Prolog
Di rumah keluarga Anggara semua orang nampak berkabung, atas meninggalnya mama Anggara. Karena penyakit jantung yang selama ini dideritanya. Tidak hanya itu, mamanya meninggal juga penuh kesedihan yang dia rasakan. Selama sakit, dia hanya merawatnya sendiri. Ayahnya sama sekali tidak peduli dengan keadaan mamanya. Setiap dia ingin ayahnya jenguk mamanya di rumah sakit. Berbagai alasan dia lontarnya. Hanya karena dia sibuk dengan pekerjaannya. Sampai dia meninggal sama sekali tidak mau melihatnya
Hal itu semakin membuat Anggara menyesal, sedih, dan penuh dengan kebencian yang menjadikan dia merasa amat sangat sakit.
Kehilangan seorang mama sangat dia cintai. Seketika dirinya mulai terpuruk, dan belum bisa menerimanya. Meski sudah 3 hari yang lalu mamanya pergi untuk selamanya. Tetapi rasa duka, sedih masih menyelimuti keluarganya. Dia belum bisa mengikhlaskan mamanya untuk pergi dari sisinya. Hanya karena ada sesuatu hal yang membuat hatinya terasa janggal akibat papanya yang tidak pernah datang menjenguk mamanya saat sakit.
Pikiran itu selalu mengganggunya. Dia mencoba mencari tahu sebenarnya. Namun tidak menunjukan kecurigaan sama sekali jika ayahnya selingkuh atau apapun. Hanya sikapnya yang selalu jutek pada mamanya.
Seorang lelaki tampan dengan balutan kemeja hitam yang masih terpakai di tubuhnya. Meski sudah 2 hari ia pakai, dia tidak peduli. Bau menyengat di tubuhnya mengabaikan itu menyeruak masuk dalam pengirimannya. Anggara tidak peduli.
Laki-laki itu terus berdiam diri di kamarnya. Seakan enggan untuk menyapa dunia lagi. Bahkan makanan juga tidak sekali saja dia menyentuh. Meski setiap pagi, siang dan malam. Makanan selalu ada untuknya. Tatap saja Anggara tidak mau memakannya.
"Maaf tuan, tidak ganti baju atau mandi dulu" ucap bi Tuti yang selama ini bekerja lama dengannya. Dan hanya dia yang berani bertanya dengan Anggara yang terkenal jutek, jahat, dan judes pada semua orang. Bi Tuti masih muda, namun tubuhnya sangat gemuk membuat dia terlihat lebih tua.
Anggara yang masih memeluk foto ibunya Tidak mau beranjak sama sekali dari duduknya sekarang. Kedua matanya memerah. Penuh dengan penyesalan.
"Jangan pedulikan aku, kalian semua pergi dari depanku," bentak lelaki itu yang masih setia memegang foto mamanya dalam dekapanya. Mengusap foto itu. Lalu memandangnya penuh dengan kasih sayang.
"Ma…" panggil Anggara lirih.
"Anggara.." suara berat seorang laki-laki paruh baya membuat kedua katanya menajam. Ia mengangkat kepalanya melihat ayahnya sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Sudahlah jangan seperti ini terus" suara berat seorang laki-laki paruh baya itu membuat Anggara mengangkat kepalanya. Menyipitkan matanya melihat papanya yang sudah berdiri di depannya.
"Pergilah!" pinta tajam Anggara.
"Lupakan semuanya. Mama kamu sudah meninggal. Tidak ada yang perlu ditangisi lagi."
"Lagian.. Percuma kamu menghabiskan waktu kamu menangisi semuanya. Kembalilah ke dunia kamu. Dan, ayah juga ingin. Kamu mulai bekerja di perusahaan papa. Sesekali anda harus bisa mandiri dan mengembangkan perusahaan ayah."
Laki-aku paruh baya itu menatap lekat wajah Anggara. Wajah Yang tak punya daya lagi untuk bertahan dalam dunia yang di tanggalnya sangat kejam.
"Aku benci denganmu." Seorang lelaki dengan wajah penuh air mata membentak seorang lelaki paruh baya, yang mencoba menenangkan hatinya.
"Kamu pikir uang bisa memberikan kebahagiaan? Kamu pikir.. yang bisa menjamin hidup tentangan keluarga ini?" Anggara memelotot tajam ke arah ayahnya. Wajah laki-laki paruh baya itu terlihat lebih tenang. Dia sama sekali tidak menunjukan ekspresi wajah marah pada anaknya. Bahkan sering saya tidak terlihat di wajahnya. Meski kehilangan sosok istri.
Anggara bangkit dari duduknya. Dia menatap tajam ke arah ayahnya. Dia menarik sudut bibirnya sinis.
"Aku tahu. Kamu.. Iya.. Kamulah, yang menyebabkan semua ini terjadi," lanjutnya dengan pandangan tajam. "Kamu yang selalu mengabaikan mama. Dan, kamu yang selalu membentak mama."
"Karena mama kamu egois."
Amarah Anggara tidak pertahankan lagi. Dia mengepalkan tangannya. dan, sampai saja memukul. Namun, terhenti saat dia sadar jika dia adalah ayahnya. Rasa sayangnya pada orang tua membuat dia berpikir dua kali melukai keluarganya.
"Shhittt.." Anggara memalingkan wajahnya. Menahan rasa kesal pada dirinya.
"Sekarang, anda pergi dari sini. Karena saya tidak mau bertemu dengan anda." Ucap Anggara, mengusap wajahnya. Menarik napasnya dalam-dalam. mencoba mengontrol lagi emosinya.
"Anggara… Aku bisa jelaskan semuanya. Kenapa ayah tidak perhatian dengan mama kamu..."
"Gak ada yang perlu dijelaskan lagi." pekik Anggara meninggikan suaranya.
Tuan Delon ayah Anggara, dia mencoba melangkah. Mendengar kata itu. Langkahnya terhenti. Tangan yang hampir saja menepuk pundaknya hanya diam melayang. Dengan tatapan penuh dengan penyesalan. Dia menarik kembali tangannya. Sambil menghela napasnya berkali-kali.
"Mama kamu meninggal karena penyakitnya. Jadi kamu harus ikhlaskan dia." ucap ayahnya lagi.
Anggara menarik ujung bibirnya sinis. Telinganya terasa panas mendengar apa yang dikatakan ayahnya. Setiap ucapannya. Menyakitkan baginya. Anggara Mendorong tubuh ayahnya sedikit kasar keluar dari kamarnya. "Lebih baik anda cepat pergi sekarang." tegas Anggara. Tepat di depan pintu, Anggara menatap tajam ke arah ayahnya.
"Satu hal lagi yang aku bilang padamu. Mama kamu meninggal bukan karena ayah. Tapi karena dia memang sudah sakit dari awal."
Anggara tidak peduli lagi dengan ucapannya. Menggelengkan kepalanya pelan.
"Apa katamu? Mama meninggal itu karena mu. kamu yang suka keluar dengan wanita lain seenaknya. Tidak pernah memikirkan gimana dengan perasaan mama. Dia berjuang sendiri dengan penyakitnya. Saat mama terbaring sakit di mana kamu berada? Sibuk dengan wanita lain, kan? Aku muak dengan semuanya." tajam Anggara. Membuat Tuan Delon terdiam seketika.
Brakk!
Anggara menutup pintu kamarnya kasar. Hingga menimbulkan bunyi sangat nyaring menggema seluruh penjuru ruangan.
Ia menatap cermin sejenak, matanya yang merah dengan wajah tampak kusut tak tidur seharian, mengepalkan tangannya dengan gigi menggertak menahan emosi. Ia memukul keras meja miliknya.
"Menyebalkan!" pamungkas Anggara.
Dia melirik jam hacker di atas mejanya. Dengan tatapan penuh amarah. "Jam 6 pagi. " gumam Anggara. Mungkin kesekian hari aku tidak akan pergi sekolah lagi." gumam Anggara. Dia melangkahkan kakinya, meraih kopi hangat di atas meja yang diberikan bi Tuti. Dia berjalan menuju ke balkon kamarnya. Tangan kanannya mencengkeram pagar besi balkon.
"Dunia sangat kejam untuk mama.. Dan, entahlah.. Sampai kapan ayah sadar. Dan meminta maaf di depan makam mama.." kata Anggara.
Kring....
"Shiitt... Apa tidak ada hari tanpa ketenangan. Semua mencoba mengangguk." gumam Anggara mengambil ponselnya. Seketika mengerutkan keningnya melihat siapa yang mengirimkan dia pesan.
"Dio?"
Anggara segera membuka pesan darinya. Kedua matanya seketika membulat sempurna.
"Cepat kemari 45 menit lagi pertandingan akan segera dimulai" sebuah pesan masuk dari Dio teman dekat Anggara. Dia teman dekat sekaligus sahabat dia yang selalu mengerti tentangnya. Meski sedikit menyebalkan dan mereka suka bertengkar satu sama lain.
"Sialan.. aku lupa jika ada pertandingan hari ini," decak Anggara beranjak dari duduknya. Ia menatap jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tangannya. Kurang 30 menit lagi. Jarum jam menunjukan pukul 06.00.
Dan, dia lupa jika hati ini hari pertandingan sekolah. Kalau seperti ini aku bisa terlambat. Apalagi dua cecurut itu.
Menyebalkan!
Dengan langkah terburu-buru Anggara masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh tubuhnya, yang dua hari tidak menyentuh air sama sekali, hanya karena terlalu memikirkan ibunya. Hanya beberapa menit dia segera keluar memakai baju sekolahnya. Anggara menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukan pukul 06.45. Meskipun telat dia tidak peduli, karena memang makanan dia sehari-hari. Namun hari ini dia mewakili sekolahan untuk lomba Futsal, jadi tidak masalah baginya jika telat.
Tidak ada niat sedikitpun membalas pesan tersebut, Anggara segera meraih kontak motor ninja hitamnya di atas meja, lalu memakai jaket kulit hitamnya, berlari menuruni anak tangga.
"Kamu mau kemana?" Tuan Delon berjalan menghampirinya.
"Bukan urusanmu. Jadi jangan banyak tanya lagi." Anggara meraih kunci motornya di atas meja ruang tamu. Dia berlari, bergegas menaiki motor ninja hitam miliknya yang terparkir di depan rumahnya. Lalu menyalakan mesinnya, menahan gasnya, melirik sekilas ke arah Ayahnya. Dan bersiap menarik gas motornya keluar dari halaman rumahnya dengan kecepatan tinggi.
"Semuanya palsu, aku tidak butuh kasih sayang dari papa" terlintas kata itu di otaknya, tanpa sadar ia semakin menarik kencang gas motornya hingga melebihi kecepatan rata-rata. Pandangan mata Anggara mulai kosong. Banyak beban pikiran kini terlintas di kepalanya.
------
"Maa…. apa mama tidak mau melihat Anggara menikah?" tanya Anggara pada mamanya yang masih berbaring di rumah sakit.
Sentuhan tangan lembut mamanya mengusap pipi Anggara. "Anggara… mama ingin sekali sembuh.… Tapi..seperti--nya mama sudah terlalu lemah." ucap terpatah-patah mama Anggara.
"Ma… mama harus kuat. Mama tidak boleh menyerah."
"Maafkan mama, Anggara." ucap mamanya. "Jangan pernah membenci ayah kamu." lanjutnya.
"Ma, yang paling penting sekarang Mama segera sembuh."
Mama Anggara hanya diam, tersenyum menyentuh wajah anaknya terakhir kalinya Hingga tangannya mulai lemas dan tergeletak tak berdaya. Kedua matanya tertutup sangat rapat.
"Ma…. Ma…" panggil Anggara.
Menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Mama……."
-------
Bayangan di pikirannya terus terlintas. Gimana saat mamanya sedang terbaring lemas di rumah sakit. Gimana saat dia mulai menghembuskan napas terakhirnya.
Anggara tidak sadar ada sosok wanita menyeberang di jalanan yang terlihat sepi. Pandangan mata Anggara masih kosong.
"Aaaa....." Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Gerakannya menggelegar mengejutkan Anggara yang masih melamun. Kedua mata Anggara membulat ketika melihat wanita tepat di depannya.
"Sialan!" umpat Anggara.
"Apa aku akan mati di sini, Oh tuhan." gumam wanita itu dalam hati.
Ccitt.. Ciitttt...
Anggara menginjak rem mendadak mencoba mengurangi kecepatannya. Namun, tidak bisa. Dia banting setir ke kiri, dan.
"Brakkkk...."
Suara decitan rem berdenging di telinganya, membuat wanita itu bergidik geli. Tak lama suara motor terjatuh tepat di depannya.
Wanita itu mengangkat kepalanya
Melihat sosok laki-laki tergeletak di aspal.
"Haduh... Apalagi ini.. Kenapa tu orang." ucap wanita itu. Segera menghampirinya.
"Kamu, gak apa-apa, kan?" tanya Wanita itu memastikan kondisinya. Meski lelaki itu bisa berdiri sendiri. Wanita itu mencoba memegang tangan Anggara. Berjalan ke tepi jalan.
"Gak apa-apa gak usah peduliin aku segala," lelaki itu menepis tangan Wanita berpakaian khas sekolah Kartika itu, saat menyentuhnya.
Baju yang sama dengannya. Membuatnya merasa geli saat melihat wanita itu. Entah perasaan apa membuatnya sedikit penasaran dengannya.
Sekolah yang sama denganku ternyata, batin Anggara tersenyum samar.
Wanita itu yang merasa bersalah dia mencoba untuk membantunya.
"Sini aku lihat, sepertinya kaki kamu terluka" Anggara terdiam, sekilas melihat d**a kanannya terpasang nick name bertuliskan
"Nayla Anggraini,"
Shit... Kenapa nama belakangnya hampir sama denganku. Gumam Anggara kesal dalam hati.
Nayla menarik kaki Anggara dan segera memeriksanya.
"Kaki kamu..."
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Anggara. Dia segera membuka helm full face nya, di lihatnya wajah cantik Nayla. yang sibuk menatap lukanya. Anggara mengamati wajahnya. Dia sempat terdiam sejenak. Mengagumi wajah wanita di depannya.
"Tidak usah, pegang-pegang kakiku, atau kamu mau cari kesempatan?" bentak Anggara menepuk tangan Nayla di kakinya.
Wanita itu menatap tajam ke arah Anggara.
"Eh.. Siapa juga yang cari kesempatan. Lagian kaki kamu luka. Aku hanya melihat lukanya."
"Lagian naik motor juga ngebut. Emangnya jalan ini punya bokap, mu."
"Apa katamu? Eh.. Kamu saja yang nyebrang gak lihat-lihat. sudah tahu ada montor, main nyebrang begitu saja." decak kesal Anggara memalingkan pandangannya.
Wanita itu menghela napasnya kesal. Mencoba menahan amarahnya. Meski sedikit kesal dengan ucapannya.
"Udah sini, mana kaki kamu,"
"Mau ngapain?" Anggara menarik kedua alisnya bertautan.
"Aku hanya memastikan luka kamu, kamu mau aku obati secara baik-baik atau secara paksa" ucapnya mengancam, menarik kakinya paksa. Dan hanya di balas dengan senyum tipis dari lelaki itu.
Wanita itu segera mengambil sapu tangan pemberian ibunya dan mengikatkan di kakinya yang tergores. Meski tak bisa membalutnya dengan perban yang tebal.
"Oya, lain kali kalau bawa motor pelan-pelan, memangnya ini jalan milik nenek moyang, lo!"
Anggara menggerakkan kepalanya ke kiri. "Apa maksud kamu,"
"Kamu itu kalau nyebrang apa gak lihat ada motor lewat. Punya mata itu dipakai" umpat Anggara kesal semakin meninggikan suaranya.
"Kenapa kamu nyolot sih, lagian kamu juga salah. Kenapa naik motor kebut-kebutan gitu. Ini jalan umum bukan arena balap" Nayla meninggikan suaranya, menatap tajam ke arah Anggara.
"Terserah aku, lagian sudah tahu ini jalan raya kalau nyebrang tu, di lihat dulu jangan nyelonong saja" Anggara itu tidak mau kalah, ia semakin kesal dan meninggikan suaranya lagi.
Nayla menggertakan giginya sebentar, mengepalkan tangannya. seakan ingin sekali ku jitak mulutnya yang nyebelin.
Nih cowok nyebelin banget sih, udah salah nyolot lagi, gumam Nayla dalam hati
Nayla tersenyum tipis menatap Anggara. "Kamu yang salah kenapa semakin nyolot, sih." ucapnya kesal.
"Tahu ah, bawel." Anggara segera meraih helm full face nya beranjak berdiri. Ia segera membenarkan motor nya yang masih tergeletak, lalu menaikinya.
sekilas Anggara melirik ke belakang, menatap wanita itu.
"Kamu gak mengucapkan sesuatu gitu?" tanya Nayla kesal. Menarik kedua alisnya dengan wajah menantang.
"Aku pergi dulu, bye.." wajah lelaki itu sangat dingin dan datar.
"Bener-bener ya, tu, cowok nyebelin banget, gak tahu terima kasih sama sekali" gerutu Nayla kesal, mengepalkan tanganya.