12. Vinky Pinky

2072 Words
Bukan pemandangan langka kalau di depan minimarket selalu ramai oleh pembeli jajanan di pedagang kaki lima yang berjualan di sisi kanan dan kiri minimarket. Ada banyak pilihan makanan yang dijual di sana. Di antaranya ada jus buah, seblak, fried chicken, cappucino cincau, dan ada burger. Tidak beda jauh dengan hari ini. Masih sama ramainya. Dan Vanko ada di antara banyaknya orang di sana. Dia tidak sendiri, tapi berdua bersama Trisa. Sudah dari pukul sepuluh pagi Vanko di sana sampai sekarang jam lima sore. "Mas, beli capcinnya yang rasa mocca dua." terdengar suara seorang perempuan memesan cappucino cincau. "Oh ya, sebentar ya." Benar sekali, Vanko di sana bukan untuk membeli jajanan atau berbelanja di minimarket, melainkan untuk berjualan cappucino cincau. Inilah yang dimaksud Arka tentang Vanko memiliki hobi aneh. Lelaki itu sering meninggalkan kantor hanya untuk mencari kesenangan sendiri. Seperti sekarang ini. Vanko berjualan ditemani oleh Trisa. Tapi sepertinya tidak, pasalnya Trisa sudah berada di sana sejak pukul enam pagi tadi. "Gue balik dulu ya. Mau mandi sama ganti baju. Udah tiga hari gue gak ganti baju." pamit Trisa tanpa kompromi. Tangan Vanko berhenti bergerak, dia mengumpati kata-kata Trisa yang bicara seenaknya di depan pembeli. Kalau pembeli dengar, bisa jadi ilfeel mereka dengan cappucino buatan Vanko. "Gak usah balik lagi lo kalau bisa, pergi ke neraka sana." balas Vanko karena sudah kepalang emosi. Karena perkataannya barusan, beberapa pembeli di sana jadi tertawa mendengar Vanko bicara. "Jangan hirauin Mbak-Mbak itu tadi. Dia emang jorok, beda sama aku yang segala-galanya harus bersih. Kalau kapan-kapan kalian mau beli dan yang jaga Mbak itu tadi, jangan dibeli." dengan santai dan bersahabatnya, Vanko mengatakan ini pada para pembelinya. Tak diduga, Vanko mendapat respons positif dari mereka dan malah ada yang menggodanya segala. "Pacarnya lucu, Mas." "Pacar? Dia bukan pacarku, ya masa aku mau sama dia hahaha..." Tawa meledak di sana. Sikap ramah tamah Vanko yang seperti ini membuat pembelinya juga ikut respek padanya. Malah, pembeli suka pada penjual yang ramah dan tidak membuat jenuh kalau menunggu pesanan begini. "Ini, pesanannya sudah jadi." Vanko memberikan dua cup cappucino pada dua gadis belia yang duduk menunggu pesanan. "Berapa, Mas?" "Hari ini spesial, beli satu gratis satu." Pembeli mana yang tidak suka kalau dikasih gratisan begini. Pasti semua orang suka, termasuk Vanko sendiri. Seperginya dua gadis tadi, Vanko kembali duduk di kursinya dan memandang ke satu arah. Saat sedang fokus, Vanko dikagetkan dengan deringan ponselnya. Ternyata Becca yang meneleponnya. "Hallo My Pinky..." nada suaranya berubah jadi semakin lembut ketika berbicara pada Becca. "Nanti malam, lo mau makan di luar gak?" Mata Vanko seketika berbinar mendapat pertanyaan seperti ini. Kepalanya mengangguk berulang kali, padahal Vanko sadar kalau Becca juga tidak akan melihatnya. "Mau dong, ya kali diajak makan di luar sama lo nolak sih." jawabnya cepat. "Ya udah, gue tunggu di apartemen ya. Bye, My Vinky." Beb! Sambungan telepon terputus. Vanko merasa kalau wajahnya memanas seketika. Telinganya pun memerah bagaikan kepiting direbus. "Dia manggil gue My Vinky." gumamnya pelan karena terlalu senang mendapat telepon dari Becca. "Gue baru tahu, kalau HP bisa bikin gila." "Anjirrr...!!!" pekik Vanko yang kaget karena tiba-tiba suara Trisa ada di belakang telinganya. "Nyari mati lo ya, pake ngagetin gue segala." "Yee... Gue ngomong juga pelan, ngagetin. Ngagetin apaan?" Trisa mengelak seraya mengedikkan kedua bahunya. "Lo dari kapan di sini?" Vanko hanya takut kalau Trisa mendengarnya bicara begitu lembut seperti tadi. "Dari lo mulai gila, senyum-senyum ke HP yang bahkan gak bisa jawab kalau lo ajak bicara." Tak! "Ahk..." Trisa memegangi kepalanya yang habis dipukul Vanko menggunakan gunting. "Lo ngapain masih di sini? Bukannya lo tadi udah balik mau mandi hah?" cecar Vanko. Trisa tak menjawab, dia malah membuka laci uang dan mengambil sesuatu dari dalam laci. "Nih ketinggalan." kata Trisa sembari memperlihatkan kunci mobilnya. Vanko diam, karena memang Trisa terbukti tidak sengaja masih berada di sana. "Gara-gara pekerjaan kek begini, gue jadi harus jalan kaki cukup jauh biar enggak ketahuan kalau gue punya mobil." dengus Trisa karena memang kelelahan. “Jangan anggep remeh penjual es lo. Emang salah, dagang es punya mobil.” dengus Vanko. “Serah kata lo aja, gue mau balik.” "Jangan lupa, habis ganti baju nanti lo ke sini lagi!" Vanko mengatakannya dengan nada sedikit terpaksa dan bagaikan orang tak tahu malu. "Bukannya tadi lo nyuruh gue ke neraka? Kenapa sekarang pake sok melas minta gue balik lagi ke sini?" dengan perasaan senang, Trisa meledek Vanko. "Ya pokoknya lo harus balik lagi ke sini." "Gue gak janji." Tanpa banyak kata lagi, Trisa langsung pergi dari sana meninggalkan Vanko berjualan sendirian. "Gue santet online lo kalau enggak balik lagi! Pokoknya lo wajib ke sini lagi!" seru Vanko sebelum Trisa semakin jauh. Tidak ada jawaban dari Trisa, gadis itu terus melenggang sembari melambaikan tangannya ke udara. Vanko berdecak melihat tingkah temannya itu. Hingga akhirnya, Vanko mengambil ponselnya dan mengirim pesan beruntun ke Trisa supaya gadis itu mau kembali lagi ke sini. *** Sepasang kekasih itu berjalan beriringan dari apartemen menuju tempat di mana Vanko memarkirkan mobilnya. Meski mereka janjian, tapi tetap saja Vanko pulang ke apartemen karena dia butuh mandi dan pakaian ganti. Pakaian keduanya pun tampak serasi. Becca mengenakan dress hitam, begitu pula Vanko yang membalut tubuh kekarnya pakai kemeja pas body. "Kita mau makan apa sekarang?" Becca benar-benar tidak tahu dirinya akan diajak makan apa oleh Vanko malam hari ini. Memang benar, Becca yang mengajak Vanko makan malam di luar. Tapi gadis itu menyerahkan kepada Vanko tentang menu yang akan mereka santap. "Yang jelas, makanan enak." godanya membuat Becca merengut karena penasaran. Belum ada satu menit Becca memanyunkan bibirnya, kini dia sudah dibuat tersenyum oleh tingkah romantis Vanko ketika lelaki itu membukakan pintu mobil untuknya seraya menggerakkan tangannya mempersilakan dia masuk. Becca merasa jantungnya berdegup kian kencang. Brak! Dari dalam mobil, Becca melihat kekasihnya berlari seolah ingin segera duduk berdampingan dengannya. "Vanko." panggil Becca saat Vanko baru saja memasuki mobil dan menutup pintu. "Eum? Kenapa? Ada yang ketinggalan?" Kepala Becca menggeleng pelan menanggapi pertanyaan Vanko. Dia tidak bisa berhenti tersenyum ke arah lelakinya. "Lo tahu gak?" "Ya gimana bisa tahu, kalau enggak dikasih tahu." Kejujuran Vanko barusan malah membuat Becca tertawa renyah. Bahagia menurut Vanko itu cukup sederhana, bisa melihat gadis yang dia sayang tertawa dan bisa tertawa bersama Becca. "Tahu apaan?" "Kadang gue suka was-was tiap gue ada di deket lo." "Kenapa? Kenapa bisa begitu? Gue pernah ngelakuin salah ke lo? Atau kata-kata gue ada yang nyinggung lo? Kenapa lo sampai harus was-was segala tiap sama gue?" Raut wajah Vanko berubah menjadi serius dan hal itu semakin saja membuat Becca tertawa bahagia namun malah membuat Vanko bingung. "Gue was-was karena takut gak bisa ngendaliin rasa bahagia gue setiap lo bersikap romantis ke gue." Dug! Dug! Dug! Vanko bisa mendengar suara hatinya sendiri sekarang. Hanya karena ucapan Becca barusan, dia bisa sampai seperti ini. Sungguh demi apa pun, Vanko lebih dari bahagia. Becca bisa membuatnya tersipu sampai wajahnya merona bagai anak perawan sedang kasmaran. Tadinya, Vanko pikir Becca akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang kewaspadaannya. Tapi ternyata, Becca malah menggombalinya. Walau mungkin Becca tidak berniat seperti itu, tapi ini sudah cukup membuat Vanko tidak bisa berhenti tersenyum. "Gue juga takut kena diabetes kalau sama lo. Soalnya lo terlalu manis buat dipandang untuk waktu lama. Tapi gue juga gak bisa tanpa lo, karena gue butuh pemanis buat hidup gue yang udah terlalu pahit." Vanko hampir tak bisa mempercayai dirinya sendiri, kalau dia bisa menggombal juga. Padahal sebenarnya, dia berkata seperti ini karena memang berniat memberi tahu Becca bahwa gadis itu adalah gula yang sangat dibutuhkan oleh Vanko buat menjadi pemanis hari-harinya. Wajah Becca memerah, dia sampai menepuk-nepuk pelan dadanya karena takut kehabisan nafas akibat terlalu bahagia. Gue juga butuh bahagia buat mengobati penderitaan yang pernah gue alami saat gue melewati hari-hari tanpa lo. Sambung Becca di dalam hatinya. "Kita berangkat sekarang ya." "Oh... Iya." Karena tak mau merasa salah tingkah lebih lama, Vanko langsung menyalakan mesin mobil dan meninggalkan gedung apartemennya. Selama perjalanan, mereka lebih banyak diam. Hanya ada suara penyanyi luar yang menghiasi mobil supaya tidak terlalu sepi. Lima menit berlalu, keduanya masih sama-sama bungkam. Namun mereka saling melirik satu lain. Sampai akhirnya, mereka bertemu dalam satu pandangan. Tapi tak lama, Vanko langsung mengalihkan pandangan ke depan agar mereka tetap selamat. "Becca..." dengan suara berat nan seksinya, Vanko memanggil Becca. "Ya?" "Buat kali ini, gue beneran suka sama lo. Bahkan gue cinta dan sayang ke lo. Jangan pernah mikir, kalau gue macarin lo karena alasan lain lagi." ujarnya pelan, karena Vanko takut melukai perasaan Becca ketika dia membahas tentang ini. Hangat sekali. Itu yang Becca rasakan saat Vanko meremas jemarinya. Bukan hanya hangat, tapi juga ada perasaan dag dig dug dan menggelitik yang membuat hati Becca berbunga-bunga. "Eung... Gue percaya kok sama perasaan lo tanpa lo harus menjelaskan. Gue juga gak mikir jelek tentang lo di saat lo ngajak gue pacaran lagi." sahutnya sambil membalas remasan tangan Vanko. Lega sudah rasanya. Vanko benar-benar lega usai mendengar respons dari Becca barusan. Entah kenapa, di saat bahagia begini, Vanko tiba-tiba teringat akan kebrengsekannya waktu dulu. Kenapa dulu gue bisa manfaatin cewek sebaik dan sepolos dia? Harusnya lo dateng-dateng ke gue tuh buat mencaci maki gue, Bec. Bukan buat maafin semua kesalahan gue. Gumam hati kecil Vanko yang kembali menyalahkan dirinya sendiri. Biarin aja. Semua itu sudah berlalu. Gue gak hidup di waktu kemarin, tapi gue hidup di waktu sekarang. Semua orang pernah ngelakuin salah, tanpa ada yang terkecuali. Dan semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan lagi. Ujar hati Becca seraya menatap Vanko dari samping. "Gue boleh cium tangan lo?" tanya Vanko sembari mengangkat tangannya yang tertaut dengan tangan Becca. "Boleh gue cium tangan lo gak, Bec?" Vanko bertanya ragu-ragu pada Becca, karena ini pertama kalinya mereka berpegang tangan setelah beberapa minggu pacaran. "Em... Sorry." Becca tidak tahu harus menolak bagaimana, hingga akhirnya dia hanya bisa mengucapkan maaf. "Enggak apa-apa. Gue ngerti kok." Saat itu juga, Becca melihat Vanko langsung melepaskan genggaman tangan mereka dan membiarkan Becca begitu saja. Tentunya hal itu membuat Becca jadi merasa terluka. "Boleh." Becca mengangguk mengizinkan Vanko mencium punggung tangannya. Cup! Cup! Cup! Becca merasakan punggung tangannya dicium tiga kali oleh Vanko, dan sekarang lelaki itu tidak mau melepaskan tangannya. Seketika, Becca merasa dirinya sedang dilanda kebahagiaan yang berlipat-lipat ganda. Karena selama perjalanan dipenuhi oleh kebahagiaan yang mereka ciptakan. Tanpa terasa, keduanya sudah sampai di kafe. Becca melihat kafe yang akan menjadi tempatnya makan malam. Kafe itu sangat cantik dengan penerangan lampu hias di mana-mana yang memberi kesan romantis. Kali ini, Vanko tidak membukakan pintu untuk Becca karena gadis itu sudah lebih dulu turun sebelum Vanko membuka pintunya. Keduanya memasuki kafe, dan Vanko segera dipandu oleh waiters ke meja pesanannya di lantai dua. "Gimana, suka?" Bisa Vanko lihat dari raut wajah Becca, kalau kekasihnya itu sangat menikmati pemandangan yang terhampar di bawah sana. Banyak sekali lampu-lampu dari rumah penduduk yang tampak bagaikan hamparan bintang darat. "Bukan suka lagi, tapi suka banget." Rasa puas melanda Vanko. Baginya sekarang, tidak ada yang dia harapkan selain membuat dan melihat Becca bahagia karenanya. Jujur saja, Vanko ingin menebus semua kesalahannya dengan hal-hal yang bisa membuat Becca selalu merasa berharga berada di sisinya. "Jangan sampai kedinginan, itu udah cukup bikin gue seneng, Bec." Becca merasa dadanya hampir pecah saat Vanko memakaikan jaket ke tubuhnya. Senyuman yang Becca miliki kini semakin bertambah banyak. Bahkan mungkin, Becca bisa membungkus dan menyimpan rasa bahagia yang Vanko berikan buat berjaga-jaga kalau nanti dia sedang sedih. "Makasih, My Vinky." "Gimana kalau panggilan sayang gue ke lo, My Vinky? Setuju 'kan? Setuju lah. Oke, lo setuju." Vanko sampai cengo sendiri melihat Becca bicara tanpa memberi jeda untuknya ikut berkomentar. Setelah resmi menjalin hubungan, Becca tiba-tiba membahas bahwa dia ingin memberi Vanko panggilan sayang. Tapi tanpa Vanko duga, Becca malah memiliki ide panggilan seperti itu. "Kenapa My Vinky? Apa gak ada yang lain?" desahnya karena merasa bahwa My Vinky itu terlalu girly untuk dipakai nama panggilan laki-laki. "Ya biar nyambung. Lo manggil gue My Pinky, jadi gue manggil lo My Vinky. Mirip-mirip 'kan, dan inisialnya juga gak beda jauh sama nama asli lo. Jadi udah fiks itu aja. Gue manggil lo My Vinky." Tok! Tok! Tok! Tanpa persetujuan Vanko, Becca tiba-tiba mengetukkan asbak kayu yang ada di atas meja ke meja sebanyak tiga kali sebagai tanda bahwa nama panggilan sayang barusan sudah diresmikan. "Gue suka kok, dipanggil My Vinky sama lo." Vanko tidak mengada-ada atau berbohong hanya untuk membuat Becca senang. Tapi lelaki tampan berdagu tirus itu memang senang mendengarnya. Setidaknya dia memiliki nama panggilan sayang dari Becca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD