Empat

1636 Words
Terbangun di pagi hari dan mendapatkan dirinya hanya sendirian di kamar besar dengan ranjang ukuran king itu hanya membuat Ashana merasakan hampa. Hal pertama yang dia lihat adalah ponselnya, dia tak suka jika ada pesan urgent yang mengatakan bahwa harga saham perusahaan menurun atau ada masalah. Paginya akan kacau dan harinya berantakan. Ketika tak ada pesan yang terlalu penting, dia bisa sedikit bermalasan. Dia turun dari ranjang, kaki jenjangnya menyusuri lantai mencari sandal tanpa melihatnya. Dia melepas selimut yang menutupi tubuh indahnya yang tak berbusana itu. Tak ada lemak berlebih di tubuhnya yang ideal. Dia menuju jendela, membuka gorden hitam pekat, menyisakan gorden transparan agar cahaya matahari bisa menembus kamar itu. “Ah sepagi ini kakek tua itu sudah berada di sana,” guraunya pelan menatap seorang laki-laki cukup tua yang menyapu halaman dengan mata mengarah ke kamarnya. Ashana menarik napas panjang. Mungkin siluet tubuhnya terlihat jelas dari bawah, mata kakek tua itu masih jernih sepertinya jika bisa melihat tubuhnya yang terhalang gorden transparan. Ashana kemudian meninggalkan jendela itu, berjalan menuju pemutar musik. Mengambil remote control dan memutar musik jazz untuk menemani paginya. Langkah kaki yang gemulai, dia tak perlu malu dengan tubuhnya yang tak memakai apa-apa itu, toh dia hanya sendirian. Exhibionist, mungkin dia memang memiliki ciri itu. Ada rasa senang jika seorang memuji tubuhnya, atau dengan terang-terangan menatap bagian tubuhnya yang seksi dan membanggakan itu. Alunan musik seolah mengiringi pagi yang cerah ini, dia pun masuk ke kamar mandi, speaker tersambung ke dalam sudut kamar mandi. Dia berendam dengan air hangat di bath tub mewahnya. Busa sabun yang wangi menutupi tubuhnya. Dia memejamkan mata beberapa detik, menikmati lembutnya air hangat itu menyelimutinya. Sial. Mengapa dia terus memikirkan wajah Kalingga jika dia memejamkan mata. Membayangkan lembutnya bibir itu menyentuh bibirnya, menyesap bukit kembarnya, lalu menghisap bagian inti tubuhnya, menggigitnya kecil dan menelusupkan lidah di sana. Bisa gila Ashana memikirkannya saja. Dia akan meminta Disha menghubungi Kalingga dan bersiap bekerja lebih awal. Dia tidak bisa menahan dirinya lagi. Ashana menyelesaikan mandinya, dia melakukan ritual pagi lainnya, memakai lotion di tubuh, menyemprot parfum mahal, lalu memilih baju yang dia ingin pakai. Setelah rapih, dia pun turun ke ruang makan. Asisten rumah tangganya sudah menyiapkan sarapan untuk Ashana serta satu gelas jus berwarna hijau, campuran dari buah dan sayuran yang meskipun rasanya tidak terlalu enak, namun khasiatnya juara, agar wajahnya tetap kencang tanpa keriput. “Bu, kamar atas sudah bisa saya bersihkan?” tanya asisten rumah tangga itu. Namanya Vara, usianya belum genap tiga puluh tahun namun dia sudah ditinggal meninggal oleh suaminya, meninggalkan dirinya dan anaknya yang berusia tujuh tahun yang ditinggal di kampung halaman. “Ya silakan, kamar mandinya tolong disikat,” ucap Ashana sambil melihat tablet yang memuat berita pagi harian. “Baik, Bu.” Asisten itu akan menunggu di ruang makan hingga Ashana selesai makan dan berangkat kerja, baru lah dia membereskan kamar atas. Tidak semua asisten rumah tangga bisa ke lantai atas, hanya orang yang dipercaya Ashana saja. Karena itu meskipun dia memiliki beberapa asisten rumah tangga, namun hanya satu orang yang bisa ke atas. “Oiya Vara, tolong bereskan juga kamar tamu di atas ya, nanti mungkin akan ada yang tinggal di sana sementara,” ucap Ashana. “Siap, Bu. Diisi perlengkapan mandinya juga?” “Iya semuanya diisi,” jawab Ashana. Dia menghabiskan omelette dan jus, lalu dia berjalan menuju mobil pribadinya. Dia memutar saluran berita di radio mobilnya, pagi ini jalanan cukup lengang tidak terlalu macet. Jalanan memang tidak bisa ditebak, terkadang dia berangkat lebih pagi pun harus terjebak macet. Ashana menekan pedal remnya perlahan karena lampu merah, beberapa orang berjualan koran dan tissue, juga air mineral. Ashana yang memakai kaca mata hitam itu hanya melihatnya sambil lalu. Hanya tersisa dua putaran lagi dan dia akan tiba di Berlian Tower. Mobil kembali melaju, dia parkir di parkir khusus VIP, terlihat satu mobil mewah juga berhenti di sampingnya. Dia menunggunya sambil tersenyum. Navarro, kakaknya keluar dari mobil sambil membawa pouch kesayangannya, sementara asistennya sudah membawakan tasnya. “Morning Sister,” sapa Navarro seraya merangkul adiknya. “Sepagi ini sudah tiba?” tanya Ashana. “Memberi contoh,” ucap Navarro. “Enggak turun di lobby?” “Enggaklah, mau langsung ke ruangan. Driver kamu mana?” “Bebas tugas hari ini, lagi mau nyetir sendiri. Sebentar lagi juga aku punya asisten,” ucap Ashana. “Wah bagus dong, agar kamu enggak repot,” ucap Navarro. “Yah, begitu lah,” jawab Ashana, petugas keamanan membuka kan pintu untuk mereka berdua, langsung berlari menuju lift VIP dan membuka kan akses bagi kakak beradik pemilik gedung tinggi ini. Sambil jalan mereka berbicara mengenai beberapa perkembangan bisnis, kakaknya memang bussinessman sejati, dia terus saja mengembangkan perusahaan dan Ashana yang akan mengelola keuangannya dan memberi penilaian tentang perlu atau tidaknya bisnis tersebut dijalankan. Mereka memang cukup kompak dalam berbagai aspek. Disha, sekretaris Ashana belum tiba, beberapa karyawan sudah datang, memang jam masuk kerja masih setengah jam lagi, itu sebabnya belum banyak yang datang, biasanya Ashana akan menilai para karyawan yang datang lebih awal di waktu seperti ini untuk memberikan mereka bonus. Dia pun masuk ke ruang kerjanya, melihat pekerjaan yang harus dia selesaikan. Pukul delapan tepat. Disha mengetuk pintu ruang kerjanya dan menyerahkan beberapa dokumen yang harus ditanda tangani. “Disha, tolong telepon kandidat ini untuk menjadi asisten saya, follow up ke manager personalia. Katakan kita butuh cepat,” ucap Ashana menyerahkan formulir milik Kalingga pada Disha. “Baik, Bu,” ucap Disha menerima formulir itu, di sepanjang jalan menuju ruang HRD dia menatap foto Kalingga. Seperti tidak asing dengan wajahnya, lalu dia teringat office boy di lantai enam belas. Disha memiliki kenalan di lantai tersebut dan dia pernah ke sana, hingga dia pernah bertemu dengannya. Wajahnya yang tampan jelas menjadi daya tarik sendiri untuk diingat. Disha mengetuk pintu ruang manager personalia, memberi tahukan apa yang diucapkan Ashana. Setelah manager personalia setuju, Disha pun menelepon Kalingga. Namun, Kalingga tidak bisa bekerja cepat karena harus mengikuti jadwal tentang resign yang baru bisa dilakukan setelah sebulan dari tanggal pengajuan. Manager personalia tak ingin disemprot Ashana hingga dia melobby HRD di lantai enam belas dan mereka mendapat kesepakatan bersama. Sehingga Kalingga bisa mulai bekerja besok. Jelas saja, jika salah satu pemilik Berlian Tower yang meminta, tak ada yang bisa menghalanginya kan? “Bagaimana?” tanya Ashana ketika Disha memasuki ruang kerjanya. “Bisa, Bu. Besok sudah mulai masuk kerja,” ucap Disha, senyum Ashana terkembang, namun dia berusaha menutupinya sambil berdehem. “Bagus, terima kasih ya,” ucap Ashana. “Bu, lalu saya bagaimana?” “Pekerjaan sekretaris dan asisten kan berbeda, dia lebih mengurusi hal yang saya minta dan juga urusan luar, tenang saja,” ucap Ashana membuat Disha tersenyum lega. Dia pun mengucap terima kasih dan keluar dari ruangan Ashana. Ashana meminta Disha menyiapkan satu meja kosong untuk dihuni Kalingga nantinya. *** Ashana mematut diri di depan cermin keesokan paginya, dia memakai baju terusan yang dipadukan dengan blazer. Memutuskan apakah jika dia memakai scraft akan berlebihan? Namun dia tetap menggunakannya. Rambutnya digerai dan sedikit dibuat bergelombang agar bervolume, dia juga merias wajahnya. dia sudah tampak cantik dan siap bertemu dengan Kalingga. Ashana tiba di kantor dan melihat pria tinggi itu telah menunggu di depan resepsionist sendirian. “Kalingga?” tanya Ashana memastikan. Pria itu berdiri dan tersenyum lebar, lesung pipinya tercetak jelas ketika dia tersenyum. Ashana memperhatikan penampilannya. Celana bahan warna hitam dan kemeja putih, dia memakai tas selempang hitam merk laptop. Tak ada yang menarik dari busananya. Dan sejujurnya itu membuat matanya sakit. Untungnya wajahnya tampan, jika tidak, mungkin akan sangat menyesakkan. “Ikut saya ke ruangan. Sekarang.” Ashana menggeleng tak mengerti, pria ini adalah pria yang pernah mengisi khayalanannya beberapa waktu lalu, namun mengapa dia kecewa melihatnya? Apa karena tidak sesuai ekpektasinya? Stylenya yang menurutnya sangat kampungan. Apa dia harus menggelontorkan dana untuk membuatnya seperti pria impiannya? Dia bisa saja melakukan itu, namun apakah Kalingga bisa memenuhi ekpektasinya setelah ini? Ashana meletakkan tas tangan mewahnya di atas meja. Kalingga masih berdiri menghadap meja besar yang diisi tumpukan dokumen itu. “Kamu enggak ada baju lain?” tanya Ashana. Kalingga memperhatikan bajunya, itu adalah baju yang sama dengan yang dipakai interview. Selama menjadi office boy dia memakai seragam berwarna biru khas perusahaannya. Dan di hari jum’at akan memakai baju batik, itu pun batik seragam juga. Dia belum ada dana untuk membeli baju lain. “Saya punya satu lagi kemeja, warna putih juga,” ucap Kalingga tersenyum tak enak. Ashana menarik napas panjang sambil duduk di kursinya. Tangannya terlipat di d**a. “Well, kamu tahu kan dipanggil kerja untuk posisi apa?” “Siap, tahu Bu. Jadi asisten ibu,” jawab Kalingga seraya tersenyum lebar. “Jangan senyum seperti itu!” “M-maaf Bu,” ucap Kalingga seraya menunduk. Ashana memutar bola matanya. “Kamu ke depannya mungkin akan selalu ada di samping saya, menemani saya bertemu kolega, klien atau investor, meeting penting dan lain sebagainya. Kamu adalah salah satu wajah saya, saya tidak bisa jika kamu hanya memakai pakaian seperti ini, dan juga model rambut kamu, mengapa kamu pakaikan minyak?” gerutu Ashana. Rambutnya sangat klimis, entah minyak apa yang dioleskan di sana? Ashana berharap bukan minyak sayur! “M-maaf, Bu. Jadi apakah saya dicancel?” tanya Kalingga dengan wajah polosnya. “Saya akan ubah penampilan kamu. Anggap saja itu adalah investasi untuk kamu,” tutur Ashana. Tak lama pintu ruang kerjanya diketuk. Disha muncul dan membawakan dokumen harian lalu berdiri di samping Kalingga sambil tersenyum tipis. “Disha, antar dia ke mejanya, pukul sepuluh saya akan pergi dengan dia ke luar. Tolong batalkan meeting online hari ini ya, mungkin saya tidak kembali ke kantor,” ucap Ashana. “Baik, Bu. Ayo Mas, silakan,” ajak Disha pada Kalingga. Kalingga mengangguk sopan untuk berpamitan pada Ashana. Ashana menepuk keningnya dan bersandar seraya memutar-mutar kursi yang didudukinya. “Keluar modal lagi aja!” gerutunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD