"Woy...! Berhenti lo!"
Mana mungkin Vanko menghiraukan perintah dari orang tersebut. Dia terus saja berlari menghindar agar tidak tertangkap oleh tiga lelaki berbadan kekar yang sudah mengejarnya selama kurang lebih dua puluh menit. Vanko berlari seolah dia sedang dikejar anjing, sangat cepat dan piawai. Seolah-olah lari-larian begini memang pekerjaannya.
Saat melihat ada gang yang begitu terpencil, Vanko segera berbelok ke sana. Secepat kilat, Vanko mengubah penampilannya. Dia mengeluarkan sendal jepit dari keresek yang dia bawa-bawa di dalam jaket. Selain itu, Vanko juga membalikkan jaketnya yang merupakan jaket dua sisi. Vanko juga melepas celana jeansnya dan menyisakan celana boxer biasa. Masker yang tadi menutup sebagian wajahnya pun dia buka agar tampak berbeda. Dia tinggalkan celana dan sepatunya di bawah dedaunan kering yang menumpuk di sana. Dan sekarang, dia berjalan biasa seolah tidak sedang dikejar-kejar orang.
Sambil bersiul ria, Vanko melangkah santai melewati ketiga orang yang tadi mengejarnya. Walau dalam hati ada rasa deg-degan dan was-was, namun Vanko berusaha melakukannya sebaik mungkin.
Akibat penyamarannya, Vanko berhasil selamat dan kembali ke kamar indekosnya dalam kondisi lengkap. Akan tetapi, saat pulang ternyata di dalam kamarnya ada Trisa.
"Kok lo di sini?"
Trisa menolehkan wajahnya menatap Vanko serius, seakan-akan dia ingin memarahi lelaki yang kelelahan akibat berlarian itu.
"Keknya kepala lo konslet habis ngehindar dari anak buahnya Danu deh. Sampai lupa kalau lo yang minta gue tetap stay di sini sebelum lo pulang. Jadi gue stay di sini nungguin lo, tahu nggak? Pengen pulang gue, capek banget rasanya."
Rasanya begitu melelahkan habis berlari-larian. Dia langsung saja merebahkan tubuhnya ke ranjang alakadarnya. Vanko juga baru ingat, kalau tadi memang dia yang meminta Trisa buat menjaga kamar indekosnya sampai dia pulang.
"Lo kok bisa lihat gue dikejar-kejar sama anak buahnya Danu sih? Punya cenayang lo?" tanyanya tanpa menatap ke arah Trisa.
"Punya, nih cenayang gue."
Kepala Vanko seketika menengok ke arah kiri. Ternyata sesuatu yang Trisa tunjukkan ke Vanko tadi adalah teropong mini.
"Ish... Mata lo beneran jeli." gumamnya sembari memejamkan mata.
"Karena lo udah balik, gue juga bakal pergi dari sini."
Trisa turun dari bangku tinggi yang ada di depan jendela sambil membawa teropong yang tadi dia pakai buat mengintai Vanko. Trisa langsung meninggalkan kamar indekos tempat Vanko menginap tanpa ada kata lain lagi dari bibirnya. Tak ada lagi yang Vanko katakan pada Trisa. Hanya gerutuan saat Vanko baru melihat bahwa kopi di kamar indekosnya sudah habis tak tersisa.
"Ish... Itu anak minum dari gelas apa nyedot pakai selang?" tanyanya pada angin yang terus masuk ke kamarnya dari jendela yang sengaja tidak ditutup.
Otak Vanko berputar, dia segera delivery kopi beberapa cup untuk menemani malamnya. Meski dia lelah, tapi Vanko tetap tidak boleh tidur. Lelaki itu masih harus melakukan janjinya dengan Trisa untuk mengintai perempuan yang tinggal di seberang.
Belum sempat Vanko melihat keadaan rumah seberang pakai teropong, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi. Ternyata itu Becca yang meneleponnya. Dia melihat jam di tangannya, ternyata sudah pukul setengah dua belas malam.
"Hallo, My Pinky..." sapanya ramah.
"Lo nggak pulang lagi malam ini?"
Sebenarnya, Vanko juga merasa kasihan harus meninggalkan Becca seorang diri di rumahnya. Tapi mau bagaimana lagi, Vanko juga memiliki pekerjaannya sendiri yang tidak bisa dia tinggal.
"Maaf, bukannya gue nggak mau pulang. Tapi kerjaan gue beneran banyak banget."
Dalam hati, Vanko terus berharap kalau Becca tidak curiga dengan jawabannya. Terlebih lagi, Vanko tidak mungkin tega kalau harus memberi tahu Becca bahwa dia memiliki misi dengan seorang perempuan. Kalau Becca tahu, bisa jadi kekasihnya itu akan salah paham, khawatir dan cemburu. Vanko hanya ingin menjaga hubungan mereka supaya tetap baik-baik saja.
"Lo nggak pulang ke rumah bukan karena ada gue di sini 'kan?"
"Enggak, Becca. Bukan karena lo ada di rumah, tapi emang karena pekerjaan. Sebelum lo ada di rumah, gue malah kadang pulang seminggu sekali. Jadi jangan khawatirin hal seperti itu ya?"
Nada suara Vanko benar-benar berubah menjadi lembut. Tidak seperti ketika dia sedang bicara dengan orang lain. Tampak jelas berbeda.
"Beneran 'kan?"
"Beneran, My Pinky."
Bisa Vanko dengar dari panggilan telepon kalau suara Becca seperti orang sedang menahan tangisnya. Tapi memang Vanko tidak bisa pulang malam hari ini.
"Jangan nangis, nanti manisnya luntur." sengaja memang, Vanko ingin menggoda Becca. Itu karena Vanko tak mau Becca berlarut-larut dalam kesedihan.
Godaan Vanko berhasil juga. Baru saja, Vanko mendengar jelas suara tawa Becca. Setidaknya Vanko tidak akan terlalu cemas kalau sudah mendengarkan suara gadisnya yang tertawa bahagia.
"Ya udah, jaga kesehatan dan jangan lupa makan."
"Eung... Nggak akan."
"Gue tutup ya?"
"Iya sayang..."
Bep!
Sambungan telepon benar-benar terputus dan Vanko kembali fokus pada teropongnya. Namun barusan, Vanko melihat penghuni rumah itu baru saja selesai dari kamar mandi dan seperti orang bersiap-siap tidur.
Karena Vanko melihat orang yang harus diintainya sudah tidak melakukan aktivitas, Vanko memilih istirahat sejenak. Tangannya melepas kalung yang menggantung di lehernya. Ada sebuah cincin yang dijadikan bandul oleh Vanko. Dilepasnya cincin itu dan dia pakaikan ke jari manisnya.
Sepoi-sepoi angin membawa rambut Vanko menari beriringan dengan dedaunan yang memayungi mereka dari panasnya sinar matahari. Meski sudah siang, tapi kicauan burung masih terdengar di sana. Suasana hutan yang begitu kental sehingga rasanya sangat membaur dengan alam.
Sepulang dari membeli cincin, Vanko mengajak Becca ke tempat di mana mereka bisa melihat hamparan rumah-rumah dari atas. Meski Vanko harus melupakan tanggung jawabnya berjualan cappucino cincau, tapi tak apa. Baginya momen seperti ini, mungkin saja tidak akan datang dua kali.
Usaha Vanko membawa Becca ke tempat itu tidak sia-sia. Suasana hatinya terasa jauh lebih tenang. Rasanya semua beban yang dia pikul sendiri selama ini, berkurang banyak. Dan hanya Vanko yang bisa melakukannya.
Jemari Becca meremas-remas jaket kekasihnya yang dipakai untuk menutupi kakinya. Sementara tubuh Becca bersandar ke badan Vanko dan dia memejamkan mata untuk waktu yang lama.
"Ehrm... Dari kapan gue tidur?" tanyanya setelah benar-benar sadar.
Ketika Becca berusaha duduk tegap dan tersadar dari pejaman matanya, Becca baru tahu kalau tadi dia tidur dalam pelukan Vanko.
"Hah? Gue tidur selama sejam? Lo kenapa nggak bangunin gue sih?"
Vanko malah tersenyum melihat ekspresi Becca barusan. Baginya, gadisnya itu lucu dan Vanko tidak bisa mengalihkan pandangan ke objek lain.
"Pegel nggak tangannya?"
Seketika Becca meraih lengan Vanko dan memijatnya karena takut kenapa-napa. Tapi tak lama, Vanko langsung menghentikan gerakan Becca sembari menggelengkan kepalanya. Lelaki itu kembali menarik Becca ke dalam pelukannya. Bahkan kali ini Vanko juga mengecup ubun-ubun Becca lebih dari tiga kali.
Rasa nyaman dan hangat merasuk ke hati Becca. Tak ingin munafik, Becca menyukai perlakuan Vanko yang seperti ini. Simpel tapi manis.
"Kayaknya tidur semalam masih kurang." gumam Vanko yang akhirnya membuka suara.
"Hehehe... Kayaknya gue terlalu nyaman berada di dalam perlukan lo deh, makanya sampai tertidur."
Tidak beda jauh dengan Becca, Vanko pun tersipu malu usai mendengar kata-kata sederhana dari bibir Becca yang menurutnya sangat manis.
Pandangan mereka jatuh ke pemandangan di bawah sana yang terlihat bagaikan lukisan. Wajah Becca maupun Vanko tidak bisa berhenti tersenyum mengutarakan bahwa mereka memang bahagia.
Saat sedang nyaman-nyamannya berada dalam pelukan Vanko, tiba-tiba Becca merasa tubuhnya didorong pelan dan seolah memintanya agar duduk tegap. Ketika dilihat, Vanko sedang mengambil kotak perhiasan yang tadi mereka beli bersama. Jemari kekar lelaki itu mengambil satu cincin dan dia juga meraih bouquet bunga mawar pink yang sedari tadi berada di samping Becca.
"Becca, mau ya jadi istri gue?" tanyanya sembari memberikan bouquet bunga mawar merah muda tadi kepada Becca.
Wajah serius Vanko membuat Becca jadi tertawa, dia tidak menyangka kalau Vanko juga bisa gugup saat melamarnya seperti sekarang. Alhasil, Vanko jadi keki sendiri karena terus ditertawakan oleh Becca.
"Gue baru tahu kalau ada orang ngelamar yang modelnya begini."
"Kenapa?" tanya Vanko sambil bersungut-sungut kesal karena terus ditertawakan.
"Biasanya orang tuh nanya, mau apa enggak jadi istrinya. Ini lo, malah langsung begitu." ujarnya masih sambil tertawa.
Bibir Vanko mencibir pelan, dia mendesah melihat tanggapan Becca yang malah mengajaknya bercanda. Padahal bagi Vanko, sekarang ini sedang dalam suasana serius.
"Ya biarin, gue 'kan mau beda dari orang lain. Lagian gue gak mau nanya begitu, takut ditolak gue." dengusnya sambil buang muka ke arah depan.
Entah kenapa, Becca baru melihat sisi lucu Vanko sekarang ini. Dari awal mereka kenal, dia belum pernah sekalipun melihat Vanko bertingkah lucu begini. Hanya sisi dingin dan cuek yang selalu Becca dapat dari Vanko. Atau mungkinkah selama ini Vanko sengaja menyembunyikannya dari Becca.
"Gak perlu takut ditolak, My Vinky. Lo 'kan tahu kalau gue yang suka sama lo duluan. Gue yang tergila-gila sama lo. Jadi udah jelas, gue gak akan nolak lamaran cowok yang gue suka dari dulu." dengan lembutnya Becca mengatakan ini sembari meraih jemari Vanko dan dia genggam erat-erat.
Hati Vanko berdesir, ada rasa ser-seran di dalam dadanya. Tidak pernah Vanko bayangkan pada awalnya bahwa wajahnya bisa blushing seperti ini karena Becca. Saking tidak inginnya dilihat merona oleh sang gadis, Vanko langsung menatap ke arah lain lagi.
Kedua mata Becca tidak pernah lepas memandangi bagian kanan wajah Vanko yang menurutnya tampak sangat tampan dari biasanya. Hanya memandang seperti ini saja sudah membuat Becca merasa tak karuan. Bahkan terkadang Becca merasa dadanya sesak hanya karena melihat senyuman lelaki yang dia cintai lebih dari sepuluh tahun lamanya.
"Vanko." panggil Becca pelan.
"Ya? Kenapa? Lo bosen di sini?"
Becca menggelengkan kepalanya sehingga membuat Vanko mengerutkan keningnya dan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin Becca tanyakan padanya. Terlihat jelas bahwa Becca seolah sedang menimbang sesuatu, seakan-akan dia bertanya pada dirinya sendiri mau bertanya atau tidak seperti itulah ekspresi Becca sekarang yang dapat Vanko tangkap. Sementara Vanko tidak mau bertanya lagi. Dia hanya bisa menunggu sampai Becca mau buka suara sendiri.
"Gue boleh nanya sesuatu ke lo?" setelah sekian menit Becca terdiam, akhirnya dia membuka suara juga.
Dan tentu saja Vanko menganggukkan kepalanya. Lagi pula dia tidak mungkin melarang Becca bertanya padanya. Selama pertanyaan itu bisa Vanko jawab, maka akan dia jawab sesuai jawaban yang sebenarnya.
"Apa pun yang jadi beban pikiran lo dan apa pun yang pengen lo ketahui tentang gue atau tentang apa yang gue lalui selama ini, gua akan jawab. Gue juga nggak mau ada kebohongan di antara kita." itulah jawaban dari Vanko sembari mempersilakan Becca mempertanyakan kegundahan di dalam hatinya kepada dirinya.
Sebelum bertanya, Becca memilih menarik nafasnya dalam-dalam lalu dia embuskan secara perlahan. Becca menyiapkan mentalnya agar saat dia mendengar jawaban dari Vanko, dia tidak akan tercengang. Walau masih ragu, Becca tetap meyakinkan dirinya sendiri bahwa menurutnya dia pantas untuk tahu tentang hal yang sebenarnya. Lagi pula Becca juga tidak yakin kalau dia tidak bertanya, nantinya Vanko akan bercerita sendiri padanya. Jadi lebih baik sekarang Becca memperjelas apa yang ingin dia ketahui dari kekasihnya.
"Perasaan cinta lo ke gue bukan karena rasa bersalah lo atas apa yang terjadi di hari itu 'kan?" usai bertanya Becca langsung menundukkan kepalanya melihat kedua tangannya saling meremas.
Terlihat jelas Becca sedang gelisah menunggu jawaban darinya dan Vanko tahu itu. Karena tak ingin membuat kekasihnya semakin cemas, Vanko memilih menggenggam jemari Becca yang sedikit bergetar. Vanko berharap apa yang dia lakukan sekarang dapat membuat Becca sedikit tenang.
Vanko pun bahkan menyiapkan hatinya, berharap jawaban yang ia berikan tidak akan membuat Becca semakin sakit hati karenanya. Karena bagaimanapun juga, inilah yang Vanko rasakan dan hanya dia yang tahu tentang isi hatinya. Bukan orang lain, termasuk Becca sendiri.
"Gue tahu kalau apa yang gue lakuin di masa lalu itu salah dengan memperalat lo supaya gue bisa bikin Zulla cemburu. Tapi gue berani jamin, kalau apa yang gue rasain sekarang ini bukan atas dasar rasa bersalah gue ke lo yang udah bikin lo sakit hati." Vanko sengaja menjeda omongannya sebentar.
"Rasa suka, sayang dan cinta gue lo itu bukan karena rasa bersalah. Tapi memang gue jatuh hati ke lo." lanjutnya penuh keseriusan.
"Mulai kapan?"
Vanko termenung, tangannya kini terulur meraih pipi Becca kemudian diusapnya berulang kali buat menunjukkan rasa sayangnya kepada Becca.
"Mulai kapan lo ngerasa kalau lo suka dan cinta ke gue? Padahal kita udah nggak pernah ketemu lagi setelah kejadian di malam hari itu? Gimana caranya lo bisa suka ke gue? Sementara kita nggak pernah bareng-bareng lagi?"
"Ketika gue mulai ngerasa bahwa hidup gue tuh hampa pas lo nggak ada di sisi gue, pas lo ninggalin, pas lo nggak pernah muncul di depan mata gua, waktu nggak pernah ada kabar sedikit pun tentang lo. Dan di saat itu juga gue nggak tahu kalau perasaan cinta ini mengalir gitu aja selama gue nunggu lo."
Dari sorot matanya, Becca bisa tahu bahwa Vanko tidak sedang berbohong padanya. Dan jujur saja, saat ini Becca seakan terhipnotis oleh Vanko, dia tidak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Hanya kedua bola mata Vanko yang ingin Becca tatap sekarang.
"Dengan penuh keyakinan, gue yakin kalau lo bakal balik ke gue entah itu kapan. Entah di mana, entah bagaimanapun keadaannya, gue yakin lo bakal balik ke dalam pelukan gue dan penantian gue selama ini benar-benar terjadi. Gue ngerasa waktu gue buat mencintai lo tuh enggak pernah terbuang sia-sia meski gue selama ini sendiri tapi sebenernya gue nggak sendiri. Selama lo tetap ada di hati gue, gue nggak pernah sendiri." ujarnya sembari memberi kehangatan di jemari Becca.
"Dan kalau lo nanya ke gue mulai kapan, tepatnya setelah gue sadar bahwa kehilangan lo itu bikin gue sakit, bikin d**a gue sesak, bikin langkah gue tuh berat, bikin pandangan gue tuh kabur, bikin gue hilang arah."
Usai mendengar apa yang Vanko katakan barusan, Becca merasa dirinya seolah terkena embusan angin segar yang memabukkan. Tiba-tiba tanpa aba-aba, Becca langsung mengecup kening Vanko. Akan tetapi dia baru tersadar bahwa tindakannya barusan begitu mengejutkan sehingga membuat Vanko melongo. Tampak jelas kekasihnya itu blank dalam waktu beberapa detik.
"Sorry, gue nggak bermaksud gimana-gimana ke lo. Gue cuma terlalu bahagia mendengar perasaan lo yang sebenarnya ke gue."
Melihat gadisnya begitu malu dan merasa bersalah, hal itu malah membuat Vanko merasa bahwa Becca itu lucu. Vanko sampai tertawa renyah lalu menarik Becca ke dalam pelukannya.
"Gue nggak apa-apa kok. Malah seneng lihat lo begini. Gue cuma kaget aja, nggak nyangka kalau ternyata lo juga berani nyium gue duluan. Padahal selama dulu kita pacaran, lo nggak pernah mau gue cium. Jangankan dicium, mau genggam tangan aja, gue harus dapet izin dulu dari lo."
Becca ikut terkekeh mengingat kejadian masa lalu sewaktu mereka masih menjadi kekasih saat sama-sama masih sekolah. Kepala Becca mendongak, dia melihat Vanko dari bawah lalu Becca menumpukan dagunya di d**a bidang Vanko dan tampak jelas mereka sama-sama menikmati momen seperti ini.
"Ya karena dulu 'kan kita pacaran bukan karena lo cinta sama gue. Tapi karena emang lo cuma pengen bikin Zulla cemburu. Ya jelas kalau gue nggak mau rugi, gue takut diapa-apain sama lo terus nanti akhirnya gue ditinggal sama lo." Becca pun berani mengakui alasannya kenapa dulu dia enggan dicium oleh Vanko.
"Mulai sekarang kalau lo pengen nyium gue, enggak perlu minta izin dulu. Gue bolehin kok." lanjut Becca lembut serta tampak wajahnya dipenuhi senyuman manis.
"Beneran ya?" tanya Vanko memastikan.
Becca mengangguk mengiyakan pertanyaan Vanko. Dia juga tidak munafik, kalau Becca menyukai kisah cinta dewasa. Belum selesai Becca dibuat bahagia akan jawaban Vanko, kini dia semakin dibikin berdebar-debar jantungnya saat Vanko tiba-tiba mengecup bibirnya serta melumatnya pelan.
Tring!
Seketika Vanko tersadar ketika ada pesan masuk di ponselnya. Ketika dilihat ternyata itu pesan dari driver gofood yang menanyakan pesanananya. Setelah menjawab, Vanko segera melepas cincin dari jari manisnya lalu dia jadikan bandul kalungnya lagi serta dia gantungkan ke lehernya lagi seperti semula.