Untuk pertama kali Vian menginjakkan kaki di pasar rakyat. Berbaur dengan para pedagang dan pembeli yang penuh sesak. Sejujurnya ada perasaan tidak nyaman menyisip di benaknya, namun demi Riko ia rela berdesakan.
“Di sini terlalu ramai,” keluh Vian.
“Kalau sepi namanya kuburan.”
Vian memutar bola matanya kesal, kakak sepupunya itu tidak pernah santai sedikit pun. Selalu saja ia bicara ketus. Riko menghentikan gerobaknya tepat di samping sebuah pohon rimbun. Ia berbalik menatap Vian dengan senyum misterius.
“Apa?”
“Tuan Vian yang terhormat, direktur pemasaran H&B Group, tunjukkan keahlianmu memasarkan produk. Aku ingin tahu sehebat apa dirimu,” tantang Riko. Vian terdiam sejenak, ia mulai berpikir apa yang ia lakukan. Menjual ubi tidaklah mudah, apalagi menjual sesuatu yang tidak dia suka. Ini menyebalkan. Apa yang istimewa dari ubi? pikir Vian.
Belum sempat ia berucap kegaduhan terdengar di tengah keramaian. Sebuah kereta kuda berhenti di tengah pasar. Dua orang turun dari kereta itu dan mulai berpencar membeli kebutuhan mereka. Salah satu dari pria itu mendatangi Riko dan Vian.
“Apa kalian menjual beras?” tanya pria itu. Rik dan Vian kompak menggeleng, namun Vian sepertinya tidak mau kehilangan calon pelanggan.
“Beras dan ubi sama-sama menghasilkan karbohidrat dan mengenyangkan. Kami menjual ubi dalam jumlah banyak dan hari ini kami akan berikan diskon khusus jika Anda membeli semuanya,” kata Vian.
“Diskon?” tanya pria itu bingung.
“Potongan harga,” celetuk Riko.
“Tidak. Kami ingin membeli beras.”
“Tapi ubi bisa dicampur nasi untuk mengurangi penggunaan beras. Kalian bisa menghemat beras yang harganya mahal,” kata Vian.
Sejenak pria itu berpikir sebelum memutuskan membeli semua ubi yang mereka jual. Riko menepuk pundak Vian, tidak perlu diragukan lagi keahlian negosiasi dari Vian.
“Wah, cantiknya gadis yang ada di kereta itu,” ujar Riko membuat Vian mengikuti arah pandangnya. Vian mematung menatap gadis yang dimaksud Riko. Bagaimana mungkin ini terjadi? Apa benar yang Riko katakan bahwa mereka akan bertemu orang-orang di masa lalu?
“Tika,” gumam Vian. Berkali-kali ia mengucek matanya berharap itu adalah sebuah ilusi, namun sayang gadis itu nyata ada di depannya.
“Kamu kenal?” tanya Riko.
“Dia Tika, keponakan Tuan Albert. Aku tidak salah, wajah mereka mirip.” Vian berjalan membelah lautan manusia agar bisa sampai di tempat Tika. Namun kereta yang ditumpangi gadis itu sudah berlalu meninggalkan pasar.
“Tika… Tika,” teriak Vian menarik perhatian.
Pria itu terdiam mematung menatap kereta kuda yang melaju kencang. Harusnya ia bisa bicara dengan Tika, mungkin saja gadis itu juga terjebak di masa lalu.
“Vian.” Riko berdiri di sampingnya. “Kata orang-orang gadis itu adalah anak dari saudagar kaya, pemilik kapal besar yang berlabuh dua hari yang lalu di pantai. Mereka sedang membeli kebutuhan untuk melanjutkan perjalanan,” jelas Riko.
Vian teringat dengan ucapan Mande Rubayah kemarin malam. Mungkin saja kapal besar yang dikatakan ibu Malin Kundang itu adalah milik saudagar kaya yang dikatakan Riko.
“Kak, bagaimana jika kita merantau. Siapa tahu kita menemukan jalan pulang ke masa depan,” kata Vian.
“Kamu yakin mau meninggalkan ibu Mande sendiri?” Vian terdiam sejenak, tidak mungkin ia membiarkan Riko di sini sendirian, mengingat selama ini Vian selalu tergantung dengan pria itu.
“Kita minta bantuan Lisa supaya ibu Mande tidak sendiri.” Riko terdiam memikirkan segala kemungkinan yang terjadi jika mereka pergi. Melakukan pekerjaan yang sama seperti itu terus membuat Riko jenuh juga, ia pun mengiyakan ide Vian.
Mereka pulang dengan wajah sumringah. Vian tidak sabar mengutarakan keinginannya untuk merantau. Walau ia mabuk laut sekali pun jika bisa kembali ke masa depan apa pun akan dia lakukan.
“Bundo… bundo… bundo di mana?” teriak Vian mencari wanita tua itu.
“Ada apa Malin? Bundo di sini,” kata Mande Rubayah. Wanita itu muncul dari lumbung dengan nampan bulat yang terbuat dari bambu. Vian memegang kedua lengan Mande Ruabayah dengan erat.
“Bundo saya dan Riko akan merantau. Saya berjanji akan kembali setelah sukses,” kata Vian. Mande Rubayah terdiam, ia meletakkan nampannya di atas meja kemudian duduk bersama Vian.
“Bundo hanya minta kamu pulang dengan sehat tanpa kurang satu apa pun, Malin, dan jangan pernah lupakan bundo. Bundo akan menunggu kepulangan Malin.”
Viand an Riko terdiam menatap dalam bola mata Mande Rubayah. Suara pilu itu mampu menyayat hati Vian. Wanita itu sangat tulus mengucapkannya. Vian memeluk Mande rubayah, ia berjanji dalam hati untuk tidak melupakan kebaikan hatinya.
“Saya akan pulang dengan selamat.”
***
Lisa menghentikan gerakan tangannya saat mencuci. Ia menatap Malin yang tengah berendam di sungai yang tidak terlalu dalam. Air sungai yang jernih membuat batu-batu di bawah sana terlihat begitu indah.
“Apa kamu yakin mau merantau?” tanya Lisa.
“Yakin. Jika saya merantau saya bisa bertemu dengan Tika. Ini kesempatan yang baik,” kata Vian ceria.
Lisa menunduk, ia tahu Vian pergi bukan murni ingin merantau tapi karena seorang gadis. Ada rasa sesak yang Lisa rasakan di d**a. Dipukulnya dadanya yang terasa sakit. Lisa segera menyelesaikan cuciannya. Ia harus segera pergi untuk menenangkan hatinya.
“Aww,” ringis Lisa, terpeleset saat hendak naik dari sungai. Rasa sakit di kaki dan hatinya membuat air mata Lisa luruh begitu saja. Ia menangis hingga membuat Vian khawatir.
“Kamu baik-baik saja? Yang mana sakit?” tanya Vian panic. Pakaiannya basah setekah berendam di air sungai yang dingin.
“Rasanya sakit sekali, hiks… hiks….”
Vian mulai kebingungan, kenapa tiba-tiba Lisa menangis tidak jelas. Lecet di kakinya juga tidak parah menurut Vian.
“Jangan menangis. Saya mohon kamu diam,” kata Vian. Bukannya berhenti tangisan Lisa semakin kencang.
“Sakit….”
Vian semakin takut, tidak ada pilihan lain ia pun menggendong Lisa untuk dibawa ke rumah Bu Mande. Melihat wajah Lisa bercucuran air mata membuat Vian tidak tega. Gadis itu meski cerewet dan menyebalkan tapi dia gadis yang baik hati.
“Lisa kenapa?” tanya Bu Mande menghampiri Vian dan Lisa.
“Kakinya lecet, Bundo.” Vian mendudukkan Lisa di atas tikar di ruang tengah. Mande Rubayah memeriksa kaki Lisa yang membuat gadis itu menangis sesenggukan.
“Masih sakit?” tanya Bu Mande. Lisa mengangguk. Bukan kakinya yang sakit tapi hatinya, terasa seperti pisau tajam yang menghantam.
“Kakinya baik-baik saja. Lisa istirahat saja, ya.” Mande Rubayah pergi meninggalkan Lisa dan Vian berduaan. Keadaan canggung meliputi keduanya. Vian tidaktahu apa yang harus ia katakan pada gadis itu, sedangkan Lisa hanya menundukkan kepalanya. Sungguh Vian membenci suasana seperti ini, biasanya Lisa selalu bicara padanya saat Vian hanya diam tapi sekarang gadis itu mengunci rapat bibirnya.
“Apa sakit sekali?” tanya Vian.
Lisa mengangguk tanpa menatap Vian. Gadis itu lebih suka melihat kain yang membungkus kaki jenjangnya. Hening kembali terjadi di antara keduanya, sampai suara Riko membuat Lisa mendongkak.
“Lisa kenapa?” tanya Riko.
“Kakinya sakit, tadi jatuh di sungai,” jelas Vian. Riko menatap Lisa lekat namun gadis itu memalingkan wajah sembabnya. Riko mulai curiga ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada mereka berdua.
“Malin saya lupa ambil kayu bakar di belakang rumah, bisa kamu bawa ke dapur?” tanya Riko. Vian menatap tidak suka pada Riko, mengangkat kayu bakar? Yang benar saja?
“Malin.” Riko mengedipkan matanya berulang kali. Vian dengan berat hati akhirnya menuruti perintah Riko. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh pria itu untuk bicara pada Lisa.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Riko. Lisa menatapnya kemudian menggeleng.
“Malin akan pergi, katanya mau bertemu Tika.” Riko sudah menduga hal ini yang menyebabkan wajah Lisa sembab.
“Saya punya ide untuk mencari tahu apa Malin mencintai kamu atau tidak,” ucap Riko. Lisa mulai tertarik dengan pembicaraan itu. Ia menggeser duduknya mendekati Riko. Siap-siap memasang telinga. Riko membisikkan sesuatu pada Lisa, lagi-lagi gadis itu terkejut dengan rencana Riko.
“Apa akan berhasil?” tanya Lisa
“Kalau belum dicoba, tidak akan tahu.”
Lisa terdiam sejenak, ditatapnya Riko yang terlihat serius dengan ucapannya. Tidak ada salahnya ia mencoba apa yang Riko katakan sebelum Malin pergi. Lisa tidak mau menahan perasaannya terlalu lama.
“Baiklah, saya setuju. Kapan kita mulai?”
“Sekarang.”
“Apa?”