Enam

1641 Words
Kalingga sudah memakai pakaian tidurnya, setelan piyama yang dibelikan Ashana tadi siang. Dia sudah menyelesaikan masalah keuangan orang tuanya. Mengirim uang dari Ashana yang langsung dikirim ke rekening sang tengkulak. Ayahnya sudah pulang ke rumahnya. Kini dia bisa bernapas lega. Jika tidak karena Ashana mungkin dia akan kehilangan seluruh rumah, sawah dan juga nyawa ayahnya yang terenggut karena menjadi bulan-bulanan para preman itu. Ashana mengirim pesan pada Kalingga untuk ke kamarnya setelah berpakaian. Dengan langkah pasti Kalingga masuk ke kamar itu, dia sudah berjanji akan melakukan apa saja permintaan atasannya tersebut. Ashana berbaring di ranjang dengan tertelungkup, bagian bawah tubuhnya ditutupi oleh selimut, namun tidak dengan punggungnya. Kalingga memalingkan wajahnya agar tidak menatap punggung yang terbuka itu. “Ada apa, Bu?” tanya Kalingga. “Kamu bisa memijat? Sepertinya tubuh saya sedang kurang fit, kecapekan berbelanja tadi,” ucap Ashana. “Bisa Bu, saya ambil minyak dulu ya,” ucap Kalingga. “Jangan. Pakai lotion saja,” ucap Ashana menunjuk lotion di atas nakas. Kalingga pun berjalan ke sisi ranjang. Ashana menepuk ranjang itu agar Kalingga duduk di sisinya. Dengan tangan gemetar, Kalingga mengoleskan lotion dan mulai memijat punggung Ashana. Terkadang dia memijat punggung para karyawan laki-laki dan dia mendapat uang tips, namun tak pernah dia memijat punggung perempuan hingga dia merasa sangat canggung. Terlebih dia bisa melihat benda kenyal yang sedikit mencuat walau tertutup tubuh itu. “Hmmm, enak juga pijatan kamu,” ucap Ashana seraya memejamkan mata. Tangan Kalingga yang agak kasar justru semakin membuat pijatannya terasa. “Bu, ngomong-ngomong saya harus melunasi pinjaman saya berapa tahun?” tanya Kalingga. “Besok kita buat surat perjanjiannya, tergantung apa yang kamu lakukan ke saya malam ini,” ucap Ashana, Kalingga masih tidak mengerti dengan apa yang diucapkan atasannya itu. “Agak turun Kal,” pinta Ashana. Kalingga memijat pinggang Ashana yang ramping. Sialnya mengapa dia menjadi berhasrat melihat tubuh mulus ini. Kalingga mengembuskan napas untuk mengusir pikiran kotornya. “Kamu tahu kan saya sudah bercerai beberapa tahun? Terkadang saya merindukan belaian dari laki-laki dan saya harap kamu bisa melakukannya untuk saya, saya tidak akan memotong gaji kamu jika kamu bisa menurutinya.” “Tapi saya belum pernah Bu, saya tidak mengerti.” “Nanti saya ajarkan, saya hanya meminta kamu menuruti saya saja,” ucap Ashana. Kalingga mungkin sudah kehilangan akal sehat, yang dia pikirkan adalah keluarganya saat ini. “Buka selimutnya,” ucap Ashana. “Selimutnya?” “Iya,” ucap Ashana. Kalingga pun bangkit, lalu menyibak selimut itu. Bongkahan bawah wanita di hadapannya benar-benar terlihat sangat seksi. Ashana meminta dia memijat kakinya. Kalingga memijat kaki Ashana terus naik ke atas seperti permintaan Ashana hingga bagian bawah pangkal pahanya. Dia beberapa kali menggigit bibirnya karena menginginkan sentuhan yang lebih. “Sekarang bagian depan, Kal,” ucap Ashana. “Bu, jangan saya takut,” ucap Kalingga. Ashana tetap membalik tubuhnya, Kalingga memejamkan mata tak berani melihat tubuh atasannya yang tak berbusana itu. “Takut apa?” kekeh Ashana. “Saya tidak mau masuk penjara, Bu.” “Saya tidak akan menuntut kamu, Kal. Tenang saja, buka mata kamu. Jangan merasa bersalah, karena saya yang menginginkan ini, lagi pula saya hanya minta kamu pijat, bukan minta kamu perkosa,” kekeh Ashana. Kalingga benar-benar harus menenangkan dirinya. Dia membuka sedikit matanya. Ashana menjadikan kedua lengannya sebagai bantalan. Kalingga menelan salivanya, daun telinganya memerah. Tubuh ini sangat indah, dan ini kali pertama dia melihat tubuh wanita tak berbusana secara langsung seperti ini. Tangannya gemetar ketika memakaikan lotion ke kaki Ashana, terus naik sampai pahanya. Sementara Ashana hanya menahan tawa melihat wajah Kalingga yang tegang. Pria tampan itu sangat mempesona. “Kok kaki terus?” tanya Ashana. “Saya takut,” ucap Kalingga. Ashana memegang tangan Kalingga dan mengarahkan ke gunung kembarnya yang sekal. “Pijat bagian ini,” pinta Ashana. Kalingga merasa ketegangan merayapi tubuhnya. Dia pun mencoba memijat bagian itu dengan gerakan memutar. Ashana melenguh, kakinya terlipat karena debaran hasratnya. “Kal, mau nen?” tanya Ashana. “B-boleh?” “Boleh dong,” ucap Ashana, sepertinya Kalingga pun tidak bisa menahan hasratnya lebih lama. Dengan perlahan dia memajukan wajahnya dan menghisap salah satu gunung kembar itu. Ashana benar-benar menikmati lumatannya. Meskipun Kalingga belum ahli, namun lumatan bibirnya di gunung kembarnya cukup membuatnya menggila. Kalingga mengikuti gerakan Ashana di tangannya yang meminta meremas yang satunya. Desahan Ashana lolos begitu saja. “Kal, yang bawah,” ucap Ashana. Kalingga tak mengerti dan melepas kulumannya. “Cium aja, ini,” tunjuk Ashana. Kalingga masih tak mengerti. Hingga Ashana menghela napas frustasi. Dia pun turun dari ranjang sementara Kalingga masih duduk di tepi ranjang itu. “Kamu berbaring saja Kal,” ucap Ashana. Kalingga menurutinya. Ashana pun duduk di pangkuan Kalingga. “Sorry ya Kal, akan agak kasar. Saya enggak kuat lagi,” ucap Ashana. Dimajukan pinggulnya ke atas, lalu dia menurunkan pinggul itu tepat di wajah Kalingga yang memerah, menatap milik Ashana yang sangat dekat dengan mulutnya itu. “Julurin lidahnya,” pinta Ashana. Kalingga hanya mampu menuruti dan Ashana mendongak ketika lidah itu menempel di liang gairahnya. Dia semakin menurunkan tubuhnya hingga Kalingga bisa menghirup aroma kewanitaan dari liang surgawi Ashana. Ashana benar-benar menggila, dia menarik rambut Kalingga dan memintanya melumat miliknya. Kalingga sampai menahan napas karena permintaan Ashana, jika dia tak melumatnya, rambutnya akan ditarik dengan sangat keras. Dia pun menghisapnya seperti menikmati es krim. Ashana menggerakkan pinggulnya, di atas wajah Kalingga. Dia benar-benar menggila akan hasratnya setiap wajah Kalingga digesekkan ke miliknya. Kalingga hanya bisa terdiam ketika jemari Ashana menggoda miliknya sendiri, lalu dia meminta Kalingga kembali menghisapnya dengan kencang. “Ahhh, enak banget Kal, terus, terus Kal, hisap yang kuat!!!” lenguhnya seraya sedikit menjerit, lalu Kalingga bisa merasakan kedutan di milik Ashana dan wanita itu terkulai lemah sambil berpegangan pada sandaran ranjang. Ashana mendiamkan miliknya beberapa saat lalu dia turun dari wajah Kalingga dan duduk di tepi ranjang. Kalingga masih tak mengerti dengan yang terjadi, namun melihat wajah Ashana yang bersemu membuat miliknya tetap menegang. “Sudah bangun ya?” tanya Ashana melihat milik Kalingga yang terlihat menonjol. Dia tersenyum tipis sementara Kalingga duduk dan menutupi bagian inti tubuhnya sendiri. “Malam ini cukup sampai di sini, kamu balik ke kamar kamu saja. Dan ssssttt rahasiakan ini,” ucap Ashana seraya mengedipkan matanya. Kalingga seperti kerbau dicucuk hidungnya. Dia hanya menuruti apa yang atasannya ucapkan. Lalu dia berjalan ke luar kamar Ashana. Setelah menutup pintu kamar Ashana, dia pun berlari ke kamarnya dengan cepat. Dia menutup pintu dan bersandar di daun pintu itu seraya menetralkan detak jantungnya yang berpacu cepat. “Apa itu tadi, astaga. Saya berdosa sekali,” gumamnya menepuk dadanya sendiri, jantungnya terus berdebar dan dia menjadi sangat malu. Apakah dia boleh melakukan hal seperti tadi? Dia tak menyangka tugas menjadi asisten itu termasuk memuaskan atasannya juga. Atau karena hutang tadi, yang membuatnya harus menanggungnya? Sebagai laki-laki normal tentu saja dia merasakan debaran yang tak biasa, tubuhnya juga bereaksi di luar nalarnya. Namun nuraninya seolah menolaknya. Tapi dia tak kuasa, bagaimana kalau dia dituntut tidak mau membayar hutang. Jika tak menurutinya? Kalingga berjalan pelan ke ranjangnya, dia membuka ponselnya yang ditinggal. Ibunya mengucap terima kasih dan meminta maaf pada Kalingga atas hal yang terjadi. Mereka akan menjual sawah itu untuk melunasi hutang dan mungkin ayah Kalingga akan ke kota untuk mencari tambahan uang. Kalingga pun menelepon orang tuanya. “Ibu tenang saja, yang penting ibu dan bapak sehat. Agar mas di sini bisa bekerja lebih giat, enggak apa-apa. Bos Mas sekarang baik banget,” ucap Kalingga. “Sampaikan salam pada atasan Mas ya, dari ibu dan bapak yang merasa sangat tertolong oleh kebaikan hatinya. Kamu nurut-nurut sama bos kamu ya, jangan buat masalah di sana. Sebisa mungkin kami usahakan panen tahun ini berhasil untuk bantu cicil hutang.” “Iya Bu, sudah hampir tengah malam, ibu dan bapak tidur saja, mas juga ngantuk,” ucap Kalingga. “Iya, Mas,” ucap ibunya di penghujung telepon. Kalingga memutuskan panggilan itu dan menghela napas melihat ponselnya. Tak boleh ada yang tahu bahwa dia menggadaikan tubuhnya untuk membayar hutang ini. *** Ashana tak tahu dengan kedatangan kakaknya di pagi ini, ketika dia dan Kalingga turun menuju ruang makan. Kakaknya sudah duduk sambil membaca koran, menikmati kopi buatan Vara. “Mas,” sapa Ashana. Kalingga hanya membungkuk hormat. “Sudah dapat asisten?” tanya Navarro. Ashana mengedipkan mata pada Kalingga dan menyuruhnya duduk di sebelahnya. Vara menyiapkan dua porsi sarapan untuk Ashana dan Kalingga. “Siapa nama kamu?” tanya Navarro. “Kalingga, Pak.” “Oh Kalingga. Sudah menikah?” tanya Navarro. “Belum, Pak.” “Mas jangan pikir macam-macam,” ancam Ashana. Navarro tertawa dan menutup korannya. Lalu dia meneguk kopinya. “Mas mengenal kamu Ashana, kamu enggak akan bawa laki-laki ke rumah jika tidak ... yaah menginginkan sesuatu,” goda Navarro. Wajah Kalingga memerah, membuat Navarro yakin, pasti adiknya sudah melakukan sesuatu pada pria muda ini. “Enggak seperti yang Mas pikirkan,” seloroh Ashana ketika menerima makanan dari Vara. “Lalu? Serumah dengan laki-laki yang bukan suaminya atau saudaranya. Kamu enggak takut setan yang akan menggoda di antara kalian?” “Mas lagi ikut program religius kah?” sindir Ashana, menuang saos ke telurnya. “Kamu sudah memiliki segalanya Ashana, itu yang membuat mas takut kalau kamu akan abai dan tidak mau menikah. Mumpung masih muda, menikah saja.” “Enggak semudah itu Mas,” ucap Ashana. “Kalingga, kamu mau menikahi dia? Saya akan berikan berapa pun uang yang kamu mau jika kalian menikah,” ucap Navarro. Kalingga melihat Ashana bergantian dengan Navarro, dia tak mengerti mengapa kedua orang di sampingnya ini begitu royal dengan uang? “Sepertinya, Bu. Memang sebaiknya kita menikah,” ucap Kalingga membuat Ashana membelalakkan mata. “Kal?” “Saya tidak mau berlumur dosa Bu,” ucap Kalingga seraya menatap mata Ashana. Dan sialnya tatapan itu mampu membungkam Ashana hingga Navarro mengatakan bahwa mereka sudah setuju akan hal ini! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD