Part 13

1374 Words
Sesuai Rencana Lisa dan Riko kini duduk bersama sambil mengupas singong yang akan dimasak. Sesekali Riko melepar candaan dan godaan pada Lisa membuat gadis itu tertawa dengan wajah bersemu merah. Vian yang melihat keakraban keduanya yang terkesan mendadak merasa cukup curiga. Bagaimana bisa Riko tertarik pada gadis seperti Lisa. Alu yang Vian gunakan utnuk menumbuk padi dalam lesung menghentak keras. Untuk makan nasi saja ia harus menumbuk padi, hidupnya benar-benar berubah total. Suara tawa kedua anak manusia yang berada di depannya membuat Vian kesal. Riko selalu bisa membuat orang-ornag di sekitarnya tertawa, beda sekali dengan Vian. “Tadi menangis sekarang tertawa, gadis aneh,” gumam Vian. Matanya tertuju pada Lisa dan Riko. Karena kesal hentakan alu yang digunaan Vian semakin cepat tidak peduli padi yang telah terlepas dari sekamnya menjadi hancur. “Malin jangan terlalu keras menumbuknya, nanti jadi tepung beras,” ujar Mande Rubayah menyadarkan Vian. “Bundo, saya mau ke tempat Kak Riko.” Vian meletakkan alu yang digunakannya begitu saja, meninggalkan Mande Rubayah yang tengah membersihkan sekam dan beras dari lesung. Vian menghampiri kakaknya dan duduk bersila di samping Riko. “Sudah selesai menumbuk padinya?” tanya Riko. “Sudah,” jawab Vian singkat. Seketika suasana menjadi hening membuat Vian canggung. Kenapa mereka tidak bicara dan tertawa lagi? Vian mulai curiga. “Kenapa kalian tidak tertawa?” tanya Vian menatap Riko dan Lisa bergantian. “Tertawa? Untuk apa?” tanya Lisa heran. “Tadi kalian tertawa kencang, sekarang kenapa diam?” Lisa dan Riko tidak menjawab, mereka asik memisahakn singkong dengan kulitnya. Vian merasa diabaikan oleh dua orang itu. “Apa kalian membicarakan saya?” tanya Vian mencoba menebak. “Tidak, kami hanya membicarakan masa depan, untuk kita berdua,” ucap Riko membuat Lisa menunduk. Vian tersenyum kecut saat mendengar ucapan Riko. Jadi kakak sepupunya mulai menyukai Lisa si gadis cerewet yang banyak maunya. Lisa dan Riko kembali melempar candaan membuat Vian merasa terasingkan dari keduanya. Seakan kehadiran Vian tidak berarti sama sekali. Ada perasaan aneh ketika Lisa tertawa dan tersenyum pada pria lain. Vian merasa panas entah karena apa, dia pun tidak tahu. “Malin kamu mau ke mana?” tanya Lisa saat Vian beranjak dari tempat duduknya. “Mau ke laut, cari udara segar,” kata Vian. Lisa dan Riko menatap punggung Vian yang menjauh. Ada rasa bersalah di hati Lisa telah mengabaikan Vian. “Saya tidak bisa seperti ini. kita hentikan saja,” kata Lisa. “Tapi ini baru awal Lisa. Kalau kamu mau mendapatkan sesuatu yang besar kamu harus banyak bersabar, Lisa,” kata Riko. Gadis itu menunduk kemudian beranjak bermaksud untuk menyusul Vian namun Riko mencegahnya. “Jangan temui dia, itu akan membuatmu semakin sakit hati,” kata Riko. “Tapi saya tidak bisa, saya harus katakan pada Malin. Lebih baik jujur dari pada memendam rasa. Tidak masalah kaau Malin tidak mencintai saya. Saya ikhlas menerima cinta yang tidak terbalas.” Riko tersenyuh dengan ketulusan Lisa. Gadis itu kurang beruntung mencintai pria sombong seperti Vian. Gadis seperti Lisa harusnya mendapat pria yang lebih baik. Tapi Riko sadar perasaan itu tidak bisa dipaksa, Lisa mencintai Vian dengan ketulusannya itu yang Riko lihat selama ini. “Pergilah. Saya tidak bisa melarang, berjanjilah jangan menangis jika dia menolak perasaan kamu.” Lisa mengangguk kemudian berlari mencari Vian. “Lisa dan Malin pergi ke mana?” tanya Mande Rubayah saat meihat Riko sendiri. “Mereka pergi mencari kebahagiaan,” jawab Riko membuat Mande Rubayah menggeleng. “Kamu ini bicara apa?” Mande Rubayah meninggalkan Riko untuk melanjutkan pekerjaannya. *** Lisa mengedarkan pandangannya mencari sosok Malin di pantai. Tatapannya kini tertuju pada seorang pria dan wanita tengah duduk di atas perahu di pinggir pantai. Lisa berjalan pelan mendekati kedua orang itu. Hatinya terluka melihat Vian tersenyum pada seorang perempuan. “Dia wanita yang cantik, benar saja Malin menyukai wanita itu,” gumam Lisa. Gadis itu mendekati Vian setelah gadis itu pergi. Tekad Lisa sudah bulat untuk mengatakan perasaannya pada Vian. “Malin kamu ada di sini?” tanya Lisa. Vian turun dari perahu dan menghampiri Lisa yang berdiri kaku di tempatnya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Vian. “Saya… saya ingin mengatakan sesuatu.” Lisa meremas kedua tangannya gugup. Ia tidak tahu apa keputusannya tepat? Vian menunggu Lisa bicara lebih lanjut. Gadis itu terlihat gugup. “Saya menyukai kamu, Malin.” Lisa menunduk jantungnya berdetak cepat. Ini pertama kalinya ia mengatakan perasaan pada seorang pria. Tubuhnya memanas reaksi dari detakan jantungnya yang berdegup kencang. Vian yang mendengar ucapan Lisa hanya diam mencerna semua dengan baik. “kamu mencintai Malin atau saya?” tanya Vian. Lisa mengangkat kepalanya, ia tidak mengerti apa yang diucapkan Vian. “Saya bukan Malin Kundang, nama saya Malino Oktaviansyah orang dari masa depan. Saya tidak tahu kenapa orang-orang mengatakan bahwa saya adalah Malin Kundang, tapi Lisa kita tidak bisa bersama, dunia kita berbeda. Jika kamu mencintai saya lebih baik hapus semua perasaanmu itu sebelum terlambat.” Vian melangkah pergi meninggalkan Lisa yang tediam di tempat, dengan mudahnya Vian mengatakan untuk melupakan perasaan itu.  “Tunggu.” Vian menghentikan langkah kakinya. Tanpa menoleh ia hanya menatap lurus. “Saya hanya mengatakan isi hati saya. Jika kamu bukan Malin di mana pria itu sekarang?” Vian berbali menatap gadis di depannya. “Saya tidak tahu, yang jelas saya dan Malin berbeda. Saya akan pergi dari tempat ini cepat atau lambat kita akan berpisah.” Vian melanjutkan perjalanannya meninggalan Lisa dengan hati terluka. “Dia bukan Malin,” gumam Lisa menguatkan hatinya yang hancur namun perasaan itu tida berubah. Ia mencintai pria itu bukan karena dia adalah Malin Kundang. *** Setelah kejadian di pantai itu Vian tidak pernah melihat Lisa lagi. Gadis itu hilang tanpa jejak, yang lebih menyakitkan lagi Vian tidak tahu di mana Lisa tiggal. Riko menepuk pundak Vian yang sedang melamun sendirian. Pohon hijau yang rindang menghalangi matahari menyengat tubuh mereka. “Kamu kenapa?” Vian menatap Riko sebentar sebelum menghela napas panjang. “Apa saya sudah keterlaluan?” tanya Vian membuat perempatan muncul di dahi Riko. “Memang kamu ada masalah?” “Tiga hari yang lalu Lisa mengatakan suka sama saya, tapi saya tolak.” Riko tidak terkejut sama sekali, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Pilihan untuk menolak Lisa juga tidak salah mengingat suatu hari nanti Vian akan kembali ke masa depan. “Mungkin Lisa sedang sakit hati kamu tolak,” ucap Riko. “Siapa yang sakit hati?” Riko dan Vian kompak menoleh ke sumber suara. Lisa berdiri tidak jauh dari tempat mereka. Pakaian putih gading menyelimuti tubuhnya. Lisa terlihat semakin cantik dengan rambut yang terurai. Selama ini rambut panjang gadis itu selalu disanggul. Vian berdiri menatap Lisa yang kini berjalan ke arahnya. “Maaf, saya bukan pasukan sakit hati. Ditolak itu biasa jadi saya akan buat kamu―Lisa menunjuk Vian―menyukai saya.” Setelah mengatakan itu Lisa pergi meninggalkan Riko dan Vian yang bengong dengan bibir terbuka. Benarkah dia Lisa si gadis pemalu yang cerewet? Kenapa dia terlihat percaya diri sekali? “Wanita jika sudah mengenal cinta ternyata lebih mengerikan,” kata Vian. “Ini luar biasa, dia berubah secepat itu.” Riko menimpali. *** Vian semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada Lisa, diam-diam ia mencari tahu rumah tepat tinggal gadis itu. Sebuah rumah sederhana yang banyak ditubuhi pohon-pohon rindang di sampingnya. Tidak jauh berbeda dengan rumah lainnya yang terbuat dari kayu. Suara barang terlempar terdengar nyaring dari dalam sana, disusul dengan teriakan keras seorang pria. Vian tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Bahsa daerah yang diucapkan dengan cepat membuat Vian kebingungan. Pintu rumah itu terbuka, dengan cepat Vian bersembunyi di balik pohon. Lisa keluar dengan derai air mata. Gadis itu berlari tanpa arah dengan kepala menunduk. Vian teriam mencerna semua yang terjadi, tepat saat itu seorang ibu-ibu melinta di dekatnya. “Permisi, boleh saya  bertanya?” kata Vian sopan. “Eh, Malin nio bicaro apo?” “Tentang pemilik rumah itu.” Vian menunjuk rumah Lisa. Ibu itu menjelaskan dengan bahasa daerah dengan cepat membuat kepala Vian pusing tidak mengerti. “Bisa pakai bahasa Indonesia? Saya kurang paham bahasa daerah.” Perempuan itu mengomel namun ia tetap menjelaskan seperti yang Vian minta. “Itu rumah milik keluarga Pak Dahlan, dia tinggal bersama istri dan keponakannya.” Vian terdiam mendengar penjelasan ibu itu. “Lisa keponakan Bapak Dahlan?” Ibu itu mengiyakan kemudian pergi meninggalkan  Vian. “Jadi yang dikatakan Bu Mande benar. Lisa yatim piatu.” Langkah kaki lebarnya mengantarkan Vian pada lautan luas. Sinar matahari mulai meredup menyisakan jingga di atas langit. Bola matanya menyususri tempat itu untuk mencari seorang gadis. Usahanya tidak sia-sia ketika melihat seorang gadis duduk di bebatuan. “Kamu tidak kedinginan?” tanya Vian menatap Lisa dari belakang. Lisa tidak menyahut, tatapannya kosong lurus ke depan. Vian bisa merasakan pertengkaran hebat itu membuat Lisa menjadi murung dan tidak bersahabat. “Kamu tidak mencintai saya, tapi kenapa kamu menemui saya?” tanya Lisa. “Maksud kamu?” “Saya tahu kamu datang ke rumah saya. Kenapa kamu lakukan itu?” Vian bungkam. Ia sudah tertangkap basah. “Walau saya tidak mencintai kamu bukan berarti kita tidak boleh berteman.” Vian duduk di samping Lisa. Gadis itu menekuk kakinya, menopang dagu dengan kedua lutut. “Saya akan dijodohkan,” kata Lisa lirih. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD