1. Panggilan
"Hai..." seorang perempuan menyapa lelaki berwajah oval nan berkulit putih pemilik rambut hitam legam yang berjalan memasuki sebuah gedung bertingkat sepuluh.
Lelaki itu hanya tersenyum pada temannya dan lanjut berjalan tanpa tujuan. Dia hanya akan say hello pada teman-temannya lalu mungkin saja akan langsung pulang atau bertahan sampai acara benar-benar selesai. Vanko juga tidak tahu, dia akan menentukan pilihannya setelah melihat keadaan nanti.
"Hallo..."
"Gimana kabar lo?"
"Kerja di mana lo?"
"Dateng sendirian lagi nih?"
"Lo belum ada pasangan?"
Banyak sekali pertanyaan yang datang pada lelaki berusia dua puluh lima tahun itu. Tentu dari sekian banyaknya pertanyaan dari awal dia datang, tidak semua dia jawab. Kalau Vanko enggan menjawab atau tidak nyaman karena pertanyaannya, lelaki itu hanya tersenyum saja.
"Kapten basket kita sampai juga akhirnya." seorang lelaki berbadan besar dan tinggi menepuk bahu Vanko pelan sambil tersenyum.
"Apa kabar lo?" balas Vanko menanggapi salah satu temannya.
"Baik, baik. Nikmatin ya pestanya, gue mau nemuin yang lain dulu."
Vanko mengangguk usai memberi senyum. Kakinya kembali melangkah mencari teman-teman dekatnya. Dari yang dia dengar, Zulla dan Lingga juga akan datang hari ini. Kepalanya menoleh ke seluruh penjuru, tapi belum juga menemukan dua sahabat dekatnya.
"Selamat datang di acara reuni kali ini."
Sampai akhirnya, Vanko disambut ketua acara yang tak lain adalah salah satu anggota tim basket di sekolah Vertusa yang dulu diketuai oleh Vanko. Sedangkan yang dirangkul dan diberi sambutan pun hanya tersenyum sambil bersalaman ala anggota tim basket pada beberapa temannya yang ada di sekitarnya sekarang.
"Eh Vanko tuh selalu dateng ya, dia enggak pernah absen." sambung lelaki berambut cepak nan kurus.
"Rajin amat lo, Van. Nyari siapa sih?" goda salah satu temannya juga.
"Belum move on ya lo dari Becca?" ceplos seorang lelaki bernama Tino.
Lagi-lagi, Vanko menanggapi mereka dengan senyuman yang malah membuat semua temannya penasaran.
"Apaan sih kalian tuh? Enggak seneng kalau gue dateng? Gue juga kangen kali sama kalian." jawabnya sambil melihat keempat temannya yang mendatanginya secara bersamaan.
Semua orang tahu, kalau Vanko memang orang pertama yang selalu mau kalau ada acara reuni. Kapan dan di manapun acara diadakan. Sehingga semua teman seangkatannya menganggap kalau Vanko memang belum bisa melupakan kekasihnya semasa sekolah dulu. Gadis berambut keriting bagaikan mie yang dipacari Vanko dari kelas 7 SMP sampai SMA itu menghilang tanpa kabar dan tanpa jejak. Tidak ada satu orang pun dari mereka yang bisa menghubungi Becca, termasuk Vanko sendiri.
"Kapan lo mau dateng bawa pacar? Bosen perasaan lihat lo dateng sendirian mulu." obrolan kembali diciptakan oleh Tino.
"Atau jangan-jangan lo enggak punya pacar ya sampai sekarang?"
"Buat apa juga pacar dipamer-pamerin? Ntar kalau udah jadi bini gue, baru gue kenalin ke kalian. Tenang aja, gue enggak bakal lupa kok ngasih undangan nikah." kekehnya.
Keempat lelaki lainnya tertawa mendengar alasan yang Vanko berikan. Padahal kalau misalkan Vanko mengakui bahwa dia belum bisa melupakan Becca dan masih mengharapkan gadis itu pun, mereka tidak akan meledeknya.
Dari sekian banyak teman seangkatannya yang datang, akhirnya orang yang dicari Vanko terlihat juga. Zulla dan Lingga datang bersamaan. Zulla sendirian sedangkan Lingga bersama tunangannya yang dikenalkan pada Vanko melalui pesan.
"Eh... Gue ke Zulla dulu ya." pamit Vanko ingin menyusul ke mana Zulla dan Lingga berjalan.
Tak jauh, Zulla sedang bercengkerama dengan teman sekelas mereka dulu. Wanita itu belum mengetahui kalau Vanko sudah ada di sana. Sebelum menyapa, Vanko lebih memilih menatap Zulla terlebih dulu. Lelaki itu tersenyum melihat perempuan yang pernah dia sukai hidup bahagia.
Tangan kanannya meraba d**a bagian kirinya, tidak ada lagi debaran kencang di jantungnya saat menatap Zulla. Tidak seperti dulu saat pertama dia bertemu dengan Zulla dan berakhir menjadi sahabat dekat sampai akhirnya Vanko membuat kesalahan dan tidak pernah sedetik saja mendapatkan Zulla. Rasa suka pada Zulla sirna, bersamaan dengan perginya gadis yang dia pacari tanpa dasar cinta.
Setelah memastikan kalau Zulla bukan lagi perempuan yang dia inginkan, Vanko kembali melanjutkan langkah kakinya. Meski ini juga bukan yang pertama mereka bertemu setelah tujuh tahun menjadi alumni Vertusa. Bahkan, mereka bisa dibilang sering bertemu setiap Vanko ada di Jakarta.
"Heh... Lo gue cari-cari dari tadi juga." sapa Vanko pada Zulla.
"Sorry, sorry, gue baru nyampe ini."
Perasaan rindu sebagai teman ada di hati mereka berdua. Sepasang sahabat itu langsung berpelukan layaknya teman. Tak beda jauh, Vanko dan Lingga pun juga pelukan khas laki-laki.
"Suami lo enggak ikut?"
"Eum... Dia sibuk di rumah sakit. Makanya gue dateng sendiri." angguk Zulla.
Dua tahun lalu, Vanko mendapat undangan pernikahan Zulla dengan lelaki yang menjadi alasan utama kenapa Zulla tidak bisa membalas perasaan Vanko. Hubungan mereka berdua juga sempat retak, tapi akhirnya mereka bisa menyelesaikannya secara dewasa dan tetap menjadi teman sampai sekarang.
"Lo jahat banget sih, ke acara reuni bisa dateng tapi ke acara tunangan gue bilangnya sibuk kerja." Lingga sampai protes karena menurutnya Vanko tidak adil padanya.
"Gak cocok lo jadi laki tapi ngambekan."
Tertawa saja Zulla melihat tingkah Lingga dan Vanko. Tak aneh bagi Zulla melihat mereka berdua bertengkar kecil seperti ini. Dari dulu tidak pernah berubah.
Ketiganya lanjut bercerita tentang enam bulan belakangan ini yang mereka alami. Walaupun mereka memiliki ruang obrolan di ponsel, namun tak ada waktu khusus untuk bercerita karena sama-sama sibuk. Zulla menjadi dokter di rumah sakit swasta terbaik di Jakarta. Lingga juga menjadi dokter tapi lelaki itu bekerja di Bandung. Sedangkan Vanko, sudah dari tiga tahun lalu dia di Malang. Katanya, Vanko mengurus perusahaan cabang milik keluarganya yang ada di sana. Jadi pantas saja mereka jarang dan sulit bertemu karena selain pekerjaan yang sama-sama sibuk, jarak tempuh juga memengaruhi.
Drt... Drt... Drt...
Saat sedang bercerita, Vanko merasa ponselnya berdering. Diambilnya dari dalam saku celana. Ketika membaca nama siapa yang meneleponnya, jantung Vanko terasa hampir lepas. Matanya membulat dan beberapa kali dia mengerjapkan matanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah membaca.
My Pinky
Nama kontak yang memanggil Vanko sekarang. Tentu saja Vanko ingat, kepada siapa dia memberi nama panggilan itu untuk seseorang. Hal yang Vanko tunggu-tunggu selama delapan tahun terjadi di hari ini. Alasan dia tidak mengganti nomor ponselnya hanya karena pemilik nomor tersebut. Orang yang sebenarnya Vanko cari setiap ada reuni tapi tak pernah muncul sekalipun di hadapannya. Bahkan kabarnya juga tidak terendus walau hanya sekelebat bagai terbawa angin laut.
"My Pinky? Becca?" tak sengaja Zulla membaca nama orang yang memanggil Vanko sekarang.
Tak heran kalau Zulla tahu bahwa Vanko memanggil Becca dengan sebutan My Pinky. Bukan hanya Zulla saja, seluruh anggota sekolah tahu hal itu.
"Angkat cepet." titah Zulla lalu tanpa izin, dia menggeser gambar gagang telepon berwarna hijau di ponsel Vanko.
Karena panggilan sudah diterima, mau tak mau Vanko menempelkan ponselnya ke telinga kanannya. Belum sempat Vanko mengucapkan kata hallo, dia sudah mendengar suara isak tangis dari seberang. Tangisan itu begitu memilukan sampai Vanko bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Becca sekarang. Vanko yakin, orang yang menangis itu memang Becca. Telinganya masih ingat betul suara gadisnya walau sudah delapan tahun lamanya Vanko tidak mendengarnya.
"Hiks... Gu-gueh enggak ta-tahu harussss nelponn siapahhh. Nom-nomernya, hiks... Nomernya Zul-Zulla enggak ak-tifff..."
Terdengar jelas apa yang Becca katakan walau terputus-putus dan tercampur isakannya. Vanko masih diam, dia ingin mendengar lebih lanjut lagi apa yang akan Becca katakan padanya.
"Hiks... Hiks... Tohhh... Hiks... Tol-long gu-gue, Van. Plisssss... Tohlongin guh-gue..." isak tangis Becca malah terdengar semakin parah.
Zulla dan Lingga gemas melihat reaksi Vanko. Perempuan itu menggerakkan bibirnya agar Vanko mengatakan sesuatu pada Becca. Padahal mereka berdua juga belum tahu kenapa tiba-tiba Becca muncul setelah sekian lama dia menghilang.
"Lo di mana sekarang? Gue bakal ke sana." akhirnya Vanko bersuara setelah sekian detik hanya diam.
"Ah-al-alamatnyahhh gue kirimmm ke pes-pesan ajahhhh..."
"Jangan lo tutup telponnya." titah Vanko lalu meletakkan gelas minumnya ke meja di sekitar sana dan bersiap pergi.
Ekspresi wajah Vanko membuat Zulla dan Lingga semakin penasaran. Ditambah lagi, Vanko sepertinya bersiap akan pergi. Dan betul sekali, lelaki itu mengundang perhatian banyak orang di sana karena dia berlari ke luar gedung secepat kilat. Karena penasaran dan tidak ingin ketinggalan, akhirnya Lingga mengajak tunangannya ikut berlari bersama Zulla. Ketiga orang itu berencana mengikuti ke mana Vanko pergi. Saat sampai parkiran, mereka melihat mobil Vanko sudah melaju. Lingga segera mengambil mobilnya dan membawa kedua wanita yang tadi ikut berlari mengejar Vanko. Pasti ada sesuatu yang tidak beres kalau sampai ada hal seperti ini.
***
Beberapa orang yang mampir ke masjid dan ke kamar mandi, mereka sama-sama dibuat bingung karena suara tangisan dari salah satu kamar mandi di sana. Mereka juga tidak tahu pastinya, siapa yang ada di dalam dan kenapa. Sampai akhirnya, ada seorang lelaki berpenampilan rapi mendatangi salah satu kamar mandi dan berdiri di depan pintunya. Para wanita yang di sekitar sana pun langsung merapikan penampilan mereka agar tidak terlihat oleh Vanko. Bahkan ada yang menegurnya kalau itu bukan tempat laki-laki, tapi Vanko tidak peduli. Selang sepuluh detik, kedatangan Zulla, Lingga dan Tania pun turut membuat mereka penasaran.
"Bec, gue di luar." kata Vanko tanpa menggedor pintu kamar mandinya.
Sambungan telepon masih belum terputus sampai sekarang. Jadi tidak perlu Vanko mengetuk pintunya. Tak lama, pintunya terbuka dan Becca keluar. Vanko masih sedikit tidak menyangka, kalau perempuan yang berdiri di depannya itu memang Becca. Gadis yang dia tunggu selama ini. Perempuan yang membuatnya selalu datang ke acara reuni dan berharap bisa bertemu di acara itu. Wanita yang membuat Vanko betah sendiri setelah kepergiannya yang entah ke mana.
Semua yang ada di sekitar area kamar mandi, termasuk Vanko, Zulla dan Lingga kaget melihat kondisi Becca. Wajah gadis itu sembab, merah karena tangisan. Rambut keritingnya yang berwarna pink disanggul begitu cantik. Tapi ada yang membuat mereka lebih kaget lagi, pakaian Becca sekarang.
Kain yang melekat di tubuh Becca mengakibatkan semua orang membelalakkan mata. Bahkan para ibu-ibu di sana sudah berbicara yang aneh-aneh tentang Becca. Hal ini bukan karena pakaian Becca yang compang-camping atau kurang bahan. Tapi karena Becca berdandan seperti seorang pengantin wanita. Tubuhnya terbalut kebaya putih model sabrina dan ada hiasan siger juga bunga melati dan mawar yang menjuntai sampai bahunya. Apalagi kalau bukan riasan pengantin yang ada di diri Becca saat ini dengan hiasan seperti itu.
Vanko tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Delapan tahun tidak bertemu, dan sekalinya Becca menghubunginya, gadis itu dalam kondisi berpakaian layaknya pengantin wanita. Banyak sekali pertanyaan berkecamuk dalam diri Vanko.
"Toh-longin guehhh..." meski sudah tidak seperti tadi, tapi Becca masih terisak-isak.
Tanpa pikir panjang lagi, Vanko membuka jas hitamnya dan memakaikan ke tubuh Becca. Suara langkah kaki yang berlari mendekati mereka. Zulla memeluk sahabatnya. Dia ikut menangis melihat kondisi Becca.
"Syut... Jangan nangis lagi ya." ujar Zulla meski dia juga belum tahu apa masalah Becca sekarang.
"Mending kita bawa Becca pergi dari sini dulu." ajak Vanko.
Lelaki itu memegang kedua bahu Becca, dan menuntunnya pergi dari area masjid. Rencananya, Vanko mau membawa Becca ke hotel terdekat agar mereka sama-sama bisa mendengarkan apa yang terjadi pada Becca.