Part 11

1333 Words
Belum lama mengagumi ketampanan Vian, tubuh Lisa sudah terhempas jatuh ke tanah. Vian melepaskan pelukannya pada Lisa. Rasa sakit dirasakan gadis itu pada pinggangnya, sejenak Lisa terdiam merasakan kenikmatan rasa sakit yang berdenyut tiada dua. Tatapannya tajam mengarah pada Vian. Tidak ada gurat penyesalan atau rasa bersalah di wajah datar laki-laki itu. Vian memalingkan pandangannya ke arah lain, takut kalau Lisa marah padanya. “Jangan cari saya kalau cuma mau  menyakiti. Saya lelah,” kata Lisa ketus. Gadis itu berdiri dengan susah payah. Membersihkan pakaiannya dari kotoran tanah. Lisa mematung melihat pakaiannya tercecer dan sebagian hanyut terbawa arus. “Pakaian saya!” pekik Lisa. Ia berlari mengikuti aliran sungai, berbekal sebuah ranting kering Lisa mengejar pakaiannya yang hanyut. Sesekali gadis itu mencoba menarik pakaiannya yang tersangkut apa daya ranting yang ia pakai patah. Derasnya air sungai membuat Lisa harus kehilangan pakaiannya. “Saya bisa belikan pakaian baru,” ujar Vian. Napasnya naik turun mengejar Lisa yang larinya cukup kencang. Lisa menatap Vian tajam, ini bukan masalah mampu atau tidak untuk membeli baju. Gadis itu kecewa dengan sikap Vian yang seakan memudahkan setiap persoalan. “Bagi saya baju-baju itu sangat berharga. Saya membelinya dengan hasil keringat sendiri, bukan meminta.” Lisa berjalan, mendahului Vian yang mematung di tempat. Vian tidak mengerti jalan pikiran gadis itu. Lisa terlalu mempersulit hal kecil yang bisa disederhanakan. Pikirannya sangat rumit. “Jalan pikiran wanita memang sulit dimengerti,” gerutu Vian sembari mengejar Lisa. Lisa menoleh ke belakang memastikan Vian tidak mengikutinya, namun dugaan gadis itu salah. Vian tidak menyerah untuk mengerjar Lisa.  “Saya ingin minta bantuanmu,” teriak Vian. Peluh mengucur dari dahinya, sengatan matahari yang terik membuat kulit putih mulusnya memerah. Beruntung baju hitam yang ia pakai terbuka hingga mempertontonkan d**a kekarnya. Semilir angin membuatnya bisa merasakan kesejukan dalam sekejap. “Saya bukan pusat bantuan, kamu cari saja gadis lain yang lebih cantik.” Lisa menoleh sejenak kemudian menatap lurus ke depan. Vian merasa aneh dengan gadis itu, apa hubungannya meminta bantuan dengan gadis cantik. Terpaksa Vian berlari mengejar Lisa yang berjalan di depannya. Gadis itu tersentak ketika tangannya di tarik Vian. Lagi-lagi bakul pakaian yang ia bawa harus terjatuh. Wajah Lisa membentur d**a bidang Vian menghirup aroma tubuh pria itu dalam-dalam. ‘Kenapa jantung saya berdetak cepat?’ batin Lisa. Tangannya terangkat memeluk tubuh Vian lebih erat. Vian memutar bola matanya kesal, tadi Lisa sok jual mahal tapi sekarang gadis itu terang-terangan mengungkapkan ketertarikannya pada Vian. Tidak heran Riko pernah berkata, “Hati, pikiran dan ucapan wanita terkadang tidak sama jadi perlu persamaan untuk mencocokkan semuanya.” Vian membalas peluakn Lisa, tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam pikirannya. Pria itu tersenyum miring dengan ide cemerlangnya. “Jadi kamu mau bantu saya?” tanya Vian Lisa tersadar dari pikirannya, gadis itu mencoba melepakan diri dari Vian namun gagal. Pria itu memeluknya erat, lebih erat dari pelukan Lisa. “Lepaskan saya. Tidak baik seorang pria dan wanita berpelukan jika belum menikah,” kata Lisa. Vian mencibir, bukankah Lisa yang lebih dahulu memeluknya? “Kalau kamu mau membantu, saya akan lepaskan.” Pikiran Lisa berkecambuk, ia merasa senang berada dalam pelukan Vian namun norma tidak membenarkan hal tersebut. Lisa memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya. “Baik, saya bantu kamu tapi tolong lepaskan saya.” Vian tersenyum lebar kemudian melepaskan pelukannya. Lisa kembali memungut pakaiannya yang terjatuh setelah terbebas dari Vian. Ia mendongkak menatap Vian yang lebih tinggi darinya. “Kamu minta tolong apa? Saya banyak pekerjaan hari ini jadi cepat katakan.” Lisa memalingkan wajahnya yang memerah. Mengingat beberapa saat lalu ia memeluk Vian erat. Betapa malunya ia sekarang. “Ikut saya.” Vian menggenggam tangan Lisa, menariknya lembut untuk mengikutinya. Jantung Lisa berdebar kencang menatap tangan besar Vian membungkus jemarinya. Wajah Lisa semakin memerah ditambah debaran jantung semakin menggila. Vian membawa Lisa masuk ke dalam rumah, berjalan beberapa langkah dari pintu masuk mereka sampai di dapur. Asap yang sempat mengepul dari api yang tidak mau menyala kini sudah menghilang. Vian melepaskan tangan Lisa dan menatap gadis itu lekat. “Saya butuh bantuan kamu untuk memasak kue ini. Bundo sedang sakit,” jelas Vian. Lisa meletakkan cuciannya di ambang pintu. Gadis itu menyalakan api, meletakkan sebuah panci di atas tungkunya. Vian hanya memerhatikan Lisa bekerja dengan cepat. Gadis itu ternyata pintar memasak. “Ini kue apa namanya?” tanya Vian penasaran. “Ini namanya kue mangkuak, dimasak dengan tempurung kelapa.” “Hygiene?” Lisa menatap Vian dengan kening mengkerut. Ia kurang paham dengan apa yang diucapkan Vian. “Maksud saya kue ini dijamin bersih?” kata Vian menjelaskan. Lisa kembali berkutat dengan adonan kue yang sudah jadi. Ia menatap Vian sambil menunggu air untuk mengukus itu matang. “Bersih. Tempurung kelapa dikukus trlebih dahulu baru masukkan adonan.” Vian mengangguk, ia tidak yakin untuk makan kue itu. Lisa dengan cepat menggerakkan tangannya memasak kue itu hingga matang. Aroma manis dari gula aren ditambah gurih santan membuat Vian tertarik namun takut untuk mencoba. “Kamu mau?” tawar Lisa. Vian menggeleng, menolak pemberian Lisa. “Kalau belum dicoba tidak akan tahu rasanya,” kata Lisa menyodorkan kue mangkuak ke hadapan Vian. Mau tidak mau Vian menerimanya walau ragu saat mengunyah kue itu. “Rasanya enak,” komentar Vian setelah menghabiskan satu kue mangkuak.  “Ehem… pacaran terus, enak ya di rumah apa lagi sepi.” Vian dan Lisa sontak menoleh pada Riko yang berdiri di ambang pintu. Lisa menundukkan kepalanya malu tertangkap basah memerhatikan Vian sejak tadi. “Kakak dari mana?” tanya Vian, tidak menghiraukan godaan dari Riko. “Dari pasar,” ujar Riko singkat. Kelelahan jelas terlihat dari raut wajahnya. Vian merasa menyesal tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Riko. “Karena sudah selesai saya mau pulang dulu.” Lisa bergegas pergi meninggalkan rumah Mande Rubayah. Riko menatap Vian yang hanya bengong memandang punggung Lisa. “Kejar sana, sudah bilang terima kasih?” “Untuk apa?” “Ucapkan terima kasih saat seseorang memberikan bantuan. Apa lagi sukarela, hargai jerih payah Lisa.” Vian terdiam sejenak kemudian berlari mengejar Lisa. “Lisa,” panggilnya. Keduanya terdiam dalam jarak yang cukup jauh. Lisa berbalik menatap Vian dengan rambut berantakannya. Pria itu terlihat semakin tampan di mata Lisa. “Terima kasih.” Singkat jelas padat ucapan Vian tidak lebih dari dua kata. Lisa mengangguk kemudian melanjutkan perjalanannya untuk pulang. Vian kembali ke rumah Mande Rubayah yang selama beberapa hari ini ia tempati. “Kak Riko jangan dihabiskan. Itu kue untuk dijual,” kata Vian. Ia cepat-cepat membereskan kue yang sudah matang dan menjauhkannya dari Riko. “Baru tiga mangkuk,” kata Riko lemah. Wajahnya terlihat kelaparan sekaligus lelah. *** Vian merapatkan kain yang menyelimuti  tubuh kekarnya. Kedua tangan Vian memeluk kakinya yang tertekuk. Duduk di atas potongan bambu yang dirakit dengan kayu di setiap sisinya membuat Vian kurang nyaman. Tidak ada sofa empuk yang biasa ia duduki. Bulan terlihat sempurna di atas sana, mengingatkan Vian dengan ruang apartemen. Pikiran Vian menerawang jauh, hal-hal yang tidak disukainya harus dirasakan Vian.   “Malin.” Suara halus itu membuat Vian menoleh. Pelukan di kakinya terlepas, kini Vian menjuntaikan kakinya ke bawah. “Kamu belum tidur?” tanya Mande Rubayah sembari duduk di samping Vian. “Belum mengantuk,” kata Vian. “Malin ada yang Bundo sampaikan.” Vian mengalihkan tatapannya dari bulan di atas sana. Mande Rubayah yang berada di sampingnya terlihat murung dan bersedih. Entah apa yang ada dalam pikiran Mande Rubayah saat ini. “Sejak kecil kamu ingin merantau, mencari rezeki untuk hidup lebih baik. Bundo selalu bilang, untuk apa harta berlimpah kalau hidup miskin pun masih bisa makan, masih bisa hidup dan masih bisa bersama, tapi bundo sadar mimpi Malin sangat besar dan bundo telah menghalangi mimpi Malin.” Mande Rubayah mengatur napasnya yang terasa sesak. Vian yakin wanita itu tengah menahan sesak di dadanya. “Bundo dengar akan ada saudagar kaya yang berangkat dengan kapal besar ke negeri seberang. Malin bisa ikut bersama mereka.” Vian menundukkan kepalanya, ia pun ingin pergi dari desa ini, tapi mengingat Mande Rubayah tidak memiliki sanak keluarga membuat Vian ragu meninggalkan wanita itu sendirian. Bagaimana pun juga hidup tanpa seseorang yang bisa mendengar keluh kesah akan sangat menyedihkan. Vian berbaring, kepalanya berada di pangkuan Mande Rubayah. Sudah lama ia tidak melakukan hal ini. Ya, Vian merindukan ibunya sekarang. “Saya tidak akan meninggalkan bundo sendirian. Saya akan bersama bundo,” kata Malin. Takdir yang membawa Vian ke masa lalu, jadi takdir pula yang harusnya membawanya kembali. Vian sudah memutuskan untuk tetap tinggal di desa bersama Mande Rubayah. Riko yang melihat Vian sedikit berubah hanya tersenyum tipis. Hati Vian yang keras kembali melembut seperti dahulu. Riko mendongkak menatap langit malam yang terasa indah dengan benda langit menghiasi. “Apa sebenarnya rencana mu? Apa kau ingin menunjukkan kekuasaan mu?” kata Riko pada angin yang berhembus pelan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD