Ashana dan dua manager serta satu orang tim dari personalia memasuki ruang meeting kecil di tempat kerja mereka. Di kantor ini ada dua ruang meeting, yang satu ruang meeting besar yang dipakai untuk interview tadi dan satu ruang meeting kecil hanya berkapasitas maksimal sepuluh orang.
Ashana tentu saja duduk di kursi utama di ruangan itu. Diapit oleh manager dan personalia.
“Jadi kalian sudah mendapat kandidat yang cocok?” tanya Ashana.
“Saya membawa lima,” ucap salah satu manager yang diangguki manager lain.
Mereka berempat mencocokkan formulir pendaftar yang mereka bawa, hampir semuanya memiliki nilai yang sama dengan beberapa calon karyawan. Namun ada satu yang bahkan tak dipilih oleh mereka bertiga kecuali Ashana. Ya nama Kalingga Natha, yang bahkan tidak masuk daftar kandidat sama sekali.
“Lho kenapa kalian tidak memilih Kalingga?” tanya Ashana, menatap semua yang ada di ruangan itu bergantian.
“Hanya menang di wajah, dan nilainya tidak cukup bagus, cara bicaranya juga tidak lugas dan saya lihat ada keraguan di matanya,” jawab salah satu manager itu.
“Penampilannya kurang bagus, pakaian dan sepatunya, saya lihat sangat usang, sedangkan kita membutuhkan tim yang bergerak di depan untuk audit perusahaan lain, sebagai wajah dari ALE Corp,” timpal yang lainnya.
“Saya tetap vote dia, kebetulan saya membutuhkan asisten pribadi untuk urusan dalam dan luar kantor. Disha agar menghandle internal kantor saja,” ucap Ashana dengan penuh percaya diri. Para manager hanya mengangguk tanpa berpikiran macam-macam.
Selama ini dia memang sering melakukan urusan eksternal perusahaan seorang diri, hanya didampingi sopir, mungkin dia terlihat kesulitan, terlebih semakin lama semakin banyak perusahaan yang menawarkan kerja sama dengannya.
“Baik, Bu,” ujar staf personalia itu mencatat apa yang disampaikan oleh Ashana. Tak ada keberatan di antara mereka, terlebih wanita itu memang merupakan owner perusahaan yang memiliki kendali penuh atas keputusan ini.
Setelah semuanya sepakat dengan karyawan yang akan dipekerjakan, Ashana pun pamit untuk keluar. Dia ada janji temu dengan salah satu klien di luar. Terkadang dia menemui mereka untuk sekedar coffe break atau tea time. Berbicara hal ringan demi kerja sama yang tetap terjalin.
Salah satu cafe kekinian yang cukup terkenal karena mengusung tema eropa klasik itu menjadi tempat pertemuan Ashana dengan salah satu kliennya.
Seorang wanita yang kira-kira seusia dengannya sudah menunggu di sudut cafe, dia sudah membuka laptop dan juga meminum setengah gelas kopinya. Sepertinya dia sejak tadi berada di sini.
“Sudah lama?” sapa Ashana seraya menyalaminya.
“Habis lunch langsung ke sini, sekalian remote kerjaan maklum lagi WFA,” jawabnya. WFA adalah singkatan dari work from anywhere, yang belakangan ini semakin marak dilakukan oleh para karyawan sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan. Jadi karyawan tidak hanya harus berkutat di ruang kerja di kantor saja, namun bisa bebas bekerja dari mana pun mereka mau, tak juga harus di rumah. Seperti rekan Ashana yang satu ini.
“Jadi bagaimana pekerjaan ALE Corp kemarin?” tanya Ashana setelah memesan minuman dingin dan cemilan. Dia juga mengeluarkan tab dari tasnya, terlihat sangat santai.
“Selalu menakjubkan, pekerjaan selesai lebih cepat, laporan tahunan pun jadi lebih ringan,” jawab rekan kerjanya.
“Bagus,” jawab Ashana, mereka masih berbincang ringan sambil meminum kopi. Dari percakapan ringan itu biasanya Ashana bisa menilai kinerja karyawannya yang dikirim ke perusahaan untuk audit, dia akan melalukan evaluasi internal. Tak jarang dia menegur karyawannya jika memang mereka berbuat kesalahan, namun dia juga tak pernah pelit memberikan bonus pada kinerja mereka yang cukup baik.
Wanita dengan mata tajam dan wajah angkuh itu mempertahankan perusahaan dengan seperti itu, dia yang tampak keras serta tak terbantah. Sisi maskulinnya selalu muncul jauh lebih besar jika menyangkut pekerjaan. Dia bisa dibilang tak berbelas kasih, apalagi jika itu bisa merugikan perusahaan.
Pukul delapan malam, Ashana sudah tiba di rumahnya, sebuah rumah di perumahan elit. Rumah besar dengan gerbang tinggi beraksen kayu yang dikirim dari tempat khusus. Seorang petugas keamanan menyambut ketika pintu gerbang otomatis itu terbuka. Memang di rumah itu ada pos keamanan pribadi untuk kediamannya.
Mobil melaju melewati lorong ke basement rumah, ada beberapa mobil mewah berderet dengan warna yang didominasi hitam. Satu mobil sport mewah dengan atap terbuka berwarna biru tua. Sopir pribadi Ashana segera turun dan membuka kan pintu belakang untuk Ashana.
Ashana mengunci layar tabletnya, mengambil tas tangan dan keluar dari mobil. Dia bahkan tak mengucap terima kasih pada pria paruh baya yang selalu mengantarnya kemana-mana itu, yang selalu menunduk sopan padanya meski usianya nyaris terpaut dua puluh tahun.
Tahun ini sopir itu sudah harus memasuki masa pensiun, hingga Ashana mulai berpikir haruskah Kalingga menggantikannya? Bukankah lebih menyenangkan jika dia juga bisa menyetir?
Ashana menekan tombol lift langsung menuju lantai di kamarnya yang terletak di lantai tiga dari basement. Lift berdenting, terbuka lah benda itu, berbeda dengan lift kantor, lift ini jauh terlihat lebih mewah dengan pegangan yang berwarna emas, cermin ada di empat sisi, dan selalu bersih. Ashana tak suka jika ada sedikit pun debu di tempat yang dilihatnya.
Untuk apa mempekerjakan banyak asisten rumah tangga? Jika masih terlihat debu? Toh dia hanya tinggal sendirian di rumah itu? Mereka bisa lebih banyak mengurus rumah kan?
Ashana menatap wajahnya dari kaca di lift, kerutan matanya mulai terlihat. Harusnya dia suntik DNA Salmon lagi minggu ini, karena terlalu sibuk, membuatnya melewatkan jadwal perawatan. Dia harus melakukannya segera, tak mau dianggap terlalu tua.
Ashana keluar dari lift, melewati ruangan besar yang hanya diisi satu piano berukuran besar, miliknya.
Ketika kecil, ayah dan ibunya memaksa untuk mempelajari alat musik itu, sementara kakaknya les biola, mereka berkata setiap anak dari kalangan mereka harus bisa menguasai satu alat musik. Karenanya Ashana diminta bermain piano. Meski terpaksa, namun dia berhasil menguasainya. Dia sering ikut kejuaraan besar yang tentu saja didorong oleh ayahnya yang cukup ambisius, tak boleh ada kata menyerah.
Ayahnya tak segan bermain tangan jika dia membantah, pernah alat untuk pengajar piano yang terbuat dari kayu itu patah karena memukul kakinya. Ashana merasa lelah dengan belajar dan berbagai les yang dihadapinya, selain harus bisa bermain musik, dia juga harus bisa mendapat nilai sempurna di mata pelajaran.
Perlombaan akan digelar sebentar lagi, dan dia memilih bolos belajar piano, ketika sampai rumah, ayahnya sudah menunggunya dengan benda itu di tangan, kakinya memerah dengan pukulan itu. Lalu di mana ibunya? Ibunya hanya bisa melihatnya tanpa belas kasihan, dibanding ayahnya, menurut Ashana ibunya jauh lebih kejam, tak ada pelukan kasih sayang darinya, tak ada ucapan selamat jika dia melakukan hal yang baik. Namun dia selalu mendapat omelan jika melakukan sedikit saja kesalahan.
Flexing, adalah nama tengah ibunya, yang hanya bisa memamerkannya di depan semua koleganya, hingga terciptalah Ashana dan Navarro yang sempurna di mata orang-orang.
Ashana melewati benda hitam besar yang bisa mengeluarkan suara indah ketika ditekan itu, memasuki kamarnya. Dia meletakkan tas dan tablet di atas meja.
Melepaskan sepatunya secara asal, dan berjalan menuju kamar mandi sambil melepas jasnya. Kamar itu sangat besar, mungkin jauh lebih besar di banding satu unit apartmen. Lebih besar dari kamar hotel berjenis presiden suite. Kasurnya pun sangat besar dan nyaman.
Ashana membuka pintu kamar mandi tanpa menutupnya, toh hanya dia sendirian di lantai ini. Harus ada izin bagi para asistennya jika ingin membersihkan lantai tiga yang menurutnya adalah lantai privasi miliknya yang tak boleh sembarangan dikunjungi.
Ashana melucuti pakaiannya satu persatu, dia berdiri di bawah kran shower. Tubuhnya terlihat sangat indah seperti pahatan yang sempurna. Bentuk tubuhnya ideal. Bentuk bagian belakang tubuhnya membulat sempurna dan terlihat kencang. Labianya sangat bersih, tak ditumbuhi sedikit pun bulu, dia tak menyukainya. Warna yang merah muda merekah membuatnya sangat bangga, tak sayang baginya untuk berinvestasi di tubuh.
Perutnya tampak langsing, ototnya membuatnya terlihat kencang, dengan gunung kembar yang indah, seperti remaja beranjak dewasa, tak ada kekenduran terlihat di sana meski tanpa tambahan silikon. Puncaknya mencuat sempurna dan sangat pas. Ada tahi lalat di d**a kanannya, cukup terlihat, namun dia tak mau menghapusnya.
Naik ke lehernya yang jenjang, belikatnya yang membuatnya terlihat seksi, dibuka kran air hangat, mengatur kedua suhunya agar tidak terlalu panas. Air itu mengguyur seluruh tubuhnya. Seperti terapi untuk membuatnya rileks.
Ashana memakai foam untuk membersihkan tubuhnya, aroma yang harum menempel di kulitnya. Dia pun menyelesaikan mandi malamnya dan mengeringkan tubuh dengan handuk. Dia memakai kimono handuk, lalu mengambil hair dryer, rambutnya harus kering agar dia tidak masuk angin jika tidur.
Dia terlihat sangat cantik malam ini, kecantikan yang dinikmati seorang diri. Setelah memastikan tubuhnya kering, dia pun melepas kimono handuk dan berjalan menuju ranjangnya tanpa berbusana. Dia menyukai tidur tanpa sehelai benang pun menutupinya, toh selimut akan melindunginya nanti.
Dia merebahkan diri, mengambil remote di atas nakas, lampu yang temaram sangat cocok untuk beristirahat. Dia memutar film yang belum ditontonnya di televisi besar yang menempel di dinding itu.
Kakinya terbuka dibiarkan miliknya diterpa angin dari pendingin ruangan. Mungkin tamu bulanannya akan tiba sebentar lagi.
Ashana menatap layar yang mempertontonkan adegan dewasa itu, dia menggigit bibir bawahnya, jemarinya menelusup ke liang gairahnya, mengusapnya dengan lembut. Libidonya kian tinggi. Kapan terakhir kali tempat ini dinikmati oleh lelaki? Ah dia bahkan sampai lupa nikmatnya berhubungan dengan lawan jenis.
Matanya terpejam ketika jemari itu mulai menari di miliknya, “Kalingga,” panggilnya tanpa sadar, “teruskan, Sayang,” racaunya sebelum mendapat pelepasannya.
***