhkan wajahnya dari Aric. “Kau bisa pergi ke Dokter” jawab Calla dengan kepala tertunduk kembali membaca bukunya. Aric menyeringai geli. “Oh, baiklah.” Aric segera beranjak dari duduknya dan membuang napasnya dengan berat. Pria itu menjatuhan tubuhnya ke sisi ranjang dan duduk disana. “Sepertinya orang di depanku tidak akan pernah menjadi dokter dan hanya akan menjadi pelay*n club karena tidak memiliki empati dan simpati, apalagi jiwa penyelamat.” “Jaga bicaramu. Aku sudah menolongmu dengan menelpon polisi. Aku juga sudah memberikanmu obat.” “Seorang Dokter biasanya memiliki hati yang lembut untuk menyembuhkan seseorang. Obat akan di berikan setelah di periksa. Kau tidak seperti itu.” Dengan kasar Calla menutup bukunya dan mengambil semua obat di atas meja, gadis itu memutar kursinya dan menatap Aric dengan sengit. Calla langsung duduk di samping Aric dan mengambil beberapa obat yang di perlukan dengan kasar karena kesal. “Kenapa dengan wajah cantik itu?. Kau akan mengobatiku atau membunuhku dengan tatapan kucing itu. Sepertinya aku juga akan di siram kopi olehmu jika kau tersinggung” ledek Aric menyindir keberanian Calla yang sudah menyiram kopi panas kepada Vanka. Bibir Calla menekan menahan diri untuk tidak berbicara dan membahas tentang Vanka, namun Calla harus meluruskan masalahnya agar tidak salah paham. “Dia menawarkan uang dan membayarku agar aku jauh darimu. Vanka ingin membeli harga diriku karena mengira kau dan aku dekat. Aku meminta lima milliar dollar, namun dia marah.  Aku tidak ingin dia kembali salah paham, karena itu, tolong, mulai saat ini berhentilah menggangguku, lakukan kehidupanmu seperti biasa, begitu pula dengaku.” Alih-alih merasa marah dengan apa yang di ucapkan Calla, Aric tersenyum lebar.  Calla mengambilkan salep dengan sebatang cotton buds. Calla mengoleskannya pada buku-buku jarinya. Aric menatap intens ekspresi wajah cantik Calla yang menekuk tampak kesal, pandangan Aric terjatuh melihat tangannya di genggam tangan mungil Calla yang mengobati buku-buku jarinya. Tubuh kokoh Aric sedikit merendah mengikis jaraknya dengan Calla semakin memperhatikan gadis itu lebih dekat. “Kau yang pertama.” Bisik Aric dengan serius. Kepala Calla terangkat, wajahnya bersemu kemerahan karena malu di tatap begitu intenst oleh Aric. Jarak wajah mereka terlalu dekat hingga ujung hidung Calla sedikit menyentuh ujung hidung Aric. Ini untuk pertama kalinya Calla memperhatikan wajah Aric dari jarak yang dekat dalam keadaan yang tidak begitu tertekan, pria itu terlalu tampan untuk di lihat terlalu lama. Bahkan luka dan lebam di wajahnya tidak membuatnya  ketampanannya berkurang. “A.. apa?” tanya Calla sedikit terbata. “Kau yang pertama menolakku. Tapi sayang, sepertinya aku malah jadi jatuh cinta padamu.”  “Aku tersanjung mendengarnya, namun aku tidak tertarik mendengarkan ucapan omong kosongmu.” Jawab Calla terlihat tidak terpengaruh sedikitpun oleh pengakuan Aric. Aric terkekeh geli mendengarnya, “Apa kau tahu, penolakan itu hanya akan semakin menantangku?.” Calla terdiam sejenak dan mengatur napasnya mencoba untuk tetap terlihat tenang dan menunjukan bagaimana tingginya derajatnya. Calla tidak ingin menjadi bahan permainan pria  yang tidak tahu bagaimana cara menghormati wanita. Kepala Calla kembali tertunduk, Calla melanjutkan mengobati lengan Aric. “Apa sebuah penolakan membuatmu seperti di tantang?.” Tanya Calla. “Bukankah cinta memang memang sesuatu yang harus di taklukan?.” Tanya balik Aric. “Jangan sembarangan mengucapkan bahwa kau jatuh cinta karena cinta berharga, sesuatu yang berharga tidak akan mudah di bagi dan di berikan kepada sembarangan orang. Cinta hanya di tunjukan dan di ucapkan kepada orang yang kau anggap istimewa karena cinta melebihi sebuah kasih sayang.” Balas Calla dengan serius. “Jangan karena aku berbeda dari wanita yang biasa kau kau temui. Lantas kau menjadikan aku sebagai tantangan untuk kau taklukan. Manusia bukanlah objek eksperimen emisionalmu.” Aric membungkam, tangan pria itu sedikit terkepal mendengarkan apa yang sudah Calla ucapkan kepadanya. Ada sebuah getaran hebat yang Aric rasakan saat mendengarnya, sudah sangat lama Aric tidak pernah mendengarkan arti dari sebuah perasaan manusia. Tangan Calla menekan luka Aric di bahunya hingga pria itu meringis perih, “Jangan pernah menggangguku. Kita hanya tetangga yang kebetulan satu sekolah, aku hanya ingin belajar dengan tenang.” Calla kembali menekan luka Aric. Dengan tangkas Aric menangkap tangan Calla dan menahannya, kepalanya sedikit mendekat menatap Calla lebih dekat. “Lembutlah sedikit, jika kau mengobatiku tanpa perasaan, aku bisa berdo’a yang tidak baik loh untuk calon dokter sepertimu.” Calla mendengus kesal mendengarnya, dia kembali bertindak sedikit lembut dan berpindah mengobati luka di wajah Aric. Cukup mendebarkan untuk Calla saat mengobati wajah Aric, gadis itu terus berusaha untuk tidak membuat kontak mata dengan Aric yang terus menerus menatap dirinya dengan intens. Aric membungkuk mendekatkan wajahnya kepada Calla agar gadis itu dengan mudah mengobatinya. “Hey, kau semakin cantik saat gugup. Aromamu bisa aku bedakan dari gadis siapapun” puji Aric meraih sehelai rambut Calla dan mengusapnya. “Jangan menyentuhku sembarangan, aku mohon. Aku diam dan tidak banyak bertindak karena kau memiliki kekutan besar, jika kau orang biasa. Mungkin aku akan menghajarmu atau melaporkanmu ke polisi” ucap Calla dengan tangan sedikit gemetar memberanikan diri berbicara. Memang Calla tidak berani banyak bertindak karena dia takut dengan nama keluarga Aric sebagai mafia besar. Calla tidak ingin mengambil risiko, apalagi sekarang dia sudah melihat bagaimana keberuntalannya Aric dalam berkelahi. Tubuh Aric semakin mencondong mendekat menyisakan jarak yang sedikit dengan wajah Calla dan menyentuh wajahnya gadis itu agar, perlahan wajah Calla terangkat dan mereka saling bertatapan. Napas Calla tertahan di dad*, tatapan lembut Aric menghipnotis dirinya. “Calla, Jadilah pacarku.” To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD