13. Spesial

2255 Words
"Vanko... Jadi, kita beneran pacaran lagi?" kedua alis Becca menyatu, dan tak lama dia menundukkan kepalanya setelah bertanya demikian. Bukan maksud meragukan, Becca hanya ingin meyakinkan dirinya lagi bahwa hubungan mereka memang jelas. "Memangnya lo kira, gue mau dinner sama cewek yang bukan pacar gue?" Becca tersenyum mendengar ini, dia otomatis mendongakkan kepalanya dan menatap lembut ke arah Vanko. "Gue bukannya ragu, tapi gue cuma pengen meyakinkan hati gue aja lagi kalau lo bener-bener pacar gue." gumamnya pelan. Wajah Becca semakin merona saat dia melihat tangannya digenggam Vanko. Semua ini nyata terjadi. Kalau ada kata di atas bahagia, Becca akan memakai kata itu buat menggambarkan isi hatinya sekarang. Kembali menjalin kasih dengan mantan? Apa salahnya? Lagi pula kalau diingat-ingat lagi, mereka tidak benar-benar menjadi mantan. Memangnya ada yang pernah mengucapkan kata putus? Tidak ada! Antara Vanko maupun Becca, tidak ada yang melontarkan kata itu. Bahkan meski mereka sudah terpisah selama sewindu lamanya. "Bec..." "Eum?" Meski Vanko hanya sekedar memanggilnya, tapi Becca bisa tahu kalau lelaki itu berubah jadi serius. Dan Becca masih menunggu apa yang ingin Vanko katakan selanjutnya. "Gue mau punya hubungan serius sama lo." katanya disertai senyuman memesona, namun tidak ada raut bercanda di wajah Vanko. Entah kenapa, Becca merasa kalau dirinya seakan sanki. Namun Becca berusaha menutupinya agar Vanko tidak bisa melihat hal itu. "Tapi bukan berarti gue ngajak lo buat tunangan atau nikah dalam waktu dekat." lanjut Vanko ketika dia tidak mendapat respons dari Becca. "Kita jalani aja dulu pelan-pelan, sama-sama nikmatin waktu pacaran kita. Gue cuma mau bilang, kalau gue gak main-main sama hubungan kita." kata Vanko lagi masih dalam posisi menatap Becca. Bibir Becca masih terkatup. Dia tidak pernah mengira sebelumnya akan mendengar Vanko mengatakan hal seperti ini padanya. Dulu, Becca hanya bisa membayangkan dan memimpikannya saja. Namun sekarang, Vanko benar-benar mengatakan kata-kata yang dia andai-andaikan. "Adanya gue mau balik sama lo, itu juga karena gue gak mau main-main sama hubungan ini." angguk Becca setelah beberapa menit hanya diam saja. "Jadi, ayo kita sama-sama memperbaiki hubungan yang pernah hancur. Nanti kalau waktunya sudah sama-sama siap, gue pasti akan terima lamaran dari lo." Lembut dan begitu manis jawaban serta tanggapan yang Becca berikan. Meski hanya kata-kata, namun mampu membuat Vanko tersenyum lebar. Senyuman yang memang menandakan sebuah kebahagiaan. Bukan senyuman yang sengaja dia paksakan agar terlihat bahagia. "Makasih, My Pinky." Tik... Tik... Tik... Bresss....! Tiba-tiba saja rintik hujan berjatuhan bersama dengan rintik lainnya. Mereka saling berlomba-lomba agar cepat sampai ke bumi. Keromantisan mereka tidak terhenti karena hujan, tapi bagi Becca ini malah semakin romantis. Hal yang selalu dia mimpikan selama ini dari pasangan, berlari di bawah hujan bersama kekasihnya sambil berteduh di bawah jaket. Saat hujan menerjang, Vanko langsung menarik jaketnya dari bahu Becca dan mengajak Becca berlari masuk ke kafe sambil berteduh di bawah jaketnya. Awalnya, Vanko mengajak Becca duduk di meja luar agar mereka bisa menikmati keindahan bintang daratan yang terpampang cantik dari atas. Tapi malah terjadi hujan dan kondisi kafe tempat mereka makan malam kali ini bernuansa outdoor. Banyak orang berteduh di dalam kafe, hal itu membuat beberapa orang yang awalnya memang ada di dalam kafe jadi sedikit kurang nyaman. Tapi dari pihak kafe, mereka langsung mempersilakan para pengunjung yang dari luar agar duduk di meja kosong. Sementara yang kekurangan kursi, langsung disediakan oleh pihak staff kafe. "Haduh... Pake hujan segala lagi." desah Vanko. "Kenapa kalau hujan?" Pertanyaan Becca barusan menyadarkan Vanko yang ingat Trisa masih berjualan. “Gue mau jaga di sini lagi, asal nanti kalau hujan, lo balik ke sini buat beresin.” Trisa memberi syarat karena dia merasa sudah mengeluarkan lebih banyak waktu ketimbang Vanko. “Okay, nanti gue ke sini kalau hujan.” Vanko menyanggupi syarat yang Trisa berikan tanpa melihat cuaca terlebih dahulu. Karena yang terpenting baginya sekarang, bisa pergi bersama Becca dan urusan jualan tetap berjalan lancar. "Ah... Enggak, gak kenapa-napa kok." gelengnya berulang kali. "Oh... Iya." Becca lanjut mengangguk paham. Tapi ternyata, tak sampai sepuluh menit hujan pun berhenti. Dan itu membuat banyak orang mendesah kesal karena sebagian dari mereka jadi kehilangan makanan serta minuman yang sudah dipesan. "Kita pulang sekarang aja ya." Vanko berdiri sambil mengulurkan tangannya pada Becca. Karena tak ingin terjebak hujan di sini kalau nanti hujan kembali turun, Becca mengangguk setuju. Lagi pula, mereka juga masih bisa jalan-jalan berdua di lain hari. Antrean di kasir pun tidak panjang. Setelah membayar semua makanan, kedua anak manusia itu langsung turun dari lantai dua dan menuju parkiran. Malam ini, Vanko sedikit kurang beruntung karena dia mendapat tempat parkir yang cukup jauh dari kafe. Bahkan di basemen juga penuh, dan kebetulan tadi saat dia masuk ada satu mobil baru keluar. Jadilah dia parkir di sana. Bresss...! Tanpa pemberitahuan dulu, hujan kembali menyerang. Becca sampai kaget karena terkena dinginnya air hujan yang berjatuhan. Apa yang dilakukan Vanko tidak beda jauh dengan tadi, dia kembali memayungi badan mereka menggunakan jaket. Kebetulan malam ini Vanko memakai jaket anti airnya. Mereka saling pandang tanpa menghentikan langkah kaki. Senyuman di wajah Becca membuat Vanko ikut tersenyum melihat ini. Walau dingin, sedikit basah di bagian kaki karena kecipratan air hujan, tapi Becca senang. Mimpinya benar-benar terwujud sudah. Bagi Becca, dalam sebuah hubungan, momen inilah yang paling romantis. Berlari berdua di bawah rintikan hujan, saling berdempetan agar tidak terkena tetesan airnya. Sampailah mereka di tempat di mana Vanko memarkirkan mobilnya. Segera saja Vanko menekan tombol lock pada kunci mobilnya dan membukakan pintu buat Becca. Sekarang ganti Vanko yang memutari mobil dan masuk di bagian kursi kemudi. Lega rasanya sudah berhasil menerjang hujan yang lagi-lagi datangnya tiba-tiba. "Hah... Padahal ramalan cuaca hari ini tuh gak hujan." desah Vanko sembari merapikan penampilannya yang sedikit kacau. Tak lama, Vanko menoleh ke samping dan melihat Becca sedang mengusap-usap tangannya sendiri. Segera Vanko menghidupkan penghangat agar kekasihnya tidak lagi kedinginan. "Anggep aja lagi dipeluk sama gue." Vanko memakaikan jaketnya ke tubuh Becca. Dan jaket itu benar-benar tidak basah sama sekali meski sudah dipakai dua kali buat menerjang derasnya air hujan. "Lo gimana?" "Gue lebih khawatir sama kesehatan lo ketimbang sama diri gue sendiri." Meski so sweet, tapi Becca juga tidak mau kalau Vanko nanti demam. "Tenang aja, gue enggak akan kenapa-napa. Udah ada penghangat juga." Akhirnya setelah Vanko membujuknya berulang, Becca mau juga memakai jaket itu dan mereka kembali berbincang biasa. Sebelum lanjut ke tujuan lain, Vanko terlebih dulu izin pada Becca kalau dia ingin mengirim pesan ke rekan kerjanya alias Trisa yang sedang berjualan cappucino cincau di depan minimarket seorang diri. Vanko hanya mengirim pesan bahwa dia tidak bisa menemui Trisa, lalu Vanko segera mematikan ponselnya agar Trisa tidak meneleponnya. "Lo mau ke mana? Mau langsung pulang atau nyari tempat main yang indoor?" tanya Vanko yang kembali fokus ke Becca. "Lo make dua handphone?" Vanko mengikuti arah pandang Becca, dan kekasihnya itu masih melihat ponselnya yang dia letakkan di depan setirnya. "Oh... Iya, gue pakai dua handphone. Satu buat pribadi, satu lagi buat kerjaan. Males banget kalau lagi punya urusan pribadi, harus diganggu sama masalah pekerjaan." Selain jawaban kata, Becca juga mendapat anggukan kepala dari Vanko. Becca hanya membulatkan mulutnya paham. Lagi pula, Vanko juga jujur padanya. Jadi tidak mungkin kalau lelaki itu menyembunyikan hal aneh darinya. "Lo mau periksa HP gue?" tanyanya karena takut Becca tidak percaya padanya. "Enggaklah, apaan sih. Gue percaya sama lo. Barusan gue cuma nanya karena baru lihat lo pakai dua HP. Gue percaya sepenuhnya kok sama lo." Ini malam dan di luar sedang hujan lebat. Tapi ketika Vanko melihat senyuman manis Becca, semuanya berubah menjadi cerah. Kehangatan tiba-tiba menyerang hatinya. "Ya udah, kita mau ke mana sekarang?" tanyanya lagi untuk kedua kali. "Pengen ngemall, boleh?" Ada rasa kangen jalan-jalan ke gedung bertingkat yang menyediakan banyak sekali berbagai macam barang dagangan. Becca ingin ke sana sekarang. "Oke, kita ke sana sekarang." Vanko tak peduli lagi kalau Trisa akan mengumpatinya nanti karena tak datang. Becca lebih penting dari dagangannya. *** Lima belas menit sudah Vanko mengikuti ke mana arah Becca berjalan. Gadisnya itu seolah akan menyusuri semua lantai. Tadi Becca berjalan keliling di lantai satu, lanjut ke lantai dua dan sekarang mereka berkeliling di lantai tiga. Vanko sendiri tidak tahu apa yang Becca cari sebenarnya. Becca seolah tak punya rasa lelah meski gadis itu memakai high heels. Sepatu hak tinggi itu pun tidak menghalangi kecepatan langkah kaki Becca. Seolah, Becca sudah sangat terbiasa dengan sepatu berhak tinggi. "Kita ke lantai empat ya." ajak Becca sambil berjalan menuju eskalator. Belum sampai melangkah, Vanko sudah lebih dulu berhasil mencegah lengan Becca sampai membuat gadis itu membalikkan badannya secara otomatis. Becca seperti sedang menjadi duta iklan shampo dalam waktu beberapa detik ketika rambutnya terkibas tatkala dia menoleh saat Vanko menarik lengannya barusan. Bukan niat Becca untuk membuat Vanko terpesona seperti ini. "Kenapa?" Pertanyaan Becca membuat lamunan Vanko tersadar. Lelaki itu langsung mengerjapkan matanya dan memandang ke arah lain karena salah tingkah. Becca semakin dibuat bertanya-tanya ketika dia mendengar Vanko berdeham berulang kali. "Lo haus? Pengen nyari minum dulu? Ayo kita beli minuman." Becca sudah hampir pergi lagi sambil menarik jemari Vanko, tapi lagi-lagi dia ditahan oleh Vanko dan Becca kembali menatap penuh tanya ke arah kekasihnya. Becca mengerutkan keningnya, menunggu apa kata yang akan keluar dari bibir Vanko. Tapi sudah satu menit Becca menunggu, Vanko tetap saja diam. "Atau lo mau ke toilet? Lo kebelet?" tanya Becca lagi karena dia memang benar-benar tak tahu apa yang membuat Vanko menghentikan langkahnya. "Apa yang lo cari?" akhirnya pertanyaan yang sedari tadi hanya tersimpan saja di benaknya, barusan sudah berhasil dia tanyakan. "Lo harus tetap nafas di dalam kondisi apa pun." sambung Vanko. Seketika Becca terdiam, dia menundukkan kepalanya dan mencoba mengatur napasnya agar kembali stabil. Setelah dipikir-pikir, barusan Becca memang berjalan secara tergesa-gesa sampai membuat nafasnya sedikit sesak. "Gue cuma gak mau, lo jalan kayak orang kebingungan tanpa arah. Orang-orang ngelihat lo tuh aneh." "Buat apa peduli sama orang lain? Biar aja mereka mau ngelihatnya kayak gimana. Hak mereka karena punya mata. Gue gak peduli tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang gue." Becca langsung menyambar meski dia tidak bernada kesal. Vanko menghela nafas panjang, dia mengusap rambut panjang Becca dan tersenyum pada gadisnya. "Tapi gue gak mau kaki lo sampai terluka kalau lo jalan cepet-cepet kayak tadi." Hati Becca meleleh, dia yang awalnya sedikit kesal jadi berubah dalam sekejap. Hingga tanpa sadar, kedua sudut bibirnya pun tertarik membentuk sebuah senyuman. "Maaf, udah bikin lo khawatir." Lembut dan menyejukkan, itu yang Vanko gambarkan saat mendengar suara Becca. Sekarang, mereka kembali berjalan sambil bergandengan tangan dan kali ini lebih santai. Tidak grusak-grusuk seperti tadi yang bagaikan orang dikejar rentenir karena telat membayar utang. "Gue nyari store yang jual tembikar." Vanko bisa mendengar suara Becca yang sangat pelan, bahkan lebih tepat dikatakan itu hanya sebuah bisikan semata. "Gue tahu tempat di mana yang jual tembikar." Vanko menyahut dan membuat Becca sedikit kaget karena ternyata Vanko mendengarnya. Tak banyak pertanyaan yang akan keluar dari bibir Becca. Dia terus mengikuti ke mana Vanko mengajaknya dan tak sampai lima menit, mereka sudah sampai di tempat yang menjual seni keramik. Mata Becca termanjakan oleh pemandangan banyaknya barang gerabah yang terbuat dari tanah liat. Tampak jelas, wajah Becca berseri-seri ketika melihat hal yang dia sukai. Jemarinya menyentuh tembikar dari ujung ke ujung. Ada berbagai macam mug, piring, mangkuk, guci, dan masih banyak perabot rumah tangga lainnya yang berbentuk keramik. "Lo masih suka tembikar?" "Tembikar itu ibarat setengah dari nyawa gue. Kalau gue dijauhkan dari tanah liat atau gak bisa bikin tembikar lagi, itu ibarat nyawa gue mati setengah." ujarnya begitu serius. "Seni keramik itu hal yang paling spesial di hati gue dari gue belum ketemu lo dan akhirnya ketemu lalu gue menaruh lo di tempat yang sama spesialnya dengan tembikar." jelasnya lagi yang sebenarnya kata-kata itu tidak pernah terlupakan dari ingatan Vanko. Vanko bahkan sampai terkagum-kagum ketika menyaksikan Becca tampak sangat bahagia cuma karena melihat keramik-keramik cantik di sana. "Gue tahu itu." tentu saja Vanko menanggapinya seperti ini karena memang dia tahu bahwa Becca begitu tergila-gila dengan membuat tembikar. "Kalau lo mau, kita bisa beli alatnya. Nanti kita cari tempat pribadi buat lo bikin tembikar." usul Vanko yang lagi-lagi berusaha membuat Becca tidak merasa jenuh saat dirinya tidak menemani gadisnya setiap saat karena pekerjaan. Tanpa diduga, senyum di wajah Becca luntur seketika usai mendengar apa yang Vanko katakan. Pyaarrrr...!!! Vas bunga hasil buatan Becca selama dua hari kemarin telah hancur ketika Gina dengan sengaja melemparnya ke udara sampai membentur dinding di belakang Becca. Jantung Becca jelas kaget mendengar hal barusan, tapi dia hanya bisa diam berdiri sembari menatap ujung kakinya yang terbalut kaos kaki. "Mama gak suka kamu masih kotor-kotoran main tanah liat kayak anak kecil!" sentak Gina. "Tapi buat tembikar itu seni, Ma. Bukan main-mainan kayak anak kecil." Plakkk!!! "Berani ya kamu ngejawab Mama!" Satu tamparan mendarat dengan mulus ke pipi kiri Becca hingga membuatnya berbekas kelima jadi Gina. "Mulai sekarang, Mama enggak akan kasih izin kamu buat bikin tembikar lagi!" teriak Gina lagi. "Tinggalkan hal-hal yang tidak berguna seperti itu!" Usai membentak putri tunggalnya, Gina langsung melenggang begitu saja dan pergi dari sana. Sementara Becca, dia terus menahan emosinya agar tidak meledak-ledak karena kata-kata Gina-mamanya sendiri. “Bikin tembikar bukanlah hal yang tidak berguna. Seni sangatlah berguna untuk menyatukan berbagai hal yang berbeda. Karena seni tidak pernah memandang latar belakang.” kata Becca yang memang sangat kesal pada Gina. "Lo suka yang itu? Gimana kalau kita beli aja?" Becca tersadar dari lamunannya saat Vanko dengan sengaja menyenggol lengannya sambil terus menyebut namanya. "Eh? Apa?" Hanya senyuman yang menjadi jawaban atas pertanyaan Becca. Gadis itu masih linglung akan pertanyaan Vanko, dan sekarang semakin bingung saat Vanko mengambil sepasang cangkir dari tangannya lalu membawanya ke kasir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD