Sepulang sekolah, seperti biasa tuan Anggara dan teman-temannya mulai pergi ke sebuah cafe kecil yang biasa jadi langganan mereka. Kali ini Sella tidak ikut bergabung dengan mereka. Biasanya yang paling bawel di antara mereka adalah Sella. Salah satu sahabat wanitanya, bahkan sekarang berstatus pacar dari Anggara.
Kini Anggara hanya diam. Wajahnya nampak kosong, seakan sedang memikirkan sesuatu. Bahkan tangan kanannya tidak berhenti mengaduk kopi di depannya.
Dio menepuk pundak Anggara membuat dia tersadar dari lamunannya.
"Ga, kamu gak apa-apa?"
"Gak apa,"
"Yakin?"
"Iya, yakin!"
"Kopi kamu berceceran, kemana-mana." Riko menarik ke dua alisnya, seakan memberi kode pada Anggara untuk menatap ke arah meja.
"Eh.. Aku terlalu keras mengaduk," jawab datar tanpa ekspresi dari wajah Anggara. Pandangannya lurus ke depan, seketika matanya mengkerut di saat melihat sosok wanita tang pernah di temuinya tadi berada di kasir cafe.
Ternyata dia kerja di sini? Anggara menganggukkan kepalanya palan, sembari menarik bibirnya tipis.
Anggara beranhak berdiri, tangan kirinya menepuk berkali-kali pundak kanan Dio yang duduk si sampingnya.
"Aku punya mangsa baru," ucap Anggara tersenyum tipis.
"Mangsa apa?" Dio, Riko, dan Rino seketika kompak menatap ke arah wanita yang mencuri pandangan mata Anggara saat ini.
Riko menatap ke arah Anggara. "Apa kamu mau mendekatinya?" tanya Riko.
"iya, memangnya kenapa, apa penting juga bagimu,"
"Oke, terserah!" jawab kesal Riko. Dia tahu jika apa yang di lakukan Anggara sama saja menyakiti Sella. Teman mereka sekaligus pacar Anggara. Meski merasa sangat kesal.
Anggara melangkahkan kakinya berjalan medekat ke sebuah bar. Dan mulai memesan sebuah es capucino.
"Mbak, capucino ada?" tanya Anggara, pada teman kerja Nayla.
"Ada, mas mau yang dingin apa hangat?"
"Aku mau dia yang layani aku," ucap Anggara menunjuk ke arah Nayla yang sibuk dengan kasir.
"Tapi..."
"Braakkk..." Gerbrakan kerasa di bar itu memabuat Kiki bergidik takut. Dan Nayla seketika menoleh ke arahnya.
"Ada, apa ki?" tanya Nayla pada teman kerjanya Kiki.
"Mas, ini dia mau kamu yang melayaninya." ucap Kiki gemetar takut.
Nayla menoleh, menatap tajam ke arah Anggara. "Apa yang kamu inginkan, sebenarnya?" tanya penuh amarah Nayla.
Anggara tersenyum licik, menyandarkan tangan kanannya di atas meja bar.
"Aku hanya ingin kamu yang melayani pembelianku. Dan mengantarkan ke meja di sana," ucap Anggara menunjuk ke meja teman-temannya.
Nayla menarik napasnya dalam-dalam. Dia mencoba untuk sabar melayani pelanggan seperti dia.
"Baiklah, pesan apa?" tanya jutek Nayla.
"Aku mau pesan, es capucino. Dan ingat kamu harus yang buatkan. Dan satu lagi. Kamu juga yang bawakan ke mejaku," kata Anggara, mencolek dagu Nayla dan beranjak pergi sebelum Nayla menjawabnya.
"Ihh... Dasar ya, tuh, cowok. Selalu saja bikin gara-gara." decak kesal Nayla menggeram kesal sembari mengepalkan ke dua tangannya.
Anggara duduk kembali di tempatnya. Dan mulai menunggu pesanan sembari mengobrol dengan teman-temannya.
Hampir 10 menit pesanan belum juga datang. Membuat Anggara sangat kesal. Dia menatap ke arah bar. Dengan wajah penuh amarah
"Heh.. Apa yang kamu lakukan? Cepat! Mana pesananku," teriak Anggara membuat semua pengunjung cafe menatap ke arahnya bingung.
Nayla segera berjalan dengan langkah cepat membawa satu gelas es capucino tepat ke arah Anggara.
"Kalau jalan cepetan, jangan lelet!"
Nayla hanya diam, dia merasa laki-laki aneh ini memang sengaja mau mengerjainya. Tapi dia tidak perduli. Dan akan membalasnya nanti setelah pulang dari cafe.
"Ga, duduk, geh!"
"Apa?"
"Duduk, jangan seperti itu. Lihat semua orang menatapmu."
"Aku gak perduli,"
"Ga, cepat duduk!" ucap Dio kembali.
Anggara berdengus kesal, dan mulai duduk kembali. Anggara beranjak duduk kembali di kursinya. Menatap tajam ke arah Nayla.
"Ini, mas!" ucap sopan Nayla, meletakkan pesanan Anggara ke mejanya. Dia mencoba untuk melayani pelanggannya dengan baik. Meski dalam hati Nayla merasa sangat kesal.
Anggara segera duduk, dan mulai meraih gelasnya. Meneguknya secara perlahan..
"Cuiihhh..." dia meludah ke sembarang tempat.
"Minuman apa ini," ucapnya keras. semakin membuat semua yang melihatnya menatap bingung.
"Kamu bisa bikin minuman gak? Kalau gak bisa jangan kerja," suara keras Anggara menggema ke seluruh penjuru ruangan Cafe.
"Maaf, aku akan ganti!" ucap Nayla mengambil lagi gelasnya. Dan segera menggantinya dengan yang baru.
Selesai menggantinya Nayla kembali lagi memberikan capucino di depan mejanya. Dan langsung di raih paksa Anggara. Lalu menegurnya perlahan.
"Cuuiihh..."
"minuman apa lagi ini." umpatnya.
"Kamu bisa bikin gak, sih?" Anggara semakin meninggikan suaranya.
Nayla hanya menunduk, menarik napasnya dalam-dalam mencoba untuk tetap sabar.
"Ganti,"
Nayla dengan perasaan kesalnya. Dia meraih gelasnya dan mulai menggantikan lagi dengan yang baru tanpa menatap ke arah Anggara.
Semua teman Anggara menatap bingung dengan apa yang sudah di lakukan Anggara. Merasa kasihan dengan wanita cantik tadi. Dio dan yang lainya tidak bisa berbuat apa-apa.
Nayla kembali membawa satu gelas capucino. Dan dengan sengaja Anggara menumpahkannya. Dan langsung di bersihkan oleh Nayla.
"Oopp.. Maaf!" ucapnya.
Anggara beranjak berdiri, menajamkan pandangannya. "Oya, lebih baik kamu berias diri. Dan pergi ke ke discotik. Kamu bisa jual tubuh kamu dari pada harus kerja seperti ini," jelas Anggara sembari menarik sudut bibirnya tipis.
"Dasar rendahan!" umpatnya
"Emangnya apa urusan kamu. Mau aku kerja gak bukan urusan kamu. Dan ingat ya, jangan semena-mena pada seorang wanita Kamu akan tahu akibatnya sendiri,"
"Apa, pa kamu akan memukulku? Cepat pukul! Sini!" Anggara menepuk-nepuk pipinya. Dan mulai mendekatkan ke arah Nayla.
Wanita itu hanya diam, ingin rasanya dia meluapkan amarahnya. Tetapi ini tempat kerjanya. Jika dia memukul pasti akan di pecat nantinya.
"Kenapa kamu diam? Kamu gak berani pukul aku?" Anggara meninggikan suaranya. Dia meraih satu gelas capucino di depannya. Dan menyiramnya pada tubuh Nayla.
"Ooppss. . Maaf!" ucapnya. Menarik bibirnya sinis.
Nayla hanya menunduk. Dia hanya bisa bergumam kesal menahan setiap amarah yang di lontarkan Anggara padanya. Hingga sampai pada satu titik di saat Anggara mendorong tubuhnya sedikit menjauh. Emosi Nayla mulai memuncak, Dan. Plaaakkkk...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Anggara begitu sempurna dan keras. "Ingat, jangan merendahkanku. Kamu pikirkan diri kamu. Lebih rendah dari pada aku," umpat Nayla, menajamkan pandangannya dengan tangan menunjuk tepat ke wajah Anggara tanpa rasa takut.
Nayla beranjak pergi, melepaskan celemek milik cafe. Dan meletakkan di atas bar. Dan berlari pergi sembari menahan air kata yang seakan ingin sekali keluar dari ke dua matanya.
Anggara hanya diam, menatap ke arah wanita itu pergi. Baru pertama kali dalam hidupnya dia benar-benar di tampar oleh wanita di hadapan semua orang. Merasa masih sangat kesal dengan Nayla. Anggara beranjak berdiri meraih jaket miliknya tepat di atas kursi.
"Ga, kamu mau kemana?" tanya Dio yang merasa khawatir dengan temannya itu.
Semenjak kepergian mamanya. Dia selaku lebih tempramental. Suka marah-marah pada orang yang tidak sengaja menabraknya atau bahkan setiap orang yang membicarakan atau melihatnya selalu di pukul
Anggara sengaja mengikuti Nayla, dia berlari meraih tangan Nayla, menarik tangan Nayla, hingga tubuhnya terbentur ke tembok tepat di sampingnya. "Kamu mau kemana?" tanya Anggara menajamkan pandangan matanya. Dengan tangan kanan tepat berada di atas kepala wanita di depannya.
Nayla berdengus kesal, mencoba menghindar ke kiri, dengan sigap tangan kiri Anggara sudah menempel di tembok menghalangi Nayla untuk keluar.
Nayla memejamkan matanya sejenak, mencoba untuk tetap tenang. Laku mengangkat kepalanya ke atas. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya tanpa rasa takut.
"Aku hanya ingin cari gara-gara padamu," jawab datar Anggara tanpa rasa bersalah.
"Apa yang kamu inginkan dariku? Kenapa kamu selalu mengganggu ku. Kalau kamu mau aku minta maaf soal kemarin. Oke. Fine, aku minta maaf sekarang!" kata Nayla menggebu.
Anggara menarik ke dua bahunya ke atas, mencoba tersenyum samar.
"Aku tidak inginkan kata maaf darimu," kata Anggara, menyentuh dagu Nayla menariknya sedikit ke atas, membuat ke dua mata mereka saling tertuju, terkunci dalam tatapan penuh dengan kemarahan.
Anggara mendekatkan wajahnya. "Kamu sangat menarik, membuat aku ingin sekali membuat onar padamu," bisik Anggara lembut, suara seraknya membuat Nayla seketika tertegun.
Melihat wanita di depannya menatapnya dengan tatapan kosong. Anggara mengusap dagu manisnya dengan ibu jarinya. Mendekatkan wajahnya semakin dekat, hingga berjarak satu telunjuk tangan.
Nayla tersadar, dan sudah merasa sangat kesal, mendorong tubuh Anggara menjauh darinya. Tanpa sepatah katapun Nayla berlari meninggalkan Anggara yang masih menatapnya penuh dengan pikiran kotornya.