Tak ada yang berhasil ia bujuk atau ancam. Mamanya tak membantu sedikit pun. Dan bahkan ancaman untuk bunuh diri pun sama sekali tak dianggap oleh Pak Pramudya.
Julie memilih pergi, menyeret kopernya. Eh, tak benar-benar pergi sebenarnya. Toh, ia memang sudah jarang menginap di rumah orang tuanya sejak ia mengelola salah satu gedung kos-kosan milik papanya. Dan ke sanalah Julie kembali. Kembali ke tempat kos-kosan dan kepada para kurcaci-kurcaci nakalnya itu.
“Malam, Ibunda Ratu.”
Julie langsung disapa oleh para penghuni kosnya begitu ia turun dari mobil. Para kurcaci-kurcaci nakal itu sedang berkumpul di teras kosnya. Bermain gitar, makan kacang rebus, dan kopi yang mulai dingin.
“Mau dibantuin, gak?” tanya salah seorang—pria yang memegang gitar tanpa ia mainkan—Andre namanya.
Julie yang saat itu menarik kopernya hanya tersenyum sinis. Masih kesal, bawaan dari rumahnya. Makanya kesalnya masih berefek sampai sekarang.
“Kenapa? Emangnya mau bantuin?” ketus gadis yang sebulan terakhir dipanggil Ibunda Ratu oleh penghuni kosnya.
“Kalo untuk Ibunda Ratu, ya pasti dibantulah.”
Andre sontak melompati terali besi pembatas teras di depannya setelah ia letakkan gitar di lantai. Berniat untuk membantu Julie membawa kopernya hingga ke kamar.
Tak hanya Andre, satu orang lainnya pun turut mendekat. Sepertinya sedang berpura-pura baik pada Julie. Berharap tak langsung ditodong p********n, maklum yang bulan kemarin masih menunggak.
“Masih ada yang perlu dibawain, gak?” Kino nama cowok yang berkulit hitam itu bertanya. Giginya yang terderet rapi, sengaja ia tunjukkan pada Julie. Sedang berlagak sok manis pada sang Ibunda Ratunya itu.
"Bawa ini juga!"
Suara bernada perintah itu membuat Julie, Andre, dan Kino berbalik ke sumber suara. Mata Julie seketika melotot mendapati pria ubanan itu ada di depannya. Ada sebuah koper besar yang ia bawa, ditambah sebuah paper bag yang entah apa isinya yang berada dalam tentengan tangan kirinya.
"Ngapain Om ke sini?"
"Saya menyewa kos di sini," jawabnya dengan enteng.
"Maaf, udah gak ada kamar kos yang kosong."
"Saya mengatakan kalau saya menyewa, bukan sedang mau menyewa." Jonathan memperjelas ucapannya. "Saya sudah menyewa tadi siang, dan sekadar memberi informasi tambahan, saya juga sudah membayar sewanya."
"Om bayar ke siapa? Yang punya kos-kosan ini tuh Julie, kenapa Om asal nyewa aja dan gak ngasih tau ke saya?"
"Ini kan lagi dikasih tau."
"Ck! Maksud Julie sebelum Om nyewa."
"Tadi saya ke sini, sehabis dari toko perhiasan. Sekalian berniat membawakan cincin—”
“Stop! Stop!” Julie langsung menyela. “Gak usah bahas-bahas soal cincin, pusing dengernya. Mending Om pergi aja.”
“Gak bisa gitu, saya udah menyewa di sini, dan saya akan tinggal di sini.”
“Om, saya gak terima penghuni baru seperti Om.”
Jonathan hanya mengulas senyum tipis, pria itu menurunkan paper bag bawaannya lantas merogoh saku celananya. Ia keluarkan kunci dan menunjukkan pada Julie. “Saya sudah punya kuncinya. Dan kamu ….” Jonathan menunjuk Kino. “Bawakan barang saya ke kamar 23.”
“Om ini siapa yah? Seenaknya nyuruh-nyuruh orang.” Kino membalas dengan nada suara tak suka. Tak kenal, tiba-tiba ia diperintah bak pembantu saja.
“Om gak punya hak buat nyuruh-nyuruh orang di sini. Kalo Om terbiasa dilayani di tempat Om, silakan balik ke tempat Om. Di sini Om gak bisa seenaknya.”
“Apa ada yang mau membantu saya mengangkat barang-barang ini?” Jonathan bertanya lagi, ia edarkan pandangannya ke beberapa penghuni kos lain, termasuk Kino, Andre, dan cowok-cowok yang masih duduk di teras. Pria itu merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet, dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna biru.
Begitu melihat lembaran-lembaran uang, cowok-cowok yang tadi cuma duduk di teras langsung melompat menghampiri Jonathan. Bahkan Kino yang tadi mengetusi Jonathan pun segera mendekati pria itu. Tak kalah, Andre yang semula berniat membawakan koper Julie pun sudah melepaskan koper Ibunda Ratunya itu, ia justru beralih menghampiri Jonathan.
“Sini saya bawain, Om.” Salah seorang berkata.
“Biar saya aja, Om.”
“Saya aja, Om.”
“Ada barang lain, Om?”
“Di mobil masih ada barang lain, Om?”
Jonathan diserbu pertanyaan. Kopernya bahkan sudah naik tangga dibawa oleh Kino. Sementara paper bag-nya sudah diambil oleh Aan, menyusul Kino yang berlari dengan penuh semangat menuju lantai 3, tepatnya menuju kamar 23.
“Om, masih ada barang lain, gak?” tanya Andre.
“Mobilnya perlu kita lap-lapin, gak?” timpal yang lain.
Jonathan sedikit tertawa, dengan beberapa lembar uang, satu masalahnya teratasi. Ah, uang memang solusinya.
Kino dan Aan segera turun ke lantai bawah setelah ia meletakkan barang-barang Jonathan di depan pintu kamar bertuliskan angka 23 yang dalam keadaan masih terkunci.
“Ini untuk kamu.” Jonathan memberi empat lembar uang lima puluh ribuan kepada Kino. “Dan ini untuk kamu.” Pun memberikan dengan jumlah yang sama kepada Aan. Sementara untuk penghuni kos yang lain yang tidak kebagian kesempatan untuk membawakan barang Jonathan tetap pria itu hadiahkan dengan masing-masing selembar uang lima puluh ribu.
“Makasih, Om.”
“Terima kasih, Om.”
“Om, kalau butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan bilang ke kita-kita.”
“Tentu,” balas Jonathan.
Cih! Memamerkan uangnya. Julie mencibir dalam hati. Karena kesal dan malas melihat Jonathan lebih lama, ia segera mengambil kopernya—ukurannya tak begitu besar—toh barang-barangnya sudah cukup banyak yang ia pindahkan sejak bulan lalu.
“Satu lagi, tolong bantu dia membawa kopernya,” ujar Jonathan seraya menunjuk Julie yang sudah berjalan membelakanginya.
“Siap, Om,” ujar Andre dan segera ia mengambil alih koper dari tangan Julie.
“Gak usah,” ketus Julie. “Aku gak punya duit dua ratus ribu buat bayar kamu,” sindirnya. Ia melirik dengan tatapan judes kepada Jonathan.
“Eh, gak gitu dong, kalo buat Ibunda Ratu gak perlu dibayar. Ikhlas seikhlas-ikhlasnya.”
“Halahh, paling sok baik aja, biar besok-besok gak diusir kalo bayar kosnya telat.”
Andre menyengir. “Ibunda Ratu mah suka berpikiran negatif nih, padahal kan aku ikhlas bantuinnya.”
“Ikhlas? Bukannya karena disuruh? Karena abis dikasih uang?”
Sekali lagi Andre menyengir sebelum ia bawa koper Julie naik ke kamar gadis itu. Julie menyusul di belakangnya, namun saat hampir naik ke tangga, ia bertemu dengan Babe Ahmad yang baru keluar dari rumahnya.
“Neng,” sapa Babe Ahmad pada anak bosnya.
“Iya, Be.” Julie balas menyapa, pun menyalami tangan pria itu dan menciumnya.
“Oh iya, Neng. Tadi siang ada orang yang mau nyewa kos. Udah Babe kasih kuncinya, orangnya juga udah bayar, Neng.”
Julie sepertinya sudah tau siapa yang dimaksud oleh Babe Ahmad. Orangnya kini bahkan berjalan mendekati Babe Ahmad, bermaksud mau memberi tahu kedatangannya.
“Malam, Be.” Jonathan menyapa dengan akrab. Sepertinya tengah mencoba mengakrabkan diri dengan Babe Ahmad.
“Malam, Pak Jonathan.” Babe Ahmad juga balas menyapa seraya menjabat tangan pria itu. “Ini loh, Neng, yang Babe maksud. Penghuni kamar 23.”
Julie menghela napas panjang, bola matanya sedikit memutar pertanda malas. Ia memilih pulang ke kos-kosan, bukan untuk membuat dirinya makin pusing. Ia bermaksud mencari ketenangan, bukan malah harus bertemu Jonathan lagi.
“Be, saya duluan. Mau istirahat.”
“Iye, Neng.”
“Be, saya izin ke atas. Ada yang mau dibicarain sama Neng Julie.” Jonathan sedikit terkekeh saat ia sebut panggilan tersebut. Lucu menurutnya gadis itu dipanggil dengan sebutan ‘Neng” oleh Babe Ahmad. Makanya ia pun mencoba memanggil dengan cara yang sama.
“Neng Julie?” ulang Julie. Matanya membelalak, menyorotkan betapa ia marah sekaligus jijik dipanggil dengan sebutan ‘Neng’ oleh Jonathan.
Babe Ahmad sedikit mengulum senyum saat ia dengar Jonathan menyebut Julie dengan sebutan ‘Neng’. Terdengar aneh di telinganya. Terkesan memiliki makna tersembunyi, membuat pria paruh baya itu merasa geli, dan ia menyimpulkan jika ada sesuatu yang aneh yang terjadi antara Julie dan Jonathan. Makanya saat Jonathan menginjak satu anak tangga untuk menyusul Julie, ia tak mencegah.
“Jangan manggil-manggil saya Neng Julie, Om terlalu tua buat manggil saya Neng. Om pernah ngaca gak sih? Pernah merhatiin uban-uban di kepala Om, gak?”
Jonathan mendekatkan kepalanya ke depan wajah Julie. Otomatis membuat Julie salah tingkah dan memundurkan kepalanya.
“Kamu segitu memperhatikan, sampe hafal seberapa banyak uban saya?”
Julie sudah muak. Ia tak mau membalas ucapan pria tua itu lagi. Ia segera membalik badannya lalu melanjutkan naik tangga. Walau Jonathan mengikut di belakangnya, Julie tak peduli. Tak mengusir atau berkata apa pun.
“Kok masih di situ? Kenapa belum turun?”
“Saya kan bilang mau ada yang dibicarain.”
Julie memutar badan dengan malas. Ia tatap pria tua menyebalkan itu. “Siapa yang ngomong sama Om? Saya ngomongnya sama Andre.”
“Oh, kirain kamu ngajak saya bicara.”
Julie mendecak, kemudian balik melihat Andre lagi. “Kenapa masih di sini?” Julie mengulang kembali pertanyaannya. “Mau nagih p********n karena udah bawain koperku?”
“Gak gitu, Ibunda Ratu. Cuman nunggu kali-kali aja Ibunda Ratu butuh bantuan biar kopernya sekalian dibawa masuk ke dalam kamar.”
“Mau ngapain ke kamar Julie? Punya niat apa?” Jonathan menyelidik.
“Kan tadi saya bilang mau bantuin bawa masuk kopernya, Om.”
“Tidak perlu, kamu bisa turun. Biar saya yang membantunya membawa masuk koper itu?”
“Om sendiri punya niat apa mau masuk ke kamarnya Ibunda Ratu kami? Dibandingkan saya, justru Om yang harus dicurigai. Om justru orang asing di sini, patut diwaspadai. Kami tidak akan membiarkan Om melakukan hal-hal aneh kepada Ibunda Ratu kami yang tercinta.”
“Saya di sini untuk memberikan dia ….” Jonathan menunjuk Julie, sementara satu tangannya mengeluarkan sebuah kotak cincin dari bali saku jasnya. “Cincin.”
“CINCIN?” tanya Andre dengan tak percaya. Nada suara cowok itu meninggi, menunjukkan betapa ia kaget, apalagi saat Jonathan sudah membuka kotak cincinnya. Memamerkan bulatan berkilau di dalamnya. “Om mau nikahin Ibunda Ratu kami? Om bakalan jadi Ayahanda Ratu kami? Eh … mak-maksudnya, Ayahanda Raja kami?”
Mata Andre bergantian menyelidik kedua bola mata Julie dan Jonathan bergantian. Menunggu jawaban, sekaligus menyandingkan keduanya dalam bayangan Andre. Serasikah? Dengan perbedaan umur yang terbilang hampir dua kali lipat. Masih cocokkah? Apalagi dengan kenyataan pria itu telah beruban, sementara Julie jelas terlihat betapa ia masih muda.
Tapi tentang serasi atau cocok, apakah hanya diukur dari umur? Bagaimana jika uang juga mengambil alih perannya? Bukankah uang bisa menjadi solusi atas segalanya? Bahkan menyerasikan sang Ibunda Ratu dan Ayahnda Raja itu.