Part 6

1901 Words
Vian mengerang saat tubuhnya diguncang. Baru beberapa jam ia mampu memejamkan mata karena semalaman ia diganggu nyamuk-nyamuk ganjen yang belum pernah melihat cowok tampan. s**l, nyamuk saja sampai naksir. “Malin ayo bangun. Hari ini ada panen di ladang.” Vian mengerang kesal, itu bukan suara Riko tapi suara Lisa si gadis desa yang menyebalkan. Guncangan di tubuhnya semakin kencang membuat Vian terpaksa bangun dari tidurnya. “Apa? Kamu belum puas buat saya menderita? Semalam saya tidak bisa tidur gara-gara nyamuk yang gak ada akhlaknya,” omel Vian saat membuka matanya. Vian menyibak selimutnya dan pergi dari kamar itu dengan wajah kusut. Lisa hanya menggeleng melihat sifat Vian yang kasar. “Malin kenapa kamu berubah? Ibu kamu pasti sedih melihat anaknya bersikap kasar.” Lisa membereskan selimut yang Vian gunakan. Tanpa sengaja ia melihat sebuah kartu yang menurutnya aneh. Ada foto Malin yang terpampang di sana tapi kenapa namanya berbeda. “Malino … Oktaviansyah,” kata Lisa mengeja nama yang ada di kartu itu. “Ini namanya Malin? Kenapa beda?” Lisa sedikit heran dengan kartu yang ia temui, apa jangan-jangan orang yang mirip Malin Kundang itu bukan Malin Kundang? Namun dengan cepat Lisa menepis semua pikirannya. Mungkin saja benda aneh itu milik orang lain yang tidak sengaja Malin Kundang temukan. “Balikin KTP saya.” Vian merebut kembali KTP-nya dengan kasar dari Lisa. Ia memasukkan kembali kartu identitasnya ke dalam dompet. “Kamu dapat dari mana benda aneh itu?” “Itu namanya KTP bukan benda aneh.” Vian termenung ia menatap Lisa lekat. Ingatannya kembali pada kejadian sebelum terdampar ke masa lalu. Ia masih ingat tentang gadis bernama Melisa yang ia cari-cari. Nama mereka berdua mirip dan wajahnya pun seperti anak kembar apa jangan-jangan …. “Kamu Melisa?” tanya Vian lagi. Lisa mengerutkan keningnya tidak mengerti apa yag dikatakan Vian. Kenapa tiba-tiba Vian menanyakan orang lain. “Nama saya Lisa bukan Melisa,” jawab Lisa tegas. “Bohong! Jangan-jangan kamu yang buat saya terdampar di sini. Kamu tidak terima,’kan, kalau saya pecat?” Vian berkacak pinggang. Tubuhnya yang tinggi membuat Lisa harus mendongkak untuk menatapnya. Sorot mata pria itu menajam seakan menguliti Lisa yang ada di depannya. “Saya tidak mengerti apa yang kamu maksud.” Lisa ingin pergi namun Vian mencekal lengannya. Tidak semudah itu kabur dari seorang Malino Oktaviansyah. Pria itu tidak akan melepaskan targetnya begitu saja. “Kamu jangan pura-pura. Cepat beritahu saya bagaimana cara untuk kembali. Saya tidak mau tinggal di tempat ini lagi. Saya tidak mau hidup miskin.” Plak… Vian terdiam saat merasakan sakit di pipinya. Untuk pertama kali seorang Vian ditampar perempuan. Vian menatap Lisa yang terlihat marah. Melihat wajah wanita itu membuat Vian takut. Vian melangkah mundur saat Lisa mendekat. s**l, kenapa ia takut dengan wanita ini. Lisa lebih galak dari yang ia pikirkan. “Kamu banyak berubah Malin. Apa kamu tidak tahu bagaimana bundo kamu banting tulang di ladang dan berjualan kue keliling desa setiap hari hanya buat kamu. Dia sudah tua tapi tetap bekerja. Kenapa kamu tidak bisa bersyukur? Kamu bukan Malin Kundang yang dulu. Saya tidak suka kamu.” “Saya juga tidak suka kamu,” sahut Vian. Lisa berlari keluar dari kamar Vian. Pria itu tahu ia telah menyakiti hati seorang wanita. Vian sadar telah melakukan dosa besar telah membuat wanita menangis. “Kamu apain tuh anak orang?” Riko datang menghampiri Vian. “Dia kebaperan,” sahut Vian. “Baper kenapa?” Vian menatap Riko sekilas sebelum keluar dari biliknya. Ia enggan untuk menjawab pertanyaan Riko. Harusnya Vian yang marah karena Lisa sudah menamparnya bukan sebaliknya. “Malin, Bundo ingin bicara.” Langkah Vian terhenti saat Mande Rubayah mencegatnya. Vian berbalik menatap wanita pemilk rumah ini. Wanita tua dengan pakaian lusuh, tubuhnya kurus kering tidak terawat sama sekali. Vian pikir wanita itu tidak pernah ke salon untuk mandi bunga mawar. Jangankan salon, kamar mandi saja di sini belum ada. Orang-orang sering mandi di sungai. “Kamu apakan Lisa? Dia teman kamu sejak kecil.” “Maaf Tante, saya tidak bermaksud menyakiti hatinya Lisa. Harusnya saya yang marah karena dia telah menampar wajah tampan saya. Bagaimana kalau saya pulang dengan wajah yang kurang tampan, dia mau tanggung jawab?” ujar Vian. Riko yang mendengar ucapan Vian hanya cengo. Sejak kapan Vian se-PeDe itu? Ini perkembangan yang luar biasa untuk orang sekelas Vian. “Kamu bicara apa Malin? Bundo tidak paham. Kamu pulang ke mana lagi, ini rumah kamu, Nak.” “Saya bilang sekali lagi sama Tante,ya, saya ini bukan Malin Kundang nama saya Malino Oktaviansyah. Saya lulusan luar negeri dan ayah saya pengusaha sukses.” Mande Rubayah menghampus air matanya. Pria di depannya yang sudah ia anggap sebagai anak kini tidak mau mengakuinya. Sakit hatinya mendengar sang anak sudah melupakannya. “Kamu boleh tidak menganggap saya bukan bundo kamu, tapi jangan pergi, Malin. Kamu satu-satunya harta yang bundo punya. Ayahmu sudah pergi merantau sejak kamu kecil dan dia belum pulang sampai sekarang. Hanya kamu yang Bundo punya. Bundo sayang sama Malin.” Vian mengepalkan tangannya, ia tidak tega melihat wanita menangis apalagi karena dirinya. Ya walau pun dia sendiri sering membuat wanita menangis tapi kalau ibu-ibu beda lagi ceritanya. Vian memejamkan matanya sejenak. Ia memilih untuk pergi dari rumah itu, bahkan panggilan Mande tidak dihiraukannya. “Bundo, jangan nangis lagi. Mungkin Malin butuh waktu sendiri,” ujar Riko menenangkan. Lagi-lagi Riko harus bertanggung jawab atas perbuatan Vian. Bosnya itu tidak pernah berubah, selalu membuat ia repot. Tidak di hanya di masa depan tapi di masa lalu pun Riko dibuat susah. Mungkin hobi bosnya memang membuat orang lain susah. *** Vian mengerang kesal. Ia tidak tahan lagi hidup seperti ini. Makan seadanya, tidur di lantai, malam-malam kedinginan ditambah nyamuk-nyamuk keganjenan yang terus mengusik tidurnya. Saat Vian berjalan tiba-tiba seorang pria berteriak. “Eh, Malin, lah lamo ndak basuo, apo kaba?(Eh Malin, sudah lama tidak bersua, apa kabar?)” Seorang pria muda menghampiri Vian. Pria itu mengenakan penutup kepala berwarna hitam. Pakaian yang orang itu kenakan pun senada dengan warna penutup kepalanya. Terlihat jelas raut wajah lelahnya.Cangkul yang ada di pundaknya kini diturunkan saat berada tepat di depan Vian. “Kama tu? (Mau ke mana?)”  Vian hanya diam menatap pria yang sok akrab itu dari atas sampai bawah. Tidak ada niat untuk menjawab karena Vian tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Pria itu sepertinya cuek, dia terlihat biasa saja walau tidak mendapatkan jawaban dari Vian. Malah pria itu mengipas-ngipas tangannya di depan wajah. Peluh pun mengalir dari dahinya. Tanpa basa-basi Vian melanjutkan perjalanannya. Entah ke mana dia akan pergi Vian pun belum menentukan, yang jelas ia tidak mau tinggal di sini. “Malin, ke mana?” teriak pria itu. “Ke laut,” jawab Vian asal. “Mau apa?” “Bunuh diri,” sahut Vian asal. Langkah kaki Vian semakin lebar saat melihat laut yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pemukiman. Angin begitu kencang membelai rambutnya. Dia merindukan rumah, ruang kerja dan club malam tempat ia dan teman-temannya menghibur diri. Salah apa dirinya sampai di hukum seperti ini. Vian melangkahkan kakinya ke bibir pantai. Air laut membelai kakinya. Celana pendek yang belum digantinya sejak kemarin melindunginya dari cipratan deburan ombak . Mungkin jika dia berenang ke dalam laut Vian bisa kembali ke masa depan. Namun ia menggeleng. Pelampungnya ada di rumah tidak mungkin ia berenang tanpa pengaman. Bagaimana kalau ada badai di tengah laut atau ada ikan Hiu yang siap memangsanya. Vian bergidik ngeri membayangkan apa yang ada dibenaknya. “Malin!” Suara teriakan itu membuat Vian menoleh. Lisa berlari menghampirinya. Vian kembali berjalan lebih  dalam hingga air merendam sampai setengah lututnya. Lisa berlari lebih kencang, air matanya sudah menetes sejak tadi. Melihat Vian yang terus berjalan ke dalam membuat Lisa khawatir. Lisa memeluk Vian dari belakang. Ia tidak mau Vian melanjutkan langkahnya. “Jangan bunuh diri, Malin. Bundo kamu sangat cemas, saya berjanji tidak akan menampar kamu lagi,” ujar Lisa. “Lepasin, gak?” kata Vian mencoba melepakan dekapan Lisa. “Tidak. Bundo kamu pingsan Malin. Tolong kamu jangan bunuh diri.” Vian menghembuskan napas panjang, sepertinya terjadi kesalah pahaman di sini. Vian menyentak tangan Lisa yang memeluknya dari belakang. “Saya tidak mau bunuh diri. Sandal saya hanyut dibawa ombak.” Vian kembali mengedarkan pandangannya mencari sandal hitam kesayangan. “Tuh kan, gara-gara kamu sandal yang saya beli di Paris hilang. Kenang-kenangan dari mantan lagi,” ujar Vian kesal. Tanpa menghiraukan Lisa , ia berlalu begitu saja dengan satu alas kaki yang hilang. Lisa menghapus air matanya. Jadi Vian tidak bunuh diri? Lisa bahkan berlari seperti kesetanan untuk menolong Malin. “Malin Tungguin saya,” teriak Lisa. Gadis itu berlari tergopoh-gopoh menyamakan langkah kakinya dengan Vian. Saat mereka sampai di rumah beberapa warga berkerumunan di depan rumah Mande Rubayah. Vian yang kebingungan pun segera menghampiri. Firasat buruk mulai menghantuinya. Riko yang melihat kedatangan Vian pun segera menarik tangan bosnya untuk menjauh dari orang-orang. “Kamu dari mana saja? Mau bunuh diri?” tanya Riko sangar. Tidak peduli di masa depan Vian adalah bosnya tapi sekarang mereka tidak lebih dari adik kakak yang tersesat di masa lalu. “Siapa bilang? Lihat laut saja saya takut.” “Pokoknya kamu jangan macam-macam, turuti saja alurnya jangan banyak bicara.” “Saya tidak mengerti apa maksud Kak Riko,” kata Vian. Riko mengusap wajahnya kasar. “Gara-gara kamu bilang mau bunuh diri, ibunya si Malin pingsan. Sekarang temui ibunya si Malin terus minta maaf.” Vian menepis tangan Riko. Dia tidak mau minta maaf pada sembarangan orang, apa lagi Vian tidak merasa berbuat salah. Minta maaf hanya untuk mereka yang berbuat salah itulah prinsip Vian. “Itu bukan urusan saya.” “Kamu mau dipukul orang sekampung?” Vian dan Riko menoleh ke belakang. di sana ada banyak orang yang berjaga. “Kali ini saja.” Vian berjalan mendahului Riko. Orang-orang menatap Vian tajam, sudah pasti mereka tidak suka dengan Vian setelah kejadian ini. “Malin,” gumam Mande Rubayah dengan air mata yang berlinang. “Bundo, Ma-malin di sini. Maafin Malin sudah membuat bundo bersedih,” ujar Vian halus. Aktingnya tidak terlalu buruk, walau pun tidak bagus. Mande Rubayah tersenyum namun matanya tidak henti mengeluarkan air mata. Ia merentangkan tangannya sebagai isyarat agar Vian mendekat. Sejenak Vian menatap Riko yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Riko mengangguk membuat Vian pasrah. Lebih baik dipeluk dari pada dipukul sampai babak belur. Vian membalas pelukan Mande Rubayah dengan ragu. Satu per satu warga mulai membubarkan diri  setelah memastikan Vian dan ibunya berdamai. Vian bisa bernapas lega setidaknya hari ini ia aman. Keberuntungan berpihak pada Vian. Mande Rubayah melepas pelukannya diusapnya wajah Vian dengan lembut. Air matanya tetap mengalir. Sedalam itukah luka yang diberikan Vian untuk wanita rapuh itu? “Bundo tidak tahu bagaimana jadinya  hidup bundo tanpa kamu, Malin. Sudah cukup ayah kamu saja yang pergi, kamu jangan ikutan pergi.” Untuk pertama kalinya Vian merasa bersalah walau pun ia tidak membuat kesalahan secara langsung tapi menyakiti hati seorang ibu tidaklah benar dalam prinsipnya. Vian menunduk. “Maafkan Vian eh Malin Bundo. Tidak ada maksud untuk meninggalkan Bundo sendiri,” ucap Vian. Riko yang mendengar ucapan adik sepupunya tersenyum lega. Untuk saat ini Vian bisa mengontrol egonya dengan baik. Mande Rubayah mengangguk sembari menghapus air matanya. “Bundo buatkan kamu makanan dulu,ya.” Mande Rubayah meninggalkan mereka bertiga untuk pergi ke dapur. Vian menatap punggung wanita baik hati itu sendu. “Malin maafkan saya sudah  menampar kamu. Saya tidak bermaksud untuk berbuat kasar tapi kamunya yang mau dikasarin.” Lisa diam sejenak. “Kamu banyak berubah Malin. Maafkan saya kalau membuat kamu marah,” kata Lisa lagi. Bukannya menjawab Vian sibuk menatap penampilan Lisa. Baju kebaya yang dikenakan Lisa sangat cocok di tubuh mungilnya. Ukuran dadanya juga tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil. Vian sedang menganalisa ukuran cup-nya. Riko menyenggol bahu Vian membuat pria itu segera sadar. “Kenapa kamu suka minta maaf? Kalau tidak merasa bersalah,kamu tidak perlu minta maaf.” Vian merenggangkan ototnya. Tidur di lantai yang beralaskan tikar membuat tubuhnya pegal. Dia mau ke spa, dipijit sekujur tubuh, pasti sangat menyenangkan. Tapi niatnya harus gugur mengingat ia berada di tempat yang tidak biasa. “Apa salah jika saya minta maaf?” tanya Lisa. “Kalian terus bertengkar sejak tadi. Hati-hati nanti suka,” celetuk Riko. “Tidak akan,” sahut Vian tanpa ragu. Perdebatan mereka haru berhenti saat Mande Rubayah datang membawa makanan. Vian berharap setidaknya ada ayam goreng yang bisa ia makan namun harapannya harus pupus saat Mande Rubayah meletakkan nampan di depan mereka. Vian harus puas makan umbi-umbian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD