bc

Once Upon a Time

book_age12+
455
FOLLOW
1.7K
READ
time-travel
boss
drama
sweet
Writing Challenge
others
like
intro-logo
Blurb

Malino Oktaviansyah atau yang kerap dipanggil Vian adalah seorang direktur bersikap dingin, kaku dan k***m. Ia sangat ditakuti oleh bawahannya. Pertemuan pertamanya dengan gadis bernama Melisa membuat Vian membenci gadis itu. Segala cara ia lakukan untuk mengusik Melisa hingga memecatnya.

Vian bahkan tidak peduli dengan ibunya yang sakit. Yang ada dipikirannya adalah bekerja untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan pengakuan dari ayahnya. Tapi bagaimana jadinya kalau Vian tiba-tiba terdampar ke masa lalu dan berubah menjadi Malin Kundang? Hidup kekurangan tanpa adanya kemewahan akankah Vian betah? Bagaimanakah cara Vian kembali?

Cerita ini adalah rewrite folklore dari cerita Malin Kundang.

chap-preview
Free preview
Part 1
Pagi itu perusahaan di hebohkan dengan kedatangan direktur baru mereka. Kabarnya sang direktur adalah anak dari CEO yang baru pulang dari Singapura. Ketampanan dan kepintarannya sudah tersebar di mana-mana. Malino Oktaviansyah atau akrab dipanggil Vian adalah pria tampan dengan segudang prestasi. Setiap kakinya melangkah akan ada mata yang menatap. Semua perhatian karyawan tertuju padanya. Dia bagaikan sebuah magnet yang siap menarik apa pun yang ada di sekitarnya. Vian tersenyum tipis cukup membuat para wanita membuka mulutnya lebar-lebar. Dengan kacamata hitam melengkapi penampilannya yang sempurna. Jas hitam yang membalut tubuh tinggi dan atletisnya menambah kesan gentle yang melekat padanya. Bruk… Vian terdiam dengan rahang mengeras. Jas dan sepatunya kotor akibat tumpahan kopi. Gadis yang menabraknya bahkan masih terduduk tanpa mengucapkan maaf sedikit pun. “Ma-maaf,” ujar gadis itu gugup. Vian membuka kaca mata hitamnya. Menatap gadis itu dengan kesal. “Berdiri,” ujar Vian. Suaranya terdengar dingin dan tegas membuat orang-orang yang menyaksikan merinding. Vian dengan aura hitam yang menyelimuti tubuhnya mampu membuat semua orang di sana tertipu. Selain tampan Vian juga berbahaya. Gadis itu berdiri menatap Vian yang lebih tinggi darinya. Gadis itu hanya bisa diam sambil meremas tangannya. Ia gugup, takut dipecat oleh bos barunya. “Kau tahu apa kesalahanmu?” tanya Vian. “Maaf,Tuan saya sudah mengotori pakaian dan sepatu Anda,” ujarnya halus bahkan saking halusnya membuat Vian harus menundukkan kepalanya agar mendengar lebih jelas. “Apa kau bisa bicara lebih keras lagi? Kau pikir aku memiliki telinga seperti kelelawar?” ujar Vian. Aroma maskulin pria itu membuat si gadis gemetar. “Saya sudah mengotori pakaian dan sepatu Anda. Tolong maafkan saya,” ujar gadis itu. “Siapa namamu?” tanya Vian tanpa menatap si gadis. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Vian menatap karyawannya satu persatu penuh intimidasi. Para karyawan pun memalingkan wajah mereka sebelum membubarkan diri. “Nama saya Melisa.” Vian menatap gadis bernama Melisa itu lekat. Dari ujung kepala sampai ujung kaki tidak ada yang menarik dari gadis itu, sangat sederhana dan polos? Vian tidak suka tipe wanita seperti Melisa. “Nona Melisa apa kau tahu harga jas dan sepatuku berapa?” Melisa mendongkak. Ditatapnya Jas hitam dan sepatu kulit itu penuh penyesalan. Sudah pasti barang bermerek itu tidak dibeli di pasar loak atau di pasar senen seperti pakaian yang ia kenakan sekarang. “Saya tidak tahu,” gumam Melisa. Vian menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Melisa. “Lebih dari gajimu selama setahun.” Mata Melisa membulat. Jantung gadis itu berdebar mendengar harga jas dan sepatu yang selangit. Bahkan harga motor bututnya pun kalah dari jas dan sepatu itu. Vian melepas jasnya dan melemparnya pada Melisa. Gadis itu menangkapnya dengan cepat takut jika jas itu jatuh ke lantai. “Bersihkan sekarang juga. Aku tunggu satu jam lagi,” ujar Vian dingin. Tubuh kekarnya kini hanya berbalut kemeja putih lengan panjang. “sebelum itu bersihkan dulu sepatuku!” suruh Vian. Melisa menatapnya tidak percaya. Kopi yang tumpah di sepatu Vian tidaklah banyak, sekali usap dengan tissue maka sepatu itu bersih kembali. “Sepatu bapak juga?” tanya Melisa ragu. Kini Melisa dan Vian benar-benar menjadi pusat perhatian. “Bersihkan atau―” “Baik Pak saya bersihkan,” potong Melisa. Melisa merogoh sakunya mengambil sebuah saputangan. Perlahan gadis itu berjongkok di depan Vian. Pria itu terlihat puas melihat Melisa berlutut. “Apa yang terjadi?” Vian dan Melisa kompak menoleh ke sumber suara. Seorang pria berjas hitam bersama beberapa pengawalnya berdiri di pintu masuk. Siapa yang tidak kenal dengan pemilik perusahaan fashion ternama di Indonesia. “Berdiri!” ujar pria itu pada Melisa. Walau ragu namun Melisa tetap menurut. takut-takut kalau dia akan dimarahi lagi. “Vian apa yang terjadi? Pagi-pagi sudah membuat keributan?” “Bukan aku tapi dia.” Vian menunjuk Melisa yang berdiri di sampingnya. “Apa yang sudah dia lakukan padamu?” “Dia menumpahkan kopi ke jas dan sepatuku. Harusnya aku pecat saja dia,” adu Vian. Tidak ada belas kasihan yang terlihat dari raut wajahnya. Vian puas melihat Melisa ketakutan. “Tapi saya sudah minta maaf,” sahut Melisa. Tangannya gemetar, bodohnya ia membuat pembelaan di depan Vian. Tangan Melisa mengepal kuat. “Pergilah dan kembali bekerja.” Vian menatap ayahnya tidak suka. Beda dengan Vian justru Melisa merasa senang dengan perintah bosnya. Seperti angin segar di gurun pasir. “Gak bisa gitu, Pa. Dia sudah melakukan kesalahan jadi harus dihukum. Bagaimana bisa seorang OB bekerja ceroboh seperti itu. Ini bukan antara salah atau tidaknya tapi membuat efek jera agar semuanya bekerja dengan teliti dan hati-hati,” ujar Vian panjang lebar. “Kau sudah menghukumnya jadi apa lagi? Jangan permalukan dirimu sendiri Vian. Kembali ke ruanganmu sekarang juga. Aku atasanmu.” Vian mengepalkan tangannya. Tatapan tajamnya tidak pernah lepas dari Melisa. Bagaimana pun gadis itu harus mendapatkan balasan dari semua yang dia lakukan. Tanpa bicara sedikit pun Vian pergi begitu saja. “Terima kasih, Tuan,” ujar Melisa sopan. Tuan Martin menatapnya sekilas sebelum pergi bersama pengawalnya. Melisa menatap punggung tegap Tuan Martin yang menjauh. Ayah dan anak sifatnya sangat berbeda. Melisa pikir Vian tidak pantas menggantikan ayahnya memimpin perusahaan. “Kalau bukan bos sudah aku robek tuh mulut,” ujar Melisa saat mengingat Vian. Diremasnya jas hitam itu sampai kusut. *** Vian berjalan menuju ruangannya. Saat pria itu ingin membuka pintu diusapnya ganggang pintu dengan telunjuknya. Vian tersenyum miring melihat tangannya kotor. “Oh, Tuan Vian Anda sudah datang,” ujar seorang pria berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Vian menjulurkan tangannya membuat pria itu membeku di tempat. Pria muda itu hanya diam menatap tangan Vian di depannya. “Tangan Anda kotor?” “Bukan tanganku, tapi ganggang pintu ini.” Vian mendekat membuat pria itu berdiri kaku. Tanpa rasa bersalah Vian membersihkan tangannya pada jas asistennya. Sedangkan pria itu hanya bisa pasrah melihat jasnya kotor. “Bersihkan sekarang juga!” ujar Vian dingin. Pria itu mengangguk dan berlari ke sebuah meja. Dipencetnya angka 5 yang terhubung langsung dengan cleaning service. “Cepat bersihkan ruangan direktur.” Vian melipat tangannya di depan d**a melihat wajah asistennya memerah. Sudah berkali-kali ia katakan pada asistennya untuk memastikan ruangannya bersih dan tidak ada debu yang menempel. Bahkan sebelum Vian memutuskan bergabung di perusahaan beberapa catatan sudah ia berikan pada asistennya. “Peringatan pertama,” ujar Vian. Riko—asisten—memejamkan matanya sejenak. Ia tahu ini akan terjadi. Ia hanya pasrah. Beberapa cleaning service datang untuk membersihkan ruangan Vian. Mereka berdiri berjejer setelah selesai dengan pekerjaan mereka. Vian masuk diikuti Riko di belakang. Tangan Vian menyentuh meja kerjanya. Semua orang termasuk Riko berharap-harap cemas, tatapan mereka tidak pernah lepas dari tangan Vian yang ada di atas meja. “Kalian boleh pergi. Pastikan besok semua bersih seperti ini,” ujar Vian membuat semua orang lega. Riko mengelus dadanya lega. Setidaknya Vian belum mengamuk seperti saat mereka berada di Singapura. Riko sudah mengenal kebiasaan buruk bosnya yang jarang orang tahu. Mungkin hanya Riko yang bisa menjaga rahasia tentang keburukan bosnya. “Tuan Vian satu jam lagi ada acara penyambutan di devisi pemasaran, Tuan bisa meluangkan waktu untuk bertemu para staf,” jelas Riko. “Tidak mau. Itu membuang waktu saja.” Riko rasanya ingin mematahkan rahang tegas itu. Susah payah ia membuat acara penyambutan untuk bosnya agar mereka lebih akrab tapi Vian malah menolak. Apa salahnya memperkenalkan diri pada staf yang akan bekerja di bawahnya. “Tuan Vian sangat penting untuk kita mengenal para staf yang akan bekerja. Ini demi kerjasama tim,” ujar Riko. Vian menatapnya tajam. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. “Anda benar-benar tidak mau?” tanya Riko memastikan. “Kau sudah tahu jawabanku,” ujar Vian. Riko merapikan jasnya, ditatapnya Vian yang kini sedang sibuk dengan laptopnya. Vian tipe pria workaholic jika sudah bertemu dengan laptop seharian pun dia tidak akan beranjak. “Baiklah kalau Anda tidak mau saya akan mengundurkan diri.” Vian menatap Riko dengan pandangan tidak percaya. “Yak! Siapa yang menyuruhmu mengundurkan diri?” protes Vian. “Ikut pertemuan atau aku akan mengundurkan diri?” ancam Riko dengan wajah serius. “Kak Riko jangan bercanda,” ujar Vian. Pria itu menyenderkan tubuhnya di kursi sambil menatap kakak sepupunya. Vian mulai kesal dengan sikap Riko yang selalu mengancamnya. “Saya tidak bercanda, Tuan Vian.” Vian menghembuskan napas kesal. Riko selalu bisa membuatnya terdiam. Hanya Riko yang mempu membuat Vian bungkam. Vian yang terlihat seperti singa pun menurut seperti kucing jika sudah diancam oleh Riko. “Baik, satu jam lagi,” ujar Vian membuat Riko tersenyum lebar. “Baik Tuan Vian. Saya permisi dulu. Selamat datang di H&B Group.” Riko keluar dengan perasaan senang berbeda dengan Vian yang menggerutu sejak tadi. Vian masih asik berkutat dengan laptopnya. Walau pun pekerjaannya tidak terlalu banyak namun mengerjakannya dengan cepat akan membuatnya lebih tenang. Masih ada waktu 1 jam sebelum acara tidak berguna itu mulai. Vian menatap rolex-nya. Sudah lebih dari setengah jam gadis menyebalkan itu belum datang juga mengantar jasnya. “Awas saja kalau dia terlambat. Langsung SP 3,” gumam Vian dengan senyum liciknya. Tepat saat selesai mengatakan itu pintu ruangan Vian diketuk.  Ekspresinya kembali datar sebelum mengizinkan orang yang ada di luar masuk.  Vian tersenyum tipis melihat Melisa datang membawa jas hitamnya. “Jasnya sudah saya bersihkan. Silakan Pak.” Melisa memberikan jas itu pada Vian tanpa berani menatap mata pria itu. “Letakkan di atas meja.” Melisa mengangguk dan meletakkan jas yang sudah rapi itu di samping laptop Vian. “Ambilkan saya air. Haus,” ujarnya singkat tanpa menatap Melisa. Gadi itu mengangguk dan pergi dari ruangan itu. Tidak lama kemudian Melisa datang membawa segelas air di atas nampannya. Vian menatapnya tajam kemudian beralih pada minuman yang Melisa bawa. “Saya mau air hangat. Kamu gak dengar?” “Tapi tadi bapak cuma bilang mau air saja, bukan air hangat.” “Itu tadi bukan sekarang,” ujar Vian galak. Mau tidak mau Melisa kembali mengambil air hangat untuk Vian. “Ini Pak airnya,” ujar Melisa. Vian masih asik menatap laptopnya. Tangannya terulur mengambil minuman yang disuguhkan Melisa. Prrrtt…. “Saya bilang air hangat bukan air panas. Kamu bisa kerja tidak sih? Ganti air dingin.” Melisa mengembuskan napasnya dalam-dalam mencoba sabar dengan kelakuan ajaib bos barunya. Lagi-lagi Melisa harus mengambilkan air untuk Vian. Gadis itu menahan napasnya saat Vian meminum air yang ia berikan, komentar apa lagi yang akan bosnya berikan. Sssrrttt… “Ini terlalu dingin. Kamu mau gigi saya ngilu?” Vian menatap tajam Melisa yang berwajah pucat. Gadis itu sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa. Baru pertama kali Melisa bertemu makhluk aneh bin menyebalkan seperti Vian. “Sa-saya akan ganti, Pak.” Buru-buru Melisa mengganti lagi minuman Vian. Melihat Melisa yang ketakutan membuat Vian senang. Jangan pernah main-main dengan Malino Oktaviansyah jika tidak ingin hidupmu sengsara. Melisa menatap pintu ruangan bosnya dengan geram. Sudah diberi air biasa minta air hangat, sudah dikasi air hangat minta yang dingin dan sekarang minta air biasa lagi, maunya apa si bos itu? Melisa membuang air dingin itu ke washtafel. Ia benar-benar kesal dengan Vian yang bersikap seenaknya. Sebuah ide brilliant muncul di kepala Melisa. Awalnya dia ragu tapi kenapa tidak dicoba saja siapa tahu Vian mau minum. Dengan hati bimbang Melisa memenuhi gelas itu dengan air keran. Semua resiko akan dia tanggung nantinya. Dengan jantung berdebar Melisa mengetuk pintu ruangan Vian. Pria itu hanya menatap Melisa sekilas kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. “Ini Pak airnya,” ujar Melisa was-was. Vian tidak menatapnya tapi tangan pria itu terulur untuk mengambil gelas yang Melisa berikan. Gadis itu memejamkan matanya sudah siap dengan caci maki yang Vian lontarkan untuknya. Mulutnya tidak henti komat-kamit merapalkan doa agar Vian tidak marah atau minimal tidak membentaknya. “Kau boleh pergi,” ujar Vian. Melisa membuka matanya tidak percaya. Bahkan Vian sudah menghabiskan setengah gelas minuman yang dia berikan. “Kenapa masih di sini?” Vian menatap Melisa tidak bersahabat. “Saya permisi,” ujarnya buru-buru. Vian hanya menggeleng kemudian meneguk habis air yang ada diberikan Melisa. Pria itu berdiri bersiap untuk pergi ke acara penyambutan. Tepat saat Vian selesai mengenakan jasnya lagi pintu ruangannya kembali berbunyi. Kali ini Riko datang dengan senyum merekah. Vian menatapnya jengkel kemudian berjalan menghampiri sang asisten. “Satu jam. Tidak lebih,” ujar Vian membuat Riko mengangguk. Bosnya yang satu ini sangat menghargai waktu, terlambat satu detik saja maka dia akan marah. Riko setia mengikuti langkah kaki Vian menuju ruang rapat. Saat ruangan itu terbuka semua orang seketika berdiri menyambut kedatangan bos baru mereka. “Duduk!” ujar Vian membuat orang-orang duduk di tempatnya masing-masing. Vian merogoh saku jasnya. Semua orang saling berpandangan saat melihat Vian mengeluarkan stopwatch dari sakunya. Vian memperlihatkan benda itu pada karyawannya. “Kita bisa mulai acaranya satu jam dari sekarang,” ujar Vian sambil menekan tombol stopwatch. Riko hanya memejamkan matanya. Ia kesal dengan sikap Vian yang tidak bisa santai, bahkan suasana menjadi tegang saat pria itu duduk di depan. “Kenapa kalian diam saja? Apa ada yang salah?” Vian menatap satu per satu wajah karyawannya yang menegang “Baiklah kita mulai perkenalannya. Silakan Bapak Hendra perkenalkan diri dan jabatan,” ucap Riko mencoba mencairkan suasana. Satu per satu mereka memperkenalkan diri pada Vian. Tidak jarang  mereka tertawa ketika seorang pegawai membuat lelucon tapi jangan harap Vian akan tertawa atau tersenyum. Sejak awal ekspresi wajah pria itu sedatar tirplek. “Baiklah kita lanjutkan dengan acara makan siang bersama,” ujar Riko. Vian berdiri memperlihatkan waktu yang tersisa dari benda yang ia bawa. Tanpa bertanya pun semua sudah mengerti apa yang dimaksud oleh pria itu. “Karena waktu sudah habis jadi sebagai penutup aku ucapkan terima kasih telah membuat acara seperti ini. Namaku Malino Oktaviansyah anak dari CEO H&B Group kalian pasti sudah tahu, jadi bekerja keraslah mulai sekarang. Dan aku akan menilai setiap kinerja kalian. Mengerti?” Semua mengangguk tanpa berani bersuara. Vian pergi meninggalkan ruang rapat begitu saja membuat Riko menghembuskan napas panjang. Kalau sudah seperti ini mau bagaimana lagi. Riko hanya bisa meminta maaf pada karyawan yang hadir.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

MOVE ON

read
96.6K
bc

Fake Marriage

read
9.2K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.6K
bc

HYPER!

read
573.7K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.5K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
122.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook