"Dah ya gue tutup video call-nya, bye semua...!" Becca melambaikan tangannya ke depan kamera mengarah pada Zulla dan Lingga.
Di hari minggu ini, Becca baru saja mendapat panggilan video dari Zulla dan ternyata Lingga juga ikut tersambung. Mereka membicarakan banyak hal, juga tentang Zulla maupun Lingga yang tidak bisa mengunjungi Becca di Malang karena terbatas oleh keadaan.
Sekarang, panggilan sudah benar-benar berakhir. Becca meletakkan ponsel milik Vanko ke atas meja. Dia segera mendatangi kekasihnya yang sibuk mencuci piring di dapur.
Dengan beraninya, Becca mengambil busa sabun dari tangan Vanko lalu dia colekkan ke wajah lelaki itu. Sontak hal itu menimbulkan keributan di antara mereka. Vanko pun membalas kelakuan Becca dengan mencolek balik wajah gadisnya pakai busa sabun di tangannya. Perang terus terjadi diiringi tawa bahagia dari keduanya.
"Ah... Udah, muka gue kena busa semua ini." Becca orang pertama yang meminta Vanko berhenti menyerangnya.
"Ya siapa yang duluan nyolekkin busa ke muka gue?" tanyanya sembari terkekeh.
"Gue, hehehe..." Becca pun ikut nyengir kuda menjawabnya sambil mencuci tangan di keran wastafel.
Bukannya membersihkan wajahnya sendiri, Becca malah membersihkan wajah Vanko. Berbeda dengan tadi, kali ini Becca sangat berhati-hati membersihkan wajah kekasihnya.
Jantung gue deg-degan parah cuma gara-gara diginiin sama Becca. Jerit Vanko di dalam hatinya.
Setelah berhasil membersihkan pakai air, sekarang Becca mengambil beberapa lembar tisue buat mengeringkan wajah Vanko. Meski hanya perlakuan sederhana, tapi kalau yang memberikan pasangan, akan terasa luar biasa. Itu yang dirasakan Vanko saat ini.
Setelah dia kembali, gue ngerasa lebih hidup. Kehidupan gue kembali semua. Apa yang pernah hilang dari gue kembali ke tempatnya semula dengan kondisi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Gue ngerasa kalau gue benar-benar bernyawa.
Vanko pun ternyata melakukan hal yang sama, dia ganti membersihkan wajah manis Becca. Hal ini sampai membuat Becca tak percaya, kalau Vanko bisa juga bersikap manis padanya.
"Dah bersih." ujarnya seraya mengacak-acak puncak kepala Becca.
"Lo lanjut cuci piring, gue mau bersihin kamar mandi."
"Oke..." jempol Vanko terangkat menyetujui pembagian yang Becca berikan.
Semalam, mereka sudah janji akan membersihkan rumah bersama-sama di hari minggu. Dan terjadilah apa yang mereka lakukan sekarang. Meski tadi sempat terganggu karena panggilan video dari Zulla dan Lingga.
"Nanti siang mau makan apa?" tanya Becca dari kamar mandi dengan nada sedikit kencang agar Vanko bisa mendengarnya.
"Terserah lo aja maunya apa!" benar sekali, Vanko mendengarnya dan langsung menyahut.
"Gimana kalau ayam penyet cabe ijo?"
"Boleh."
"Kalau makan bakso?"
"Boleh."
"Soto lamongan?"
"Boleh juga."
"Sate kelinci sama lontong?"
"Boleh-boleh aja."
"Nih boleh-boleh aja."
Sikat toilet diacungkan oleh Becca ke depan wajah Vanko sampai membuat lelaki itu sedikit syok dan otomatis memundurkan langkahnya.
"Bec, gue lagi nyuci piring loh. Masa lo bawa-bawa sikat kamar mandi sih ke sini." desah Vanko setelah bisa menetralisir kekagetannya.
Seketika, Becca turunkan sikat kamar mandi di tangannya. Dia melihat Vanko kembali berdiri ke tempatnya semula dan membilas piring yang sudah disabun semua.
"Ya lagian, lo ditanya boleh-boleh aja jawabnya. Kasih rekomendasi gitu atau apa 'kan enak. Biar kesannya lo gak terpaksa makan menu pilihan gue terus." Becca mendengus karena Vanko selalu menurut saja tentang menu makanan mereka selama satu minggu ini.
"Ya udah, kita makan seafood nanti."
"Tapi ayam penyet cabe ijo lebih enak, Van. Kenapa harus seafood coba deh. Pokoknya nanti kita makan siang, ayam penyet cabe ijo."
Tanpa tambahan kata lagi, Becca langsung balik kanan dan kembali ke kamar mandi. Sementara Vanko, dia hanya bisa menggeram kesal.
"Udah bener tadi gue jawab boleh-boleh aja, kenapa pula harus ribut minta rekomendasi kalau ending-nya tetep ditolak. Untung pacar sendiri." desahnya karena tak bisa memendam kekesalan yang ada.
"Gue denger apa yang lo bilang!"
"Aish..."
Seruan keras dari bibir Becca tadi sedikit mengagetkan Vanko sampai membuatnya tak sengaja menekan tombol untuk air panas. Untung saja, Vanko belum memegang piring buat dibilas, jadi tangannya selamat.
***
Vanko pikir, dia akan ada waktu buat bersenang-senang dengan Becca kalau dia setuju buat membersihkan rumah bersama-sama. Tapi nyatanya, mereka benar-benar fokus pada debu dan alat kebersihan saja.
"Loh... Piala ini kenapa bisa ada di sini?"
Becca dikagetkan oleh temuan sebuah piala yang disimpan di dalam sebuah laci. Saat Vanko menoleh, ternyata piala yang pernah mereka dapatkan bersama.
"Lo gak inget?"
Kening Becca mengerut seketika setelah mendengar pertanyaan Vanko barusan. Mereka jadi saling tatap satu sama lain, menunggu salah satu ada yang membuka suara.
"Lo ninggalin piala itu di tempat kita bertengkar waktu itu." kata Vanko memberi tahu Becca karena sepertinya gadis itu benar-benar lupa.
"Gue tinggalin gitu aja?" Becca malah ganti bertanya pada dirinya sendiri karena seingatnya dulu, piala itu dia bawa pulang.
Rasa bersalah menghampiri Vanko ketika dia pergi meninggalkan Becca begitu saja. Langkah kakinya berhenti, tangan kanannya pun mengepal kuat-kuat di balik saku celananya.
"Hah..."
Vanko mendongakkan kepalanya menatap langit gelap tanpa cahaya bintang berkelap-kelip menyenangkan mata ketika memandangnya. Tak lama, Vanko menengok ke belakang. Tiba-tiba, dalam hatinya ada perasaan tidak tega meninggalkan Becca dalam kondisi rapuh dan terpuruk seperti tadi.
Karena tak sanggup menanggung rasa bersalahnya, Vanko memutar badannya dan kembali melangkah ingin menemui Becca. Walau perasaannya berat, tapi Vanko tetap memaksa dirinya sendiri agar bisa memiliki sifat tanggung jawab.
"Jadi cowok harus tanggung jawab. Gue yang ngajak Becca ke sini, gue juga yang harus nganter dia balik." tekad Vanko masih sambil berjalan cepat.
Setelah melewati beberapa kelas dan sampai di tempat dia bertengkar dengan Becca tadi, Vanko tidak melihat siapa-siapa di sana. Hanya ada suara binatang malam yang terus berlomba-lomba.
Saat Vanko akan membalikkan badan, dia tak sengaja melihat piala kemenangannya dengan Becca sebagai best couple di sekolah. Piala itu tergeletak begitu saja di lantai tempat Becca tadi berdiri. Segera Vanko mengambil piala tersebut dan tanpa sadar, dia mengelapnya seolah takut kalau piala itu kotor oleh debu.
Sudut bibir Vanko meringis sebelah, dia menarik napasnya dalam-dalam dan tak lupa dia embuskan secara kasar. Hanya melihat ini saja, sudah bisa membuat d**a Vanko sesak. Dia juga tidak tahu kenapa rasanya sangat sulit untuk bernafas.
"Dia boleh marah ke gue, tapi gak harus ninggalin piala ini juga 'kan di sini?" kekeh Vanko namun kekehan itu mengandung kesinisan yang hanya dia sendiri yang mendengar.
Tanpa pikir panjang lagi, Vanko langsung membawa pulang piala kemenangan itu bersamanya. Sesampainya di mobil, Vanko berdiam diri sejenak. Dia mengambil ponselnya dan mencari kontak yang dia beri nama My Pinky. Vanko sudah ingin menekan tombol berwarna hijau, tapi dia urungkan. Jujur saja, Vanko merasa khawatir. Dia tidak tahu Becca pulang pakai apa dan apakah gadis itu tetap bisa berdiri tegap usai mengalami kejadian barusan.
"Hah... Dia aja udah tahu kalau selama ini cuma gue manfaatin, dan dia tetep sok kuat. Jadi gue yakin, kalau dia juga akan sok-sokan kuat lagi sampai ke rumah." lagi-lagi Vanko mendesah.
Raut wajah Becca berubah seketika, dia teringat akan hari itu. Memori yang dia lupakan, akibat dari kecelakaan. Dia menghela nafas sebentar lalu diletakkannya kembali piala tadi ke tempatnya semula.
"Gue kira saking marahnya lo ke gue, jadi lo tinggalin gitu aja pialanya." sambung Vanko memberi tahu Becca.
Di balik lukanya, Becca berusaha tersenyum pada Vanko. Senyumannya tampak aneh, tapi Becca mencoba baik-baik saja. Seperti yang selalu dia bilang ke dirinya sendiri, kalau itu hanya masa lalu yang tidak perlu dia ingat karena kenyataannya sekarang Vanko sudah kembali bersamanya.
"Tapi sekarang gue tahu, lo bukannya sengaja ninggalin piala ini. Tapi emang karena lo panik, jadi lo gak sadar ninggalin piala ini di sana."
Becca mengangguk, dia membenarkan apa yang Vanko katakan barusan. Matanya yang berkaca-kaca kini melihat Vanko, dia bersyukur karena setidaknya dia tahu bahwa waktu itu Vanko masih ada kepedulian untuknya.
"Jangan mikirin itu lagi, kita lanjut beres-beres aja ya." Vanko mencoba mengalihkan pikiran Becca.
Lagi dan lagi, Becca mengangguk mengiyakan dan kembali membersihkan barang-barang Vanko yang sedikit berantakan. Namun lagi-lagi, Becca menemukan sebuah kotak berwarna pink. Karena kembali penasaran, Becca membukanya dan dia menemukan sebuah nota p********n ke sebuah florist di tanggal dan bulan yang sama setiap tahunnya. Di sana, ada delapan nota yang Becca temukan dan setiap tahunnya ada. Hanya saja, yang membuat Becca lebih penasaran, kenapa nota itu selalu dibuat di tanggal yang membuatnya selalu teringat Vanko.
"Van, kenapa nota ini selalu lo terima di tanggal ini? Kenapa juga lo selalu beli bouquet bunga yang sama?" Becca menunjukkan nota yang dia temukan tadi.
Vanko mengamati nota di tangan Becca, dan dia akan mengatakan yang sebenarnya kepada Becca.
24 September Tahun Lalu.
Sebuah pintu dari kayu yang bertuliskan florist, terbuka dari dalam. Tak berselang lama, tampak seorang lelaki yang membawa satu bouquet bunga mawar merah muda. Dia mencium aroma wangi yang menguar dari bunga hasil beliannya.
Kakinya melangkah ke arah mobilnya dan dia masukkan bouquet bunga tadi secara perlahan-lahan agar tidak rusak. Wajah Vanko teramat ceria hari ini, seolah akan bertemu dengan seseorang yang dia cintai. Dandanannya pun rapi, rambutnya tidak acak-acakan serta tubuhnya mengeluarkan aroma wangi parfum yang tetap tercium dari kejauhan.
Dua puluh menit berlalu, Vanko sampai di sebuah rumah yang sering dia kunjungi diam-diam. Waktu baru saja menunjukkan pukul delapan malam, dan jalanan masih sangat ramai. Vanko turun dari mobilnya seraya membawa bouquet bunga mawar merah muda tadi. Dirinya kini berdiri di depan gerbang rumah orang tua Becca yang sudah lama tidak terbuka.
Senyuman merekah di wajah tampan Vanko. Tanpa ragu ataupun malu, Vanko meletakkan bouquet bunga tadi di depan gerbang rumah kekasihnya yang entah pergi ke mana. Ini adalah rutinitas Vanko selama delapan tahun lamanya.
"Selamat merayakan sewindu kita tidak bertemu, My Pinky." ujar Vanko dengan nada seraknya.
Sebisa mungkin Vanko menahan rasa ingin menangis. Dia memang laki-laki, tapi bukan berarti laki-laki tidak boleh menangis saat dia merasa begitu terluka.
"Gak kerasa ya, udah selama ini kita gak ketemu." Vanko menarik napasnya, memberi jeda agar tidak sulit bernafas.
Malam yang selalu sama, cerah namun terasa begitu dingin menusuk hingga tulang. Setiap tahunnya selalu sama, tidak ada yang berbeda. Bahkan suasana hati Vanko pun tetap sama.
"Genap delapan tahun gue nunggu lo kembali, Bec. Sewindu gue tetap berdiri tegak buat lo, supaya kalau lo balik ke gue, gue bisa tetap kokoh seperti ini. Tapi kenapa lo gak ada pulang?"
Sesak, Vanko merasa dadanya semakin sesak. Paru-parunya saat ini telah kekurangan oksigen dan dia mencoba agar tetap bernafas.
"Cukup segini aja ya gue nyamperin lo ke sini. Gue tetap harus bernafas, biar pas lo dateng lagi, gue masih ada."
Vanko tidak kuat berlama-lama di sana. Selalu seperti ini, dia tidak akan berdiri di sana lebih dari lima menit. Baginya, pergi adalah jalan terbaik agar dia tetap bisa bernafas lancar.
"Gue harap, tahun depan lo enggak akan bikin gue ke sini sambil naruh bouquet di depan gerbang lagi."
Usai mengatakan hal barusan, Vanko merasa kedua matanya panas. Dia sudah berkaca-kaca dan suhu tubuhnya pun berubah.
"Gue pulang dulu. Selamat malam, My Pinky. Dari gue, Vanko yang kangen banget sama lo."
Kaki Vanko langsung melangkah ke belakang, dia berjalan mundur menuju mobilnya dan segera meninggalkan kediaman Williams yang kosong tak berpenghuni.
Setiap tanggal 24 September, Vanko selalu melakukan hal yang sama. Membeli bouquet mawar merah muda, mendatangi rumah Becca, lalu mengadakan party seorang diri di kamarnya. Sesampainya di kamar, dia memakai pakaian berwarna pink, membeli makanan yang juga berwarna merah jambu dan dia akan menikmatinya bersama sebotol anggur merah. Vanko melakukan itu bukan berarti dia ingin merayakan kepergian Becca, tapi dia ingin mengingat bahwa di tanggal ini dia terakhir kali melihat wajah gadis yang masih dia anggap sebagai kekasihnya. Gadis merah mudanya, yang entah menghilang ke mana.
Anggap saja Vanko sudah hampir gila, karena dia sampai merayakan tanggal itu dengan hal-hal yang berbau pink. Tapi itulah dia, dan begitulah Vanko untuk Becca.
Becca tercengang mendengar cerita Vanko tentang kesetiaannya menunggu dirinya kembali. Dia tak habis pikir, kenapa Vanko melakukan itu semua demi gadis yang dia pacari tanpa cinta.
"Dan mungkin Tuhan sedang berbaik hati ke gue, karena Dia benar-benar mengabulkan doa gue supaya gue enggak ngelakuin hal yang sama di tanggal 24 September tahun ini." ujarnya disertai senyuman.
"Dan lo tahu apa yang gue lakuin di tanggal itu?"
"Apa?" Vanko pun penasaran apa yang dilakukan Becca.
"Setiap tanggal 24 September, gue selalu mengingat sebagai hari yang paling menyakitkan bagi gue." suara Becca pun terdengar lirih karena menahan tangis.
"Dan tanggal 24 September lalu, gue pun berdoa tentang hal yang sama dengan apa yang lo minta ke Tuhan. Gue minta, supaya di tahun ini gue bisa ketemu sama lo sebelum tanggal 24 September tiba. Cukup sewindu aja gue nahan buat gak ketemu lo, dan Tuhan mengabulkan doa kita berdua."
Karena tak sanggup lagi melihat Becca bersedih, Vanko langsung memeluk gadisnya. Dia mencoba menenangkan Becca agar berhenti menangis.
"Syut... Kita udah sama-sama sekarang. Dan gue akan berusaha semampu gue, supaya di tanggal 24 September nanti kita tidak terpisah walau tidak kebersamaan kita dalam konteks berbeda."
Kepala Becca mengangguk, dia percaya pada Vanko. Lelaki itu tidak mungkin berbohong pada dirinya setelah sewindu mereka saling merindukan satu sama lain.
Cukup. Sudah cukup sewindu saja mereka tidak bertemu. Mereka tidak akan sanggup lagi kalau nanti terjadi hal yang tidak diinginkan terulang.