Seperti pikiran Vian menjadi orang lain itu sangat sulit. Apa lagi menjadi Malin Kundang yang dipandag orang-orang sebagai anak yang baik hati dan rajin. Seperti sekarang Vian hanya bisa menatap datar Riko dan Lisa yang tengah bersiap untuk melaut. Padahal hari sudah malam tapi gadis itu memaksa untuk ikut mencari ikan.
“Malin ayo cepat kita berangkat,” teriak Lisa. Rambut panjang gadis itu berkibar tertiup angin malam yang cukup kencang. Kain coklat yang membungkus ¾ kakinya serta baju lengan panjang yang sedikit tipis membuat Vian tertarik melihatnya. Tidakkah gadis itu kedinginan?
“Kalian saja yang melaut, saya tunggu di sini,” sahut Vian sambil duduk santai di atas pasir. Suasana malam yang sunyi membuat Vian lebih tenang menikmati malam sambil menatap bintang. Jarang sekali ia bisa bersantai seperti ini.
Lisa berjalan cepat ke arah Vian kemudian menarik tangan pria itu untuk beranjak. Namun Vian menepisnya hingga pegangan Lisa terlepas. Jengkel dengan sikap Vian membuat Lisa mencubit perutnya.
“Aww!” ringis Vian. Matanya melotot menatap gadis manis di depannya. Ternyata Lisa selain cengeng juga menyebalkan. Vian tidak suka gadis seperti Lisa yang pemaksa.
“Kenapa kamu cubit saya?” protes Vian.
“Itu hukuman untuk kamu. Ayo kita berangkat.” Lisa tidak mengindahkan protes dari Vian, ia tetap menyeret tangan pria itu untuk naik ke perahu. Riko dan seorang pria tua mulai menjalankan perahunya menembus kegelapan malam. Lisa terlihat senang membantu Riko melemparkan jaring untuk menangkap ikan.
Berbeda dengan Vian yang sejak tadi hanya diam tanpa bicara sedikit pun. Wajahnya terlihat pucat. Riko menggeleng pasrah dengan kemalasan bosnya yang sangat parah.
“Malin kenapa kamu diam saja?” tanya Lisa cemberut. Vian menatapnya sejenak kemudian memalingkan wajah sembari mengusap perut datarnya.
“Kamu lapar Malin?” tanya Lisa lagi. Gadis itu duduk dekat Vian. Sepertinya Lisa tidak suka diabaikan oleh Vian.
“Kenapa kamu diam saja, Malin? Kamu marah sama saya?” tanya Lisa lagi. Namun belum cukup untuk membuat Vian membuka mulutnya. Lisa menunduk, ia mulai merasa bersalah.
“Maaf saya salah. Malin bicaralah sesuatu.” Lisa terus berupaya agar Vian membuka mulutnya. Namun Vian masih enggan menatap Lisa yang duduk di depannya.
“Ma―”
“Hueekk.”
Vian memuntahkan isi perutnya ke laut. Susah payah ia menahan rasa mualnya namun gagal. Wajahnya semakin pucat dan rasa mual itu belum juga mereda. Lisa panik, menepuk punggung Vian dengan lembut. inikah alasan kenapa sejak tadi Vian hanya diam. Lisa merasa semakin merasa bersalah.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Lisa. Vian menatapnya sebentar namun kembali memuntahkan isi perutnya walau pun yang keluar hanya cairan saja. Vian bahkan tidak bisa berkata apa pun. Riko yang tahu Vian mabuk laut hanya bisa tertawa senang. Wajah tidak berdaya Vian membuatnya puas. Lihatlah seorang direktur perusahaan H&B Group sedang tak berdaya.
Vian menarik Lisa kemudian memeluknya erat. Mata Vian terpejam merasakan peluakan hangat gadis itu. Ia butuh sandaran dan tempat yang nyaman untuk meredakan mualnya. Sialnya ia berada di tengah laut dan satu-satunya cara membuat ia tenang adalah memeluk Lisa. Gadis cerewet yang membuatnya harus buka mulut. Lisa membeku merasakan pelukan Vian. Ini pertama kalinya Lisa dipeluk seorang pria.
“Malin kita tidak boleh pelukan,” gumam Lisa. Tangannya bergetar mencoba melepaskan pelukan tangan Vian. namun pria itu semakin erat memeluknya.
“Sebentar saja, kepala saya pusing,” kata Vian. Mau tidak mau Lisa membiarkan Vian memeluknya. Sedangkan Riko yang melihat Vian bermanja-manja hanya bisa meggigit jaring yang ia bawa. Kenapa Vian selalu mendapatkan keberuntungan?
***
Riko membaringkan Vian di atas tikar. Akibat dari mabuk laut itu membuat kepala Vian pusing. Riko bersusah payah menggendog Vian dari pantai ke rumah Mande. Ternyata bosnya lebih berat dari yang ia kira.
“Ada apa dengan Malin?” tanya Mande Rubayah khawatir.
“Dia mabuk laut,” jawab Riko singkat. Bu Mande terlihat terkejut mendapatkan fakta bahawa anaknya mabuk laut. Selama ini Malin tidak pernah mengalami mabuk laut, bahkan anaknya ini terkenal rajin ikut mencari ikat di laut bersama nelayan lainnya.
“Maafkan saya. Ini semua salah saya. Kalau saja saya tidak memaksa Malin ikut mungkin Malin tidak akan sakit,” kata Lisa. Gadis itu menunduk merasa bersalah.
“Kamu tidak salah Lisa, mungkin saja Malin sedang masuk angin.” Mande Rubayah terseyum membuat perasaan Lisa lebih tenang. Betapa baiknya kedua perempuan itu membuat hati Riko tersentuh. Vian tidak pernah melihat ketulusan mereka.
“Boleh saya yang merawat Malin?”
Riko menatap Lisa tidak percaya. Gadis itu masih mau merawat bosnya? Mata Riko memicing melihat raut wajah Lisa. Sepertinya gadis ini mulai menyukai Vian. Bahkan saat di perahu Lisa memeluk Vian erat walau awalnya gadis itu menolak. Apa daya bibir dan hati berkata lain.
“Kamu mau merawat Malin? Tentu boleh.” Mande Rubayah membiarkan Lisa berada di dalam bilik bersama Vian, sedangkan Riko harus keluar. Banyak pekerjaan yang harus ia lakukan untuk bisa makan. Sejujurnya Riko pun tidak menyukai pekerjaan ini tapi apa boleh buat ia harus bekerja untuk bertahan hidup agar bisa bertemu kekasih hati di masa depan.
Riko membantu Mande Rubayah menjual ubi ke pasar. Dengan sebuah gerobak wanita tua itu menarik barang dagangnya sekuat tenaga. Mengingat jarak pasar dan rumah cukup jauh membuat mereka harus berangkat pagi-pagi. Riko terenyuh melihat wanita tua itu tidak mengeluh sama sekali. Ia tersenyum walau beban yang dijalaninya sangat sulit.
“Bundo biar saya saja yang menarik gerobaknya,” ujar Riko menawarkan bantuan.
“Apa kamu kuat?” tanya Mande Rubayah. Riko dengan senang hati memperlihatkan ototnya, walau tidak terlalu besar.
“Tenang saya kuat,” jawab Riko penuh percaya diri.
Riko mengambil alih tempat Mande Rubayah untuk bertukar posisi, lampu sentir yang menjadi penerangan satu-satunya pun diberikannya pada wanita itu. Sungguh di luar dugaan, gerobak itu lebih berat dari perkiraannya. Bagaimana bisa wanita itu menariknya tanpa mengeluh sedikit pun.
“Bundo, apa setiap hari membawa beban berat seperti ini ke pasar?” tanya Riko saat mereka berbelok ke jalan yang lebih besar. Kerikil kecil membuat roda gerobak sedikit terguncang. Mande Rubayah menatapnya dengan senyum hangat terpatri di wajah. Walau pun tubuhnya kurus dan pipinya tirus namun kekuatan wanita itu tidak bisa diremehkan.
“Bundo sudah biasa membawa beban berat seperti itu.” Mereka berjalan pelan melewati jalanan berbatu yang menyulitkan roda gerobak untuk berputar.
“Bundo kuat sekali. Apa resepnya?” tanya Riko sedikit bergurau. Ia tidak mau selama perjalanan ke pasar terjadi keheningan. Siapa tahu ia mendapatkan sebuah informasi dari Mande Rubayah.
“Malin.” Riko berhenti sejenak saat mendapat jawaban dari wanita itu. Mande Rubayah menatap ke depan, pandangannya menerawang jauh ke masa lalu. Hidup berdua bersama anak satu-satunya setelah sang suami pergi dan tak kembali membuatnya menjadi wanita tangguh.
“Bundo kuat karena Malin. Apa pun akan bundo lakukan demi membuat Malin senang dan bisa makan dengan layak. Bundo tidak mau Malin pergi sama seperti bapaknya.”
Nada suaranya berubah sedih membuat Riko merasa bersalah. Wanita tangguh seperti Mande Rubayah membuat Riko salut. Riko teringat dengan ibunya yang telah meninggal saat melahirkannya. Apa seperti ini rasanya kasih sayang seorang ibu yang tulus pada anak? Riko bahkan tidak pernah merasakannya.
“Bundo tenang saja selama saya bersama Malin, dia tetap aman dan tidak akan pergi ke mana pun juga.” Riko mengacungi jempolnya kemudian melanjutkan kembali perjalanan menuju pasar.
***
Vian mengerjapkan matanya saat merasakan benda dingin menempel di keningnya. Matanya terbuka. Yang pertama kali ia lihat adalah atap kayu rumah yang ia tinggali. Perutnya masih mual efek dari mabuk laut tadi malam. Dirabanya kain yang menempel di kening.
“Malin kamu sudah bangun?” Suara Lisa menggema di dalam bilik. Vian mendengus kesal, kenapa suara wanita itu selalu membayangi mimpi buruknya. Bisakah sehari saja Lisa tidak mengganggu hidupnya.
“Ada sedikit beras di dapur jadi saya buatkan kamu bubur. Malin kamu belum makan, kan?”
Vian melirik sebentar pada Lisa. Jangankan makan membuka mata saja terasa berat bagi Vian. Gadis ini benar-benar cerewet. Ada saja yang ditanya.
“Kamu mau makan sendiri atau disuapi?” tanya Lisa.
“Saya tidak mau makan.” Vian memunggungi Lisa. Ia tidak mau melihat gadis itu lagi. Sudah cukup hari ini ia mual-mual dan pusing karena mabuk laut.
“Malin kamu tidak lapar?” tanya Lisa lagi.
“Tidak!” Baru saja ia menolak, perut Vian sudah berbunyi nyaring membuat Lisa terkikik geli. Jatuh sudah harga diri dan gengsi Vian di depan Lisa. Dia merutuki perutnya yang berbunyi di saat yang kurang tepat.
“Saya taruh di sini saja buburnya. Kalau kamu lapar bisa di makan.”
Lisa beranjak pergi dari bilik, setelah gadis itu pergi Vian berbalik menatap bubur yang tersaji. Perutnya sudah keroncongan ditambah bau harum bubur yang mengunggah rasa laparnya.
Vian duduk bersila mengambil bubur itu kemudian menyantapnya dengan lahap. Apa pun yang Vian makan akan terasa enak, walau hanya bubur seperti ini. Tanpa ia sadari sejak tadi Lisa berada di balik tembok mengintip Vian yang makan dengan lahap.
Rasa laparnya kini terobati. Bubur itu ludes tak tersisa. Vian tersenyum lega setelah perutnya kenyang. Namun senyum itu seketika pudar saat melihat Lisa menyembulkan kepalanya dari balik tembok. Gadis itu menatap Vian. Merasa malu Vian segera mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Dia tidak ingin harga dirinya kembali tercoreng.
“Apa masakan saya enak?” tanya Lisa yang masih berada di luar bilik. Matanya tidak lepas dari Vian.
“Biasa saja.” Vian memalingkan wajahnya.
“Tapi kenapa dihabiskan? Kamu lapar, kan?” tanya Lisa lagi.
“Itu karena saya tidak mau membuang makanan. Masih banyak orang di luar sana membutuhkan makanan, maka dari itu saya menghabiskannya,” ujar Vian menjelaskan.
Mendengar ucapan Vian membuat Lisa kecewa. Ia berharap Vian memujinya walau sedikit tapi nyatanya tidak. Pria itu makan bubur buatan Lisa karena kasihan dengan makanannya. Tanpa banyak bicara Lisa pergi begitu saja tanpa pamit pada Vian. Melihat keprgian Lisa membuat Vian lega bisa terhindar dari gadis aneh itu.
Lisa berjalan lemas menuju rumahnya. Ucapan Vian masih terngiang di telinganya. Padalah Lisa sudah melakukan yang terbaik tapi selalu tidak ada artinya di mata Vian.
“Aku rindu Malin yang dulu,” gumam Lisa.
Kepalanya tertunduk menatap penampilan dirinya yang sangat sederhana. Lisa akui dirinya tidak secantik gadis desa lain. Memikirkannya saja membuat Lisa tidak percaya diri.
“Lisa.” Gadis itu mendongkak saat seseorang memanggilnya.
Itu adalah Mande Rubayah dan Riko. Sepertinya mereka baru pulang dari pasar. Gerobak yang sering dibawa Malin ketika ke pasar ditarik oleh Riko.
“Kamu kenapa di sini? Apa Malin sudah bangun?” tanya Bu Mande. Lisa terdiam sejenak kemudian mengangguk sebagai jawaban.
“Malin juga sudah makan. Dia ada di rumah,” kata Lisa. Riko yang melihat ekspresi wajah gadis itu bisa menebak bahwa ada yang tidak beres dengan hubungan mereka. Apa Vian membuat ulah lagi? Dasar bos tidak punya hati, rutuk Riko dalam hati.
“Terima kasih Lisa. Kalau begitu saya mau pulang bertemu Malin.”
“Hmm, bundo saya pulang belakangan. Bundo duluan saja, saya ingin bicara dengan Lisa.” Mande Rubayah dan Lisa menatap Riko penuh tanya.
“Ini penting,” lanjut Riko
Mande Rubayah mengiyakan ucapan Riko. Wanita tua itu pun pergi meninggalkan sepasang muda-mudi itu untuk bicara.
“Kamu suka dengan Malin?” tanya Riko tanpa basa basi. Lisa memalingkan wajahnya. Ia memilih tidak menjawab pertanyaan Riko.
“Saya punya permintaan pada kamu Lisa, untuk Malin.” Gadis itu menatap Riko. Lisa mulai penasaran permintaan apa yang diinginkan Riko. Pria itu mendekati Lisa membuat gadis itu takut. Jarak mereka sangat dekat hingga Lisa harus memundurkan langkahnya untuk menjaga jarak.
“Pe-permintaan apa?”
Riko menyeringai. Inilah saatnya ia melancarkan rencana yang telah dibuat. Bagaimana pun juga Lisa mirip dengan seorang gadis di masa depan. Riko mencondongkan tubuhnya. Membisikkan sesuatu di telinga Lisa hingga membuat mata gadis itu membola sempurna.