Rita syok melihat pemandangan apartemen putranya yang lebih mirip kapal pecah ketimbang rumah. Banyak kaleng bir dan bungkus snack berserakan di ruang tamu. Asbak di atas meja pun dipenuhi oleh puntung rokok yang sepertinya baru dihisap dalam waktu dekat.
Kekagetan Rita tidak berakhir sampai di sana. Wanita paruh baya itu lebih dibikin kaget lagi saat melihat Vanko tidur tanpa memakai baju di atas ranjangnya. Bukan karena tidur tanpa baju yang membuat Rita kaget setengah kepalang. Melainkan dengan keberadaan seorang gadis yang terlelap dalam pelukan Vanko. Rita melihat anak laki-lakinya membawa seorang perempuan tidur di atas ranjang dan tampak sangat mesra.
Masih dalam kondisi setengah tidur, Vanko membuka pakaiannya secepat kilat. Dia benar-benar lupa kalau di ranjang bukan hanya ada dirinya seorang. Selesai membuka pakaian dan hanya menyisakan celana boxer saja, Vanko kembali berbaring di bawah selimut. Efek tidak tidur selama dua hari, membuat Vanko cepat terlelap dalam sekejap mata.
"Ah... Guling gue bisa gerak sekarang." gumam Vanko sembari tersenyum merasakan tubuhnya dipeluk oleh Becca.
Karena masih tidak sadar bahwa yang memeluknya bukanlah guling, Vanko pun langsung balas memeluk Becca erat-erat. Malam mereka hanya dilewati dengan tidur bersama. Tidak ada tindakan lanjut yang keduanya lakukan selain memejamkan mata.
"Apa-apaan ini?" gumamnya karena merasa tak percaya bahwa Vanko berani sekali melakukan ini.
"Vankooo...!!!"
Suara Rita sudah seperti speaker di tempat orang hajatan. Dia meneriaki putranya dengan harapan, Vanko akan terbangun. Tapi apa yang dilihat oleh Rita, anak tunggalnya tidak juga bergerak sedikit pun.
"Vanko bangun!!!" Rita kembali meneriaki Vanko, tapi sayangnya tetap tidak berhasil membangunkan mereka berdua.
"Awas aja kalau dia sampai ngehamilin anak gadis orang. Mama cincang-cincang alat pipisnya." gumam Rita sembari mendekati ranjang.
Sembari memejamkan mata, Rita memegang selimut dan dia berniat menariknya. Tapi Rita sedikit ngeri kalau andaikan Vanko tidak juga mengenakan celana.
"Bangun! Vanko bangun!!!"
Srett...!
Berhasil juga Rita menarik selimut tebal yang menutupi tubuh Vanko. Perlahan-lahan, Rita membuka mata dan dia lega karena setidaknya Vanko memakai celana boxernya.
Nafas Rita memburu, tapi tak lama dia melihat ada pergerakan dari perempuan yang dipeluk Vanko.
Becca mengerjapkan matanya, dia sedikit kaget saat membuka mata dan pemandangan yang pertama dia lihat adalah d**a bidang Vanko yang tidak tertutup baju.
"Lo ngapain gak pakai baju segala?!" sentak Becca sambil memundurkan badannya.
Becca masih belum sadar kalau ada Rita di antara dirinya dan Vanko sekarang. Ditambah lagi, Becca merasa kepalanya pusing dan perutnya sedikit sakit akibat minum terlalu banyak bir semalam.
"Tolong bangunkan Vanko." titah Rita tanpa nada membentak.
"Ah... Ya." angguk Becca yang masih belum sadar.
Saat Becca akan memegang lengan Vanko, dia baru teringat kalau di sini tidak ada orang lain selain dia dan Vanko.
"Jadi siapa yang nyuruh gue?" tanya Becca pelan.
"Saya yang minta tolong buat bangunin anak saya." ternyata Rita bisa mendengar apa yang Becca tanyakan barusan.
Mata Becca melotot, kelopak matanya melebar sempurna. Dia kaget bukan main ketika berhasil mencerna semua yang Rita katakan. Walau takut dan malu, akan tetapi Becca memberanikan diri buat menoleh ke arah sumber suara. Dan benar saja, Becca kaget bukan main tatkala dia melihat ada seorang wanita paruh baya berdiri tak jauh dari ranjang dan sedang menyaksikannya tidur dalam satu ranjang dengan lelaki yang bukan suaminya. Terlebih lagi, wanita yang memergokinya ini adalah mamanya Vanko sendiri. Becca merasa semakin tak punya muka saja sekarang.
"Van... Vanko, bangun. Van, bangun Van." Becca mengguncang-guncang tubuh Vanko sambil berharap dalam hati agar lelaki itu segera membuka mata.
Rita tak tahan lagi, dia berjalan mendekati Vanko dan langsung menarik telinganya sampai Vanko yang memang benar-benar masih tidur jadi langsung terbangun.
"Bangun kamu!"
"Arhk... Aww... Sakit." Vanko meringis sambil memegangi telinganya.
Sekarang Vanko sudah bisa duduk tapi nyawanya belum sepenuhnya terkumpul dan dia masih linglung sambil menatap Becca.
"Ada apa sih?" tanyanya polos.
"Mama lo dateng." sahut Becca dengan nada berbisik dan sangat pelan.
"Mama ke sini niatnya mau ngasih kejutan, malah Mama yang dikasih kejutan lihat kamu tidur sama cewek."
Mata Vanko melebar, dia sontak melihat Rita yang tepat ada di sampingnya. Wajah Vanko memerah, dia malu kepergok oleh Rita sedang tidur bersama Becca. Yang lebih membuat Vanko kaget, dia tidak sadar kalau ternyata tubuhnya tidak terbalut baju.
"Kenapa gue gak pakai kaos?" Vanko malah bertanya ke Becca yang juga sama-sama tidak tahu.
"Mama kasih waktu kalian dua menit buat cuci muka dan ganti baju. Sekarang Mama tunggu di dapur."
Rita melenggang keluar kamar meninggalkan Vanko dan Becca berdua. Kini, mereka saling tatap dan wajah keduanya sama-sama memelas.
"Semalam lo gak macem-macem ke gue 'kan? Lo kenapa tidur gak pakai baju segala?"
Meski Vanko adalah kekasihnya, tapi Becca juga takut kalau mereka melakukan sesuatu di luar batas. Meski Becca juga yakin, kalau andaikan dia melakukan hal yang tidak semestinya itu akan tetap merasa senang karena dia melakukannya dengan lelaki yang dia cintai juga mencintainya.
"Seinget gue sih gue gak ngapa-ngapain lo."
"Waktu kalian tinggal satu menit!"
Suara teriakan Rita kembali terdengar. Sudah seperti suara para juri di acara memasak saja saat Rita mengingatkan bahwa waktu yang tersisa tidak banyak.
Karena tak ingin membuat Rita semakin emosi, sepasang kekasih itu segera bergantian memakai kamar mandi dan ganti pakaian. Mereka cepat-cepat menyusul Rita ke dapur dan duduk di kursi sambil menunduk merasa bersalah.
"Kalian pakai pengaman 'kan saat melakukannya semalam?"
Blank!
Vanko dan Becca sama-sama tak menyangka kalau mereka akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari Rita. Padahal tadinya Vanko kira, dia akan mendapatkan tamparan dari sang mama. Becca pun tak percaya, kalau sekarang Rita berubah jadi lebih tenang dan santai saat menghadapi masalah ini.
"Berapa kali kalian melakukannya sampai-sampai jam segini belum bangun?"
Sontak bola mata Vanko dan Becca mencari jam dinding. Ternyata sudah pukul sebelas siang lewat. Demi apa pun, mereka tidak menyangka kalau jam segini baru bangun, itu pun karena mendapat guncangan dari Rita.
"Becca kapan pulang?"
Pertanyaan ketiga malah membuat mereka lebih syok. Vanko kaget lebih dari setengah kepalang. Dia menatap Rita sambil bertanya-tanya, kenapa mamanya bisa tahu bahwa perempuan yang tidur dengannya tadi itu Becca.
"Tante tahu namaku?" meski takut, Becca berusaha memberanikan diri menanyakannya.
Rita tersenyum ke arah Becca, dia mengusap-usap rambut keriting Becca layaknya seorang ibu pada putrinya. Hal ini membuat Becca sedih, tapi dia tidak akan menunjukkannya.
Kapan terakhir kali Mama ngusap rambut gue dengan tulus kayak gini? Delapan tahun lalu, atau berapa tahun lalu? Tanya hati kecil Becca pada dirinya sendiri seraya mengingat kapan terakhir kali Gina bersikap tulus padanya seperti yang dilakukan Rita sekarang.
"Tante sering denger Vanko nyebut nama kamu kalau dia lagi tidur."
"Mama." pekik Vanko yang jelas saja merasa malu.
"Tante pernah lihat dia nangis sambil nyebut-nyebut nama kamu dan ngelihatin foto kamu."
Hancur sudah citra baik Vanko karena ulah mamanya sendiri. Lelaki itu hampir tidak punya muka buat bertatap muka dengan Becca.
"Bec, gue minta maaf. Jadi gue mohon jangan lama-lama perginya, gue kangen sama lo."
Rita melihat putranya seperti orang gila. Bicara sendiri sambil menatap sebuah foto perempuan yang belum pernah dia kenal.
"Kamu masih terlalu muda buat galau tentang cinta, nak." ujar Rita di ambang pintu kamar putra semata wayangnya.
Seminggu berlalu usai Rita melihat Vanko berbicara dengan foto, sekarang Rita mendengar Vanko terus memanggil nama Becca. Saat dilihat ke kamar, ternyata putranya mengigau sambil memeluk sebuah pigura foto. Perlahan-lahan Rita mengambilnya dan melihat foto perempuan yang terus dipanggil-panggil oleh Vanko.
"Bec, gue tahu kalau gue salah. Maafin gue, Becca. Tapi jangan tinggalin gue." rintih Vanko di dalam tidurnya.
Merasa tak tega, Rita langsung menarik selimut dan dia tutupi tubuh anaknya sampai d**a. Namun ketika Rita tak sengaja menyenggol dagu Vanko, dia merasakan panas tinggi. Segera Rita mengecek suhu badan Vanko.
"Astaga, ini panas banget."
Rita panik saat tangannya menempel di kening Vanko, putranya ternyata sedang panas tinggi. Cepat-cepat Rita mengambil kompresan dan merawat Vanko yang sedang demam malam itu.
"Becca, maafin gue." Vanko masih terus meracau tanpa henti.
"Iya, saya Becca, Tante." angguk Becca sambil memperkenalkan diri meski Rita sudah tahu namanya.
Rita tersenyum mendengar ini. Tangan Rita tak lagi mengusap rambut Becca, kini dia berpindah meraih jemari gadis berkulit hitam manis itu.
"Mungkin putra Tante memang banyak salah ke kamu dan punya banyak kekurangan. Tapi Tante jamin, dia tulus sayang sama kamu. Jadi Tante mohon, maafkan semua kesalahan Vanko yang sudah bikin kamu sakit hati."
Tentu saja Becca merasa kurang enak karena Rita sampai berkata seperti barusan. Sampai-sampai Becca hanya bisa mengangguk sambil berkata ya.
"Ma... Mama ngapain sih tiba-tiba ke sini?" desah Vanko yang merasa kalau privasinya terganggu.
Pandangan Rita berpindah ke putranya. Dia menatap Vanko seolah-olah akan memakan anaknya sendiri.
"Mama gak pernah ngajarin kamu menjadi lelaki pengecut ya, Van. Kalau kamu mau nidurin cewek, ya ajaklah Becca nikah dulu. Jangan langsung main tancep aja. Hargai perempuan, dan kamu inget ya kalau kaum hawa itu diciptakan bukan untuk dijadikan pelampiasan nafsu belaka. Tapi juga butuh ikatan resmi agar hasrat bisa disalurkan lewat jalan yang tepat." nada bicara Rita berubah jadi tegas ketika dia berbicara pada Vanko, tidak lembut saat mengajak Becca ngobrol seperti tadi.
"Aku sama Becca gak ngapa-ngapain, Ma."
"Mama tanya, kamu udah berapa kali bersatu sama Becca?"
"Becca belum aku apa-apain, Ma." urat-urat leher Vanko sampai terlihat saat dia bersikeras meyakinkan Rita bahwa dia tidak serendah itu.
"Berarti kamu ada niat buat ngapa-ngapain dia nanti-nanti?"
Vanko terdiam. Dia merasa kalau perdebatannya dengan Rita tidak akan berhenti sampai di sini. Jadi lebih baik Vanko diam saja dan membiarkan Rita berspekulasi sendiri sesuai pemikirannya.
"Mama ke sini mau ngapain sih sebenernya?"
"Kalian harus menikah secepatnya."
Bukan hanya Becca di sini yang kaget, tapi Vanko pun kaget bukan main. Dia sudah punya feeling kalau mamanya pasti akan menyuruhnya melakukan itu.
"Aku memang ada rencana buat nikahin Becca, Ma. Tapi bentaran dulu. Jangan sekarang."
Rita menatap keduanya, dia menyilangkan kedua tangannya di depan d**a sembari menunggu kelanjutan kata-kata dari Vanko.
"Katanya kamu belum ngapa-ngapain Becca. Dan Mama gak percaya kalau kamu bisa seterusnya nahan, apalagi kalau tinggal bersama. Bisa saja nanti kalian sama-sama udah ga tahan dan lupa pakai pengaman. Kalau hamil di luar nikah, kasihan Becca karena bakal dapet kecaman sialan dari orang-orang luar."
Nada suara Rita jadi melemah, dia menatap putranya penuh harap agar tidak membuat nama baik kedua keluarga jadi tercoreng karena hal yang tidak diinginkan.
"Kalau kalian tinggal di luar negeri, oke Mama ngalah mau kalian nikah nanti-nanti meski kalian tinggal bersama. Tapi ingat, ini Indonesia, Van. Budaya kita selalu memandang perempuan yang hamil di luar nikah itu perbuatan yang hina. Mama gak mau kalau semisal nanti hal itu benar-benar terjadi, cucu Mama juga ikut menanggung akibatnya."
Vanko terdiam, apa yang dikatakan Rita memang ada benarnya. Dia tinggal di negara yang memiliki nilai moral tinggi sesuai budayanya. Berbeda pula dengan budaya orang barat.
"Pikirin pekerjaan kamu juga."
Mereka masih sama-sama diam. Becca jadi merasa bersalah karena adanya hal ini. Gadis itu merasa kalau dia tidak seharusnya ikut tinggal di apartemen Vanko terlalu lama. Semestinya Becca sadar itu dari kemarin-kemarin dan mencari tempat tinggal sendiri.
Gue cuma pengacau. Katanya lirih.
"Becca..." Rita kembali menatap gadis itu yang masih terdiam.
"Ya, Tante?"
Jantung Becca dag dig dug tak karuan. Dia takut ditanya macam-macam oleh Rita tentang masalah ini dan dia belum siap kalau akan mendengar kata-kata yang mungkin saja menyakitkan.
"Kamu mau menikah dengan anak Tante?"
Pertanyaan Rita membuat lidah Becca menjadi kelu. Gadis itu bingung harus menjawab apa. Jujur saja, Becca jelas mau kalau ditanya begitu. Tapi dia juga tidak tahu apakah dirinya mampu memenuhi kriteria sebagai seorang istri.
"Kalau ditanya seperti itu, aku gak mau munafik, Tante. Jelas aku mau jadi istrinya Vanko. Tapi, ..."
"Tapi?" sebelah alis Rita naik ke atas menunggu apa yang akan Becca katakan lagi.
Becca akan menceritakan kepada Rika bagaimana kesulitannya sekarang ini tentang kaburnya dia dari acara pernikahannya dengan Antony beberapa minggu lalu. Tentang konfliknya dengan Gina yang pasti masih mencarinya agar bisa dijual ke tangan Antony. Maksud Becca mengatakan ini, dia hanya tidak mau membuat Rita tertekan setelah nanti dia resmi menjadi menantunya. Becca juga tidak berniat meminta belas kasihan dari Rita.
"Itu keadaanku sekarang, Tante." katanya mengakhiri cerita hidupnya.
Becca hanya sebatas menceritakan tentang kasus kaburnya dia saja, tidak semua Becca ceritakan karena menurutnya itu masalah pribadinya dan Rita tidak perlu tahu.
"Tante bisa menerima kamu meski kamu dalam kondisi sulit. Bukankah kalau kalian menikah, Vanko bisa lebih bebas menjaga kamu? Dengan status suami, Mamamu tidak bisa membawamu semudah itu."
Vanko mengangkat kepalanya. Dia melihat Rita lalu tersenyum senang, seolah dia baru saja mendapatkan pencerahan dari menghadapi masalah Becca.
Begitu pula dengan Becca yang dalam hati, dia membenarkan perkataan Rita. Dia bisa berlindung di balik bahu Vanko sebagai istri. Kalau statusnya masih sebagai kekasih, Vanko akan kalah dan Becca tidak mau kalau dia sampai terpisah lagi dari lelaki pujaannya.
"Mama juga gak akan menuntut kalian supaya cepat-cepat ngasih cucu. Kalian bisa seneng-seneng dulu, nikmatin hari-hari sebagai sepasang kekasih. Pacaran ke sana kemari, dan nikmatin waktu berdua kalian sepuasnya. Masalah kapan mau ngasih Mama cucu, itu terserah kalian. Mama enggak akan memaksa, menuntut, atau bahkan mendesak kalian."
Bulu kuduk Becca merinding sendiri ketika mendengar kata cucu. Bukan berarti dia tidak mau, tapi membayangkan hari-harinya akan selalu tidur bersama Vanko, membuat Becca jadi sesak nafas tiba-tiba. Tapi Becca juga tak mau mungkir, dia ingin terus berada dalam pelukan Vanko setiap malam.
"Okay, diamnya kalian itu berarti kalian setuju sama pernikahan."
Rita berdiri, dia membereskan barang bawaannya dan kembali memakai coat yang tadi sempat dia lepas. Dari gelagatnya, Vanko bisa tahu kalau mamanya sudah akan pergi dari apartemen.
"Kalian jangan khawatir, biar Mama yang urus pernikahan kalian." katanya sebelum mencium pipi Vanko dan Becca secara bergantian lalu meninggalkan apartemen putranya begitu saja.
Kini tersisa Vanko dan Becca di meja makan tanpa adanya menu sarapan. Sepasang kekasih itu sama-sama sibuk dengan pikirannya sendiri. Becca tidak tahu, kalau dampak dari minuman beralkohol yang dia tenggak semalam akan berakhir seperti ini. Dia senang karena akan menikah dengan Vanko. Tapi padahal, Becca juga menginginkan rasanya dilamar sebelum menikah.
"Gimana? Kita jadi beli cincin?"
Pertanyaan Vanko barusan membuyarkan lamunan Becca. Gadis itu menoleh ke arah Vanko sambil mengerutkan keningnya tak paham.
"Lo mau ngelamar gue?" tanya Becca dengan wajah bodohnya.
"Lo gak inget? Semalam lo minta dibeliin cincin sama gue. Terus gue juga ngelamar lo, tapi lo gak kasih jawaban."
Tanpa rasa kesal, Vanko kembali menjelaskan chat mereka semalam. Dan cepat-cepat Becca melihat pesannya semalam. Ternyata memang benar, Vanko melamarnya lewat pesan singkat. Tapi sayangnya, Becca tidak ingat kalau semalam dia minta dibelikan cincin oleh Vanko.
"Gak aneh. Semalam lo mabuk, jadi udah pasti lo gak inget sama apa yang lo lakuin." desah Vanko seraya turun dari kursi dan mengajak Becca membeli cincin.
Gue gak nyangka, lamaran gue semalam beneran jadi kenyataan. Kalau gue tahu, gue bakalan nikah secepat ini sama Becca, gue pasti bakal ngelamar dia secara langsung. Bukan lewat chat kayak begitu. Gumam Vanko di dalam hatinya yang sempat merutuki dirinya sendiri.
"Becca..." panggil Vanko saat kekasihnya berbalik badan akan mengambil air minum.
"Kenapa?"
"WYMM?"
"Apa?" tanya Becca disertai kerutan di keningnya karena dia benar-benar tidak tahu apa yang Vanko maksud.
"Will you marry me?"
Akhirnya Vanko memiliki keberanian penuh buat memberikan pertanyaan sakral satu itu ke Becca secara langsung. Dan untuk kedua kalinya, Vanko dibuat cemas akan jawaban Becca.
"Kita beli cincin dulu, baru ngelamar gue."
Tidak Vanko duga, kalau Becca sekarang sedang tertawa mendengar lamarannya dan itu membuat Vanko jadi sedikit canggung tanpa alasan. Sampai akhirnya, Vanko ikut tertawa melihat kekasih hatinya tertawa cukup riang.