Vian merenggangkan tangannya. Rasa pegal setelah berbaring di lantai beralaskan tikar. Dia rindu dengan kasur king size miliknya, belum lagi selimut tebal loreng yang selalu ia pakai setiap malam. Kenapa hidupnya jadi seperti ini?
Derit pintu kayu yang terbuka membuat Vian mendongkak. Wanita tua yang dipanggilnya bundo itu muncul dari balik pintu. Wajah keriput yang sedikit kusam membuat Vian terenyuh. Sekeras itu Mande Rubayah bekerja tanpa peduli dengan penampilannya sebagai wanita. Bersolek pun Vian yakin belum pernah. Vian yakin alis tipis Mande Rubayah belum pernah terjamah pensil alis dan bibir yang selalu mengeluarkan kata manias itu belum pernah terjamah gincu.
“Kenapa kamu menatap bundo seperti itu?” Mande Rubayah duduk bersimpuh di depan Vian. Baju hijau pudar dengan tengkuluh di atas kepalanya adalah ciri wanita itu. Vian baru memerhatikan ibu dari Malin Kundang itu dengan seksama. Kain yang membungkus kakinya telah usang. Vian hanya bisa berandai-andai memiliki emas yang cukup untuk membantu wanita itu.
“Bundo, saya sedikit lupa dengan masa lalu. Banyak hal yang saya lalui dengan tertekan membuat saya melupakan masa lalu saya. Bisa bundo ceritakan masa kecil saya?” Vian berusaha mencari tahu tentang Malin Kundnag lebih dalam lagi. Bagaimana pun juga ia berperan sebagai tokoh utama dalam cerita dongeng itu. Setidaknya ia bisa melakukan apa yang Malin Kundang kerjakan sesuai dengan cerita.
“Bundo mengerti perasaanmu, Malin. Mendekatlah. Bundo akan ceritakan masa lalumu.”
Vian mendekat, ia bersiap mendengar cerita Mande Rubayah. Mata wanita itu berbinar setiap mengeluarkan kata dari mulutnya. Cerita panjang itu belum usai. Mata Vian semakin berat saat Mande Rubayah asik menghayal ke masa lalu ketika sang anak masih kecil. Malin Kundang yang baik hati selalu membantu Mande Rubayah bekerja siang dan malam.
Vian menyerah, matanya terpejam total. Pria itu tidur dalam posisi duduk. Dengkuran halus membuat Mande menghentikan ceritanya. Ia tersenyum melihat wajah Vian yang terlelap. Mande Rubayah mengguncang tubuh Vian membuat pria itu membuka lebar matanya.
“Kamu tidur yang benar,” ujar Mande Rubayah.
“Eh, maaf bundo. Bisa dilanjutkan?”
Mande Rubayah menggeleng, “Kamu lanjut tidur saja. Bundo mau ke dapur menyiapkan makanan.” Vian mengangguk kemudian kembali berbaring di atas tikar.
“Dasar kebo,” celetuk Riko yang bersandar di ambang pintu. Sejak tadi ia sudah memerhatikan Vian, atasannya itu tidak sopan sama sekali. Tidur di saat orang bercerita bagi Riko adalah sebuah penghinaan.
“Kamu sudah pulang?” Mande Rubayah berdiri susah payah menghampiri Riko yang sedang melipat tangan di depan d**a.
“Iya, Bundo.” Riko menundukkan sedikit tubuhnya.
“Bundo mau masak dulu.” Riko mengangguk membiarkan Mande Rubayah pergi. Ditatapnya Vian yang mendengkur di atas tikar.
“Di mana-mana dia selalu beruntung,” keluh Riko sembari keluar dari kamar.
***
Vian mencebik kesal menatap gadis yang ada di depannya. Entah apa yang dilakukan Lisa sore-sore seperti ini. Gadis itu berlari mendekati Vian yang duduk di undagan.
“Kenapa?” tanya Vian ketus. Lisa memutar bola matanya kesal. Padahal ia ingin mengatakan sesuatu tapi urung mendengar ucapan Vian.
“Kamu tidak bisa bicara baik-baik?”
“Saya tidak mau bicara baik-baik sama kamu.”
“Kenapa seperti itu?” Vian menatap Lisa tajam. Gadis ini cerewet sekali, Vian benci tipe wanita yang tidak bisa diam.
“Terserah saya.” Vian pergi begitu saja menghindari Lisa yang terus memanggil namanya. Entah ke mana ia melangkah yang jelas Vian ingin bebas dari gadis itu. Sesekali Vian menoleh ke belakang memastikan gadis itu berada di jarak yang diinginkannya.
“ Jangan ikuti saya.” Vian membentak, langkah kaki lebarnya membuat Lisa harus berlari kecil untuk menyamakan. Namun sekuat apa pun Lisa mengejar ia akan tertinggal.
“Kenapa kamu terus mengikuti saya? Saya tidak suka sama kamu, lebih baik kamu pergi. Saya lebih senang sendiri. Kalau kamu mengerti dengan ucapan saya mulai besok kamu tidak perlu ke rumah Malin. Lagi pu―” Vian menghentikan ucapannya ketika orang-orang tengah menertawainya.
“Malin kamu bicara dengan siapa?” Beberapa wanita menatap Vian aneh. Pria itu menoleh ke belakang mencari sosok gadis cerewet yang sejak tadi mengikutinya. Namun sayang ia tidak menemukan sosok Lisa di belakangnya. Ke mana gadis itu, batin Vian.
Suara tawa para gadis membuat Vian malu. Ia terlihat seperti orang gila. Vian kesal kemudian memutuskan untuk mencari Lisa. Gadis itu sudah membuatnya malu, bisa-bisanya dia meninggalkan Vian tanpa berpamitan.
Mata hitamnya menatap sosok gadis tengah mengipas tangannya di depan wajah. Lisa duduk di bawah pohon untuk berteduh dari terik matahari. Vian menatapnya tajam, berjalan menghampiri gadis cerewet itu.
“Ternyata kamu di sini?” Lisa mendongkak menatap Vian bingung.
“Kamu tahu saya dianggap gila bicara sendiri di jalanan. Kenapa kamu tidak memberitahu saya kalau kamu mau pergi,” omel Vian.
“Tapi, kamu sendiri yang meminta saya pergi. Kenapa saya yang salah?” Lisa membela diri. Vian duduk di samping Lisa, mendaratkan pantatnya dengan kesal.
“Tapi setidaknya kamu bilang pada saya kalau mau pergi.” Kini giliran Lisa yag berdiri. Ia mulai jengkel dengan sikap Vian.
“Saya tidak mengerti jalan pikiran kamu, Malin. Kamu tidak seperti yang dulu.” Lisa pergi meninggalkan Vian yang menatap punggungnya dari belakang. Vian bedecih kesal. Ia pun memutukan untuk pulang.
Kakinya menapak setiap undagan masuk ke dalam rumah, tanpa sengaja Vian mendengar seseorang terbatuk cukup keras. Vian melangkahkan kakinya menuju dapur. Mande Rubayah tengah menutup mulutnya dengan secarik kain saat batuk. Wajah wanita itu pucat membuat Vian tidak tega melihatnya.
“Bundo, saya pulang,” sapa Vian lembut untuk pertama kalinya.
Mande Rubayah menoleh namun ia terbatuk lagi. Asap yang mengepul dari kayu bakar mungkin menjadi penyebab wanita itu terbatuk. Wanita itu keluar dari dapur menghampiri Vian.
“Bundo sedang membuat kue, uhuk.” Mande Rubayah menghentikan ucapannya. Vian menggiring wanita itu untuk berisitirahat, di saat seperti ini Vian jadi teringat Lisa. Gadis itu yang bisa membantunya.
“Bundo saya akan panggilkan dokter biar Bundo cepat sembuh.” Mande Rubayah menahan tangan Vian agar pria itu tidak beranjak.
“Dokter?” Mande Rubayah menggeleng. “Bundo hanya perlu kamu tetap bersama bundo di sini. Bundo akan sembuh,” kata Mande sambil terbatuk.
“Tapi saya bukan dokter. Bundo harus dapat perawatan?” Lagi-lagi Mande menggeleng. Ia mengusap tangan Viand an menggenggamnya.
“Bagi bundo obat terbaik adalah perasaan bahagia. Bundo akan cepat sembuh kalau Malin tetap bersama bundo.”
Vian mematung. Ingatannya melayang pada ibunya yang sakit. Percakapannya beberapa minggu lalu kembali terngiang.
“Ada apa?”
“Mama sakit Vian, dia minta bertemu dengan kamu.”
“Sudah saya katakan ajak mama ke rumah sakit. Mama tidak butuh saya, dia butuh dokter untuk merawatnya.”
“Tapi mama tidak mau ke rumah sakit. Dia mau bertemu sama kamu, Vian. Temui mama sebentar saja agar dia cepat sembuh.
“Itu hanya akal-akalan kamu. Bilang saja tidak mau urusin mama. Orang sakit harus dibawa ke dokter dan saya bukan dokter. Jangan hubungi saya lagi. Saya sibuk.”
Vian mengeratkan genggaman tangannya. Layaknya diremas oleh tangan tak kasat mata, hatinya terasa sakit. Vian menatap Mande Rubayah yang tengah tertidur lelap, sejenak wajah tua itu terlihat tenang.
‘Mama, maafkan saya. Saya juga rindu mama,” batinnya. Perlahan Vian melepaskan tangannya dari genggaman Mande Rubayah. Ia kembali ke dapur melihat adonan kue dan api yang padam. Bagaimana pun caranya ia harus membantu Mande Rubayah sebisa mungkin.
Vian pergi dari rumah mencari keberadaan Lisa. Entah ke mana gadis itu pergi membuat Vian kebingungan. Suara riak air sungai menyadarkan Vian bahwa sebentar lagi ia akan sampai di pematangan sawah. Suara seorang gadis yang sedang mengomel menarik perhatian Vian.
“Salah apa saya selalu dijauhi Malin. Saya juga cantik tapi Malin tidak suka. Atau mungkin Malin sedang bisulan bibirnya jadi marah-marah terus,” gerutu Lisa. Vian tersenyum lebar saat mendengar ucapan Lisa. Gadis itu ternyata ada di sungai sambil mencuci baju.
“Lisa!” teriak Vian.
Gadis itu menoleh ke sumber suara, matanya membulat saat Vian berjalan ke arahnya. Lisa bergegas memasukkan semua pakaian yang dicucinya ke dalam bakul. Ia segera pergi sebelum Vian menangkapnya.
“Malin pasti marah lagi,” gumam Lisa dengan wajah pucat. Vian terdiam sejenak saat Lisa pergi menjauh. Dengan cepat ia mengejar gadis itu sesekali ia memanggil namanya.
“Lisa, tunggu saya.”
Lisa menoleh ke belakang. Bukannya berhenti tapi Lisa semakin mempercepat langkahnya. Kesal dengan sikap gadis itu membuat Vian berlari, mencekal tangannya. Lisa tersentak saat Vian menarik satu tangannya. bakul yang berisi cucian pun terlepas, menggelinding ke arah sungai.
Vian menahan pinggang Lisa agar tidak jatuh. Sejenak keduanya terdiam, menatap satu sama lain, jarak kedua wajah mereka sangat dekat, hingga Lisa bisa merasakan hembusan napas Vian. Wajah Lisa memerah menahan malu. Jantungnya berdebar kencang saat Vian memeluk pinggangnya erat.
Ya, Gusti kenapa Malin terlihat sangat tampan? batin Lisa.