Aric dan Theodor berdiri saling berdampingan, kedua pria itu bersandar ke tembok menatap dinding yang di hiasi lukisan.
“Seharusnya kau lebih menahan diri dalam menghadapi Vanka.” Theodor angkat bicara.
Aric hanya membuang napasnya dengan berat mendengar apa yang sudah di katakan sahabatnya itu. “Bukankah dia semakin hari hanya menjadi beban saja?.” Tanya Aric dengan gamblang.
“Tutup mulutmu Aric.”
“Kau tidak merasakannya karena kau menyukainya. Namun, pikiran rasionalmu mengakuinya.”
Theodor langsung membungkam tidak dapat bicara karena hati kecilnya mengakuinya. Theodor terbebani dengan segala hal yang Vanka lakukan demi mengejar Aric.
Theodor menegakan tubuhnya begitu melihat dokter yang memeriksa Vanka datang. “Bagaimana keadaannya?.” Tanya Theodor.
“Nona Vanka baik-baik saja, Anda tidak perlu khawatir. Seperti biasa tubuhnya memang sangat lemah, tolong jaga dia agar tidak mengalami banyak tekanan. Pikiran dan hatinya tidak boleh memiliki beban. Untuk saat ini biarkan dia istirahat beberapa jam. Jika sudah sadar, berikan obat yang sudah saya sediakan di atas meja.” Kata sang dokter yang sudah memeriksa Vanka. “Jika ada sesuatu yang di perlukan, silahkan hubungi saya. Saya permisi.”
“Terima kasih Dokter. Mari saya antar Anda.” Theodor segera pergi meninggalkan Aric yang kini hanya diam bersandar pada dinding.
Aric mengusap belakang kepalanya dan melirik Vanka yang kini terbaring tidur di ranjangnya. Sejak dulu Vanka memang memiliki kondisi fisik yang lemah karena itu dia sering menjadi bahan bullyan.
Akibat pembullyan itu, dalam waktu beberapa tahun Vanka mengalami depresi yang membuat dia harus di tangani dengan serius hingga akhirnya bisa pulih.
Dulu, saat Aric masih baru mengenal Vanka, dia akan merasa simpati dengan tubuh Vanka yang sakit-sakitan. Namun setelah Aric dewasa rasa simpati itu hilang entah kemana, Aric merasa muak dengan kelemahan Vanka yang selalu menjadi senjata untuk menjerat dirinya di setiap kali Aric menolak sesuatu yang tidak ingin dia lakukan bersama Vanka.
“Jaga Vanka sampai malam.” Titah Theodor yang kini sudah kembali dengan cepat. Pria itu tidak dapat menyembunyikan rasa kesalnya kepada Aric karena dia sudah membuat Vanka pingsan lagi.
“Tidak bisa” tolak Aric dengan nada datarnya.
“Apa kau tidak menyesal sudah membuat dia pingsan?. Kau tidak dengar apa yang sudah dokter katakan tadi?.” Nada suara Theodor sedikit meninggi. Pria itu melangkah mendekat dan berdiri di depan Aric.
“Dokter Vanka selalu mengatakan hal yang sama setiap kali memeriksanya.”
“Aric!. Vanka sedang sakit, berhenti berbicara semaumu. Vanka tidak meminta apapun darimu selain perhatian, kau hanya perlu memperlakukan dia dengan baik.”
“Mengapa kau menyalahkan aku?. Sikap pengaturmu membuatku menjadi sedikit muak.” Protes Aric yang ikut meninggikan suaranya karena tuduhan kecil Theodor.
BUGH
Satu layangan pukulan keras memukul wajah Aric hingga wajah pria itu bergerak ke sisi. Aric mengusap pipinya yang terasa kebas karena tonjokan Theodor.
Theodor merangsek coat yang Aric gunakan dan mendorong tubuh Aric ke dinding. “Jaga bicaramu Aric, hilangkah sifat burukmu itu. Harusnya kau yang sadar bahwa kau yang memuakan.” Geram Theodor tidak mampu lagi mengontrol kemarahannya lagi bila itu menyangkut kesehatan Vanka.
Aric menepis tangan Theodor dan balas menghajarnya tanpa keraguan apapun.
Tubuh Theodor terhuyung ke belakang, bibirnya langsung di buat berdarah.
“Cinta benar-benar membutakanmu Theodor. Kau sangat naïf dan bodoh.” Hina Aric dengan nada yang penuh tekanan.
“Sialan Aric, kau mau kita bermusuhan hanya karena keegosianmu?. Vanka sahabat kita, dia tidak pantas mendapatkan perlakukan buruk meski kau tidak bisa menerima cintanya.”
“Kau bilang dia tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk?” Aric tertawa sumbang menatap Theodor dengan pandangan merendahkan. “Dia pingsan hanya karena aku menolak tegas kemauannya. Apa menurutmu itu perlakuan buruk?.”
Theodor menarik napasnya dalam-dalam namun tidak menjawab.
“Kau sangat menyedihkan Theodor. Kau marah aku memperlakukan Vanka dengan tegas. Namun kau menutup mata dan membiarkan Vanka memperlakukan buruk orang lain. Bahkan dia menawarkan uang kepada siapapun orang yang aku dekati. Dan itu pantas menurutmu?.” Teriak Aric kesal. “Buka matamu Theodor, semakin hari kau semakin bod*h hingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.”
Theodor terdiam sambil mengatur napasnya mencerna apa yang sudah Aric katakan kepadanya memang ada benarnya.
Aric segera membenarkan coat yang di kenakannya, “Katakan kepada Vanka. Jika dia terus pingsan hanya karena aku menolak apa yang dia mau, sebaiknya berhenti menjadi temanku. Berhenti juga ikut campur urusanku dan berhenti berhubungan denganku.”
Tangan Theodor terkepal kuat mendengarnya.
Perlahan Aric mendekat dan menepuk bahu Theodor. “Jika memang di masa lalu dia pernah merasakan bagaimana di bully, Vanka tidak akan mungkin membully orang lain di masa depan. Kau harus punya tanda tanya besar mengapa dulu dia perah di bully, mungkin karena sifat semena-menanya. Jika dia bisa bersikap semaunya kepada orang lain, orang lain juga memiliki hak untuk bersikap semaunya kepada dia, tidak ada toleransi apapun. Dan berhentilah menyangkut pautkan segala tindakannya dengan menjadikan aku sebagai alasan. Aku pria yang buruk Theodor, tapi aku sadar diri dan tahu, bahwa aku jahat dan buruk. Tidak dengan Vanka, dia tidak pernah sadar diri bahwa segala tindakan buruknya adalah perbuatan jahat.”
Kepala Theodor tertunduk, bahkan bibirnya membungkam membiarkan Aric pergi. Hati kecil Theodor mengakui bahwa apa yang di ucapkan oleh Aric benar adanya.
Selama ini Theodor menutup mata dan telinga karena dia mencintai Vanka hingga membenarkan apa yang di buat oleh wanita itu.
Tubuh Theodor berdiri menegak, pria itu melihat pelayan yang datang. “Jaga dia dengan baik. Aku akan pulang.” Kata Theodor terdengar seperti sebuah bisikan kecil.
Lili terlihat bingung karena tidak seperti biasanya Theodor meninggalkan Vanka yang tengah sakit.
“Baik Tuan.” Jawab Lili dengan sedikit anggukan kecilnya, wanita itu tertunduk melihat Theodor yang lewat pergi meninggalkan tempat.
Dengan gugup Lili membuka pintu kamar Vanka, wanita itu menelan salivanya dengan susah payah karena takut. Lili selalu menjadi sasaran kemarahan Vanka jika apa yang di rencakannya tidak berhasil.
Sementara itu, di dalam kamar, Vanka yang tengah terbaring mulai membuka matanya dan menatap langit-langit kamar dengan tangan terkepal kuat. Vanka merasa marah karena rencananya gagal, bahkan Theodor yang terbiasa menunggu dia kini pergi begitu saja.
***
Calla duduk termenung memeluk lututnya yang menekuk, gadis itu terdiam menatap kosong langit sore di antara pagar apartemennya. Calla sedang menikmati waktu senggangnya untuk berdiam diri sambil menikmati kopi.
Sore ini terasa cukup tenang, apalagi tetangganya Aric Hemilton terlihat sedang tidak ada di apartementnya, dengan begitu Calla bisa berdiam diri di balkon dalam waktu yang lama.
Suara deringan telepon masuk sedikit menyentak lamunan Calla, dengan malas Calla mengambilnya dan menerima panggilan dari Ibunya.
“Calla, bagaimana harimu?.” Tanya Merlin dengan penuh semangat.
“Aku baik” jawabnya dengan memaksakan untuk tetap terdengar senang dan bahagia.
Calla tidak ingin menambah beban pikiran ibunya, sudah cukup ibu Calla cemas karena Calla tinggal sendirian karena penolakan ayahnya, Calla tidak ingin menambah beban itu dengan menceritakan orang-orang yang mengganggu harinya.
“Calla.” Panggil Merlin lagi.
“Iya Bu.”
“Ada yang ingin ibu tanyakan kepadamu. Mungkin ini tidak terlalu menyenangkan untukmu, namun ibu butuh jawaban jujur darimu.” ucap Merlin dengan hati-hati tengah berantisipasi menjaga hati puteri satu-satunya.
Calla tersenyum samar mendengarnya, sangat luar biasa memiliki seorang ibu hebat seperti Merlin. Calla merasa teramat di hargai. “Katakan saja Ibu.”
“Jika Ibu menjalin hubungan lagi dengan serius bersama pria lain, apa kau akan marah dan tidak setuju?. Ibu merasa ibu sudah jatuh cinta kepada seseorang. Dia memikat hati ibu begitu dalam.”
Wajah cantik Calla berubah pias karena kaget, semenjak perceraian kedua orang tuanya. Ibu Calla tidak pernah menjalin hubungan apapun dengan pria lain demi menjaga perasaan Calla dan mengurus semua hutang-hutang yang bertumpuk, ibunya selalu sibuk bekerja dan berjuang memberikan kehidupan yang layak untuk Calla.
Setelah sekian lama ibu Calla menyendiri, rupanya kini ibunya mulai membuka hatinya untuk pria lain.
“Aku marah jika pria itu membuat ibu bersedih.” Jawab Calla dengan sedikit senyuman terlihat ikut senang karena akhirnya ibunya mulai bisa memikirkan kebahagiaan hatinya sendiri. “Ibu, jatuh cintalah sepuas Ibu, aku sangat senang mendengarnya. Namun, jika ibu menjalin hubungan yang serius, aku harus menyeleksinya, pria seperti apa yang layak untuk menjadi pendamping Ibu.”
“Ibu ingin mengenalnya lebih baik, jika hubungan kami berjalan baik, Ibu akan memperkenalkannya kepadamu sebelum kau berangkat ke Belanda. Dia memperlakukan Ibu dengan baik, dia membuat Ibu merasa pantas untuk di cintai lagi.”
Senyuman Calla melebar, sangat jarang mendengar cerita asmara ibunya. Dan kini Calla bisa merasakan bagaimana ibunya sedang sangat jatuh cinta.
“Aku menantikannya Bu. Aku selalu senang jika itu membuat Ibu bahagia.”
“Bagaimana hubunganmu dengan Harry?.”
“Kami baik-baik saja.” Jawab Calla dengan senyuman lebar.
“Calla, Ibu harap kau menghubungi Ibu jika kau berada dalam kesulitan. Kau tidak perlu menghubungi Alex jika kau membutuhkan sesuatu, Ibu tidak bermaksud menjauhkan kalian. Kau sudah dewasa Calla, kau sudah bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah. Ibu selalu percaya padamu, namun Ibu tetap tidak terima dengan siapapun yang berani melukai hatimu.”
“Aku paham Bu. Aku sayang Ibu.” Calla merasa sangat bersyukur meski dia tumbuh tidak di dampingi ayahnya sepenuhnya, namun Calla tidak pernah kekurangan kasih sayang ibunya yang hebat.
Ibu Calla bisa menjadi ayah dan ibu untuknya dalam keadaan apapun.
Suara keributan di luar terdengar samar-samar mengganggu pendengaran Calla, gadis itu beranjak dari duduknya dan melihat ke sekitar.
“Bu, sudah dulu ya. Sampai jumpa.” Bisiknya pada handpone, Calla segera menyelesaikan pembicaraan mereka.
Calla melihat kearah kiri yang terdapat unit apartement kosong, namun di sebelahnya lagi ada penghuninya. Calla melihat salah satu tetangganya berada di balkon nampak bersembunyi dan menatap Calla dengan ekspresi takutnya.
“Permisi, di luar ada apa ya?” tanya Calla merasa sedikit terganggu dengan keributan.
Wanita paruh baya tetangga Calla itu terlihat bingung, “Ada gangster. Jangan keluar, mereka berbahaya. Diamlah di kamar dan kunci apartemenmu dengan baik.” Nasihatnya terlihat panik.
“Kenapa bisa terjadi?.”
“Disini ada anak mafia besar yang tinggal, tetaplah di dalam. Mereka bersenjata. Bersembunyilah di tempat yang aman.”
“Terima kasih.”
Calla langsung masuk kedalam dan melihat melalui cctv di depan pintu, betapa kagetnya gadis itu melihat banyak orang yang saling berkelahi. Beberapa orang di antara mereka tumbang oleh senjata tajam, mata Calla terbelalak kaget begitu melihat Aric yang di kepung puluhan orang.
Suara tembakan terdengar membuat Calla langsung mundur dan hampir terjatuh karena ketakutan. Beberapa orang mafia datang menyusul menambah perkelahian itu menjadi semakin menakutkan.
Tangan Calla sedikit gemetar menggenggam handpone. Gadis itu menutup mulut dengan punggung tangannya, kakinya gemetar ketakutan perlahan semakin mundur dan bersandar ke dinding mencari kekuatan.
“Tidak bisa, aku harus menelpon polisi.”
Dengan tangan yang gemetar Calla menekan tombol di layar handpone dan menghubungi polisi melaporkan keadaan darurat yang mengganggu semua orang.
Apa yang sempat di katakan Jerome rupanya benar adanya, pantas saja apartemen mewah yang di sewanya itu di berikan dengan harga miring. Rupanya keadaan di sekitar tidak aman karena di gedung apartement terdapat anak peminpin mafia, yaitu Aric Hemilton.
Suara keributan semakin menjadi, Calla sedikit mundur dan berlari menuju balkon untuk melihat ke bawah. Mobil-mobil polisi berdatangan menuju apartement.
Polisi rupanya menanggapi panggilan Calla dengan cepat, mereka sudah datang dalam waktu lima menit dan langsung memasuki gedung apartemen.
Calla kembali berlari menuju pintu di depan mendengar teriakan polisi yang bersenjata lengkap sedang menghentikan perkelahian, para polisi itu menangkap beberapa mafia dan mengamankan mereka.
Bahkan beberapa orang harus di tangani dengan cepat dan di bawa ke rumah sakit karena terluka parah.
Calla membuka pintu apartemennya begitu mendengar suara bel. Gadis itu tersenyum kaku karena seorang inspektur polisi yang menekan bel apartementnya.
“Selamat sore, Anda yang menghubungi kami?.” Tanya salah satu polisi yang meminpin.
Calla menelan salivanya dengan ngeri, dia mengangguk perlahan, membenarkan. Lidahnya terasa kelu tidak mampu berbicara.
“Anda baik-baik saja Nona?.”
“Saya baik-baik saja, terima kasih atas bantuannya.”
“Terima kasih juga sudah melapor. Saya permisi.”
Polisi itu mengangguk kecil dan kembali membereskan sisa-sisa keributan yang terjadi.
Dalam dua langkah kecil Calla keluar dan melihat apa yang terjadi, ada beberapa orang terkapar tidak sadarkan diri di lantai hingga senjata tajam yang berserakan. Bahkan ada yang teluka parah dengan sayatan di perutnya dan beberapa di antara mereka terkena tembakan.
Pupil mata Calla melebar melihat Aric berdiri dengan babak belur tengah memberikan keterangan, namun sepertinya polisi lepas tangan untuk Aric Hemilton karena mereka lebih takut oleh pengaruh orang tuanya Aric yang berkuas di kota Andreas.
Para polisi itu meninggalkan Aric setelah mendapatkan kesaksian.
To Be Continue...