Sepasang suami istri itu nampak diam. Bahkan terdapat jarak di antara mereka. Biasanya Enzo merasa senang memeluk istrinya meskipun di dalam mobil, membiarkan pundaknya menjadi sandaran. Tapi tidak kali ini. Dirinya justru lebih memilih duduk tegap dan membiarkan sang istri duduk di pojok, menyandarkan kepalanya ke arah pintu mobil. Tidak ada pembicaraan di antara mereka. Nieve tidak menoleh sedikit pun pada suaminya. Dirinya justru memeluk tas yang ada dalam pangkuannya. Kali ini dirinya seolah enggan untuk mengalah pada suaminya.
Nieve juga adalah salah satu orangtua Lionello. Dia melakukan itu demi kebaikan putranya. Nieve hanya tidak ingin putra semata wayangnya menjadi lajang seumur hidup hanya karena terlalu sibuk mengurus organisasi mafia yang pernah dipimpin oleh suaminya, Enzo.
Enzo berubah diam saat dirinya melamar Violetta untuk menikah dengan putranya. Tetapi pria itu berusaha menyembunyikan emosinya ketika masih berada di rumah Clara. Nieve pun mengerti hal itu karena suaminya tidak ingin menunjukkan sikap yang mengartikan jika hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja karena keputusannya. Seolah suaminya hanya ingin masalah pribadi yang terjadi di antara mereka berdua tidak ada yang tahu. Bahkan sejak dulu Enzo tidak menunjukkan kemarahannya pada Nieve setiap kali di depan putranya.
Tak lama kemudian mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman mansion. Nieve dan Enzo turun dari mobil saat sang sopir menepikan mobilnya di depan mansion. Enzo hanya diam saat melihat Nieve masuk lebih dulu ke dalam mansion tanpa mengatakan apapun.
Enzo tidak ingin Nieve bersikap kekanakan dengan menjodohkan putra mereka. Dirinya ingin Lionello yang menentukan sendiri jalan hidupnya. Saat pertama kali membawa Lionello ke dalam pertemuan penting Leone Nero pun, dia hanya menawarkan dan tidak memaksa. Putranya menginginkan sendiri menjadi penggantinya sebagai pemimpin Leone Nero. Tapi tetap saja, Nieve selalu mengatakan jika dirinya yang memaksa putra mereka.
Enzo menyusul masuk ke dalam kamar. Dia menghela napas pelan melihat istrinya sudah berbaring di atas ranjang dengan posisi membelakangi dirinya. Enzo berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci wajah. Tak lupa dia juga mengganti pakaiannya.
Selang beberapa menit Enzo sudah kembali. Dia membaringkan tubuhnya di samping Nieve dan membiarkan posisi sang istri membelakangi dirinya. Enzo menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia pun melirik ke arah Nieve.
"Selamat malam, Mi amore," bisik Enzo setelah beberapa saat diam menatap punggung istrinya. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium puncak kepala istrinya. "Ti amo," sambungnya.
Enzo pun meluruskan tubuhnya dan membenarkan selimut Nieve dan dirinya. Perlahan kedua matanya mulai terpejam, menjemput ke alam mimpi. Selang beberapa menit, Enzo merasakan sebuah lengan yang memeluknya. Dia pun membuka kedua matanya dan menoleh ke arah samping. Enzo tersenyum tipis melihat istrinya bersandar pada pundaknya sembari memeluk.
"Maafkan aku ... Aku hanya ingin yang terbaik untuk putra kita," gumam Nieve sembari meneteskan airmatanya.
"Kita tunggu saja, apakah Lio bersedia atau tidak. Jika dia tidak bersedia, lebih baik kau jangan memaksanya. Aku hanya cemas jika kehidupan pernikahannya nanti tidak akan sebahagia kita, karena perjodohan."
Nieve menganggukkan kepalanya sembari mengeratkan pelukannya. Sebelah tangan Enzo mengelus rambut istrinya membuat Nieve tersenyum.
"Padahal aku berniat tidak akan berbicara denganmu sampai dua atau tiga hari ke depan."
"Memangnya apa salahku?" tanya Enzo.
"Salahmu karena tidak menyukai keputusanku."
"Lalu kenapa sekarang kau berbicara denganku?"
"Itu karena kau melakukan hal tadi." Nieve menghela napas kasar. Dia mendongakkan wajahnya hingga tatapan mereka bertemu. "Aku merasa tidak menyukaimu."
Kening Enzo mengernyit mendengar ucapan Nieve. "Maksudmu?" tanyanya bingung.
"Kau selalu membuat marahku hilang setiap kali aku mendengar kau mengatakan mencintaiku."
Enzo tersenyum. "Itu karena rasa cintaku untukmu lebih besar."
"Jangan berpikir seperti itu. Rasa cintaku padamu yang lebih besar."
Enzo diam sejenak melihat kekesalan dari wajah Nieve. Dia mengembangkan bibirnya membentuk senyuman tipis lalu mengecup bibir istrinya.
"Ya. Terima kasih karena rasa cintamu lebih besar," bisik Enzo.
"Kau membuatku semakin membencimu," balas Nieve membuat Enzo tersenyum lebar.
***
Setelah mengantar Lionello pulang ke mansion, Lionello membiarkan malam ini Gustavo kembali ke rumah untuk beristirahat. Sampainya di depan rumah, Violetta sudah menunggunya. Gustavo keluar dari mobil membuat Violetta berlari ke arahnya. Wanita itu memeluk kakaknya dengan erat.
"Ada apa Vio?" tanya Gustavo bingung. Tidak biasanya Violetta menunggunya pulang di depan rumah.
Gustavo mendorong adiknya perlahan hingga pelukan itu terlepas. Violetta menundukkan kepala seolah menyembunyikan airmatanya.
"Tolong bantu aku," pinta Violetta membuat Gustavo merasa bingung. "Madre berniat menikahkan ku dengan pria gay." Violetta mengadu.
Gustavo tertegun mendengar ucapan Violetta. Saat dia ingin bertanya tentang siapa pria tersebut, kedua orangtuanya keluar dari rumah dan menghampiri dirinya. Membuat Violetta memeluk lengannya seolah ingin bersembunyi di balik punggungnya.
"Ma, ada apa ini? Kenapa Vio mengadu hal aneh?" tanya Gustavo merasa bingung.
"Signora melamar adikmu untuk menikah dengan Signore Giovinco," jawab Clara.
Kening Gustavo mengernyit bingung, "Lionello?" tanyanya memastikan.
"Sì," jawab Clara sembari mengangguk.
"Aku tidak ingin menikah dengan pria gay!" sela Violetta dengan nada tinggi membuat Gustavo serta kedua orangtua mereka menatap ke arah Violetta.
"Gay?" Gustavo semakin bingung. Sejak kapan Lionello menjadi seorang gay? Kenapa dirinya tidak pernah tahu hal itu.
"Vio, jaga ucapan mu!" sentak Clara.
"Memang benar kan dia seorang gay? Madre yang mengatakan hal itu padaku."
"Madre tidak pernah mengatakan hal itu," Clara mencoba membela diri. Dia merasa tidak pernah mengatakan jika Lionello adalah seorang pria gay. "Madre hanya mengatakan jika Signore belum pernah berkencan dengan wanita mana pun."
"Ya, dan itu artinya dia pria gay. Mana mungkin ada pria normal yang belum pernah berkencan di usia dewasa sepertinya!"
"Vio!" sentak Clara sembari membelalakkan kedua matanya pada Violetta membuat wanita itu terkejut.
Dalam sedetik Violetta langsung mengingat sesuatu. Dia pun melirik ke arah Gustavo yang menatapnya tajam membuat pelukan pada lengan kakaknya terlepas. Violetta menjadi gugup melihat ekspresi wajah kakaknya.
"Ma-maksudku ... Maksudku ... bu-bu-bukan kau, Gustav. Ta-tapi ... tapi Lionello," ucap Violetta gagap. Dirinya tidak bermaksud menyinggung kakaknya.
Gustavo mendesah kasar lalu menatap serius pada adiknya. "Vio, dengar. Signore belum berkencan hingga sekarang karena sibuk mengurus pekerjaannya. Dia bukan pria gay. Dan jauhkan pikiran buruk mu tentang dirinya," ucap Gustavo tegas.
"Apa itu artinya kau tidak mau membantuku?" tanya Violetta dengan nada sedih.
Gustavo kembali menghela napas panjang. "Ikuti saja ucapan Madre dan Padre. Kau harus menurut dengan mereka."
"Tapi aku tidak mau menikah dengannya, Gustav."
"Apa alasanmu tidak bersedia menikah dengannya, Vio?" tanya Clara.
"Itu karena ...." Violetta tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dia hanya memalingkan wajahnya dari tatapan mereka.
"Karena kau masih berpikir dia pria gay? Jika kau masih berpikir seperti itu, bagaimana dengan kakakmu?" tanya Clara dan terpaksa menyangkutkan nama Gustavo.
Violetta mendesah kasar dan memilih pergi masuk ke dalam kamar. Dia tidak menjawab pertanyaan ibunya. Sedangkan Gustavo dan lainnya hanya menatap punggung Violetta.
"Madre, kenapa mendadak Signora melamar Violetta?" tanya Gustavo.
"Madre juga tidak tahu, Gustav. Maafkan Madre karena tidak bisa menolaknya. Mereka berdua sudah melakukan banyak hal untuk Madre selama ini," jawab Clara.
Gustavo hanya diam mendengar jawaban Clara. Dia menganggukkan kepala membuat Clara tersenyum tipis lalu memeluknya.
"Tolong Madre jangan mengatakan hal-hal aneh tentang Lionello pada Vio," pinta Gustavo.
"Ya, Madre minta maaf tentang hal itu."
~Tbc