Semilir angin menerbangkan helai hitam milik Vian. Baru saja ia sampai di Padang, Sumatera Barat yang menurut informasi dari Riko adalah tempat asal dongeng Malin Kundang. Vian mengerti sekarang dengan dongeng itu, tapi tetap saja Vian sulit untuk mencerna cerita yang menurutnya tidak masuk akal.
“Kau percaya dengan Malin Kundang?” tanya Vian pada Riko yang berkonsentrasi menyetir.
“Itu hanya dongeng,” sahut Riko.
“Tapi kenapa dongeng itu sangat terkenal? Itu hanya cerita karangan, kan?” lanjut Vian.
“Bukan masalah nyata atau tidak tapi tentang nilai moralnya. Itu salah satu cara untuk mengajari anak usia dini tentang budi pekerti,” sahut Riko.
“Harusnya kamu jadi guru, bukan asisten saya,” kata Vian. Riko mendengus. Vian mungkin lupa siapa orang yang memintanya secara khusus untuk menjadi asisten Vian. Bahkan Riko tidak berniat dari awal untuk menjadi asisten pria seperti Vian.
“Ya, ya, ya terserah kau saja. Aku mau jadi guru atau tidak yang jelas ibumu akan memaksaku untuk menjadi asisten seorang Malino.”
Vian memalingkan wajahnya. Lagi-lagi ibunya yang berjasa membuat Vian seperti ini. Vian akui jika bukan Riko yang menjadi asistennya mungkin Vian hanya diberi jabatan rendah oleh ayahnya di kantor.
Wanita yang selalu membelai kepalanya saat tidur, yang menemani Vian menjalani masa sulit selama tumbuh kembang, karena wanita itu pula ayahnya tidak mempercayai Vian sebagai pemimpin di perusahaan. Ayahnya selalu meremehkan Vian, apa pun yang ia lakukan.
“Kita ke hotel dulu, setelah itu mencari alamat gadis itu.”
Vian menatap Riko sekilas kemudian kembali menatap jalanan yang ditumbuhi pohon-pohon hijau. Mata Vian terpejam merasakan semilir angin menerpa kulitnya. Setelah check in di hotel, Riko dan Vian mencoba mencari keberadaan Melisa. Berbekal sepucuk kertas berisi nama jalan, nomor rumah dan desa membuat pencarian mereka sangat mudah.
Ya, awalnya mudah tapi setelah mencari-cari ternyata rumah itu sudah dijual. Vian menatap tulisan yang dilaminating tergantung di depan gerbang. DIJUAL. Tulisan itu tebal dengan size yang cukup besar. Dilihat dari jarak tiga meter pun masih terbaca.
“Apa kau tidak punya alamat lain?” tanya Vian,
“Tidak. Hanya itu saja,” kata Riko.
Tiba-tiba seorang ibu memakai daster bunga-bunga mendatangi mereka dengan keranjang sayurnya. Vian bisa tahu ibu ini habis dari pasar.
“Mau cari siapa, ya?” tanya ibu itu ramah.
“Kami ingin mencari pemilik rumah ini,” ujar Riko.
“Ini rumah milik saya. Baru kemarin pindah. Ada apa ya?” tanya ibu itu heran.
“Apa ibu kenal dengan gadis bernama Melisa?” tanya Riko lagi.
“Melisa? Tidak kenal. Tapi mungkin saja salah satu anak dari pemilik rumah yang dulu.”
Vian berdiri di samping Riko. “Apa bibi tahu di mana rumah mereka?” tanya Vian.
“Maaf saya kurang tahu.”
Vian dan Riko saling berpandangan. “Sepertinya kami salah alamat. Terima kasih atas informasinya.”
Riko dan Vian pergi dari rumah itu. Tidak ada informasi yang mereka dapatkan. Gadis itu terlalu sulit untuk dicari.
“Tuan Vian mau melihat patung Malin Kundang?”
“Kenapa?”
“Karena akhir-akhir ini Tuan tertarik dengan dongeng itu.”
Vian berpikir sejenak. Pria itu pun mengiyakan ajakan Riko. Pertemuan dengan klien masih 3 hari lagi dan mereka bisa menikmati waktu jalan-jalan sebelum pertemuan itu.
Tidak butuh waktu lama, Vian dan Riko sampai di Pantai Air Manis tempat di mana batu Malin Kundang berada. Kaca mata hitam Vian bertengger manis di hidung mancungnya. Kulit putih mulus itu bersinar saat diterpa matahari.
Jangan salah pesona Vian tidak kalah dari para artis di luar sana, bahkan penjual kacang keliling saja menatapnya takjub. Bau parfume Chanel-nya bisa tercium dari radius 500 meter.
“Tuan Vian sepertinya penampilan Anda terlalu mencolok,” kata Riko saat menyapu pandangan ke segala arah.
“Ada yang salah? Aku terbiasa berpakaian rapi.”
“Tidak. Lupakan saja,” ucap Riko. Vian memang tidak peka.
Riko membawa Vian ke tempat di mana batu malin kundang berada. Sekumpulan batu-batu berlumut berada di tepi pantai. Vian duduk di salah satu batu, matanya tidak henti mencari patung Malin Kundang yang dikatakan Riko. Namun patung yang dimaksud tidak kunjung ia lihat.
“Mana patungnya?” tanya Vian penasaran.
“Tuan mendudukinya.”
Vian segera berdiri menatap patung yang tadi ia duduki. Patung itu seperti orang yang sedang bersujud. Jadi ini patung terkenal yang bernama Malin Kundang, batin Vian.
“Jadi dia Malin Kundang? Malang sekali nasibnya,” ucap Vian sambil menggeleng.
“Menurut informasi yang aku dapatkan patung ini sengaja dibuat oleh seniman.”
Vian mengangguk. Dia tahu itu hanya sebuah dongeng dan tidak nyata. Ternyata orang-orang dulu sangat pintar membuat cerita sehingga dipercaya sampai sekarang.
“Ayo kita kembali ke hotel. Ada beberapa bahan yang ingin aku siapkan untuk meeting.”
Selama empat hari berada di Padang membuat Vian puas menjelajahi kota serta kuliner-kuliner khas yang ada di kota yang terletak di barat Sumatera itu. Semenjak kembali ke Indonesia Vian belum pernah sekali pun pergi jalan-jalan. Rasanya dia ingin bebas, jiwa mudanya kembali berkobar.
“Tuan bagaimaa kalau hari ini kita main di pantai?” bisik Riko. Saat ini mereka sedang meeting di sebuah restaurant. Seorang pria muda tengah presentasi di depan mereka.
“Main di pantai? Main air terus buat rumah dari pasir, begitu?” bisik Vian.
“Bukan seperti itu, kita bisa main banana boat atau jalan-jalan di pinggir pantai.”
“Maksudmu kita berkencan?”
Riko terdiam. Perut dan telinganya tergelitik mendengar ucapan Vian. Tapi kalau dipikir-pikir benar juga yang dikatakan bosnya. Mereka seperti dua sejoli yang berjalan berduaan di pantai. Tidak. Riko masih waras, kalua pun dia belok setidaknya Vian bukan tipe pria yang dia sukai.
Para anggota rapat bertepuk tangan saat presentasi berakhir. Vian berdiri memberi ucapan selamat pada pria itu dilanjutkan bersalaman dengan anggota rapat yang lain. Tradisi beramah tamah setelah meeting selesai.
Vian menunggu Riko di luar restaurant. Jarak parkir yang cukup jauh membuat Riko datang lebih lama untuk menjemput bosnya. Tiba-tiba Vian melihat seorang wanita yang mirip dengan Melisa―gadis yang ingin ia temui.
“Gadis itu,” gumam Vian. Tanpa berpikir panjang Vian pun menghampiri gadis itu namun sayang saat jarak mereka sudah dekat ternyata gadis itu bukan Melisa.
“s**l, kenapa aku terus memikirkan gadis itu?” gumam Vian.
Klason mobil terdengar di belakangnya. Riko datang menjemput Vian. Secepat kilat pria itu masuk ke dalam mobil. Wajah Vian memerah terbakar sinar matahari.
“Apa yang terjadi?” tanya Riko penasaran. Tidak mungkin bosnya berlari mengejar seorang wanita biasa kemudian berhenti tiba-tiba.
“Bukan apa-apa. Ayo cepat kita ke pantai. Aku ingin menghabiskan hari terakhir dengan bersenang-senang.”
Riko menaikkan satu alisnya. Jangan bilang Vian ingin berkencan dengannya? Itu terdengar bahaya. Riko mulai was-was.
“Cepat jalankan mobilnya,” perintah Vian.
Riko bergegas melajukan mobilnya ke tempat tujuan. Dari pada berpikir yang tidak-tidak lebih baik Riko menurut kalau tidak mau ditinggal sendiri di kota ini. memeiliki masalah dengan Vian sama saja mencari mati.
“Banana boat,” pekik Riko seperti anak kecil. Vian yang melihatnya hanya menggeleng. Padahal Riko lebih tua darinya tapi sifatnya sangat kekanakan.
“Aku mau ganti baju dulu. Rasanya aneh pakai jas saat main air.”
Riko mengikuti Vian ke sebuah toilet. Mereka masih punya rasa malu dan tentunya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Vian mengganti pakaiannya dengan kaos putih yang sialnya semakin membuatnya terlihat maco. Rambutnya yang rapi sedikit berantakan karena tertiup angin. Celana pendek warna hitam yang dipakai Vian membuat kakinya terlihat lebih panjang. Tidak ada bulu kaki yang tumbuh seperti pria pada umumnya. Kaki Vian benar-benar mulus. Riko yang melihat penampilan Vian saja hanya bisa bengong. Bagaimana pun penampilan bosnya tetap saja Riko kalah.
“Ada apa dengan mereka? Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Vian heran.Para pengunjung restaurant dan warung pinggir pantai menatapnya tanpa berkedip. Vian tidak suka dengan tatapan para wanita itu.
“Itu karena aku ada di sampingmu,” sahut Riko.
“Apa? Kenapa bisa?”
“Tentu saja karena kau terlihat tampan di sampingku. Coba sekarang kau berjalan dengan artis-artis tampan, mereka akan menganggapmu biasa saja.”
Vian berpikir sejenak. Benar juga yang dikatakan kakak sepupunya. Seulas senyum terpatri di bibirnya.
“Kau memang membawa keberuntungan untukku.” Vian merangkul pundak Riko membuat para wanita mengalihkan pandangan mereka. Riko bisa membaca pikiran wanita-wanita itu saat cowok merangkul teman cowoknya dengan senyum bahagia.
Vian dan Riko tidak menghiraukan para wanita itu lagi. Kali ini mereka mencoba bermain banana boat. Setelah memakai pelampung mereka segera naik ke atas banana boat berwarna kuning.
“Aku mabuk laut jadi tolong pelan-pelan,” kata Vian.
Riko hanya menggeleng. Bosnya yang terkenal sempurna ternyata mabuk laut. Akhirnya Riko bisa unggul dalam satu hal dari Vian.
“Tenang saja. Aman.”
Vian baru pertama kali merasakan bermain air ternyata sangat menyenangkan. Mereka bebas berteriak sekencang-kencangnya saat banana boat melaju kencang. Awalnya seru sekali namun saat banana boat semakin kencang tiba-tiba benda kuning itu terbalik. Vian jatuh ke dalam air begitu pula dengan Riko.
Tubuh mereka mengambang karena pelampung yang mereka kenakan. Vian dan Riko memutuskan untuk berenang ke tepi. Ombak menggulung tubuh keduanya hingga menyentuh bibir pantai. Vian mengatur napasnya yang memburu.
Bermain air cukup menguras tenaganya. Riko yang berbaring di samping Vian pun mencoba mengatur napas yang terengah. Vian tersenyum menatap langit biru yang terlihat indah.
“Aku senang bisa bermain air,” ucap Vian. Pria itu duduk menatap luasnya lautan. Tapi ada yang aneh dengan pemandangan di depannya. Vian megedarkan pandagannya menatap sekelilinya yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan.
Tidak ada restaurant atau pun warung makan berjejer di belakangnya. Hanya ada puluhan perahu nelayan.
“Ini di mana?” tanya Vian. Riko mengernyitkan alisnya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan bosnya. Riko pun duduk dan mengikuti arah pandnag Vian. Tidak jauh berbeda dari ekspresi Vian, kini Riko pun terheran-heran. Di mana mereka sekarang? Kenapa Pantai Air Manis berubah derastis.
“Apa yang terjadi? Apa kita terdampar di sebuah pulau?” Vian menatap asistennya yang lebih banyak bertanya darinya. Vian dan Riko membersihkan pakaian mereka dari pasir yang menempel di pakaian mereka.
“Malin?”
Riko menoleh pada seorang pria berpakaian aneh berteriak dari kejauhan. Pria itu terlihat kaget melihat mereka berdua.
“Malin Kundang telah kembali!” teriaknya berkali-kali. Entah dari mana datangnya, kini puluhan orang berlari ke arah Riko dan Vian. Keduanya hanya bisa mematung dan ketakutan.
“Malin ternyata kamu masih hidup?” Pria dengan penutup kepala berwarna coklat meraba-raba tubuh Vian membuat ia menepis kasar tangan keriput itu. Mereka terlihat aneh.
“Malin, ibu ang sakik. Pulang lai (Malin, ibu kamu sakit. Ayo pulang),” kata seorang pria muda. Wajahnya terlihat khawatir. Pria itu ingin menarik tangan Vian namun dengan cepat Vian berlindung di belakang Riko.
“Mereka bicara apa? Saya tidak mengerti. Suruh mereka bicara bahasa Indonesia,” bisik Vian. Riko menelan ludahnya susah payah. Dia pun tidak bisa bahasa daerah, jangankan bahasa Minang, Bahasa betawi saja dia tidak mengerti. Orang-orang mulai berbisik-bisik membuat Riko mau tidak mau harus menjelaskan.
“Kamo daro Jakarto. Kalao boleh taho ino di mano?” ujar Riko. Pria itu tidak yakin bahasanya bisa dimengerti dengan baik. Yang Riko tahu mereka sering menggunakan huruf o saat bicara. Jadilah bahasa O ala Riko.
“Kamu pintar bahasa daerah, ya,” puji Vian dengan suara kecil.
“Itu gampang. Pakai akhiran O saja semuanya beres,” ucap Riko sombong.
“Ang bicaro apo? Awak idak tau.”
Vian dan Riko semakin bingung. Mereka bicara dengan cepat membuat Vian dan Riko pusing mengartikan kata-kata mereka kata demi kata.
“Bisakah kalian bicara bahasa Indonesia? Kami tidak mengerti sama sekali.”
Vian kesal sejak tadi mereka jadi tontonan. Apalagi tubuh mereka mulai menggigil karena angin laut yang berhembus cukup kencang. Sialnya Vian menggunakan baju putih tipis.
“Kenapa tidak bilang dari tadi?”
Mereka semua kompak menoleh ke sumber suara. Vian tercekat melihat seorang gadis berpakaian tenun coklat. Gadis itu cantik dengan selempang di bahunya. Dia gadis yang Vino cari-cari.
“Melisa,” gumam Vino.