Kesal dengan papa

2107 Words
"Saya permisi untuk pergi tuan." "Pergilah!" pinta Anggara mengeraskan nada suaranya. "Aku juga tidak minta kamu untuk tetap disini." Ken segera melangkahkan kakinya pergi. Sementara Anggara dia meraih bola basket miliknya. Memutarnya di telunjuk tangannya. Sembari berjalan menuju ke arah balkon kamarnya. Menatap pemandangan indah di depannya. Meski pikirannya tertuju pada Nayla. Dia teringat gimana sakitnya Nayla di saat ibunya sedang kritis di rumah sakit. Tak hanya itu, Anggara mulai mengingat kembali dimana saat dia bertemu dengan Nayla. Melihat senyum tipisnya terlihat sangat manis. Dia begitu menggoda, meski pikirannya selalu menolak. Tapi hatinya tidak bisa berbohong. Jika dia merasakan ada yang aneh pada dirinya. "Nayla... Apa kamu wanita kuat. Tapi, kenapa kamu mau saja memaafkan aku yang selalu jahat dan kasar padamu. Tapi. Kau hanya melakukan itu ingin mencari perhatian padamu." ucap Anggara. Menatap indahnya larut sore yang menampakkan setengah suaranya. Warna orange saat matahari terbenam memberikan pemandangan yang sangat indah. Anggara menghela napasnya. Dia melemparkan bola ke lantai. Berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dan, berbaring di atas sofa. Baru ingin memejamkan matanya. Syara hentakan sepatu terdengar sampai ke telinganya. Anggara mengangkat kepalanya sedikit, menggerakkan kepalanya ke kiri. Ke dua mata menatap lurus, tepat ke arah pintu berwarna coklat dengan ukiran klasik, dengan seni tangan yang luar biasa. "Anggara," suara berat seorang laki-laki paruh baya itu membuat Anggara terhenti dari lamunannya. Ckleeekk... Tak lama pintu erbuka lebar. Anggara hanya tersenyum tipis. Dia tahu siapa yang akan datang. Bukanya beranhak dari sofa. Dia meletakan lenfan tangan kananya di ata skening. Kencoba untuk memejamkan matanya. "Anggara... Bangun!" bentaknya. "Ada apa?" tanya Anggara tanpa melirik sama selai ke arahnya. Dia membuka matanya menatap ke atas langit. "Apa yang kamu katakan pada Ken?" "Aku tidak mengatakan apapun? Dia juga tidak bicara apapun?" Anggara yang sedang berbaring santai di sofa, sembari memejamkan matanya membayangkan perasaanya yang kini entah melayang kemana. Ucapan keras ayahnya membuat dirinya terganggu. Anggara beranjak duduk, dengan badan sedikit condong ke depan. Mengigit bibir bawahnya dengan badan tertunduk. Bukanya dia takut, hanya saja, Anggara tidak terlalu suka dengan ayahnya. Semenjak kematian ibunya. Kematian yang sampai saat ini menjadi misteri baginya. Sampai ayahnya saja tidak perduli dengan kesehatan ibunya. Sampai dia meninggal, dia hanya acuh, dan berpura-pura sedih. "Apa kamu memang sengaja selalu bersikap kasar pada orang? Lihatlah, Ken hanya ingin bicara dnegan kamu. Dan, aku yang meminta dia untuk bicara tentang bisnis padamu." Anggara menarik sudut bibirnya sinis. Dia perlahan mengangkat kepalanya. Anggara mulai berdiri pelahan, sembari bertepuk tangan melangkah ke arah ayahnya. Tawanya terngaing di ruangan itu. "Haha.... Hebat... Hebat... Apa yang ada di pikiran anda hanya bisnis? Kenapa anda sama sekali tidak perduli dengan mama? Dan, anda hanya memikirkan gimana bisnis anda.. Sungguh luar biasa. Aku harus patut memberi anda hadiah.." Anggara memainkan bibirnya. Menahan amarah yang hampir saja memenuhi pikirannya. "Anggara...." "Stopp... Jnagan terlalu dekat denganku " "Ada apa kamu di sini? Bilang saja tujuan utama kamu, jangan banyak bicara lagi." tanya Anggara memalingkan wajahnya berlawanan arah. Ekspresi wajah Anggara mulai berubah. Dia Menahan air mata yang sudah terbendung di kelopak matanya. Helaan napas berat tuan Delon seakan mengartikan jika dia mencoba untuk sabar menghadapi sifat keras kepala anaknya. "Oke... Terserah kamu bagaimana. Tapi, papa hanya ingin hilang satu hal padamu." "Minta asisten kamu untuk pergi dari sini." ucap Anggara tanpa melirik ke belakang. "Ken... Pergilah! Biarkan aku bicara berdua dengannya." pinta tuan Delon. "Baik, tuan!" Ken beranjak pergi. Dan Anggara melangkahkan kakinya menjauh dari ayahnya. "Anggara... Mau kemana kamu?" "Cepat bicara!" pinta Anggara jutek. "Apa kamu masih marah dnegan kematian mama kamu?" "Entahlah!" "Aku ingin bicara sesuatu padamu," "Aku gak ingin bicara," jawab cepat tanpa sela Anggara. "Ini tentang masa depan kamu," Anggata menatap ke arah papaya. "Kenapa dengan masa depanku? Apa kamu tidak suka aku seperti ini. Dan ingat, ya! Aku tidak suka kamu seenaknya masuk ke kamarku." "Dan, satu lagi jangan pernah bilang tentang masa depan aku. Karena aku bisa atur masa depan aku sendiri. Tanpa bantuan kamu!" "Anggara, papa tidak ingin kamu seperti ini terus." Delon berjalan dengan langkah ringan mendekati Anggara. "Hanya karena kematian mama kamu. Kamu terus marah padaku? Aku tidak ingin, terus ada masalah denganmu. Dan, Papa ingin kita kembali lagi seperti dulu." "Tidak semudah itu. Hatiku terlanjur sakit dengan apa yang anda lakukan dengan mama." Anggara memalingkan wajahnya lagi. "Anggara papa bisa jelaskan semuanya. Papanya tidak bermaksud mengabaikan mama kamu. Kamu tahu sendiri papa banyak sekali pekerjaan tidak bisa merawat sepenuhnya mama kamu." Anggara kembali menatap ke arah Delon ke dua matanya melebar. Pupuk matanya mengkilat menunjukan kemarahan pada dirinya. Dengan dagu sedikit tertarik ke bawah. "Anda bilang tidak bermaksud mengabaikan mama. Tapi kenapa setiap mama ingin bicara denganmu. Sleman mengabaikan dia. Saat dia sakit, selama 1 minggu di rumah sakit. Apa anda pergi menjenguknya? Tidak, anda lebih mementingkan bisnis anda. Anda mementingkan dunia anda." kata Anggara menggebu penuh dengan emosi yang membara. "Oo.. Oke.. Aku tahu, kamu memang salah. Tapi, bisakah kita bicara baik-baik!" ucap Delon mencoba mendekat lagi. "Jangan perdulikan aku, pergilah!" "Tapi papa sangat perduli dengan kamu. Dan kamu adalah anak..." "Stopp!! Aku tidak mau mendengarnya lagi, semua kata-kata anda hanya sebuah dongeng." potong Anggara cepat. "Tapi, Kamu adalah anak papa." Anggara menarik bibirnya tipis, "Adalah apa? Anak kesayangan papa? Sejak kapan papa menyayangiku? Sejak kapan... Aku tidak mendengar kata sayang sama sekali... Dari aku kecil sampai sekarang. Semua keluarga ini terasa sangat hambar." decak kesal Anggara, dengan nada menggebu-gebu. dia beranjak berdiri, menajamkan pandangan matanya. "Dan ingat satu lagi. Mama tidak ada karena kamu, karena keegoisan kamu. Dan karena harta kamu yang tidak ada gunanya ini," tegasnya, menunjuk tepat ke arah papanya. "Aku ingin kamu meneruskan bisnis papa," ucap Angagara mencoba tetap merendah menahan emosinya. Anggara hanya tersenyum sinis, "Meneruskan bisnis papa? Aku tidak tertarik sama sekali," jawabnya tanpa rasa bersalah. "Anggara?" geram Delon. "Tidak usah membahas itu. Lebih baik, anda pergi dari sini " usir Anggara, menajamkan pandangan matanya, dengan salah satu alis tertarik ke atas tidak suka. Tuan Delon yang sangat geram, sudah siap melayangkan tangannya tepat di pipinya. Namun langkahnya terhenti di saat assistennya berjalan masuk ke kamar Anggara. "Ada apa?" tanya Delon tanpa menatap ke belakang. Assisten itu berbisik pelan, agar Anggara tidak mendengar pembicaraan mereka. "Siska sedang terbaring lemas di rumah sakit," "Apa, kamu yakin?" tanyanya terkejut. "Iya, tuan! Sekarang dia di rumah sakit," jawab assistennya, sembari menunduk memberi hormat. Anggara mengerutkan keningnya, menatap aneh ke arah mereka. Papanya yang terkejut mendengar ucapan assisten pribadinya itu. Mereka beranjak pergi dengan langkah cepat dan terburu-buru, tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya untuk Anggara. "Apa sebenarnya yang dia katakan? Sepertinya ada hal penting? Apa sebenarnya yang mereka sembunyikan dariku." "Ah.. Ngapain juga aku perdulikan hal itu," gumam Anggara, melangkahkan kakinya mendekati king size miliknya, lalu melemparkan tubuhnya di atas king size berwarna coklat. Kamar dengan warna serba emas itu terlihat sangat mewah Anggara tidak memikirkan lagi apa yang di katakan ayahnya. Bagi dia itu semua sudah berlalu. Sekarang yang ada di pikirannya adalah seorang wanita cantik yang beberapa hari dia temui. "Apa gadis itu sekarang baik-baik saja? Pasti dia sangat sedih," gumam Anggara. Dia belum bisa senang jika belum melihat gimana keadaan wanita itu. Anggara tiba-tiba tersenyum tipis, dengan ke dua tangan di lipat tepat di menyangga kepala belakangnya. Kenapa aku jadi seperti ini? Apa aku ada rasa dengannya? Tidak! Tidak, Jangan sampai aku suka dengannya. "Permisi tuan, ada teman anda di luar," suara pelayannya dari balik pintu membuat dia terkejut. Anggara segera menyadarkan dirinya dari lamunannya. "Bi, bisa gak kalau tidak mengejutkanku," decak kesal Anggara, beranjak duduk di atas king size miliknya. Lalu bangkit dari ranjang dan melangkahkan kakinya, membuka pintu. Seketika dia berjalan mundur ke belakang dua langkah, melihat kepala pelayannya seakan mau menyundulnya perutnya. Anggara hanya menghela napasnya. "Bibi... Jangan terlalu berlebihan kalau menunduk?" "Maaf, tuan!" pelayan itu, berdiri tegap, meringis menunjukan giginya. "Iya," jawab Anggara datar. "Siapa yang datang?" tanyanya. "Emm.. " pelayan itu menggaruk kepalanya, mencoba mengingat siapa wanita yang memaksanya tadi. "Maaf, tuan!" jawabnya, menundukkan kepalanya sedikit. "Tapi wanita itu memaksa saya untuk segera memanggil, tuan. Kalau tidak dia mau menerobos masuk," lanjutnya. Anggara menghela napasnya untuk yang ke dua kalinya. Menghadapi pelayannya dia hanya bisa mengusap dadanya sabar. "Iya, Siapa dia?" "Emm.. Maaf, Saya tidak tahu tuan," "Kenapa gak tanya?" ucap Anggara, menggelengkan kepalanya. "Emm.. Maaf tuan, saya tadi lupa." ucap pelayan itu meringis, sembari menggaruk kepala belakangnya yang terasa tak gatal itu. "Ya, sudah. Aku akan temui dia sendiri," Anggara melangkahkan kakinya turun dengan langkah terburu-buru menuju ruang tamu. Seketika ke dua matanya mengernyit di saat melihat Sella sudah duduk di sofa menunggunya. "Kenapa kamu di sini?" tanya Anggara tidak suka. Sella menatap ke arah Angara, seketika dia tersenyum tipis. Memandang kekasihnya itu akhirnya turun. Sella beranjak berdiri memeluk pinggangnya erat. Dan langsung di tarik ke dua bahunya, menjauh dari tubuhnya. Tetapi Sella seakan tidak mau beranjak dari pelukannya. "Apa yang kamu lakukan?" decak kesal Anggara. "Aku kangen, dua hari tidak bertemu dengan kamu." Anggara memutar matanya malas. "Lebih baik kamu sekarang pergi," ucapnya tidak suka. "Kenapa?" Sella mendongakkan, kepalanya. "Aku masih ingin sendiri. Tidak mau di ganggu siapapun," tegasnya, mencengkeram erat ke dua bahu Sella, mendorong tubuhnya kasar dari pinggangnya. "Kenapa kamu jadi seperti ini" tanya Sella kesal, sembari menghentak-hentakkan kakinya. "Jangan seperti anak kecil, ku tidak suka. Kalau aku sudah tidak bosan. Maka aku akan menemui kamu," "Apa kamu bosan denganku?" tanyanya kesal. "Tidak," "Terus kenapa? Kamu bisa dengan siapa?" tanya Sella memojokkan. "Bosan dengan keadaan." "Ya, sudah aku akan pergi. Tapi aku ke sini hanya ingin mengajak kamu ke cafe Raka. Dia ingin merayakan ulang tahunya di cafenya." ucap Sella, sembari menarik ujung bibirnya. Hembusan napas beratnya keluar, dengan tatapan tajamnya ke segala arah. "Dari tadi Raka menghubungi kamu, tetapi kamu tidak mengangkatnya berkali-kali. Dan aku memutuskan untuk pergi menemui kamu," Sella, melangkahkan satu langkah ke depan, langkahnya terhenti, sebuah tangan memegang lengannya erat. "Aku ikut dengan kamu," ucap Anggara. "Kamu tunggu di sini sebentar. Aku mau ganti baju," Sella menoleh ke belakang, wajah yang semula cemberut, berubah penuh senyuman hanya dalam waktu beberapa detik saja. Dan Anggara berlari menuju anak tangga menuju ke kamarnya untuk ganti baju, dan mengambil jaketnya. Selesai ganti baju Anggara melangkahkan kakinya turun dengan langkah cepatnya. "Ayo cepat pergi," ucap Anggara pada Sella yang masih berdiri menunggunya. Anggara segera mengambil montoronya, memberikan helm pada Sella. "Kenapa kamu tidak naik mobilku?" tanya Sella. "Gak usah, aku ingin tersapu angin malam yang dingin," Sella tersenyum, bagi dia ini kesempatannya untuk memeluk erat tubuh Anggara di tengah dinginnya angin malam yang menusuk tulangnya. Anggara melaju dengan kecepatan tinggi, seketika membuat tangan Sella langsung memeluk erat pinggang Anggara, menyandarkan kepalanya di punggungnya sangat mesra. Dia tersenyum tipis seakan kehangatan tubuh Anggara membius hatinya. Dia merasa sangat nyaman dengan posisi ini dan ingin terus seperti ini dengannya. Sampai di sebuah cafe milik Riko. Anggara menghentikan montornya, lalu membantu Sella melepaskan helmnya. Meletakkan diatas montornya. Perhatian kecil yang di berikan Anggara sleman membuat Selai merasa senang nyaman. Hal itu yang membuat dia merasa tidak bisa lepas darinya. Ingin selalu dekat dengannya. Meski hanya bermanja. Anggara merapikan rambut panjang Selama yang berantakan. Sentuhan lembut jemari tangan Anggara mengalihkan dunianya. Wajah tampan yang begitu dingin, berada tepat di depannya. Sella tersenyum tipis. Ke dua matanya menatap lekat usaha tampan. Seakan tak mau melepaskannya. "Makasih!" ucap Sella. "Untuk apa?" tanya Anggara. "Aku boleh panggil kamu Gaga?" balik tanya Sella. "Boleh!" Anggara masih saja datar. "Aku suka nama panggilan itu. Jadi aku akan jadikan itu nama panggilan kamu." ucap Sella tersenyum tipis. "Iya.. Terserah kamu." Anggara beranjak turun dari montornya. Media segera membantu Stella untu turun menggenggam tangannya. Dio tersenyum melihat Anggara akhirnya datang juga. Sedangkan Reno hanya diam, menatap ke arahnya seakan tidak suka dengan perlakuan Anggara pada Sella yang begitu romantis. Reno hanya bisa, dia berdesis pelan memalingkan wajahnya. Tak sanggup melihat kemesraan mereka. "Kalian sudah datang," ucap Dio. Menyambut kedatangan mereka. "Kenapa memutuskan menghubungiku jika kamu mengadakan acara?" tanya Anggara. "Ya.. Kamu tahu sendiri. Sekarang, Si Anggara ini sedang sibuk. Dekat dengan wanita itu." goda Riko, mengepalkan tangannya, mengarahkan pada bahu Anggara pelan. "Siapa?" tanya Nagagar pura-ira tidak tahu. "Udah... Jangan cari alasan lagi deh, buat mengelak." satu Dio. Tersenyum tipis menggodanya. Sementara Sella menatap ke arah Anggara. Dia terlihat tidak suka. Wajah penuh dengan senyuman berubah seketika. Dia sedikit murung. "Udah, ayo masuk. Kita pesan makanan sekarang!" Sella menarik tangan Anggara memeluknya, berjalan masuk ke dalam restaurant. Rico, dan Dia berjalan dengan pantainya masuk mengikuti setiap langkah mereka. Sementara Dio dia begitu senang semua temannya rendah berkumpul. Tetapi berbeda dnegan perasaan Riko yang selalu memendam kekesalan. Tetapi dia sadar jika mereka teman. Tidak mau berkhianat dnegan teman. Riko memilih untuk menyembunyikan perasaanya. Lebih baik dia, meski terasa sakit melihat kemesraan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD