Julie mendorong pintu rumahnya dengan kasar, gadis itu sedikit menangis saat menghampiri mamanya yang sedang menonton TV. Ia berhasil kabur dari pria tua itu saat mereka akan membeli cincin. Dan kini, Julie terisak memeluk mamanya.
“Ma, Julie gak mau nikah sama orang itu. Dia tua banget. Ma … tolongin Julie.”
Bu Margaretha yang kebingungan hanya menganga saat tubuhnya dipeluk oleh Julie secara tiba-tiba. Ia angkat wajah gadis bungsunya itu, membuat kedua pasang bola mata mereka saling bertatapan.
“Julie kenapa? Kok nangis?”
“Julie gak mau sama dia, Ma. Julie gak mau punya suami tua. Mendingan Julie dapat suami miskin aja dibandingkan sama Si Harisman yang tua itu.”
“Hush!” Bu Margaretha langsung menginterupsi ucapan ngasal Julie. “Jangan ngomong sembarangan lagi, nanti kamu makin nyesel. Ini nih, kamu selalu ngomong ngasal. Siapa suruh ngomong gapapa yang tua asal kaya, ini nih akibatnya.”
“Julie gak maksud, Ma.” Gadis itu merengek. “Masa Papa tega banget mau nikahin Julie sama orang setua itu. Ma, tau gak ubannya udah banyak. Dibandingkan yang keliatan di foto itu, lebih banyak ubannya kalo diliat langsung.”
“Julie abis ketemu?”
“Iya, Ma. Julie tadi maksudnya mau mastiin orangnya, tapi Julie ketahuan ngikutin dia.”
“Terus, terus gimana, Jul? Cerita sama Mama? Gimana? Kalian ngomongin apa aja? Dia baik, gak? Lebih cakep mana, asli atau fotonya, Jul?”
Mengetahui bahwa Julie habis bertemu langsung dengan Jonathan, Bu Margaretha langsung penasaran. Ia sendiri belum banyak tahu tentang pria yang akan menjadi menantunya itu, hanya dari sedikit bocoran yang diberi tahu oleh Pak Pramudya. Selebihnya dari melihat di internet.
“Ma!” Julie berteriak. “Julie gak abis ketemu orang keren atau orang penting sampai Mama harus seheboh ini nanyanya. Julie malah abis ketemu sama orang tua yang berengsek, gak tau diri, plus nyebelin.”
“Nyebelin?” ulang Bu Margaretha, ada senyum yang terkulum di bibir wanita itu. “Mama waktu muda dulu selalu menganggap papamu menyebalkan. Tapi, lihatlah yang terjadi sekarang. Mama sudah menghabiskan 36 tahun bersama pria menyebalkan itu. Dan bahkan setelah 36 tahun, Mama masih tetap bersedia untuk bersama papamu bertahun-tahun ke depan.”
“Mama mah beruntung bisa ngabisin waktu sampai 36 tahun sama pria menyebalkannya Mama. Kalo Julie … hhh ….” Gadis itu mendesah panjang. “Kira-kira Julie bisa gak ngabisin waktu sampe 36 tahun lagi sama orang itu? Mengingat usianya yang sekarang udah 46 tahun, Julie sih gak yakin. Ini bukan lagi tentang menua bersama, Ma. Ini mah ceritanya, dia yang menua sementara Julie yang sengsara punya suami tua. Apa gunanya coba punya suami tua, Ma? Mau diapain? Palingan juga udah sakit-sakitan.”
“Hush! Jangan doain calon suami kamu sakit-sakitan. Nanti kamu nyesel sendiri.”
“Bukan ngedoain, Ma. Julie cuma bicara faktanya aja. Usia segitu ya emang udah usia sakit-sakitan.”
“Ah, gak deh, Jul. Di fotonya kemarin itu kayaknya dia sehat-sehat aja, badannya keliatan bagus. Sepertinya kuat dan sehat.”
“Ma, foto kan bisa diakalin. Foto kan bisa nipu. Orang bisa senyum di foto menunjukkan kalau lagi baik-baik aja, padahal aslinya bisa aja lagi sakit atau sedih. Dia bisa aja nunjukin kalau lagi sehat lewat senyumnya, padahal dia aslinya punya penyakit.”
“Stop! Stop! Stop!” Bu Margaretha mencegah Julie melanjutkan ucapannya. Ia mengangkat kedua tangannya, menyerah. “Jangan ngomong sama Mama, bilang sendiri sama papamu. Ini bukan lagi kekuasaan Mama. Ini udah keputusan papa kamu. Lagian kamu sendiri yang awalnya meminta suami yang udah tua.”
“Ma, Julie tuh gak maksud minta suami yang tua. Kalo pun tua yang gak sampai umurnya hampir dua kali lipat dari umur Julie.”
“Pokoknya ini udah di luar kuasa Mama. Lagian setiap keputusan yang dibuat papamu itu pasti ada pertimbangannya, Jul. Papamu itu gak pernah ngasal apalagi untuk kebahagiaan kalian.”
“Nah, itu dia, Ma. Kira-kira Julie bisa gak bahagia sama pria setua itu?”
“Bisa, Jul,” jawab Bu Margaretha. Mencoba meyakinkan Julie, walau ia sendiri pun tak cukup yakin.
“Kalo Mama yang ada di posisi Julie, kira-kira Mama mau gak nikah sama Si Harisman itu?”
“Kok Mama, Jul? Kan Mama udah punya suami. Masa iya Mama nambah suami. Kalau pria yang nambah istri yah emang udah sering dan banyak kejadian. Kalo Mama, masa iya Mama yang punya suami lagi.”
Julie menarik diri, ia bangkit untuk berdiri. Ia mau teriak sekarang, ingin meneriaki Bu Margaretha, juga ingin meneriaki Pak Pramudya yang sedang tak berada di rumah. Tapi, yang paling ingin ia teriaki adalah dirinya sendiri. Yang dengan begitu bodohnya sudah meminta suami yang tua.
“Maksud Julie bukan sekarang, Ma. Bukan dalam kondisi Mama setua ini. Maksud Julie, kalo Mama masih semuda Julie dan belum menikah.”
“Kalo Mama ada di posisi Julie, masih muda dan belum nikah. Ya ….” Bu Margaretha menjeda, ia berpikir sesaat. “Mama yakin papamu gak bakalan membiarkan Mama menikah dengan pria lain.”
Sial! Julie merutuk dalam hati. Sebenarnya mau merutuki mamanya, tapi takut dosa. Makanya merutuk dalam hati saja.
“Jul …,” panggil Bu Margaretha dengan nada suara yang membujuk. “Papamu pulang sekitaran jam 5 sore. Bicaralah pada papamu. Ini bukan kehendak Mama, Jul. Keputusan ini sepenuhnya ditentukan oleh papamu.”
Julie langsung membalik dirinya, tak lagi membalas ucapan Bu Margaretha. Ia keluar dari ruang keluarga menuju kamarnya. Mau bagaimanapun membujuk Bu Margaretha, ya tak ada jalan keluarnya. Benar kata mamanya, keputusan ini milik Pak Pramudya. Dan kepada pria itulah Julie seharusnya menyatakan penolakannya.
Yah, Pak Pramudya adalah orang yang harus Julie ajak berbicara. Tapi, sebelum itu ia harus punya amunisi argumen untuk menghadapi papanya.
Entah amunisi macam apa yang bisa meluluhkan hati pria itu sehingga membatalkan pernikahan ini. Tangisankah?
Sepertinya menangis bukan ide yang baik. Pak Pramudya sudah terlalu sering melihat air mata buaya Julie selama ini.
Atau merengek?
Ah, tidak juga. Seumur hidupnya, Julie sudah terbiasa merengek untuk segala hal. Ia tak yakin jika masih melakukan hal yang sama, maka lantas Pak Pramudya akan luluh padanya.
Lantas apa caranya?
Mengancam?
Bolehkah ia mencobanya?
"Julie bakalan bunuh diri! Kalo sampe Papa masih niat nikahin Julie sama Si Harisman berengsek itu, Julie gak bakalan segan-segan bunuh diri."
"Cobalah," jawab Pak Pramudya dengan nada suara yang datar. Pria itu bahkan tak melihat sedikit pun ke arah Julie yang sedang berdiri dengan penuh amarah di hadapannya. Tak peduli jika putri bungsunya itu tengah berkacak pinggang, dengan ucapan memerintah sekaligus mengancam.
Pria itu tetap fokus membaca laporan keuangan dari pengelola kos-kosannya di beberapa daerah. Ia lebih tertarik untuk menekuri tiap deret angka yang menunjukkan pemasukan bulanan dan membandingkannya dengan target yang telah ia tetapkan kepada pegawai-pegawainya.
"Pa!" Julie mulai berteriak. Kesal karena diabaikan.
"Hmm ...." Dijawab, tapi hanya deheman malas. Pun masih tak mengalihkan tatapan matanya dari tumpukan kertas itu kepada Julie.
"Julie bakalan bunuh diri!"
"Silakan."
Singkat saja jawaban Pak Pramudya. Ia tak mencegah, sudah hafal jika segala ucapan putri bungsunya itu tak pernah terbukti kebenarannya. Ia yakin jika Julie tak cukup bernyali untuk melakukan kegilaan sampai bunuh diri.
Mengingat bagaimana kekehnya dulu Julie mendebat Pak Pramudya saat gadis itu izin masuk kuliah Teknik Elektro. Yang katanya kalau lulus akan membawa Julie bergaji sekian puluh juta karena jurusannya terbilang sangat dibutuhkan. Omong kosong. Jangankan menunggu hingga Julie lulus kuliah, untuk lulus masuk kuliah saja pakai harus dilicinkan dengan beberapa gepok uang milik Pak Pramudya. Ditambah lagi selama kuliah, yang tiap semester pasti harus ada uang yang melayang lagi agar nilai Julie tuntas.
Ah sudahlah ... itu terakhir kali Pak Pramudya mendengarkan keinginan Julie. Kali ini, biar Pak Pramudya yang menentukan jalan berikutnya. Bahkan untuk urusan calon suami.
"Papa tega ngeliat Julie nikah sama orang setua Si Harisman itu?"
"Kan kamu sendiri yang bilang, gapapa yang tua asal kaya. Nah, Papa memilihkanmu calon suami yang paling tepat. Kalau kamu nikah sama Si Harisman itu ...." Pak Pramudya menjeda sesaat untuk membuka lembaran laporan keuangan yang ia baca ke halaman berikutnya. "Kamu bisa hidup santai kayak di pantai, lebih dari yang pernah kamu bayangkan."
"Santai apanya? Pa, coba bayangin kalo Julie harus ngurusin orang tua yang sakit-sakitan. Bukannya santai-santai, tapi Julie malah harus susah-susah."
"Jangan dibikin susah, Jul. Kan kamu bisa bayar perawat dan pelayan buat bantu-bantu ngurusin suamimu. Uang calon suamimu, jangankan hanya satu perawat dan pelayan, satu rumah sakit pun mampu dia beli."
Julie menghela napasnya dengan berat. Capek sekali berdebat dengan Pak Pramudya yang tak peduli padanya. Ancamannya untuk bunuh diri tak ditanggapi. Sekarang malah disuruh bayar perawat kalau suaminya nanti sakit.
"Julie mau kabur," cetusnya tiba-tiba.
"Kalau orang mau kabur ya gak ngomong. Langsung kabur. Kalau ngomong namanya izin bukan kabur lagi."
Tuh kan, rugi saja Julie mengancam Pak Pramudya. Tak ada yang berhasil. Memang apalagi yang bisa membuat Pak Pramudya kaget soal ngasalnya Julie. Bisa bicara ngasal tanpa pikir panjang. Yang sudah pasti akan disesali juga oleh Julie.
“Pa … gini deh, sekarang Julie tanya baik-baik ke Papa, Papa pengen punya cucu, gak?”
Pertanyaan Julie kali ini sukses membuat Pak Pramudya tertarik. Pria itu tampak mengalihkan pandangannya dari laporan keuangan yang ia baca ke arah putri bungsunya. Ia letakkan kaca mata bacanya, menandakan bahwa ia sudahi kegiatan membacanya. Lantas ia menatap Julie dengan lebih lekat, lebih memperhatikannya.
“Mau, gak?” ulang Julie lagi. “Papa pengen punya cucu atau gak?”
“Ya maulah, Jul. Masa gak mau, Papa sama mamamu pengen ngeliat kalian semua berkeluarga dan memiliki anak.”
“Nah … itu dia, Pa. Itu dia masalahnya. Kalo Papa nikahin Julie sama Si Harisman yang udah tua dan ubanan itu, kira-kira Papa masih bisa punya cucu, gak?”
“Si Harisman … Si Harisman … Si Harisman, dia calon suamimu, Jul. Sebutlah namanya dengan benar, bukan kayak orang manggil hewan aja. Panggilanmu itu kayak panggilannya Sophie ke hewan piaraannya, Si Poni.”
“Papa gak usah ngalihin pembicaraan deh, jawab dulu pertanyaan Julie. Apa pria itu bisa bikin Julie hamil?”
“Hush! Anak gadis kok ngomongnya sembarangan. Kamu nantangin?”
“Bukan maksudnya mau nantangin, Pa. Julie cuma nanyain kemungkinannya aja. Ya wajar dong kalo orang abis nikah ngarepnya punya anak, nah kalo suami Julie setua itu, kemungkinannya untuk punya anak … ah, udah meragukan.”
“Kata siapa? Laki-laki yang usia 40-50, bahkan sampai di 60 pun masih bisa bikin orang hamil.”
“Kalo pun masih bisa tapi peluangnya udah menurun dibandingkan yang masih muda. Apa Papa tega menukar peluang untuk punya cucu hanya karena Si Harisman itu kaya?”
Pak Pramudya sedikit tertawa. Julie benar-benar niat menolak, buktinya sampai memperhitungkan kemungkinan akan punya anak atau tidak. Hal yang bahkan belum Pak Pramudya pertimbangkan.
“Kalo pun berhasil bikin Julie hamil, anaknya bisa punya kelainan, seperti masalah jantung, autisme, skizofrenia, epilepsi, dan tingkat ketahanan tubuh yang rendah.”
“Kok Papa berasa lagi konsultasi sama dokter yah?” goda Pak Pramudya.
“Julie itu memikirkan semuanya, Pa. Julie gak mau membayakan kesehatan calon anak Julie di masa depan karena memiliki suami tua dan gak guna macam Si Harisman berengsek itu. Emangnya Papa mau punya cucu yang sakit-sakitan?”
Pak Pramudya tak menjawab, justru hanya tersenyum miring. Lantas apa makna senyum miringnya? Sekadar tertawakah? Atau justru ada hal lain yang ia sembunyikan dari Julie?