Tak terasa hari sudah petang. Kini keluarga dari Marco dan Clara pamit pulang, begitupun dengan temannya Violetta, Maria. Violetta nampak sibuk membantu para pelayan merapikan meja makan sedang kedua orangtuanya dan orangtua Lionello sedang berkumpul di ruang depan. Hanya Lionello Dan kakaknya yang masih berada di halaman belakang. Violetta menghentikan aktivitas menata piring-piring kotor saat merasakan dirinya diperhatikan terang-terangan oleh sepasang mata cokelat. Dia melirik ke arah pria tersebut. Namun dia hanya diam dan tidak mengatakan apapun pada pria itu. Dirinya menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan untuk mengatur rasa gugup.
Violetta kembali menoleh, kini sedikit lebih lama dari sebelumnya. Dia ingin menghampiri pria itu dan bertanya apakah ada sesuatu yang salah dengannya. Atau mungkin dirinya masih merasa kesal atas ucapan Violetta terhadapnya.
"Vio."
Perhatian Violetta teralihkan ketika mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh ke arah samping dan melihat Clara menghampirinya.
"Signore Giovinco dan istrinya akan pamit pulang. Sebaiknya kau pergi menemuinya lebih dulu," ucap Clara.
Violetta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Iya, Ma," jawabnya.
Clara menatap kedua tangan Violetta yang memegang tumpukan piring kotor. "Tinggalkan itu, biar pelayan yang merapikannya. Ayo, ikut Madre," ajak Clara dan menggandeng Violetta.
"Sì," jawab Violetta lalu memilih pergi meninggalkan halaman.
Saat kedua kakinya melewati pintu belakang, Violetta menghentikan langkahnya. Membuatnya tertinggal dari Clara karena ibunya sudah melepas gandengannya saat Violetta ikut berjalan. Wanita itu menoleh ke belakang. Keningnya mengernyit bingung saat Lionello masih menjatuhkan tatapan ke arahnya.
Violetta memalingkan wajahnya dan melanjutkan langkah kakinya mengikuti Clara. Sepanjang langkahnya, Violetta tidak bisa berhenti memikirkan maksud Lionello menatapnya dengan sangat aneh. Tatapan itu, Violetta tidak bisa mengartikan maksud dari sorot mata pria itu. Hingga membuat Violetta merasa penasaran akan hal itu.
Lamunan Violetta membuyar saat sudah bergabung dengan ibunya. Dia melihat Nieve dan Enzo sudah berdiri seolah siap hendak pulang. Violetta menjatuhkan pandangan ke arah mereka berdua dan membalas senyuman Nieve yang tertuju padanya.
Nieve maju ke depan lalu memeluk Violetta membuat wanita itu sedikit terkejut dengan sikapnya. Clara hanya tersenyum melihat Nieve menatap putrinya penuh dengan kasih sayang.
"Kami pamit pulang," ucap Nieve.
Violetta menganggukkan kepalanya. "Sì. Hati-hati di jalan, Signora."
Nieve menganggukkan kepalanya lalu menatap Clara. "Jangan lupa sampaikan padanya," ucap Nieve pada Clara namun tatapannya teralihkan pada Violetta.
Violetta mengernyit bingung sembari menatap ibunya. "Apa ada sesuatu, Madre?"
"Nanti Madre akan jelaskan padamu."
"Kalau begitu, kami pulang dulu. Sampai jumpa lagi," pamit Nieve.
Nieve dan Enzo pun berjalan keluar rumah diikuti Clara dan lainnya. Tak lupa Nieve melambaikan tangannya saat hendak masuk ke dalam mobil dan di balas Violetta serta Clara. Perlahan mobil yang ditumpangi mereka berdua pun mulai melaju meninggalkan halaman.
"Ma." Violetta memanggil Clara saat mobil Enzo sudah tidak terlihat.
"Ya, Sayang."
"Apa ada sesuatu? Memangnya apa yang ingin Madre sampaikan?" tanya Violetta merasa penasaran.
Clara menghela napas pelan lalu mengelus pundak putrinya. Sedang Marco nampak diam seolah membiarkan istrinya yang menyampaikan hal tersebut.
"Baru saja ... Signora melamar mu untuk menjadi istri Signore Giovinco," jawab Clara setelah beberapa saat diam.
"Che cosa?" Violetta membelalakkan kedua matanya tidak percaya.
"Ya Sayang. Signora ingin kau menikah dengan putranya," ucap Marco menegaskan.
"Ma-Madre ... Kenapa Madre dan Padre tidak mengatakan hal ini lebih awal padaku?" tanya Violetta gugup. Dirinya tidak bisa jika harus mendadak menikah dengan seorang pria yang tidak dia sukai.
Tiba-tiba saja pikiran buruk mulai muncul dalam benak Violetta. Mulai dari cara pria itu menatapnya dengan aneh hingga perjodohan tanpa persetujuannya. Ya, Violetta memang mengakui jika Lionello adalah seorang pria tampan. Tapi dia tidak bisa menikah dengan seorang pria gay. Dia hanya cemas jika pernikahan itu hanya untuk dijadikan tameng dan sebuah pembuktian jika dirinya bukan seorang gay. Violetta hanya ingin menikah dengan pria yang dia cintai.
"Maafkan kami, Sayang. Tapi kau tidak perlu cemas dengan hal itu. Kapan waktunya kalian akan menikah, itu terserah kalian—"
"Apa pria aneh itu juga tahu hal ini?" Violetta memotong ucapan ibunya.
"Panggil namanya dengan benar, Vio," tegas Clara seolah tidak menyukai julukan Lionello yang diberikan oleh putrinya.
Violetta mendesah pelan lalu memejamkan matanya sejenak untuk mengatur emosinya. Dia menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, lalu kembali menatap ibunya.
"Ma—"
Perhatian Violetta dan kedua orangtuanya teralihkan saat mendengar deru langkah dari arah belakang. Mereka pun menoleh bersamaan dan melihat Lionello serra Gustavo datang. Violetta menggigit bibirnya kesal melihat wajah Lionello yang tiba-tiba saja terlihat menyebalkan. Dia pun langsung memalingkan wajahnya seolah enggan untuk menatap pria tersebut secara langsung.
"Aku akan langsung pulang. Maaf karena membuat Gustav tidak bisa menikmati pestanya dengan tenang," ucap Lionello.
Clara mengembangkan senyum seraya menggelengkan kepalanya. "Tidak, Signore. Kami justru merasa senang Anda bersedia datang. Sudah sangat lama terakhir kali Anda datang ke rumah kami," ucap Clara.
Lionello tersenyum lalu melirik ke arah Violetta yang sejak tadi terlihat kesal padanya. " Kalau begitu, aku akan pulang," pamit Lionello.
Clara dan Marco mengangguk lalu menundukkan kepalanya disusul Violetta. Lionello pun melangkahkan kakinya menuju mobil diikuti Gustavo. Dia masuk ke dalam mobil saat Gustavo membukakan pintu untuknya. Gustavo menyusul masuk ke dalam mobil setelah memastikan Lionello sudah duduk dengan tenang. Perlahan mobil sedan itupun mulai melaju meninggalkan halaman.
Sedangkan di dalam mobil Lionello nampak diam seraya menjatuhkan tatapannya ke arah pemandangan di luar. Dia tidak sadar jika Gustavo memperhatikannya lewat spion mobil. Perlahan terdengar helaan napas panjang dari arah Gustavo.
"Kenapa Anda menatap adik saya seperti itu?"
Lionello tidak menjawab pertanyaan Gustavo yang saat ini sedang berbicara formal. Menandakan jika pria itu sedang menganggapnya sebagai tuan, bukan temannya. Padahal Lionello tidak senang jika berbicara hal pribadi dengan Gustavo menggunakan bahasa formal.
"Kenapa kau menatap adikku seperti itu? Apa kau masih merasa kesal karena ucapannya?" tanya Gustavo setelah beberapa saat diam.
Lionello melirik ke depan, tepat ke arah spion mobil membuat tatapan mereka bertemu.
Nampak jelas jika Gustavo sedang mencemaskan adiknya. Pria itu sangat ingin menanyakan hal tersebut sejak masih berada di rumahnya, tapi dirinya merasa segan. Hingga sampai akhirnya kecemasan semakin membuat dirinya tidak tenang saat melihat Lionello menatap aneh pada Violetta ketika hendak berpamitan.
"Tolong jawab pertanyaan ku," pinta Gustavo merasa penasaran.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa iri pada adikmu," jawab Lionello jujur. Dia menghela napas pelan lalu menyandarkan punggungnya. "Adikmu terlihat menikmati hidupnya yang sekarang. Sedangkan aku ... kau bisa melihat perbedaannya," jawab Lionello sembari tersenyum.
"Apa tidak ada hal lain? Atau mungkin karena kau masih merasa kesal atas ucapannya."
Lionello terdiam sejenak lalu memalingkan wajahnya. "Tidak ada," jawabnya pelan sembari mengepalkan kedua tangannya seolah sedang menahan sesuatu yang ada di dalam hatinya.
Gustavo pun kembali diam. Kini tatapannya lurus tertuju pada jalanan yang sedang dilalui. Otaknya kembali pada masa lalu tanpa keinginannya hingga membuat dirinya menutup mata untuk menghentikan otaknya yang terus saja mengingat.
"Bagiku, Violetta adalah adikku. Aku tidak pernah memandang dirinya sebagai orang Spanyol. Jadi, aku mohon padamu untuk melakukan hal yang sama," ucap Gustavo sembari melirik ke arah spion mobil yang menampakkan ekspresi emosi pada wajah Lionello.
Lionello hanya diam seolah enggan untuk membalas ucapan Gustavo. Dirinya memilih untuk memperhatikan pemandangan kota di waktu malam hari dibandingkan lebih jauh memikirkan masa lalu. Ya, dirinya sangat paham jika wanita itu kini menjadi adik dari teman sekaligus orang kepercayaannya tersebut. Bahkan nama keluarganya pun bukan lagi keluarga orang Spanyol, melainkan keluarga Castiglione. Namun entah mengapa setiap kali melihat wajah wanita itu membuat dirinya tidak bisa menghilangkan pikiran bahwa wanita itu kini bukanlah orang Spanyol.
~Tbc