BAB 14: Jauhi Aric!

2125 Words
“Aku sangat gugup Harry, aku ingin menolak undangannya namun aku tidak bisa menutup mataku melihat hadiah uang yang bisa di dapatkan jika ikut pentas. Aku juga masih merasa tidak percaya diri dengan kemampuan yang bisa aku berikan jika aku ikut pentas” curhat Calla dengan semangat. Harry tertawa mendengarnya, “Calla kau ingat, dulu kita pernah melakukan drama opera bersama di sebuah pentas. Suaramu sangat bagus, kau juga luar biasa dalam bermain musik, akan menjadi sia-sia jika kau mundur karena kegugupan.” Nasihat Harry mendorongnya untuk percaya diri. Hembusan napas berat keluar dari mulut Calla, gadis itu sedikit termenung memikirkan sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. “Itu dulu. Sekarang, aku tidak tahu apakah sekarang bisa melakukannya.” Harry terdiam mendengarnya, ada suatu alasan besar di balik itu semua. “Calla, aku sangat menghargai semua kerja kerasmu. Kerjakanlah apapun yang bisa membuatmu bahagia dan nyaman. Jangan memaksakan diri hingga membuatmu terluka.  Jika lelah dan kau kesulitan, tolong sesekali katakan saja padaku, aku tidak hanya ingin menjadi pendengarmu, aku juga ingin menjadi seseorang yang bisa mengulurkan tangan untuk membantumu bangkit.” “Andai kau ada di sampingku.” Bisik Calla sedih. Harry selalu berhasil menghangatkan hati Calla. “Aku ada di hatimu Calla.” Calla tersenyum malu, “Kau mau aku ikut audisinya?.” “Sejujurnya tidak.” Jawab Harry tidak terduga. “Yang benar saja Harry” nada suara Calla meninggi karena jawaban Harry terkesan tidak  memiliki pendirian. “Sejujurnya aku khawatir akan ada banyak pasang mata pria yang melihat kecantikanmu dan membuat mereka jatuh cinta padamu Calla. Aku mengkhawatirkan itu” jawab Harry dengan serius, diam-diam Calla tersenyum geli mendengarnya. Senyuman Calla sedikit memudar, tiba-tiba Calla teringat ucapan Aric beberapa saat yang lalu. Sama persis dengan apa yang sudah Harry katakan. “Aku sedang tidak ingin mendengarkan rayuanmu Harry.” “Apa aku terlihat seperti sedang merayu?.” Harry balik bertanya. “Aku berbicara sebenarnya, sangat sulit untukku bisa tenang mengingat kau berada jauh dariku. Aku tahu ada banyak pria yang menyukaimu, hanya saja aku yang beruntung karena kau memilihku” Bibir Calla tersenyum mendengarnya, ada semu merah yang terlukis jelas di pipinya. “Aku sangat ingin membawamu dengan cepat kesini karena aku mampu, namun aku juga sangat menghargai kerja kerasmu Calla. Aku sangat percaya bahwa kau mampu datang ke sini seperti apa yang kau inginkan. Namun Calla, seperti apa yang sudah aku katakan, katakanlah jika kau butuh bantuanku.” Nasihat Harry lagi terdengar menenangkan. Pria itu sangat baik dan menghormati Calla dan membuat Calla merasa kuat meski sedang terjatuh. “Terima kasih Harry.” “Calla.” Seseorang memanggil Calla di belakang. Calla segera berbalik, senyuman Calla memudar begitu melihat siapa orang yang sudah memanggilnya.  Bibir Calla menekan melihat Vanka yang memanggilnya. Ada perasaan tidak enak yang bisa Calla rasakan jika dia berdekatan dengan Vanka meski tidak saling kenal. “Harry, aku akan menghubungimu lagi nanti.” Bisik Calla segera memutuskan sambungan teleponnya. “Ada yang bisa aku bantu?” Tanya Calla dengan tenang. Mata Vanka bergerak dari atas sampai bawah memperhatikan penampilan Calla yang kini berubah dan terlihat menjadi semakin menarik hingga bahan perbincangan beberapa kelompok pria. Vanka tersenyum meremehkan karena dia tahu apa yang di pakai Calla hanyalah pinjaman dan barang jualan. Senyuman Vanka langsung memudar, wanita itu berdiri dengan tegak dan bersedekap menatap Calla. “Aku ingin berbicara denganmu.” “Tidak bisa.” Tolak Calla dengan sedikit cepat. “Aku tidak butuh penolakan.” “Aku berhak menolak jika tidak mau.” “Jika kau menolak, bodyguardku akan menyeretmu” kata Vanka dengan arogan.  “Sekarang kita bicara. Ikut aku” Tegas Vanka tidak peduli dengan apapun jawaban Calla. Vanka akan tetap bicara meski Calla tidak mau. Tangan Calla sedikit terkepal menahan kesal, namun dia harus menahan diri dan tidak ikut bersikap egois. Dengan patuh Calla mengikuti langkah Vanka yang berjalan di depannya. *** Dalam diamnya Calla mengusap sisi cangkir kopi yang baru beberapa kali dia teguk. Calla berkedip menatap kepulan kopi yang mulai menghilang, sekali lagi Calla melihat kearah Vanka yang  hanya diam dan memperhatikannya seperti sesuatu yang harus di pelajari dengan benar. Vanka menilai Calla dari segala sisi, dia mempelajari apa yang tidak dia miliki dan apa yang Calla miliki. Vanka harus mengetahuinya meski dia merasa sempurna. Tidak ada yang Vanka dapatkan setelah meneliti lebih jauh Calla. Vanka hanya bisa  mengakui kecantikan Calla. Apa yang Calla miliki di miliki semua wanita yang pernah tidur dengan Aric. Secara keseluruhan Vanka merasa dia seribu kali lipat lebih unggul. Namun, Vanka tidak bisa membiarkan ini berjalan terlalu lama. Dia harus segera menghentikannya dan menjauhkan Calla dari pandangan Aric. Wajah cantik Vanka terlihat sangat mencolok, pakaiannya yang serba mewah dan memiliki selera fashion yang sempurna menunjang kecantikannya yang selalu di bicarakan semua orang jika Vanka adalah ratu kampus yang menjadi satu-satunya wanita yang cocok di sandingkan dengan Aric Hemilton. Tidak hanya itu, Vanka seorang ballerina yang memiliki segudang prestasi dan latar belakang keluarga terpandang semakin membuat orang merasa iri dengan hidupnya yang sangat sempurna. “Aku tidak memiliki waktu lama karena harus bekerja. Katakan, ada keperluan apa?.” Calla mulai angkat bicara lebih dulu karena Vanka terlalu lama diam. Vanka membuang napasnya dengan berat, wanita itu tertunduk melihat tangan Calla yang menggenggam cangkir. Pandangan Vanka terangkat untuk bertemu sepasang mata Calla. “Berapa yang kau butuhkan?.” Tanya Vanka dengan percaya diri. “Maaf, apa maksudmu?. Aku tidak mengerti.” Vanka membuang napasnya dengan kasar, dia membuka tasnya dan mengambil selembaran cek kosong dengan sebuah pensil. Vanka langsung meletakannya di hadapan Calla. Jari lentik berkuku dengan cantik milik Vanka menunjuk cek kosong. “Isi berapapun jumlah uang yang kau mau.” Wajah Calla tampak kaget tidak memahami apapun maksud dan tujuan Vanka. “Apa maksudnya ini?. Untuk apa?” tanya Calla merasa terhina. “Jangan berpura-pura tidak tahu. Kau tidak perlu berpura-pura polos di hadapanku, aku sudah terbiasa berhadapan dengan wanita so polos sepertimu.” Hina Vanka tidak main-main. “Isi berapapun uang yang kau mau. Sebagai gantinya, kau harus  jauhi Aric. Dia tidak pantas untukmu, sadar dirilah sedikit, kau hanya bebek buruk rupa yang meghayalkan seorang pangeran untuk mengejarnya. Dapatkan uang dariku karena itu lebih pasti, jika kau bersama Aric kau belum tentu mendapatkan uang sebayak yang kau mau.” Tangan Calla terkepal kuat menahan amarah dengan hinaan Vanka. Pandangan gadis itu mengedar melihat banyak mahasiswa yang melihat kearah mereka dengan penasaran. Mungkin ini alasan Vanka memilih berbicara di kantin sekolah, Vanka terang-terangan ingin mempermalukan Calla. “Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Aric.” Jawab Calla tidak terima. “Berhenti berkelit dengan omong kosong. Kau tidak perlu malu karena kau bukan satu-satunya orang yang melakukan ini.” Senyum Vanka dengan percaya diri. Vanka sudah terbiasa membereskan siapapun wanita yang berhubungan dengan Aric, hampir semua wanita mau menerima uangnya meski tidak jarang juga dari mereka memilih pergi tanpa mengambil uang yang di tawarkan. “Kau mau membeli harga diriku?” Tanya Calla dengan nada suara yang sedikit gemetar, Calla berusaha untuk tetap tenang menghadapi masalah yang ada. “Baguslah jika kau sadar diri.” Calla mengambil balpoin di atas meja dan menulisnya tanpa keraguan. Beberapa mahasiswa yang melihat terlihat kaget karena menyaksikan gadis yang kesekian kalinya bisa Vanka bereskan dengan uang untuk menjauhi Aric Hemilton. Calla mengangkat kepalanya dan menyodorkan cek di tangannya untuk di perlihatkan pada Vanka. “Terima kasih, sudah mau membeli harga diriku.” Vanka berdecih, mengambil cek itu dan membacanya. Vanka terbelalak kaget dan menggebrak meja dengan keras. “Jangan main-main denganku!. Kau pikir kau siapa hah, kau hanya wanita murah*n yang.” “Kenapa kau marah?. Kau bilang kau mau membeli harga diriku, segitulah jumlah uang yang harus kau berikan untuk membayar harga diriku. Lima miliar dollar. Harusnya ini sedikit bagi orang-orang yang terbiasa membeli harga diri orang lain.” Jawab Calla tidak kalah angkuh. Semua orang diam terpaku terbelalak kaget mendengar jawaban Calla yang menjual harga dirinya senilai lima miliar dollar. “Wanita sialan tidak tahu malu.” Teriak Vanka tersulut emosi. “Kenapa kau terlihat kaget?. Memang harga diriku sebesar lima milliar dollar, apakah harga dirimu lebih rendah harganya dariku?.” Balas Calla dengan hinaan dan segera berdiri. Calla tidak mempedulikan pandangan orang, jika Vanka berani mempermalukannya, untuk apa Calla tidak berani balas mempermalukannya juga?. “Wanita rendahan!. Jangan macam-macam denganku. Kau tidak seberharga itu” Teriak Vanka mulai kehilangan kendali. “Jika aku tidak berharga, kau tidak akan mungkin ingin membeliku.” Balas Calla dengan nada datarnya. Tangan Vanka terkepal kuat semakin tersulut amarah karena Calla yang susah di atur dan menentangnya, membalas mempermalukan Vanka. Vanka segera berdiri dari duduknya, namun tanpa terduga Calla mengambil cangkir kopi miliknya dan menyiramkannya kepada Vanka hingga gadis itu sedikit terjengkang ke belakang karena kepanasan dan kaget dengan perlakuan kasar Calla yang tidak terduga. “Aku Calla Adeva. Cukup satu kali aku mengatakannya padamu. Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Aric Hemilton. Tanpa perlu kau minta aku menjauhi Aric Hemilton, aku sudah ingin jauh-jauh darinya. Jika perlu, aku akan  pergi ke ujung dunia agar tidak melihat wajah Aric Hemilton lagi.  Hanya wanita bod*h dan tidak normal yang menyukai seorang Aric Hemilton. Jadi berhenti menggangguku, jika kau ingin membayar harga diriku dengan uangmu. Siapakan lima milliar dollar, baru kau bisa membicarakan uang denganku!.” Teriak Calla dengan keras menyalurkan semua kekesalan di dalam dirinya. Semua orang diam terpaku karena kaget, tanpa pikir panjang Calla mengambil tasnya dan pergi membelah kerumunan orang yang mulai membicarakan keberanian Calla yang berani membalas tindakan semena-mena Vanka. Bahkan Calla berani berbicara buruk mengenai Aric di hadapan umum. Calla tidak peduli. Sungguh Calla sudah muak dan tidak betah dengan situasinya, semua hal-hal indah yang Calla mimpikan harus hancur setelah bertemu dengan ayahnya yang tidak bertanggung jawab dan bertemu dengan seorang Aric Hemilton. Calla ingin mengakhirinya dan segera pergi ke Belanda secepatnya. Melihat kepergian Calla yang sudah berhasil balik mempermalukannya, Vanka berteriak kesal dan segera pergi di kawal bodyguardnya. “Mungkin sesekali kau harus di perlakukan seperti itu Vanka.” Bisik Theodor yang sudah melihat semuanya sejak awal, Theodor menyukai tindakan yang di ambil Calla. Mencintai Vanka terasa sangat sulit dan berat untuk Theodor, terkadang dia harus membenarkan tindakan buruk Vanka hanya untuk bisa bersama Aric. Setelah mendengarkan jawaban Calla yang berani menentang membuat Theodor sedikit menjadi berpikir lebih rasional bahkan membiarkan Calla menyiramkan kopi kepada wanita yang di cintainya. Biasanya Theodor akan marah besar dan membela Vanka. Namun kali ini tidak, Theodor hanya berharap bahwa Vanka sadar apa yang dia lakukan selama ini salah. *** Sebuah tongkat mengayun cepat memukul bola,  Aric berdiri dengan tegak melihat bola yang menggelinding perlahan memasuki lubang. Pria itu sudah mendengar laporan dan keributan banyak mahasiswa yang bergosip mengenai tindakan yang di lakukan Calla melawan Vanka. Sebentar lagi aka nada pihak sekolah yang kemungkinan turun tangan. Bibir Aric tersenyum samar mendengar berita bagaimana Calla menjelekan dirinya dengan cukup buruk dan berani. Tidak hanya itu, Calla juga gadis pertama yang berani menumpahkan kopi kepada Vanka. Alih-alih merasa marah dan terganggu, Aric merasa terhibur. “Aric.” Vanka memberikan handuk kecil kepada Aric. “Tidak perlu.” “Wajahmu berkeringat.” Aric mengambil handuk kecil itu dan mengusap wajahnya, terik panas matahari siang itu cukup panas menyilaukan pandangan. “Ayahmu mengundang kita untuk makan malam bersama. Ku harap kau mau datang.” Cerita Vanka terdengar akrab. Vanka memang memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua Aric. Kening Aric sedikit mengerut karena baru mengetahui bahwa ayahnya sudah kembali ke kota. “Kau makan malam saja berdua dengan dia.” Tolak Aric lagi dengan santai dan terkesan tidak peduli. Sikap dingin Aric membuat Vanka merasa tidak suka. “Ada denganmu?.” “Maksudmu apa?.” “Kau dingin padaku Aric.” “Dari dulu aku memang seperti ini. Jika aku aku bersikap hangat padamu, itu artinya bukan aku” balas Aric segera berbalik dan pergi meninggalkan Vanka yang berdiri menatap sedih punggung kokoh Aric. Mata indah Vanka berkaca-kaca melihat Theodor yang sejak tadi hanya diam dan duduk di kursi terlihat tidak peduli dengan perlakuan Aric kepadanya. Padahal Vanka ingin Theodor membujuk Aric untuk menyutujui apa yang dia inginkan. Theodor hanya mengedikan bahunya menolak untuk membantu meski Vanka sudah menatap dirinya penuh permohonan agar Aric di bujuk oleh Theodor. Vanka tertunduk sedih dengan napas tersenggal, gadis itu menjatuhkan air matanya dan melangkah kecil. Langkah Vanka bergerak tidak seimbang, tubuh Vanka limbung terjatuh pingsan. “Vanka” Theodor segera beranjak dan berlari ke arah Vanka. Aric yang melihat Vanka pingsan hanya bertolak pinggang dan terlihat malas memperhatikan pemandangan itu. “Bantu dia, jangan diam saja.” Theodor sedikit berteriak kepada Aric yang kini berdiri di tempatnya terlihat tidak peduli. “Kau bisa menggendongnya sendiri. Kau masih kuat kan?.” “Sialan kau Aric.” Theodor langsung memangku Vanka. “Aku memang sialan.” Dengus Aric yang tidak terpengaruh. To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD