Episode 5

1401 Words
Aiza membuka kedua matanya secara perlahan dan merasa silau oleh cahaya lampu di plafon ketika dirinya mulai mengumpulkan kesadarannya. Aiza pun mengusap salah satu matanya dan meringis ketika merasakan kesakitan di punggung tangannya. Aiza meringis saat mengetahui ada jarum infus terpasang disana. Sekarang Aiza mulai sadar. Dia berada di ruang rawat inap rumah sakit yang sunyi dan dingin ditambah dengan aroma obat-obatan yang menyeruak di penciumannya. "Jangan terlalu banyak bergerak." cegah seorang wanita yang ternyata adalah Reva. "Reva?" "Kamu pasti bertanya apa yang sebenarnya terjadi sehingga kamu berada disinikan?" tebak Reva lagi sambil membantu Aiza untuk duduk kemudian menaruh bantal di punggungnya untuk bersandar di bed head brankar pasien. Aiza menatap Reva yang kini berada di sampingnya dengan kebingungan sementara rasa pusing dan perutnya terasa melilit. Reva menghela napasnya. "Tadi siang kamu pingsan. Tepatnya setelah mata kuliahmu berakhir." "Pingsan?" Reva mengangguk. "Pasti karena semalam kamu pulang telat. Jangan ditanya kenapa aku tahu, karena semalam aku melewati kamarmu dan lampunya tidak menyala hingga pukul 22.00 malam. Semalam kamu kemana Za?" Aiza tidak ingin menjawab. Ia tidak ingin sesuatu yang tidak terlalu penting untuk dibicarakan bahkan membuat Aiza membuka mulut. Aiza memilih untuk kembali merebahkan tubuhnya dengan pelan sebagai alasan yang tepat saat ini. Reva yang sudah mengetahui karakter teman sebelah kostnya yang pendiam itu memilih pasrah dan tidak ingin menanyakan lagi. "Aku akan memanggil Suster diluar untuk memeriksa keadaanmu sekarang." Aiza hanya diam dan menurut ketika Reva kembali membantunya untuk berbaring terlentang sambil menyelimutinya sebatas perut. Rasa lelah ditubuhnya membuat Aiza ingin segera kembali memejamkan kedua matanya dan berharap setidaknya rasa lelah itu akan hilang dengan sendirinya. "Kamu harus bersyukur. Pak Arvino yang membawamu kemari." Seketika Aiza membuka kedua matanya dan jantung Aiza berdebar hanya karena mendengar nama Arvino, Dosen beriris biru yang sudah mengalihkan perhatiannya. Hal yang tidak terpikirkan olehnya sejak tadi bahkan menanyakannya pada Reva siapa yang sudah menolongnya dan membawanya kemari. "Awalnya aku tidak tahu sama sekali dan memilih keluar kelas begitu Dosenku tidak hadir. Tapi karena tadi siang aku melihatnya menggendong tubuhmu dengan tatapan khawatir. Aku mengikutinya sampai kemari dan dia menyuruhku menjagamu." Kepala Aiza mendadak pening. Padahal ia harus mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Kepalanya saja masih terasa pusing begitupun dengan rasa sakit di perutnya, lalu sekarang? jantungnya kembali berdebar tidak karuan. "Jangan bilang saat ini kamu gugup?" suara Reva kembali terdengar. "Itu tidak benar." sangkal Aiza dan memilih berbaring kesamping memunggungi Reva. Reva sudah berdiri diambang pintu. Sedangkan Aiza kini berusaha menutupi kebohongannya. "Hanya perasaanmu saja." "Benarkah?" Reva mengerutkan dahinya seolah-olah tidak percaya. "Terserah deh. Barusan aku liat pipimu merona merah. Tidak mungkinkan saat ini kamu memakai blush on dibalik wajahmu yang pucat karena sakit?" Hanya keheningan beberapa detik sampai akhirnya terdengar suara pintu yang tertutup ketika Reva memilih pergi dari sana untuk memanggil suster. "Ya Allah, kenapa nama Dosen Arvino terus membayang di pikiranku? Hamba takut Allah tidak meridhoinya." Lirih Aiza pelan. ***** Arvino termenung dalam pemikirannya sendiri ketika duduk dibalik kemudinya. Saat ini Arvino sedang mengemudikan mobilnya dijalanan yang sedikit macet.  Suasana kota Samarinda terlihat ramai. Banyak pengendara yang saat ini melintas di waktu jam pulang sekolah dan bekerja. Jam menunjukkan pukul 17.30 sore sebelum menjelang senja. Arvino menuju kediaman orang tuanya setelah menerima pesan singkat untuk menyuruhnya kesana. Hal yang benar-benar membosankan bagi Arvino ketika kerumah kedua orang tuanya kali ini adalah kembali membicarakan tentang perjodohan. Oh ayolah, dia sudah dewasa dan cukup umur untuk memilih pasangan sesuai pilihannya sendiri meskipun saat ini belum menemukannya. Kejadian masalalu akibat pernikahannya yang batal dengan seseorang yang ia cintai benar-benar membuat Arvino sulit untuk melupakannya apalagi kembali melangkah kearah yang sama. Mobil tiba didepan pintu pagar rumah kedua orang tuanya yang berada di Kawasan perumahan elit Vila Cendana Samarinda. Arvino segera menekan klakson untuk memberi tanda kepada seorang asisten rumah tangga lalu tidak lama kemudian, terlihat Pak Gani segara membukakan pintu pagarnya. Arvino mulai memasuki halaman rumah yang sudah tidak asing baginya dan segera keluar dari mobilnya setelah mematikan mesinnya. Arvino tersenyum saat Pak Gani menyambut kedatangannya. "Asalamualaikum Den vino, apa kabar?" sapa pria paruh baya dengan senyuman ramahnya. "Wa'alaikumsallam. Alhamdulillah baik Pak Gani. Ayah sama Bunda ada?" "Kebetulan mereka ada didalam sedang menunggu Den Vino." Arvino mengangguk seraya menyentuh pundak Pak Gani yang sudah ia anggap keluarga sejak dulu. "Kalau begitu saya masuk dulu ya Pak." "Iya Den silahkan." Arvino melangkahkan kakinya memasuki rumah yang menjadi tempat berteduhnya sejak lahir dan begitu tiba didepan pintu rumahnya, Arvino mengulurkan tangannya untuk membuka pintunya ketika seorang ibu paruh baya sudah membuka pintunya duluan. Dialah Ayu, Bunda Arvino yang menyambut kedatangan putranya dengan senyuman penuh kerinduan sambil memeluk putranya. "Ya Allah Nak, Bunda merindukanmu. Bagaimana kabar putra Bunda yang tampan ini sehatkan?" "Alhamdulillah Vino baik dan sehat Bun." dengan lembut Arvino memeluk Bunda tercintanya dan mencium pipinya. "Bunda sehatkan? Ih, makin cantik saja." Dan itu benar adanya, Bunda Arvino yang bernama Gabriela namun sudah mengganti nama menjadi Bunda Ayu setelah mualaf dan menikah dengan Ayahnya itu, memiliki wajah khas Eropa dan beriris biru. "Kamu ini ada-ada saja. Tapi makasih sudah puji Bunda." senyum Ayu. "Kamu sudah makan Nak? Kebetulan Bunda sudah masak makanan kesukaanmu." "Beneran Bu? Wah kebetulan Vino sudah lapar banget." Ayu tersenyum penuh arti sambil merangkul erat lengan Vino yang lebih tinggi darinya dan segera memasuki rumah mereka. Sesampainya didalam, Arvino terkejut saat di kursi meja makan mereka sudah berkumpul keluarga besar dan salah satunya ada keluarga asing yang tidak Arvino kenal. Dugaannya benar. Pasti tentang perjodohan lagi. "Apakah Ayah tidak memikirkan semua kenyataan pahit yang pernah aku alami di masalalu?" Jengah Arvino dalam hati. Semua itu terbukti ketika saat ini ada seorang wanita yang tengah duduk diantara kedua orang tua yang seusia Ayah Bundanya. "Ayo Vino kemarilah. Jangan kebanyakan melamun." Tegur Azka, Ayah Arvino. Mau tidak mau, Arvino segera menuju meja makan dengan perasaannya yang gusar. Demi kesopanan, Akhirnya Arvino pun ikut bergabung dengan mereka oleh hatinya yang terpaksa bahkan senyumannya yang palsu. "Vino, nanti kamu mengobrol sebentar dengan Adila diruang tamu ya. Adila ini pengusaha muda, sebentar lagi Ayah mau pension di perusahaan real estate milik Ayah. Barang kali kalian bisa saling berbagi ilmu tentang bisnis." Lihat? Benarkan dugaan Arvino. Ayahnya kembali berulah dengan memanfaatkan situasi sekarang. Benar-benar menyebalkan. Arvino hanya mengangguk dan memilih diam tanpa berkomentar apalagi menolak seperti yang sudah-sudah. ***** "Jadi bagaimana keadaannya sekarang dok?" tanya Reva yang kini berada disamping Aiza. Reva menatap Aiza dengan perasaan khawatir sejak beberapa jam yang lalu. Seorang dokter wanita muda kini tengah memeriksa kondisi Aiza "Kondisinya membaik dan besok Aiza sudah boleh pulang. Saran saya Aiza harus tetap makan dengan teratur agar asam lambungnya tidak meningkat. Aiza juga memiliki penyakit Vertigo." Dokter tersebut menatap Aiza dan Reva secara bergantian. Aiza hanya mengangguk dengan saran yang diberikan oleh Dokter dan vertigo adalah penyakit Aiza sejak dulu bahkan bisa saja kambuh jika dirinya tidak makan secara teratur. Reva mengangguk. "Kalau begitu terima kasih Dok." "Sama-sama. Permisi." Dokter itu pun pergi bertepatan saat Arvino memasuki ruang rawat inap Aiza dan seketika membuat jantung Aiza kembali berdebar begitu melihatnya. Reva yang menyadari kehadiran Dosennya itu segera melirik kearah Aiza yang kembali bersemu merah. "Em, aku pergi dulu. Ada hal-" "Jangan Reva! Please.." cicit Aiza dengan gugup sambil mencekal lengan Reva. "Aiza-" "Jangan pergi." Aiza menatap Reva dengan horor dan membuat Arvino mengerutkan dahinya tidak mengerti menatap keduanya yang terlihat saling berbisik. "Tapi Aiza, aku-" "Bisa tinggalkan kami berdua?" suara Arvino mencegah Aiza dan Reva yang membuat keduanya berhenti berdebat dan menoleh kearahnya. "Ini perintah. Kalau kamu tidak memiliki kepentingan bisa keluar dari sini. Ini privasi." Ucap Arvino dengan tegas. Raut wajah Arvino terlihat tidak suka. Dan Reva cukup tahu diri kalau Arvino adalah dosen yang menyebalkan dan angkuh. Reva melepaskan cekalan tangan Aiza dilengannya dan pergi begitu saja dengan sopan bahkan mengabaikan Aiza yang harus menahan diri untuk tidak protes lagi. Suara pintu di tutup dan akhirnya, Aiza pun memilih menundukan kepalanya dan menyembunyikan raut wajahnya yang merona merah. Tanpa Aiza sadari, Arvino menyunggingkan senyumannya karena ia tahu Aiza adalah sosok wanita yang polos dan pendiam bahkan tidak akan mengetahui rencananya yang sudah ia atur kali ini. Apalagi Aiza adalah sosok gadis yang pemalu. "Ya Allah, kuatkanlah hati hamba. Lindungilah hamba dari pengaruh seorang pria yang bukan mahram hamba." Ucap Aiza dalam hati. ***** Ada apa ya dengan Arvino? Wkwkwkw mulai deh dia mulai.. gadis sepolos dan pemalu seperti Aiza mau di aneh-anehin. Terimakasih sudah membaca. Sehat terus buat kalian ya.  With Love LiaRezaVahlefi  Blog : www.liarezavahlefi.com Instagram: lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD