Delapan

1838 Words
Pesta tahunan para pengusaha digelar malam ini, Ashana tentu saja menghadirinya sebagai perwakilan ALE Corp. Lagi pula di tempat itu selain untuk ajang pamer bisnis mereka juga bisa mempromosikan perusahaan mereka, terutama bagi perusahaan yang omset tahunannya belum mencapai angka triliun-an. Sebenarnya Ashana sangat enggan menghadirinya, terlalu banyak orang yang berbasa basi, mereka semua palsu. Sayang saja Navarro sudah mewanti dari jauh hari bahwa dia harus mengikutinya. Di sana juga Navarro akan menerima salah satu penghargaan atas pencapaian Berlian Group di tahun ini. Ashana sudah memakai gaun seksi berwarna peach, dia tak mau terlalu mencolok sehingga memilih warna tersebut. Memakai mobil paling mahal yang dia miliki, disopiri oleh Kalingga yang juga hadir dengan setelan jas mahal khusus yang dibelikan oleh Navarro. Setelah rangkaian pemeriksaan, dari barang bawaan sampai undangan, pada akhirnya Ashana dan Kalingga memasuki hallroom hotel terkenal itu. Suasana terlihat sangat mewah untuk pesta hari ini, Kalingga tak pernah menyangka bahwa dia akan menghadiri acara seperti ini, tak pernah sekali pun dia bermimpi untuk memasuki tempat mewah dengan dekorasi yang menakjubkan. Seperti memasuki dunia lain yang sangat indah. Orang-orang lalu lalang memakai baju yang sangat cantik dan pas dikenakannya. Semua wanita terlihat cantik dengan make up dan aksesoris yang mereka kenakan. Bahkan mungkin melebihi kecantikan para artis ibu kota. Para pria yang memakai setelan jas mahal yang sangat pas di tubuh, memunculkan aura konglomerat yang sangat kental. “Ambil satu,” ujar Ashana ketika seorang waitress membawakan baki berisi gelas dengan minuman berwarna warni. Kalingga mengambil satu gelas berwarna putih hingga Ashana menggantinya. “Itu alkohol, saya lagi malas nyetir,” ujar Ashana ketika waitress meninggalkan mereka. “Saya kira air putih, Bu,” tukas Kalingga membuat Ashana menggeleng. “Nanti jika ada yang bertanya, kamu jawab saja kalau kamu asisten saya,” ucap Ashana. “Ya memang itu pekerjaan saya,” jawab Kalingga. Ashana mengernyitkan kening beberapa detik, menatap pria tampan yang masih terlihat polos itu lalu dia menghela napas panjang. Memang benar dia asistennya namun dalam hitungan hari mereka akan menikah kan? Dasar. Beberapa orang menyapa Ashana, dia pun larut dalam pembicaraan basa basi dengan orang-orang itu. Kalingga hanya mendengar di sampingnya, dia mengedarkan pandangan ke sekitar, semuanya seperti tak terjangkau olehnya dia benar-benar seperti merasa terjebak di dunia lain yang dia tak mengerti. “Kalau kamu mau ambil makan silakan,” bisik Ashana. Kalingga pun mengangguk. Menunggu Ashana di salon tadi membuat perutnya keroncongan. Dia juga belum makan dari siang tadi, dia menuju meja untuk prasmanan itu, dia memilih mengambil roti-rotian saja, karena dia pun tak mengerti dengan menu makanan yang tersedia. Dia berjalan ke tempat lain, namun dia masih bisa melihat Ashana dari kejauhan. Suhu di ruangan ini sangat dingin, Kalingga merasa perlu buang air karena rasa dingin itu menyergapnya. Bergegas dia menghabiskan roti-rotian kecil itu dan memberikan piringnya pada waitress yang memang membawa piring kotor. “Mas, toilet sebelah mana?” tanya Kalingga. “Di ujung sana pak melewati lorong,” ucap waitress itu. Kalingga mengucap terima kasih dan berjalan cepat menuju tempat yang ditunjuk. Di dalam toilet dia menemukan beberapa orang pria yang berbincang sambil mencuci tangan, dia pun berdiri di tempat khusus buang air bagi pria itu. Mereka pun meninggalkan toilet setelah Kalingga masuk. Kalingga mencuci tangannya dan menyadari ada seorang dalam bilik toilet yang tertutup karena suara flush air. Namun cukup lama orang itu keluar, hingga pintu terbuka dan Kalingga tak sengaja melihatnya. Seorang pria tua menjulurkan wajahnya. “Ah syukurlah ada orang, Nak bisa bantu saya,” ujar pria yang sepenuh rambutnya memutih itu. Dia terlihat kesulitan. Hidung pria itu mancung, meski tua namun masih terlihat sisa-sisa ketampanan wajahnya. Kalingga menghampirinya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Kalingga. Pria itu menatap mata Kalingga beberapa detik lalu memutuskan tatapan itu seraya tersenyum. “Maaf bisa tolong betulkan sabuk saya, tangan saya kesulitan,” jawabnya. “Maaf ya, pak,” ujar Kalingga seraya membetulkan sabuk pria tua itu. Dia juga membetulkan kemeja pria tua itu dan mengaitkan kancing jasnya. “Terima kasih, Nak. Nama kamu siapa?” tanya pria tua itu. “Kalingga, Pak, iya sama-sama. Ayo saya bantu keluar,” ujar Kalingga. Pria yang tangan sebelahnya memegang tongkat yang terlihat sangat klasik itu mengangguk dan tersenyum pada Kalingga yang membantunya berjalan. Di luar toilet tampak seorang pria berpenampilan rapih dengan rahangnya yang tampak tegas, juga alis tebalnya yang tertata rapih, dia tampak kebingungan karena mencari pria tua itu. “Papa kenapa enggak bilang mau ke toilet? Sudah tahu kita enggak bawa asisten?” gerutu pria yang rambutnya disisir rapih ke belakangan itu. Kalingga memberikan tangan pria tua itu pada anaknya. “Kamu kan sedang sibuk tadi,” ujar pria tua itu. Anaknya hanya menghela napas panjang dan memaksakan senyumnya. “Kalingga, terima kasih ya Nak,” ucap pria tua itu meninggalkan Kalingga yang berjalan beberapa meter di belakangnya. “Acara sudah mau mulai,” ucap anak dari pria itu terdengar samar di telinga Kalingga. Sesampai di dalam hallroom hotel tersebut, pria tua itu berbincang dengan teman-temannya, sementara putranya tampak menghampiri Ashana. Kalingga melihatnya dari jarak yang agak jauh. “Ashana, apa kabar? Masih cantik saja,” ucap pria itu. “Tristan? Bukannya kamu sedang di luar negeri?” tanya Ashana. “Sudah kembali sejak setahun lalu, papa sakit, jadi yah aku diminta kembali,” ucap Tristan. Kalingga menghampiri Ashana, Tristan seperti terganggu dan melirik ke Ashana. “Oh dia asisten pribadiku, namanya Kalingga. Nah Kalingga ini Tristan, teman sekolah saya dulu di SMP,” ucap Ashana memperkenalkan mereka berdua. Kalingga mengulurkan tangan, namun Tristan hanya membalas jabatan sekilas dan segera menarik tangannya. “Aku kira dia pacar kamu,” kekeh Tristan membuat Ashana tertawa tipis. Pembawa acara naik ke atas panggung dan meminta para tamu untuk duduk di meja yang telah disediakan. Ashana dan Tristan berpisah, dia menempati meja yang berada cukup di depan, dengan jarak beberapa meja dari Ashana. Navarro pun sudah satu meja dengannya bersama istrinya, di meja melingkar dengan beberapa kursi di sekitarnya, ada nama perusahaan di meja itu. Berlian Group dan satu perusahaan lain yang juga ditempatkan dengan mereka. Sehingga di meja itu ada delapan orang yang duduk. “Itu Tristan?” tunjuk Navarro. “Iya, tadi sempat ketemu aku,” balas Ashana. “Are you ok?” tanya Navarro membuat alis Kalingga terpaut. “It’s ok, dia enggak akan bisa menyaingi kita dalam bidang jasa keuangan,” ucap Ashana membuat Navarro mengacungkan ibu jarinya. “Kalingga mungkin bingung, jadi Tristan dan Ashana itu ketika sekolah dulu saingan dalam semua bidang, hingga keduanya hampir mencapai angka sempurna di semua mata pelajaran. Mereka selalu bersaing merebut juara umum, dan lucunya adalah ayah Tristan, Pak Madisson itu pria tua yang pegang tongkat di sampingnya saingan ayah kita dulu, perusahaan kita dan Mediagroup bersaing di beberapa lini, hanya saja mereka lebih fokus ke bidang multimedia sekarang,” jelas Navarro. Kalingga melihat pria tua itu yang rupanya juga melihat ke arahnya sambil tersenyum, entah mengapa ada rasa aneh ketika melihat pria itu, Kalingga yakin pria itu mengingatkan Kalingga akan kakeknya yang sudah meninggal. Kakek yang sangat menyayanginya dan selalu mengajaknya naik ke gunung untuk melihat pemandangan yang indah. “Kayaknya masih belum nikah ya dia?” tanya Zania, istri dari Navarro itu. Zania terlihat sangat glamour dengan gaun putih dan kalung berlian yang mencolok di lehernya. “Belum, mana ada wanita yang mau sama cewek arrogant kayak dia, dari jaman sekolah dia selalu arrogant, ambisius dan egois,” ujar Ashana. Acara dimulai dengan tarian daerah yang terlihat sangat indah, lalu pembawa acara mulai membacakan penghargaan. Navarro maju karena mendapat salah satu penghargaan di malam ini, dia tersenyum lebar ketika mengangkat throphy itu. Rupanya Tristan juga mendapatkan penghargaan yang berada di atas dari penghargaan yang diterima Navarro, dia tersenyum miring ke arah Ashana seolah mengejeknya. Ashana hanya berdecih dan bertepuk tangan dengan tidak ikhlas. Acara pun usai setelah beberapa jam, sebagian tamu undangan masih berdiam di dalam dan membahas bisnis, namun tidak bagi Ashana yang ingin segera pulang. dia mengantri keluar dari pintu hingga seorang wanita tak sengaja menubruk bahunya. “Sorry,” ucap wanita itu, Ashana menoleh arahnya. Wanita yang perutnya tampak buncit itu seolah terkejut melihat Ashana. “Lho kamu kan?” tanyanya. Ashana memutar bola matanya jengah, lalu dia melihat ke arah pria yang ada di belakang wanita itu. Pria yang pernah mengisi hari-harinya beberapa tahun silam. “Mas, ternyata kita bertemu di sini sama ibu Ashana,” ucap wanita itu. Ashana mengenalnya, wanita itu adalah sekretaris mantan suaminya sebelum dinikahinya. Sepertinya wanita itu tersenyum mengejek. “Hai,” sapa Cakra, istrinya segera menggandeng tangannya. “Ya, hai juga,” jawab Ashana malas. Dia menoleh ke arah Kalingga yang masih berdiri di sampingnya seolah tak terganggu dengan hal yang paling membuatnya enggan datang ke acara ini. “Apa kabar?” tanya pria yang berkumis tipis itu. Ashana menghela napas panjang seolah menepis beban berat. “Seperti yang anda lihat, masih baik, sehat dan cantik seperti biasanya,” jawab Ashana. Kalingga melirik ke arah Ashana yang kemudian mencari kesempatan melarikan diri dari tempat itu. Dia segera mengamit tangan Kalingga. “Duluan ya,” ujarnya sebelum mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Kalingga masih tak mengerti ketika Ashana bahkan tak melepas pegangan tangannya dan terus berjalan cepat menuju lobby. Ketika mereka masuk mobil, barulah Ashana mendesah lega, rasanya masih menyesakkan melihat mereka. Bukan karena dia masih mencintai mantan suaminya, namun dia merasa kecewa karena orang yang dipecaya Ashana untuk mengawasi suaminya, justru menjadi pengkhianat rumah tangga mereka, padahal selama bekerja dengan suaminya, Ashana selalu menghadiahi wanita itu banyak barang. Memang ular tak sebaiknya dipelihara! Yang membuat Ashana kian sesak adalah ... bersama wanita itu, mereka seolah bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka, dengan buah hati yang selama ini didambakan. “Pria tadi itu mantan suami saya, sementara istrinya dulu adalah sekretarisnya, enggak lama setelah kami cerai, mereka pun menikah, lalu istrinya hamil,” ucap Ashana seraya tersenyum miring. “Oh,” jawab Kalingga. Sangat singkat, dia tak tahu harus berkata apa. Ashana pun sepertinya terlihat muram. Rahangnya mengeras dan dia selalu membuang pandangan ke jendela. Hingga mereka tiba di rumah. Ashana masih merasa kesal. Dia membuka seat beltnya dengan cepat namun seatbelt itu tak mau terbuka. “Ini kenapa sih!!!” gerutunya menarik seat belt itu. Kalingga yang sudah membuka pintu untuk Ashana itu pun mengulurkan tangannya membantu membuka seat belt, hingga wajahnya dan Ashana sangat dekat. Dia bisa melihat mata Ashana yang berkabut seperti ingin menangis. Ashana memegang kedua pipi Kalingga dan mengecup bibirnya. Kalingga sangat terkejut dan membeku, Ashana terus melumat bibir itu menumpahkan semua kesedihan dan kekesalannya. Jantung Kalingga nyaris melompat dari tempatnya karena Ashana seolah tak memberi celah untuknya mengambil napas. Cukup lama Ashana melumat bibir Kalingga dengan panas, hingga Kalingga bisa merasakan bibir bawahnya yang menebal, lalu Ashana melepas pagutan itu dan menurunkan tangannya. Wajah Kalingga memerah, dia pun dengan cepat menarik kepalanya agar keluar dari mobil. Ashana keluar dari mobil dan meninggalkannya begitu saja. Kalingga nyaris terjatuh, lututnya mendadak lemas. Dia menepuk pelan dadanya, “kuat Kal, hutang kamu masih banyak, jangan mati dulu,” ujarnya sambil bersandar di body mobil. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD