BAB 17: Jadilah Pacarku

1895 Words
Tubuh Aric semakin mencondong mendekat menyisakan jarak yang sedikit dengan wajah Calla dan menyentuh wajahnya gadis itu agar, perlahan wajah Calla terangkat dan mereka saling bertatapan. Napas Calla tertahan di dad*, tatapan lembut Aric menghipnotis dirinya. “Calla, Jadilah pacarku.” Calla terpaku kaget mendengarnya, gadis itu menatap Aric dengan ekspresi aneh karena bingung dengan apa yang telah di ucapkan oleh pria itu. “Bisakah kita mencobanya?.” Tanya Aric semakin serius. Obat di tangan Calla terjatuh ke pangkuannya. Calla langsung menyentuh kening Aric memastikan bahwa pria tidak sedang demam karena telah bicara sesuatu yang omong kosong. “Apa yang sudah kau katakan?.” Tanya Calla tidak percaya. “Jadilah pacarku Calla. Apa itu tidak terdengar jelas.” Tegas Aric lagi mengatakan yang kedua kalinya. Calla kembali di buat terpaku karena kaget, gadis itu mengingat kembali apa yang sudah di katakan Aric kepada beberapa detik yang lalu. Cepat-cepat Calla bangkit dari duduknya dan membenahi semuanya. Gadis itu memberikan selembaran obat pengilang rasa sakit yang dia miliki untuk Aric.  “Semuanya sudah selesai, kau bisa meminum obatmu sebelum tidur. Silahkan keluar.” Usir Calla seraya terburu-buru pergi keluar menuju dapur. Calla benci mendengarkan omong kosong pria itu yang semakin mengganggu pikirannya. Terlalu dekat dengan seorang Aric Hemilton terlalu mengusik pendirian Calla, gadis itu tidak bisa terus menerus seperti itu.  Kehidupan damai Calla sudah cukup terganggu oleh keberadaan orang-orang di sekitar Aric. Calla tidak tidak ingin mengenalnya lebih jauh lagi, terlebih dia sudah memiliki Harry. Calla harus menjauhi apapun yang berhubungan dengan Aric. Calla tidak boleh terlena hanya karena pria itu keren dan tampan, Harry ratusan kali lipat lebih baik dari Aric Hemilton. Melihat Calla yang tidak merespon ucapannya, membuat Aric ikut beranjak dan mengikuti langkah Calla yang pergi keluar menuju dapur. “Kau tidak mau memberikan jawaban apapun?.” Tanya Aric. Calla sedikit menengok dan menatap tajam Aric. “Untuk apa?. Kau adalah pria yang bisa tidur dengan wanita manapun yang mau menemanimu di ranjang. Pria sepertimu, akan mengatakan kata-kata indah penuh cinta kepada wanita manapun.” “Tapi kau yang pertama aku ajak berpacaran.” Jawab Aric dengan serius. Memang benar, Calla gadis pertama yang di ajak berpacaran. Aric sendiri tidak tahu mengapa dia bisa mengajak Calla berpacaran. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat spontan. Mengajak Calla berpacaran adalah bagian dari rasa ketertarikan dan rasa penasaran Aric yang ingin tahu seperti apa sebenarnya seorang Calla Adeva. Di sisi lain Aric juga ingin mendapatkan Calla karena kini dia sedang bertaruh dengan Theodor.  “Kau tidak mau menawariku makan?.” Aric berdiri di ambang pintu dan bersandar pada kusen, pria itu memperhatikan gerak gerik Calla yang kini tengah merapikan piring di atas meja kecilnya yang terdiri dari dua kursi. Seketika Calla cemberut mendengar pertanyaan yang terlontar dari Aric yang masih belum pergi. Calla sadar, Aric Hemilton hanya memiliki wajah tampan mempesona dan uang yang banyak. Namun, kekurangannya juga sangat banyak, selain  mes*m, badung, jahat, rupanya Aric juga cukup tidak tahu malu. Tanpa menunggu jawaban dari Calla, Aric langsung duduk di hadapan gadis itu dan memperhatikan keterampilan Calla  yang pandai memasak meski hanya sekadar makanan rumahan. Kepribadian Calla benar-benar menunjukan sisi wanita yang tangguh, Calla tidak hanya semangat belajar mengejar cita-citanya, dia juga bekerja keras menjadi seseorang yang bertanggung jawab, juga tidak kehilangan keterampilannya sebagai seorang wanita. “Sangat di sayangkan jika tangan cantik yang pandai memasak itu tidak sabanding dengan hatinya yang pelit.” Pancing Aric yang membuat Calla merasa tersinggung dengan ucapannya. “Kali ini aku akan membiarkanmu makan. Untuk besok, jangan ganggu aku lagi, berpura-puralah tidak mengenalku meski kita tetangga dan satu sekolah.” Tekan Calla menunjukan ketegasannya. “Kenapa kau hanya bersikap dingin kepadaku?.” Tanya Aric pada akhirnya. “Karena kau terus menggangguku dan memperlakukanku dengan buruk.” jawab Calla dengan nada yang tinggi. “Aku mengganggumu karena itu cara termudah kita berkomunikasi.” Calla membungkam enggan untuk menanggapi apa yang Aric katakan kepadanya. Calla tertunduk memecahkan beberapa telur dan memotong beberapa sayuran, gadis itu tidak banyak bicara dan memilih berpura-pura tidak menyadari jika kini dia tengah di perhatikan Aric.  “Mengapa kau membenciku?.” Tanya Aric dengan  ekspresi polosnya. Mata Calla menyipit seketika, manatap Aric dengan penuh penghakiman. “Sangat menyedihkan, bahkan kau tidak sadar bahwa selama ini apa yang kau lakukan kepadaku adalah tindakan yang buruk. Lebih menyedihkannya lagi kini kau bertanya mengapa aku membencimu, kau benar-benar tidak tahu diri.” Kritik Calla dengan setengah lontaran kebencian. “Apa seburuk itu?.” “Ya.” Kepala Aric bergerak ke sisi, ini untuk pertama kalinya mereka berbicara serius, karena itu Aric terlihat kaget mendengar apa yang keluar dari mulut Calla ketika gadis itu tidak berada di bawah tekanannya. Kening Aric mengerut kecil terbayang apa yang sudah pernah di lihatnya. Aric teringat pertengkaran Calla dan Alex. “Kau membenci pria?.” Kepala Calla terangkat dengan tangan yang bergerak kecil membalikan telur di atas penggorengan. “Aku pernah di kecewakan pria yang sangat berharga untukku. Namun aku tidak memiliki alasan untuk membenci semua pria di dunia ini karena kekecewaanku hanya pada satu pria. Tidak adil jika aku membenci semua pria,  karena tidak semua pria sama dengan pria yang pernah mengecewakanku.” Jawab Calla terdengar dalam karena membayangkan perbedaan Harry dan Alex ayahnya. Wajah Aric terlihat pias, pria itu terlihat kaget mendengar jawaban Calla hingga di buat sedikit gelisah terbayang akan sesuatu yang sangat melekat kuat di ingatan dan hatinya. Aric berdeham kecil terlihat sedikit tidak nyaman. “Kau, apakah kau saudara tiri Zea?.” Calla tercekat kaget mendengarnya hingga sendok di genggamannya terlepas terjatuh di wajan.  Calla segera menyembunyikan kegugupan dan rasa kagetnya karena pertanyaan Aric. “Siapa Zea?. Aku tidak mengenalnya” sangkal Calla dengan suara gemetar merasa sakit hati teringat dengan ucapan ayahnya terakhir kali. Hati Calla terasa teremas setiap kali teringat bagaimana ayahnya meminta dirinya untuk berpura-pura tidak mengenalinya untuk melindungi perasaan Zea yang tidak ingin siapapun tahu bahwa dia dan Calla saudara tiri. Bahkan Alex tidak segan meminta Calla untuk tidak memanggil dirinya dengan sebutan (Ayah) lagi demi Zea dan keluarga barunya. Sungguh Calla ingin menangis keras  dengan ke tidak adilan yang di terimanya, hati Calla sangat hancur. Namun Calla harus menyembunyikan luka di hatinya agar tidak ada lagi orang-orang yang melihat kelemahannya. Biarkan hanya hati Calla dan Tuhan yang mengetahui bagaimana perasaannya sekarang. Mendengar jawaban Calla dan raut kesedihan di mata Calla yang tidak dapat di sembunyikan membuat Aric iba. Aric bertanya karena dia ingin mengetahui sudah sejauh mana keretakan hubungan Calla dengan ayahnya karena Aric juga memiliki hubungan yang buruk dengan ibunya. “Aku minta maaf” suara Aric merendah, pria terlihat sedikit melunak tanpa alasan yang membuat Calla sedikit curiga saat mendengarnya. “Untuk kesalah pahaman yang membuatmu merebut kameramu. Dan kejahilanku yang sering mengganggumu.” “Bagaimana dengan tindakan tidak senonohmu?. Itu adalah peleceh*n, tidakkah kau memikirkan bagaimana dengan orang yang menerima peleceh*n itu mengalami trauma?.” Tanya Calla lebih berani. Alih-alih merasa merasa marah dan tersinggung, Aric menutupi mulutnya dan terkekeh geli mendengarkan omelan Calla. “Semakin kau banyak bicara, aku semakin ingin memakanmu.” “Tolong bicaralah dengan sopan” pinta Calla dengan sedikit terbata. “Aku hanya berbicara sopan kepada pacarku, jika kau ingin aku sopan. Jadilah pacarku. ” Serigai Aric seraya mengusap rambutnya yang sedikit basah. Bibir penuhnya bergerak kecil membuang napasnya dalam-dalam. “Jika kau menjadi pacarku. Aku juga akan memperlakukanmu dengan sangat baik.” Seketika Calla tertunduk mendengarnya terlihat takut. Andai saja tawaran berpacaran itu terlontar kepada gadis lain, mungkin mereka akan langsung menerimanya. Calla segera menyelesaikan acara memasaknya dan menyajikannya di meja, dia harus segera bersiap-siap pergi bekerja agar tidak terlambat dan yang terpenting untuknya adalah terlepas dari Aric. Calla menarik kursinya dan segera duduk dengan cemberutan kesalnya karena jatah makanannya untuk sampai besok harus habis malam ini karena ada Aric. “Selamat makan.” Ucap Calla terdengar pelan dan hanya sekadar basa basi. Aric terdiam memandangi makanan rumah yang di masak sederhana di depannya, pria itu tersenyum menawan mengambil sendoknya dan segera makan. “Mulai besok aku makan di sini.” Calla hampir tersedak mendengarnya ucapan Aric yang angkuh dan sombong mendikte seenaknya. “Memangnya siapa kau” tanya Calla dengan mata terbelalak kaget. “Aku tahu kau suka uang, aku akan membayar makanan yang aku makan. Ini bukan pekerjaan yang buruk, bukan pekerjaan yang menghina. Cukup beri aku makan seperti kau memelihara anak anj*ng.”  “Aku menolak” tolak Calla dengan tegas dan segera memakan makanannya lebih cepat lagi. Calla tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan Aric yang hanya akan membawanya pada rentetan masalah.  “Kau bisa memikirkan tawaranku, satu porsi makanan aku bisa membayarnya lima puluh dollar.” Perkataan Aric memecahkan lamunan Calla. “Tidak, terimakasih. Aku menolak.” Jawab Calla tanpa keraguan, meski tawaran Aric sangat menggiurkan, namun bahaya yang harus Calla hadapi lebih berat. Calla tidak mau itu. “Baiklah, jika kau menolak. Aku akan semakin mengganggumu” Calla menelan makananya dengan cepat, rasa laparnya sudah hilang dengan cepat begitu saja. Tangan Calla gemetar dan melepaskan genggamannya pada sendok, gadis itu tertunduk. “Apa sebenarnya maumu?. Jika aku sudah membuat kesalahan dan membuatmu marah, aku benar-benar minta maaf. Jika kau merasa suka bermain-bermain dengan orang lemah sepertiku, tolong hentikan, ini sangat melelahkan” Aric ikut berhenti makan dan langsung bersandar pada kursi memandangi Calla dengan serius. “Jadilah kekasihku. Aku tidak akan mengganggumu lagi.” Hati Calla memanas merasa terhina dengan ucapan Aric yang membuatnya merasa seperti di samakan dengan wanita-wanita yang bisa menjadi bahan permainannya. “Aku sudah memiliki kekasih, dan kami saling mencintai. Apakah itu jawaban yang cukup?. Berhentilah berpikir jika semua wanita yang kau temui itu sama, moralitas wanita tidak bisa di tentutan dengan satu pandangan saja. Jika kau ingin bermain-main, carilah wanita yang sama sepertimu.” “Aku tidak masalah menjadi kekasih ke dua.” Jawab Aric lagi dengan enteng. “Aku hanya akan mencintainya dan setia kepada kekasihku. Camkan itu!.” Jawaban tegas Calla yang tidak ragu menolak Aric rupanya tidak membuat Aric marah maupun tersinggung. Aric malah tersenyum lebar mendengarnya, mata birunya terlihat berbinar di penuhi oleh kesenangan yang tidak bisa dia katakan. Calla segera menyelesaikan makannya dan beranjak, “Jika sudah makan. Segeralah keluar. Aku harus bekerja, jadi cepatlah pergi.” Calla langsung beranjak dari duduknya dan membawa piring kotor untuk di cuci. Aric ikut menyelesaikan makannya dan membawa piring kosong. Aric mengitari meja kompor dan berdiri di samping Calla, lengan telanjangnya menyentuh sisi bahu Calla. Tanpa terduga Aric ikut mencuci piringnya sendiri, namun pria itu tidak melepaskan pandangannya dari Calla yang hanya tertunduk. “Aku minta maaf.” Aku Aric lagi dengan suara merendah. Perlahan Calla mengangkat kepalanya dan menatap pria itu dengan bingung. Pandangan mereka saling mengunci membuat Calla dan Aric sama-sama berhenti bergerak. Aric menarik napasnya dalam-dalam melihat tatapan polos mata Calla yang terlalu sering menangis. “Aku minta maaf karena sudah membuatmu tidak nyaman dan memperlakukanmu seperti wanita yang biasa aku temui. Aku tidak akan memperlakukanmu dengan seenaknya lagi. Namun aku juga tidak akan berhenti untuk memintamu untuk menjadi pacarku. Kau bisa menahan prilaku burukku, namun kau tidak bisa menahan perasaanku.” Calla tercekat kaget, bibirnya terangkat hendak berbicara. Namun, Aric lebih cepat menunduk dan mengecup sudut bibir Calla. “Selamat malam.” Bisik Aric yang segera mundur dengan senyuman menawannya. “Terima kasih atas makan malamnya.” Aric langsung berbalik dan pergi keluar menuju pintu meninggalkan Calla yang masih di buat terpaku dalam waktu beberapa detik. To Be Continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD