Sudah lebih dari 30 menit Vino dan Riko berdiri di sebuah rumah kayu yang unik. Kata orang-orang rumah ini adalah miliknya ralat milik Malin Kundang. Bahkan mereka masih bertanya-tanya kenapa bisa sampai di tempat ini. Vian dan Riko hanya pasrah saat disuruh masuk ke dalam rumah itu. Debu yang ada di tangga kayu membuat Vian bersin-bersin. Hidungnya memerah karena gatal.
“Vian, kamu tidak apa-apa?” tanya Riko. Jiwa seorang kakak muncul saat melihat wajah sang adik memerah. Jangan katakan kalau dia sakit, Riko yakin belum ada rumah sakit dekat perkampungan ini. Kalau mau ke dukun atau orang pintar mungkin Vian akan kabur lebih dahulu.
“Malin?” ujar seorang wanita berpakaian kebaya berwarna hijau pudar dari atas tempat tidur. Vian menyembunyikan tubuh tegapnya di belakang Riko melihat wanita itu menangis. Mereka semua orang asing dan Vian tidak suka mereka dekat-dekan dan sok akrab.
“Malin kenapa kamu sembunyi? Cepat temui ibu kamu,” ujar gadis yang mirip dengan Melisa.
Vian menghembuskan napas panjang. Sudah berpuluh-puluh kali ia mengatakan pada gadis itu namanya bukan Malin Kundang tapi Malino Oktaviansyah. Walau pun nama awal mereka mirip bukan berarti mereka orang yang sama.
“Apa kamu belum mengerti juga? Saya bukan Malin Kundang. Saya tersesat di sini. Saya anak dari pemilik perusahaan H&B Group di Jakarta. Kalian tahu, kan perusaahan itu?” tanya Vian sombong. Tidak mungkin ada yang belum mengenal H&B group. Perusahaan fashion dan kecantikan termuka di Indonesia. Bahkan di luar negeri pun tidak kalah terkenal.
“Kamu bicara apa Malin?” tanya wanita itu dengan kening mengkerut. Sesekali bahunya terguncang karena batuknya. Sejenak Malin teringat akan ibunya yang sakit. Pasti ibunya sudah sembuh sekarang, mengingat dokter yang menanganinya adalah dokter senior di rumah sakit.
Vian merogoh dompet yang ada di saku celananya. Dompet kulit anti air yang ia beli di Amsterdam dua tahun lalu. Dengan penuh percaya diri Vian memperlihatkan kartu pengenalnya pada dua wanita itu. Vian tersenyum miring melihat wajah melongo keduanya.
Tidak butuh waktu lama kedua wanita itu terkiki. Mereka tertawa melihat Vian dan kartu itu secara bergantian. Apanya yang lucu? batin Vian kesal
“Kamu lucu sekali,” celetuk gadis yang mirip dengan Melisa.
Lucu? Bukankah kartu pengenalnya tidak ada foto kecuali….
Vian menarik tangannya melihat kartu yang ia perlihatkan. s**l ternyata KTP El-nya juga ikut ia perlihatkan. Benar saja ia merasa aneh kenapa kartu identitasnya lebih tebal. Vian malu ditertawai dua orang di depannya. Foto KTP jadul yang memperlihatkan wajah anehnya dan parahnya lagi berlaku seumur hidup.
Kalau boleh saran, Vian lebih suka foto di KTP dengan pose yang bebas. Tidak sekaku ini. Sudahlah itu bukan urusannya, yang penting Vian diakui sebagai warga negara. Riko menyenggol lengan Vian membuat lamunan pria itu buyar.
“Malin kemarilah. Bundo rindu sama Malin.” Lagi-lagi Vian berlindung di belakang Riko. Dia tidak suka dengan suasana asing ini.
“Malin kamu dengar tidak kata ibu kamu?” Gadis muda itu terlihat marah.
“Kamu bukan ibu saya. Saya mau pulang!”
Vian keluar dari rumah itu meninggalkan Riko yang tengah kebingungan.
“Bu, biar saya yang cari Malin.” Mata gadis itu berpindah pada Riko yang masih sulit untuk berpikir. Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka. Kenapa mereka bisa berada di tempat aneh seperti ini.
“Tolong jaga Bu Mande. Saya mau cari Malin dulu,” ujar gadis itu sebelum keluar dari rumah.
“Kenapa aku ditinggal?” protes Riko.
Riko ingin pergi namun langkahnya tertahan saat mendnegar suara pilu wanita tua yang mengaku sebagai ibu Malin Kundang.
“Malin kenapa kamu seperti itu, Nak? Bundo sangat merindukanmu.”
Riko menghembuskan napas kesal, tidak tega rasanya meninggalkan seorang ibu yang tengah bersedih. Melihat air mata yang mengalir dari pipinya membuat hati Riko tersentuh. Dia terlalu lemah dengan tangisan wanita.
“Bundo tenong sajo. Malino pasto kembalo, nanto dio pasto pulong,” ujar Riko mencoba menenangkan wanita itu. Mulutnya pun maju beberapa senti saat bicara. Niat Riko bicara bahasa Minang agar mudah dimengerti tapi malah membuat perempatan di kening wanita rapuh itu muncul.
“Kamu bicara apa?”
Riko menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sepertinya bahasa Minang ala Riko tidak bisa dimengerti orang-orang. Pakai bahasa Indonesia sajalah, batin Riko putus asa.
***
Vian berjalan tanpa arah dan tujuan. Ia kesal harus berada di tempat asing ini. Bahkan ponselnya sedari tadi tidak mendapatkan sinyal. Pohon-pohon tinggi menjulang di sekitarnya, semak-semak di sepanjang jalan yang ia lewati membuat Vian mengerang kesal. Keputusannya sudah bulat untuk pulang apa pun yang terjadi
“Malin tunggu! Kamu angku ka pai? (kemana kamu akan pergi?)” teriak seorang gadis di belakangnya. Dengan cepat Vian berlari menghindari gadis itu. Namun s**l, ia harus terjungkal karena batang pohon yang tumbang menghalangi jalannya.
“Aww! Sakit,” rintih Vian sambil memegangi kakinya. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Wajah putih Vian memerah menahan rasa sakit dari kakinya. Lebih memalukan lagi Vian jatuh tepat di hadapan seorang gadis.
“Malin kamu baik-baik saja?” tanya gadis itu.
“Jangan disentuh! Tangan kamu kotor nanti kulit saja infeksi,” kata Vian pedas. Gadis itu menatap Vian tidak suka. Siapa yang peduli kalau gadis itu marah, yang jelas Vian mau pulang hari ini juga. Titik. Bila perlu dia mau berenang lagi ke laut.
“Kamu galak. Saya tinggal saja di hutan.”
Vian tersentak mendengar ucapan gadis itu. Apa? Hutan? Jadi Vian berjalan ke hutan? Seketika bulu-bulunya meremang, takut kalau ada hewan buas kelaparan. Dia ingin pulang dengan selamat, mati konyol di tempat seperti ini bukan mimpinya.
“Tunggu!” ujar Vian saat gadis itu berdiri hendak pergi.
“Nama kamu siapa?” tanya Vian.
“Namo awak Lisa,” kata gadis itu.
“Bisa tolong bantu saya?” Vian merendahkan harga dirinya di depan seorang gadis. Gengsinya yang tinggi harus turun level. Lebih baik seperti ini dari pada menjadi santapan hewan buas.
“Bagaimana bisa bantu, kan tidak boleh disentuh?”
“Sekarang boleh.” Vian memalingkan wajahnya. Ini pertama kalinya ia m******t ludahnya sendiri.
Lisa berjongkok di depan Vian, belum sempat ia menyentuh kakinya, Vian sudah mengaduh kesakitan.
“Belum disentuh,” kata Lisa.
“Pelan-pelan, nanti kaki saya sakit parah.”
Lisa menatap wajah rupawan Vian. Dia hanya menggeleng melihat kelakuan pria itu. Tentu ini di luar kebiasaan Malin yang selalu terlihat kuat di depannya, tapi Malin Kundang yang ada di depannya sedikit berbeda. Mulai dari fisik, sifat dan cara bicaranya.
Lisa mengenyahkan segala pikiran itu. bagaimana pun juga dia harus segera menolong Malin Kundang dan membawanya pulang. Mengingat hari sudah mulai sore dan sebentar lagi matahari akan terbenam.
“Saya hitung sampai tiga ya.”
Vian memejamkan matanya merasakan tangan halus milik Lisa bersentuhan dengan kulit kakinya. Matanya terpejam untuk mengurangi rasa sakitnya. Lisa mulai menghitung membuat wajah Vian dibanjiri keringat dingin.
“AAKK!” Vian menjerit. Baru hitungan pertama Lisa sudah menarik kakinya yang terkilir. Dia berbohong mau menghitung sampai tiga.
“Kamu―”
“Nah sekarang sudah tidak sakit lagi, kan?” potong Lisa. Vian menggerakkan kakinya berulang kali. Benar, rasanya sudah lebih baik walau masih terasa ngilu sedikit. Vian menatap Lisa yang sedang tersenyum padanya. Gadis itu tidak terlihat marah padanya bahkan dengan sikap Vian yang seenaknya.
“Tenang saja, saya akan membayar kamu. Saya tidak suka berhutang budi,” ucap Vian angkuh. Di mana harga diri calon ahli waris H&B group yang kaya raya kalau tidak bisa membayar pertolongan gadis ini.
“Tidak semuanya bisa dibayar dengan uang. Saya ikhlas membantu kamu, Malin. Bukankah kamu yang bilang kalau kita harus tulus membantu orang yang kesusahan.”
Mata Vian membulat setelah mendengar ucapan Lisa. Apa gadis itu mengatakan jika Vian kesusahan? Hey, harta Vian melimpah tidak ada kata kesusahan dalam kamus takdirnya. Gadis itu belum tahu kekuasaan seorang Malino Oktaviansyah yang sesungguhnya.
“Pokoknya saya mau bayar. Berapa pun yang kamu minta akan saya berikan,” kata Vino. Lisa mengelus dagunya sebentar kemudian menatap Vino.
“Baiklah. Bayar saya dengan satu ember ikan segar dari laut. Kamu harus menangkapnya untuk saya,” ujar Lisa.
“Hanya ikan? Saya bisa membeli pabrik ikan olahan jika perlu. Apa lagi ikan segar dari laut yang gratis. Itu sangat murah.”
Vian yakin dengan mudah mendapatkan ikan di laut. Itu pekerjaan yang bisa dilakukan sambil tidur. Harusnya Lisa meminta bayaran yang lebih mahal mungkin sepuluh kapal laut atau rumah mewah bak istana.
“Saya tunggu besok.” Lisa membantu Vian untuk berdiri. Walau pun tinggi tubuh mereka berbeda tapi Vian merasa terbantu saat Lisa memapahnya. Pikiran Vian berkelana mengingat semua kejadian yang ia alami satu hari ini. Bagaimana bisa ia terdampar di tempat antah berantah dan yang lebih anehnya lagi gadis yang bernama Lisa ini sangat mirip dengan Melisa OB yang dia pecat sekaligus gadis yang dia cari-cari. Atau jangan-jangan gadis ini penyihir yang membawanya ke masa lalu. Kalau begitu Vian tidak boleh melepaskannya. Dia harus mencari tahu tentang gadis itu lebih jauh lagi.
Vian dan Lisa sudah tiba di rumah Malin Kundang. Kedatangan mereka di sambut oleh ibu Malin dan Riko. Vian hanya pasrah saat dipeluk wanita dengan tengkuluk di atas kepalanya. Apa daya kakinya masih belum sembuh total, Vian hanya bisa pasrah.
“Malin bundo khawatir sama kamu.” Vian melepas pelukan ibu Malin Kundang dengan halus. Ada raut kesedihan saat Vian melakukannya.
“Kaki saya sakit. Saya mau istirahat,” ujar Vian memberi alasan.
“Bundo bersihkan kamar kamu dulu, ya. Sudah lama bilik itu kamu tinggalkan.” Perempuan itu berlari tergopoh menuju sebuah ruangan. Vian hanya diam menatap punggungnya dari belakang. Wanita itu keras kepala, berapa kali Vian menolaknya, namun ia tetap sabar.
“Bos, dia ibu Malin Kundang. Namanya Mande Rubayah. Menurut cerita dia hanya tinggal bersama anaknya. Suaminya sudah lama pergi dan belum kembali.”
Vian menatap Riko yang berdiri di sampingnya sambil berbisik. Tatapan Vian kemudian tertuju pada gadis yang berdiri di belakangnya. “Kamu masih di sini?” tanya Vian.
“Eh, itu. Saya belum pamitan sama ibu kamu, Malin.” Vian mengangguk kemudian pergi menuju ruangan tempat Bu Mande berada.
“Tante, si Lisa katanya mau pamit pulang,” ujar Vian. Mande menatapnya dengan wajah teduh dan seulas senyum terbit dengan tulus. Bersyukur bisa melihat sang putra kembali dengan selamat walau sikap anaknya berubah jadi sangat aneh.
“Iya, bundo lihat dulu. Kamar Malin sudah bundo bersihkan. Istirahat ya, Nak, bundo temui Lisa dulu.”
Vian menatap ruangan sempit yang akan ia gunakan untuk tidur. Ini tidak layak disebut kamar versi Vian. Tidak ada AC, lampu tidur, kasur dan bantal yang empuk serta selimut tebal yang sering ia pakai. Tidak ada pengharum ruangan membuat bilik yang disebut kamar ini sedikit apek.
“Ini lebih buruk dari kandang Chiko. Bahkan kandangnya ada kasur dan bantal,” keluh Vian.
Derap langkah kaki membuat Vian berbalik. Ternyata Riko yang datang. Kakak sepupu sekaligus asistennya menepuk pundak Vian.
“Sepertinya kamu harus menjadi Malin Kundang,” ujar Riko. Vian menekuk alisnya tidak suka dengan apa yang kakaknya ucapkan. Vian tidak mau jadi orang lain menjadi diri sendiri saja susah.
“Kamu sudah tahu jawaban saya,” sahut Vian tegas. Ia berjalan ke arah dipan yang dialasi tikar. Bagaimana dia bisa tidur tanpa kasur. Tubuhnya pasti remuk karena tidur tanpa alas.
“Saya tidak betah di sini,” gumam Vian. Saat ia duduk dipan itu berbunyi membuat Vian takut kalau benda itu akan hancur saat dia tiduri.
“Kita tidak punya pilihan lain. Semua warga menganggapmu sebagai Malin Kundang. Untuk sementara waktu kamu harus berperan sebagai Malin sampai kita tahu cara untuk kembali,” jelas Riko.
Vian tidak menghiraukan ucapan Riko. Siapa dirinya yang berani memerintah atasan. Vian tidak suka digurui atau disuruh-suruh oleh orang yang berada di bawahnya. Sifat egonya kembali muncul. Vian mencoba tidur di atas dipan dengan posisi miring. Baru saja tubuhnya menyentuh dipan Riko sudah mengguncangkannya.
“Apa lagi? Saya mau tidur,” ujar Vian kesal.
“Ikut. Mau tidur juga,” rengek Riko seperti anak kecil yang meminta mainan. Tidur bersama pria di ranjang yang sama membuat Vian bergidik ngeri. Dia tidak akan berbagi tempat tidur dengan Riko.
“Cari kamar sendiri. Dipannya tidak muat.”
Riko tidak peduli dengan ucapan Vian. Dia berusaha mendorong tubuh Vian agar mendapat tempat yang cukup untuk tidur di atas dipan. Namun Vian tidak mau mengalah dan mendorong tubuh Riko. Terjadilah aksi saling dorong mendorong hingga membuat dipan yang Vian tiduri berderit. Semakin lama goncangan dipan itu semakin keras hingga akhirnya tempat tidur itu jebol.
Vian dan Riko menghela napas pasrah. Mau tidak mau malam ini mereka tidur di atas lantai di temani nyamuk nakal yang siap menghisap darah mereka setiap saat.
“Ini semua gara-gara kamu,” ujar Vian kesal.