Mencari Cincin Nikah

1450 Words
Mata Julie mengerjap berkali-kali, gugup sekaligus malu. Ia sudah ketahuan, ditambah jatuh di depan umum. Dan sekarang pria yang ia ikuti itu tengah mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Terlalu memalukan jika ia raih tangan pria itu. Tapi, tubuh bagian belakangnya terasa sakit untuk bangkit seorang diri tanpa adanya pegangan. Apalagi telapak tangannya sedikit terluka, kulitnya terkelupas saat bergesakan dengan jalanan. Melihat gadis itu tak kunjung meraih uluran tangannya, pria yang telah memperkenalkan namanya sebagai Jonathan itu berinisiatif sendiri. Ia dekatkan dirinya lalu berlutut di depan Julie. Membantu gadis itu untuk berdiri dengan memegangi sikunya. Sadar jika Julie terluka di telapak tangan, makanya ia menghindari untuk menyentuh bagian yang terluka itu. “Bisa?” “I-iya.” Julie menjawab dengan gugup saat ia ikuti tarikan Jonathan. “Kamu terluka, saya antar ke rumah sakit,” tawarnya dengan sopan. “Ga-gak, gak perlu, Om.” Julie langsung menolak, ia pun menarik tubuhnya untuk mundur selangkah. Menunjukkan bahwa ia enggan dibawa ke mana pun oleh pria itu, terutama ke rumah sakit. “Tapi, kamu terluka. Tanganmu berdarah.” “Ah … ini.” Julie melihat telapak tangannya, memang ada sedikit darah. “Gak parah kok, Om.” “Om?” ulang Jonathan dengan sebuah senyum yang terkulum. “Om?” Ia sampai mengulang untuk kedua kalinya. “Emangnya saya salah panggil Om? Harus dipanggil apa? Kakak? Abang?” Wajah Julie menunjukkan keengganan saat ia ucapkan dua pilihan panggilan tersebut. Mana mungkin pria setua itu harus ia panggil Kakak atau Abang? “Om terlalu tua untuk dipanggil Kakak atau Abang.” “Ah, benar juga. Saya sudah tua.” Ucapan balasan pria itu membuat Julie langsung sadar bahwa ia baru saja mengatai calon suaminya. Ia mengutuk ketidaksopanannya. “Ma-maaf, sa-saya gak maksud ngatain.” “Kamu meminta maaf?” “Iya.” “Kalau begitu, ikutlah denganku agar permintaan maafmu diterima.” “Gak mau,” tolak Julie saat pria itu sudah meraih lengannya untuk ditarik. “Kamu berhutang permintaan maaf, satu karena sudah menguntit, dua karena sudah mengata—” “Iya, iya … saya salah, Om.” Langsung saja Julie memotong, tak membiarkan pria itu memaparkan semua kesalahan Julie. “Kalau begitu, ikutlah dengan tenang. Kau pasti capek dan lapar sudah menjadi seorang penguntit selama setengah hari.” Julie memang lapar, haus, ditambah tangannya sakit. Tapi, mengikuti pria itu, entahlah apa benar atau salah. “Om, jangan pegang-pegang saya, dong. Om mau saya laporin ke polisi?” Jonathan tertawa. “Bagaimana kalau kau juga dilaporkan ke polisi karena sudah menguntit?” Julie kalah telak. Jelaslah bahwa ia lebih bersalah jika hanya dibandingkan pegangan tangan yang dilakukan Jonathan. “Di situ ada tempat makan yang enak, ayo kita ke sana sebelum ke kantor polisi.” “Julie gak mau ke kantor polisi, Om.” “Kalau ke KUA, mau?” “Mau, tapi yang pasti gak sama Om!” ketusnya. Pria itu tertawa, membuat Julie makin memberengut. “Ngapain masih di situ? Katanya Om mau ngajakin saya makan?” Jonathan dan Julie pun masuk ke salah satu tempat makan, cukup sepi pengunjung di sana. Membuat Julie merasa heran, apalagi di jam makan siang begini. Padahal di luar sangat ramai. Tempat itu menjual mie daging. Makanan berkuah itulah yang langsung dipesan oleh Jonathan saat pelayan menghampirinya. Sepertinya sudah hafal menu andalan tempat itu. “Tanganmu perlu dibersihkan lalu diobati.” Julie belum sempat membalas ucapan pria itu, namun Jonathan sudah terlanjur berdiri. Ia melenggang masuk, seperti kenal dekat dengan pemilik tempat makan. “Ah, mungkin ini gedungnya juga. Makanya Om Harisman itu bebas masuk.” Pria itu kembali bersama seorang pria China. “Akong, dia terluka. Tolong membantunya.” Pria China dengan usia sepuh itu segera duduk. Ia letakkan kotak P3K yang memang ia bawa saat keluar. Julie tak banyak menolak, ia ulurkan tangannya untuk diobati oleh pria sepuh itu. Dimulai dengan membersihkan luka dan sisa darahnya yang sudah mulai mengering. Setelahnya ia baru oleskan betadine dan menutup luka Julie. “Terima kasih sudah mengobatinya, Akong.” “Sama-sama,” ujarnya sembari menepuk pundak Jonathan. Bersamaan dengan itu, pelayan sudah membawa mie daging yang masih mengepul. Langsung saja disajikan di hadapan Jonathan dan Julie. “Silakan dinikmati.” Julie menyendok, ia seruput kuahnya. Matanya langsung memancar dengan riang, ini enak. Ah, bahkan lebih dari kata enak. Menunya terlihat sederhana, tapi rasanya jauh dari bayangan Julie. Ia bahkan sempat mengira jika masakannya tak enak, melihat tempat tersebut sepi. Hanya beberapa pengunjung lain yang sedang makan. “Wah, enak sekali.” Julie menunjukkan kedua jempolnya pada pria China berusia sepuh itu. Pujian Julie disambut senyum hangat olehnya. Pria yang dipanggil Akong oleh Jonathan pun meninggalkan pelanggannya itu. Ia biarkan mereka menikmati makan siangnya. “Makanannya enak, tapi kok sepi, Om?” “Orang-orang sekarang lebih tertarik dengan tempat yang mengusung tema-tema kekinian. Makanya tempat-tempat yang masih mempertahankan keotentikan dan bertema etnik seperti ini terkesan ditinggalkan. Padahal kalau soal rasa, ya jelas siapa pemenangnya.” “Bener, Om. Julie kalo hangout sama temen-temen lebih milih makan di cafe-cafe, yang tempatnya tuh kekinian buat foto-foto.” “Tiap tempat punya keunikannya masing-masing. Tempat-tempat yang kamu kunjungi, mereka menjual view dan suasananya. Kalau yang seperti ini, mereka menjual rasa dari masakan mereka.” “Oh ya Om, kok Om bisa ngenalin Julie? Kok Om tau kalo Julie ngikutin, Om?” “Saya sudah ketemu sama Papamu. Papamu menunjukkan fotomu.” Julie menelan makanan di mulutnya dulu, ia alirkan air minum setelahnya. “Om, Om gak ada niatan nolak saya?” “Gak.” Jonathan menjawab dengan cepat, dan sialnya malah terdengar meyakinkan. “Habiskan makananmu, Akong akan mengira kalau masakannya tidak enak jika kau menyisakannya.” “Akong itu namanya?” “Bukan, namanya Jung Li. Akong itu panggilan untuk pria China yang usianya sudah lanjut. Semacam panggilan Kakek atau Opa kalau untuk orang Indonesia.” “Oh …. Om, mereka Islam gak sih?” “Dari tempatnya yang seperti ini, tidak bisakah kau menebaknya?” “Buddha?” terka Julie, apalagi setelah ia melihat adanya patung Buddha di atas lemari setinggi satu setengah meter. Ukurannya tak begitu besar, tapi dengan adanya patung tersebut sudah jadi jawaban atas pertanyaan Julie. “Iya.” “Makanan ini … ini halal, ‘kan? Om, Julie Islam, loh. Walau gini-gini, Julie gak makan babi.” “Kamu sudah memakannya.” “OM!” teriak Julie. “Om ngasih makan Julie babi?” Jonathan tertawa, gadis ini heboh sekali. Penampilannya tak begitu mencerminkan jika Julie adalah penganut agama Islam yang amat taat. Tapi, lihatlah kekesalannya saat Jonathan mengatakan jika Julie sudah menghabiskan semangkuk mie dengan daging babi. “Dasar Om-Om berengsek! Udah tua, gak tau diri, menyesatkan orang pula. Sial!” umpat Julie. Julie bergegas keluar dari tempat tersebut. Persetan dengan enak atau tidaknya. Persetan dengan bagaimana orang di tempat itu menilainya. Mau dikatai tak sopan atau bagaimana juga ia tak peduli. “Dasar pria tua b******n! k*****t!” Julie tak berhenti menyumpah hingga ia keluar. Jika saja ia bisa menarik keluar makanan yang telah membuatnya kenyang itu, pasti ia lakukan. “Nona Julie Adriyana Hermawan,” panggil Jonathan. Ia susul Julie yang sudah keluar duluan. Pria itu masih tampak tenang, berbeda dengan Julie yang sudah amat geram. “APA?” teriak Julie saat ia balik tubuhnya. “Mau ngasih makan apa lagi? Mau ngajakin makan anjing? Atau mau ngajak makan manusia sekalian? Dasar pria tua sialan!” Jonathan hanya tersenyum mendengar teriakan dan cacian Julie. Telunjuk pria itu terarah ke sebuah tanda bertuliskan huruf Arab di depan tempat makan milik Akong Jung Li. Julie mengikuti arah yang ditunjuk Jonathan, walau ia terhitung jarang membaca Al-Qur’an. Setidaknya tiga huruf Arab itu bisa ia baca dengan lancar. “Halal?” “Iya, mereka menjual makan halal.” “Terus ngapain bilang kalau itu babi?” Julie bertanya dengan nada yang masih menunjukkan amarahnya. “Sedikit menggodamu.” “Dasar pria tua sialan!” lanjut Julie mengumpat. “Baiklah, sebagai permintaan maaf, ayo kita masuk ke sana.” Jonathan berjalan cepat untuk meraih pergelangan tangan Julie. Ia tarik gadis itu menuju sebuah toko di antara deretan gedung-gedung pertokoan. “Toko perhiasan?” “Iya, tanganmu terlihat sangat cantik. Pasti akan lebih cantik jika memakai salah satu dari cincin di dalam.” Jonathan menarik Julie masuk ke dalam toko perhiasan itu. Mereka langsung disambut ramah. “Saya mencari cincin nikah, tolong tunjukkan yang terbaik,” ucap Jonathan. “Di sebelah sini, Pak.” Cincin nikah? Heh, kok udah sampai cincin nikah saja? “Pilihlah mana yang kau suka.” Julie menggelengkan kepalanya. Tak ada yang ia suka, bahkan sebelum ia mau melirik ke balik etalase kaca itu. Ia tak mau menikah dengan pria tua sialan ini. “Julie gak mau nikah sama Om.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD