Tujuh

1562 Words
Ashana tak mengerti dengan apa yang dipikirkan Kalingga? Apakah sebegitu mudahnya memutuskan untuk menikah? Padahal Ashana saja masih merasa trauma dengan pernikahannya yang sebelumnya. Dia memijat pelipisnya di ruang kerja, sejak tadi dia tidak konsentrasi bekerja. Ucapan kakaknya tentang pernikahan membuatnya benar-benar kehilangan akal sehat. Disha masuk dan membawakan laporan harian seperti biasa. “Bu Ashana sakit?” tanya Disha. Ashana mendongak, menatap sekretarisnya itu. “Sedikit pusing, tolong buatkan teh pahit hangat ya,” ucap Ashana. “Baik, Bu. Sebentar ya,” jawab Disha seraya meninggalkan Ashana. Wanita itu kini menatap layar laptopnya dia harus membuat perjanjian pernikahan dengan Kalingga. Kakaknya memang baik, namun dia adalah lelaki yang tegas. Ketika dia marah, akan sangat menyeramkan. Bahkan jauh lebih menyeramkan dibanding kemarahan kedua orang tua Ashana sendiri. Ashana kemudian mengetik beberapa point yang ada di otaknya kini, dia tak bisa berdiam diri sementara Navarro sudah merencanakan pernikahan mereka minggu ini. Terlalu cepat, sungguh! Disha masuk membawakan teh yang dipinta oleh Ashana. “Ada lagi yang ibu perlukan?” tanya Disha. “Panggil Kalingga saja,” jawab Ashana dengan perhatian mengarah ke layar laptonya sementara jemari rampingnya lincah menari diatas keyboard. “Baik, Bu,” ucap Disha, dia keluar lagi dari ruangan Ashana, menghampiri Kalingga yang duduk di kursi kerjanya sedang membaca buku garis besar perusahaan yang diberikan Disha untuk dipelajari. Pakaian Kalingga jelas berbeda dengan yang kemarin. Penampilannya jauh berkali lipat lebih baik. Sepatunya terlihat mahal dan berkelas, juga tasnya yang bermerk. Apakah seorang bisa berubah dalam sehari saja? “Mas Kalingga, dipanggil ibu ke ruangannya,” ujar Disha pada Kalingga. “Oh iya Mbak Disha, baik,” jawab Kalingga. Dia pun mengambil ponselnya di meja dan meletakkan di sakunya. Vella menghampiri Disha, mereka berdua berdiri di dekat meja kerja Kalingga yang sejajar dengan meja kerja Disha. “Liat perubahannya?” tanya Vella. Disha mengangguk seraya melipat tangan di d**a. “Curiga enggak sih?” tanya Disha. “Dalam sehari, bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Kemarin masih pakai pakaian usang, sekarang sudah keren banget!” “Semoga dia enggak terlibat pinjol, bisa malu nama perusahaan kita kalau dicoreng dengan pinjolnya, apalagi kalau sampai debt collector menagih!” ujar Disha sambil bergidik ngeri, membayangkan itu saja sudah membuat bulu kuduknya meremang. “Duh, jangan save nomor dia deh, nanti buku teleponnya dihack sama aplikasi pinjol itu dan kita ikut diteror,” celetuk Vella. “Ah benar juga, tapi repot juga aku kalau enggak save, secara akan terus berhubungan dengan dia kan masalah pekerjaan.” “Duh derita kamu itu sih,” ujar Vella seraya menepuk bahu temannya, “semangat,” ujarnya seraya meninggalkan Disha yang cemberut meratapi nasib yang ada di khayalannya. Kalingga duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Ashana. Dia diminta menunggu sebentar. Karenanya dia hanya duduk sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan besar ini. Aura maskulin Ashana sangat kuat di ruangan ini, karena memang ini adalah daerah kekuasaannya. Ashana kemudian mencetak dokumen yang dia ketik, dia berjalan ke printer di belakang mejanya dan mengambil kertas itu lalu menyerahkan pada Kalingga. “Kamu baca dan cermati pointnya sebelum kita menikah,” ujar Ashana. Kalingga menerima itu dengan sopan. “Pernikahan kita adalah rahasia dan tidak seorang pun boleh membocorkannya.” “Stop! Baca dalam hati kan bisa?” ketus Ashana. Kalingga hanya mengangguk pelan. Selain point tentang pernikahan rahasia itu, Ashana juga menulis bahwa statusnya di kantor atau pun di rumah tetaplah merupakan atasan dan bawahan. Dia akan memberi uang kompensasi bagi Kalingga setiap bulannya. Menanggung seluruh kebutuhan Kalingga baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada juga point tentang tidur, di mana mereka harus tidur terpisah kamar, terkecuali ketika Ashana menginginkan mereka berhubungan seksual. Kalingga tidak bisa meminta atau memaksa Ashana, semua keputusan harus atas persetujuan dari Ashana. Point terakhir mencakup tentang perceraian, Kalingga tidak bisa menggugat cerai Ashana apa pun yang terjadi, hanya Ashana yang boleh mengajukan perceraian. Jika tidak, Kalingga harus membayar denda sebanyak lima puluh milyar rupiah. Kalingga menatap point terakhir dengan mata membelalak, perjanjian pernikahan atau kerja rodi? Mengapa semuanya menguntungkan Ashana. Namun dia tak bisa berbuat banyak, salah satu alasannya karena dia berhutang pada Ashana, salah duanya, dia membutuhkan pekerjaan ini untuk adik-adiknya dan orang tuanya di desa. Mau tak mau dan suka atau pun tidak suka dia harus menuruti keinginan Ashana. Pada akhirnya dia menanda tangani surat perjanjian itu. ashana juga menanda tanganinya dan meletakkan dibrankas khusus yang terkunci dengan pin. Brangkas yang diletakkan di ruang kerja Ashana dan hanya dia yang tahu kombinasi password untuk membukanya. “Sudah kan? Silakan kembali ke meja kerja kamu,” ujar Ashana. “Baik, Bu,” jawab Kalingga penuh sopan santun, bahkan dia berjalan mundur beberapa langkah sebelum membuka pintu ruang kerja Ashana. “Besar enggak ya punya dia? Durasinya oke enggak ya? Ah harusnya aku test dulu. Ups astaga apa yang aku pikirkan. Ayo Ashana fokus kerja!” ujar Ashana merutuki dirinya sendiri. Di jam istirahat, Kalingga makan siang di warung tegal belakang kantor seperti sebelum-sebelumnya saat dia masih menjadi office boy. Para petugas keamanan dan office boy lain yang dekat dengannya pun menggoda penampilannya yang jauh berbeda dari sebelumnya, termasuk Supri. “Wah kayak bos besar kamu Kal,” ujar Supri tersenyum bangga. “Ah bisa aja nih pak Supri, ini juga berkat bapak,” ucap Kalingga. “Jangan lupakan kita-kita kalau sudah jadi orang ya,” tutur Supri seraya memesan makanan. Kalingga menikmati nasi dengan telur dadar di piring, dia menambahkan sambal kentang dan sayur sop. Menu yang cukup banyak. Pagi tadi dia hanya sarapan dengan roti panggang dan dia sudah merasa sangat lapar. “Tenang saja, saya enggak akan pernah lupa kebaikan pak Supri,” ucap Kalingga seraya tersenyum lebar. “Iyo mas Kal, sering-sering makan di sini, nanti lupa sama mbok,” ujar penjual makanan itu seraya memberikan Kalingga teh hangat tawar. “Tenang Mbok, selama ini Mbok sudah baik sama saya, masa saya lupakan kebaikan Mbok, cuma warteg mbok yang bolehin saya ngutang,” kekeh Kalingga. Wanita tua yang rambutnya dicepol itu tersenyum lebar. “Lihat mas Kal sudah bekerja sebagai karyawan seperti yang lain saja sudah membuat Mbok senang,” ucap wanita itu dengan tulus, kemudian meninggalkan Kalingga karena dia masih harus melayani yang lain. Kalingga memperhatikan wajah-wajah orang di sekitarnya, orang-orang baik yang tulus padanya itu tak akan pernah dilupakannya. *** Sementara itu, jauh di desa. Orang tua Kalingga duduk di tepi sawah berdua saja. Siang ini matahari bersinar terang, di kejauhan terlihat puncak gunung yang berwarna kebiruan. Anak-anaknya yang masih sekolah dasar berlarian di pematang sawah, menyalami mereka berdua dan ikut duduk di gubukan itu. “Bu, Bapak, lapar,” ujar mereka. “Sini makan sama ikan asin dulu,” ucap ibunya. Dia membuka rantang yang berisi nasi dengan ikan asin berukuran kecil-kecil, mengaduknya jadi satu dan menyuapi dua anaknya bergantian. Mereka memiliki enam anak, yang empat laki-laki sementara anak ke lima dan ke enamnya perempuan dan masih SD. Fadila masih berusia sepuluh tahun dan Avina tujuh tahun, kedua anak ini yang tengah disuapi oleh ibu Kalingga. Anak keduanya merantau di luar kota, namanya Agha usianya baru sembilan belas, adiknya bernama Bara dan masih sekolah SMA, usianya baru enam belas tahun, sementara anak tengahnya bernama Ghavin yang kini berusia empat belas tahun. Ibu Kalingga bernama Intan, usianya empat puluh enam tahun, dia memang tidak cocok memakai KB hormonal apa pun itu sehingga anaknya cukup banyak. Baru lah setelah kelahiran Avina dia memakai KB IUD yang disarankan oleh dokter setempat mengingat kondisi keluarga mereka yang tidak memungkinkan dalam hal perekonomian dan kesehatan ibu Intan yang terus menurun setelah melahirkan. Suaminya bernama Dodo, dia hanya petani yang mewarisi sawah dari orang tuanya, sawahnya pun tidaklah terlalu luas, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, mereka beruntung karena anak-anaknya termasuk anak-anak yang pintar dan bisa masuk sekolah negeri yang biayanya gratis, meskipun tetap saja untuk baju seragam dan lain sebagainya masih harus mengocek uang pribadi. Avina dan Fadila makan dengan lahap disuapi ibunya, mereka masih memakai seragam sekolah dasar putih merah. Setelah makan, ibu Kalingga meminta dua anaknya pulang dengan membawa rantang tersebut. Dia kini kembali duduk berdua suaminya. “Kalingga dapat uang dari mana ya Pak, sebanyak itu?” tanya Intan pada suaminya. “Itu yang membuat bapak bingung, menjual seluruh sawah di sini pun enggak akan mampu membayarnya, bapak enggak menyangka Bu, bunganya sebesar itu. Bapak sangat menyesal, bapak takut ... anak kita kesusahan di sana,” ucap Dodo seraya menyeka sudut matanya. Intan ikut terisak. “Apa ... kita beritahu yang sebenarnya saja ya Pak pada Kalingga, agar dia ... agar dia tidak kesusahan.” “Bu!” sentak Dodo sambil berdiri, wajahnya berubah memerah dan marah. “Sampai kapan pun Kalingga itu anak saya, darah daging saya yang saya besarkan dengan kasih sayang, keringat dan air mata! Jangan pernah bahas itu!” ujar Dodo seraya menatap tajam istrinya. Intan tergugu dan makin terisak. “Maafkan ibu Pak, ibu hanya ... hanya enggak mau dia kesusahan,” ucap Intan. “Jangan pernah bahas itu Bu sampai kapan pun, kecuali kalau bapak sudah mati!” “Pak, maaf,” ucap Intan memegang tangan suaminya yang menegang. Dodo menatap jauh ke depan. Meski sudah dua puluh lima tahun lebih berlalu, tetap saja mengingat itu membuatnya sakit. Dan hanya dia serta Intan yang tahu apa yang terjadi di masa lalu yang kelam. Dia tak akan membiarkan anak – anak mengetahuinya. Meski hidup dalam kesusahan mereka akan mempertahankan keyakinan mereka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD