Pov Nayla.
Dua hari berlalu, Nayla sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Anggara. Dia mencoba melupakan semua kejadian lalu yang membuat dia harus kehilangan pekerjaannya. Dan kini paling penting baginya adalah ibunya. Keluarga satu-satunya yang dia punya. Dan sekarang dia berusaha mencari tempat kerja lain yang cicok untuknya. Dia berusaha untuk tetap santai menghadapi semuanya.
Kehidupan Nayla mungkin tidak bisa di gantikan dengan orang lain. Karena mereka belum tentu bisa seperti wanita yang selalu tegar menghadapi semuanya. Dia anak yang selama ini tumbuh tanpa ayah. Hanya dibesarkan oleh ibunya yang sekarang mengidap penyakit yang tidak bisa jadi sembuh kan begitu saja. Butuh proses yang lama. Dan, harus menghabiskan waktu banyak dan biaya tak sedikit. Sementara dirinya hanya menjual tanaman hias jika di rumah. Dan, Nayla bekerja di sebuah cafe sudah beberapa bulan lamanya. Tapi, sekarang dia harus kehilangan pekerjaan.
Sekarang. Sudah hampir dua hari, Nayla berdiam diri di rumah, menyibukan dirinya membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah. sembari membuat roti pesanan jika ada orang yang memesan. Dan, sekarang dia disibukan menjual tanaman hias membantu ibunya.
"Ma, aku masak dulu ya. Aku ingin buatkan mama masakan yang sangat lezat." gumam Nayla, berlari memeluk ibunya dari belakang.
"Nay? Kamu gak sekolah?" tanya Linda, ibu Nayla. Memegang tangan Nayla.
"Gak, bu. Lagian sekarang sekolah libur," ucap Nayla beralasan. Dia bingung ingin melanjutkan sekolahnya. Tetapi tidak ada biaya untuk membayar uang ujian sebentar lagi. Nayla hanya tertunduk lesu, memikirkan masalahnya itu sendiri. Tidak mau membebankan ibunya terlalu sering jatuh sakit saat dirinya ada masalah. Apalagi jika ada pikiran, mamanya selalu drop sama selalu di lakukan ke rumah sakit.
Pelukan Nayla perlahan mulai merenggang. Dia tertunduk, pikirannya terasa sangat berat.
"Nay? Kamu kenapa diam?" tanya ibunya. Menarik tangan Nayla menatap ke arahnya.
Nayla, mengangkat kepalanya. Dan tersenyum tipis. "Gak apa-apa, bu. Aku hanya ingin membahagiakan ibu sekaenag. tapi, Nayla bingung harus berbuat apa lagi. Nayla capek, Nayla kesal dengan smeua ini. Sebenarnya dimana ayah, kenapa dia tidka pernah melihat Nayla?" Nayla merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. Tak kuasa air matanya mulai menetes terjatuh di pipinya perlahan.
"Nayla... Kenapa kamu sedih?" tanya Ibu Nayla. Ibu jari tangan Linda menyeka air mata Nayla yang masih membasahi kantong matanya.
"Jika ada masalah cerita sama ibu. Jangan kamu pendam sendiri. Kamu, sayang sama ibu, kan. Jadi cerita semuanya."
Nayla mencoba tersenyum, meski sedikit tersenyum palsu. Bagi dia tidak ada yang tahu tidak masalah lagi. Nayla, memegang tangan ibunya. "Bu.. Nayla tidak ada masalah sama sekali. Nayla, hanya sedikit kecepekan." ucap Nayla mencoba tersenyum lagi. Nayla meraih bahu ibunya. Mendekapnya sangat erat.
"Beneran, kamu tidak ada masalah? Ibu harap kamu bisa terbuka lagi dengan ibu."
Nayla melepaskan pasukannya. Menatap ke dua mata ibunya. "Buk.. Benar Nayla tidak ada masalah apapun."
Nayla beranjak berdiri, memegang ke dua pundak ibunya, lalu mengecup pipi ibunya dari belakang, dengan tangan melingkar di lehernya. "Nayla, sayang sama ibu," ucapnya pelan. Nayla menekankan matanya sejenak. Mencoba menahan air mata yang terbendung di kelopak matanya.
"Oya, ibuku, sayang. Nayla ingin masak sesuatu buat ibu." ucap Nayla lagi ke dua kalinya. Dia melepaskan palukannya.
"Iya, udah cepetan masak. Lagian ibu mau bersih-bersih rumah. Sudah lama bunga-bunga di luar rumah kita tidak di siram," jawab ibunya.
"Bu... Jangan terlalu capek. Aku bisa melakukan semuanya nanti. Ibu istirahat saja. Aku tidak mau jika ibu sakit." ucap Nayla.
"Sayang, ibu tidak apa-apa, lagian hanya menyiram bunga sama memotong ranting dikit."
"Ibu..." Nayla memohon.
"Nay.. Udah jangan khawatir." Linda mengusap rambut belakang Nayla. Sentuhan lembut tangan Ibunya membuat Nayla merasa sangat nyaman. Hanya dia satu-satunya yang menemaninya saat ini. Ibunya selalu sabar merawatnya. Bagi Nayla, Linda adalah sosok ibu yang sangat luar biasa.
Nayla menghela napasnya. Dnegan terpaksa dia membiarkan ibunya bekerja. Meski dirinya merasa tidak rela. Tetapi, jika ibunya ingin melakukan apapun. Tidak bisa di cegah lagi.
"Ya, sudah nanti jika ibu capek, istirahat. Jangan terlalu lama bekerja." ucap Nayla.
"Iya.. Sayang... Udah sana pergilah masak." ucap Linda.
"Baik, siap Ma!!" jawab Nayla berdiri tegap. Menarik dua sudut bibirnya. Mengulurkan sebuah senyuman tipis di wajahnya. Meski dalam hati senangnya dia menangis. Meratapi semuanya. Tetapi dia tidak bisa melihatkan kesedihan dalam dirinya. Dia tidak mau ibunya terlalu banyak pikiran karenanya.
Nayla segera membalikkan badnaya, tak mau lama-lama berhadapan dengan mamanya. Dia berlari menuju ke dapur. Selama ini dia yang selalu masak buat ibunya. Nayla sangat pandai dalam urusan dapur. Tetapi dia juga masih dalam tahap belajar untuk membuat berbagai macam kue. Karena dia suka sekali masak dengan ibunya. Dia juga yang mengajarkan semuanya pada Nayla. Hanya karena dia ingin Nayla kelak bisa memanjakan suaminya.
***
Hampir 1 jam di dapur. Nayla sudah siap dengan berbagai menu makanan. Dari oseng tempe kesukaannya. Dan, sayuran, dan berbagai masakan khas indonesia lainya. Hari ini Nayla ingin memanjakan lidah ibunya. Dia sudah membereskan semua masakannya. Dia mencium harum masakannya yang menyeruak masuk ke dalam penciumannya. "Baunya saja menggiurkan, pasti ibu suka!" Nayla segera membawa beberapa piring lauk pauk , dan nasi untuk makan berdua dengan ibunya.
Merapikan semua di atas meja makan. Berjejer rapi.
Nayla hanya tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya meninggal saat dia masih kecil karena serangan jantung. Dan kini ibunya lebih memilih sendiri merawat Nayla sepenuhnya. Dengan usaha seadanya. Tetapi, Nayla tidak tahu jika ayahnya meninggal. Ibunya selalu merahasiakan identitas ayahnya. Dan, tidak mau jika Nayla mengungkit lagi tentang ayahnya. Dan, Nayla selalu mengira jika ayahnya jahat tidak pernah merawat ibunya.
Ibunya yang dari tadi sibuk, sedang menyirami bunga di luar. Tiba-tiba ke dia menjatuhkan selang airnya. Tubuh paruh bayanya mulai rapuh, lunglai. Dia hampir saja terjatuh, ke dua lututnya terasa kaku. Dia tidak bisa menggerakkan sama sekali ke dua kakinya. Di saat dirinya ingin melangkahkan kakinya, bagai di hantam batuan amat besar ke dua kakinya tak bis adi tarik dari tempatnya. Tubuhnya semakin gemetar, tak kuat menahannya. Linda mencoba mencari pegangan di atas meja tepat di sampingnya. Kepalanya yang sangat berat seketika membuat dia terjatuh ke tanah, dengan kepala terbentur ujung batuan di sampingnya. Meninggalkan goresan kecil di keningnya. Linda mencoba memanggil Nayla. Seakan tenggelamnya terasa sangat berat untuk mengeluarkan suaranya.
Perlahan matanya mulai terpejam, dengan tangan terangkat. Mencoba terus memanggil nama anaknya.
"Ibu, makanan sudah siap!" panggil Nayla, dia melangkahkan kakinya keluar rumah. Seketika dia berlari melihat ibunya pingsan di tanah teras rumahnya. Dengan dahi berlumuran darah segar.
"IBU....." teriak Nayla panik, berlari segera menjatuhkan tubuhnya, meraih kepala ibunya, dan menompang tubuh ibunya dalam dekapannya.
"Ibu, ibu kenapa? Ibu bangun! Aku mohon ibu," Nayla menepuk-nepuk pipi ibunya, air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi. Dia terus menangis memeluk ibunya.
Nayla tertegun sejenak. Namanya terasa tersentak sementara. Saat melihat darah yang kini mulai mengotori telapak tangannya. Nayla mencoba untuk mengatur napasnya.
"Ibu... Bangunlah!" Nayla mengamati sekelilingnya. Tidak ada satupun orang yang lewat. Melihat ibunya belum.juga membuka matanya. Nayla semakin panik. Ke dua tangannya gemetar. Bibir bawahnya gemetar. Dia mencoba untuk menahan dirinya yang semakin tak bisa menahan kesedihannya.
"Ibu.. Ibu.. Bangunlah.. Ibu. Jangan tinggalkan aku.. Ibu.. Aku mohon, ibu harus kuat.. Ibu... Nayla tidak mau sendiri. Nayla tidak punya siapa-siapa lagi selain ibu." Nayla terus mengeluarkan air matanya. Dia menangis tersedu-sedu mendekap tubuh ibunya sangat erat.
Tidak terasa air mata sudah membasahi pipi Nayla. Dia berusaha untuk segera menghubungi rumah sakit.
----
#Back Anggara
Anggara yang ingin mencari tahu diam-diam keberadaan Nayla, seketika pandangan matanya tertuju pada rumah kecil yang berada tepat di depannya.
Anggara hanya mengangguk, anggukkan kepalanya kecil. "Jadi ini rumah Nayla?" gumam Anggara dalam hatinya. Dia mengamati setiap sudut rumah itu yang begitu kecil bagi dia yang biasa tinggal di rumah mewah.
"Kenapa mereka betah tinggal di rumah kecil ini," gumam Anggara, mencoba membuka pagar kayu berwarna putih yang menutupi bagian depan rumahnya. Dia terus mencoba namun pagar itu susah sekali terbuka.
Dalam satu tarikan napas, Anggara membuka pagar kayu putih itu. Seketika dia mengernyitkan matanya melihat wanita yang dia cari duduk tersungkur menangis memeluk ibunya.
"Kenapa gadis aneh itu? Apa ibunya meninggal?" gumam Anggara. Semula dia yang mencoba tidak perduli. Seketika hatinya terketuk di saat melihat betapa sedihnya jika kehilangan ibunya. Itu yang dia rasakan beberapa minggu lalu. Tubuh Anggara gemetar seketika, dia mengepalkan tangannya, menutup rapat matanya. Seakan mengulang kisahnya minggu lalu. Di mana dia harus menangis memeluk tubuh ibunya di rumah sakit.
Anggara membuka matanya, menatap ke depan. Berlari mencoba untuk membantu Nayla.
"Ibu kamu kenapa? Kenapa banyak darah?" tanya Anggara sok perduli. Duduk jongkok memegang tangan ibu Nayla.
"Gak usah sok perduli, aku gak butuh bantuan kamu." Nayla mendorong d**a Anggara menjauh.
"Jangan pikirkan tentang perseteruan kita. Pikirkan kondisi ibu kamu. Memangnya kamu mau jika ibu kamu kenapa-napa?" tegas Anggara, membuat Nayla menatap ibunya yang masih belum sadar.
"Sekarang, bawa ibu kamu ke mobilku," ucap Anggara buru-buru, dengan sigap dia mengangkat tubuh ibu Nayla, beranjak berdiri melangkah cepat menuju ke mobilnya. Dan di ikuti Nayla yang langsung mengikuti dari belakang dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.
"Buka pintunya," ucap Anggara panik.
Nayla membuka pintunya, dan Anggara meletakkan ibu Nayla di kursi belakang.
"Kamu cepat masuk," ucap Anggara, berlari memutar masuk je dalam mobil. Tidak perlu berlama-lama. Dia melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit yang lumayan jauh. Butuh waktu perjalanan 20 menit untuk sampai ke sana.
Anggara segera memanggil perawat dan dokter untuk segera menangani ibu Nayla di ruang ICU.
"Ibu," teriak Nayla menangis tersedu-sedu di depan ruang ICU.
"Kita tunggu dulu di sini," ucap Anggara.
"Makasih," ucap Nayla menatap ke arah Anggara.
"Iya, aku tinggal dulu. Soal bayar nanti biar aku yang selesaikan," ucap Anggara beranjak berdiri. Dia mulai merasa sangat lega bisa membalas apa yang di lakukannya dulu pada Nayla.
"Iya, hati-hati. Apa aku antar sampai ke depan?" ucap Nayla.
"Gak usah, tunggu saja ibu kamu."
Anggara mencoba tersenyum ramah, lalu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Nayla. Sementara Nayla dia hanya diam, dia merasa aneh dengannya. Dnegan sikapnya yang tiba-tiba baik mau membantunya. Tapi, ucapan terima kasih yang sedari tadi ingin sekali dia ucapkan. Dia merasa berat untuk mengutarakan padanya.
----
Sampai di rumah Anggara langsung masuk ke rumahnya ke dalam kamarnya. Dia meraih bola basket di kamarnya. Beranjak duduk di dekat jendela kaca memandang pemandangan taman dari kamarnya yang terlihat jelas. Sembari bersandar di tembok. Anggara memutar bola basket itu di jari telunjuknya.
"Apa aku terlalu berlebihan padanya?" gumamnya.
Di saat seperti ini dia lagi bersedih. Entah kenapa aku merasa kasihan. Ingin sekali mendekap menenangkan hatinya. Tapi aku siapa? Aku bukan siapa -siapa dia. Hanya sebatas laki-laki yang suka jahil dan buat masalah di kehidupannya.
Mungkin mulai sekarang aku harus lebih baik pada gadis aneh itu. Gumam Anggara tersenyum tipis, memikirkan di mana di saat dia selalu membuat dia marah. Wajah cantik wanita itu terus terlintas di dalam.pikirannya. Seakan sudah menajdi ingatan permanen dalam otaknya.
"Permisi, tuan muda!" ucap seorang assisten ayahnya yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya. Dan melangkah masuk tanpa seijin dia.
"Kenapa kamu masuk?" tanya Anggara jutek.
"Tuan besar memanggil anda,"
"Bilang aku lagi sibuk,"
"Tapi tuan besar ingin bicara penting pada anda,"
"Bicara apa?" Anggara beranjak berdiri melemparkan bolanya ke sembarang arah.
"Keluarlah..." bentak Anggara.
Ken masih terdiam menunduk di depan Anggara tanpa berkata satu katapun keluar dari bibirnya. Dia masih tetap kokoh berdiri sebelum mendapatkan jawaban yang dia inginkan dari Anggara.
"Kenapa kamu tidak cerita langsung padaku." ucap Anggara meninggikan suaranya, menarik kerah assisten pribadi ayahnya itu.
"Maaf, tuan. Saya tidak punya wewenang untuk mengatakan hal itu,"
"Baik, aku yang memerintah kamu sekarang." ucap Anggara menatap lekat-lekat wajah laki-laki di depannya. Meski dia tidak terlalu suka jika selalu di perintah tanpa sepengetahuannya.
"Sekali lagi, maaf tuan. Saya hanya menerima perintah dari tuan besar," ucap Ken, menunduk.
Anggara menarik sudut bibirnya sinis. Membalikkan badannya penuh kekesalan.
"Shiittt... Keluar kamu dari sini," bentak Anggara, mendorong tubuh Ken assiten pribadi papanya yang masih terlihat sangat muda. Dia masih berusia sekitar 23 tahun. Dan menjadi asisten ayahnya hampir 3 tahun lamanya.
"Jangan pernah masuk ke kamarku lagi.Tanpa seijinku," umpatnya, sembari menutup pintunya keras. Hingga suara pintu tertutup terdengar sampai ke lantai bawah.
"Maaf, tuan!" Ken. Laki-laki tegas yang selalu sabar menghadapinya. Dia tidak pernah mengembangkan perintah ayahnya.
"Jika kamu tidak mau menurut kataku. Lebih baik pergilah." pinta Anggara. Menggerak kesal. Ke dua matanya membulat membentuk sebuah kobaran api yang keluar dari bola matanya.