Periksa kandungan

2268 Words
"Sya," panggilan Samuel membuat Meisya mengurungkan niat meninggalkan suaminya. "Kakak mau apa lagi?" tanya Meisya seraya kembali berjalan mendekat. "Tolong selimutin aku kedinginan," pinta Samuel, Meisya menyentuh tangan Samuel yang memang terasa dingin. "Bentar," jawab Meisya lalu berjalan menuju lemari pakaian Samuel dan mencari selimut lain di sana, sepetinya satu selimut yang sudah ia kenakan tidak cukup. Meisya menemukan sebuah selimut bulu, dan langsung menyelimuti tubuh Samuel yang menggigil. "Kita ke rumah sakit, ya, Kak," ajak Meisya yang merasa khawatir melihat keadaan Samuel. "Enggak usah, nanti sebentar juga baikan," tolak Samuel, tentu saja Meisya tidak berani memaksa mengingat betapa kerasnya Samuel selama ini, dan itu membuatnya jengah. Namun, melihat Samuel yang tidak berdaya seperti itu tak urung membuatnya iba juga, Meisya kembali duduk di tepi ranjang, tangannya terulur memijit kaki Samuel yang tertutup selimut. Kaki Samuel juga bergetar akibat tubuhnya yang menggigil. Dengan pelan, dalam diam Meisya mulai memijit kaki Samuel. Lelaki itu juga tidak mengatakan sepatah kata pun, rahangnya terasa kaku dengan gigi yang menggeletuk, ia melipat kedua tangannya di depan d**a, tubuhnya tetap saja bergetar meski selimut tebal telah menutupi tubuhnya. Meisya sudah berulang kali menguap, rasa kantuk sudah benar-benar menguasai dirinya. Wanita itu merasa jika Samuel sudah lebih baik, tubuhnya sudah tidak lagi menggigil. Mulutnya juga sudah tidak lagi menggumamkan kata-kata tidak jelas seperti tadi. Meisya memastikan sekali lagi bahwa keadaan Samuel sudah lebih baik dengan meletakkan telapak tangannya pada kening Samuel yang sudah tidak tertutup handuk, Meisya merasa jika tubuh Samuel sudah tidak sepanas tadi, dari kedua matanya yang terpejam dan tidak terbuka saat Meisya menyentuhnya, Meisya jadi tahu jika Samuel sudah terlelap. "Akhirnya bisa tidur juga," gumam Meisya sambil menuruni anak tangga, ia merentangkan kedua tangannya melepas rasa pegal yang mendera. Waktu tidurnya sudah terlewat beberapa jam, pantas saja jika wanita cantik itu sudah merasa sangat mengantuk hingga tidak ada tujuan lain selain kamarnya yang dituju. Menjemput mimpi adalah hal yang sangat ia inginkan saat ini. . Sinar mentari menerobos tirai berwarna biru muda yang terpasang menutupi jendela di kamar bercat dinding abu-abu itu, Samuel menggeliat di atas ranjangnya, dua buah selimut yang melilit di tubuhnya membuat pemuda itu sulit bergerak. Menyingkap selimut itu membuat Samuel memerlukan beberapa kali gerakan, hingga selimut itu berhasil ia tanggalkan dari tubuhnya. Ia melihat ke arah nakas dan melihat baskom stainless berisi air dan handuk kecil juga satu strip obat penurun panas dan air putih yang hanya tersisa setengah gelas. Seketika ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu, ia ingat jika semalam ia demam tubuhnya menggigil kedinginan. Tetapi sekarang semuanya terasa lebih baik, dan itu semua karena bantuan Meisya. "Semua orang juga pasti akan melakukan hal yang sama jika teman satu rumahnya sakit, tidak ada yang istimewa," bisik Samuel pada dirinya sendiri saat sisi baik nuraninya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Meisya. Samuel lalu bergegas ke kamar mandi karena merasakan panggilan alam. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi Samuel keluar dari kamarnya, berjalan menuju lantai bawah. Kakinya belum sepenuhnya meninggalkan anak tangga terakhir saat indera pendengarannya menangkap suara ketukan pada daun pintu samping. Samuel segera membukanya dan melihat Mbak Tri berdiri di sana. "Mbak, Tri baru dateng?" sapa Samuel ramah, Mbak Tri langsung memasuki rumah tempatnya bekerja. "Iya, Den. Saya sengaja dateng agak siang karena enggak ada rencana bikin sarapan, kemarin non Meisya minta dibeliin nasi empal buat sarapan. Kasian nanti kalau enggak diturutin bayinya ngiler lagi," jawab Mbak Tri sambil menaruh dua bungkus nasi empal di atas meja makan. Mendengar jawaban Mbak Tri, Samuel mengerutkan keningnya. "Emang gitu, ya, Mbak kalau orang hamil?" tanya Samuel datar, entah benar-benar ingin tahu atau hanya sekedar berbasa-basi saja. "Iya, Den. Mitosnya, sih, begitu, enggak tau bener atau enggak tapi menurut aku, sih, terlepas dari semua mitos, seorang wanita hamil memang harus selalu diistimewakan, karena dia, kan, lagi mengandung nyawa," jawab Mbak Tri. Samuel hanya diam, sedikitpun ia tidak menimpali perkataan Mbak Tri. Ia hanya berpikir, apakah Mbak Tri tahu jika pernikahannya dengan Meisya hanya pernikahan palsu atau tidak. Pasti Mbak Tri berpikir kalau dirinya adalah suami yang tidak bertanggung jawab pada istrinya. Tetapi apa pedulinya? Untuk apa memikirkan anggapan orang lain? Dia dan Meisya akan tetap seperti ini, mereka hanya orang lain yang kebetulan harus hidup bersama. "Den," panggil Mbak Tri dari dapur, Samuel yang sedang mengulurkan tangannya untuk mengambil sendok yang sudah Mbak Tri siapkan menatapnya. "Non Meisya mana? Tumben jam segini belum bangun, sebentar lagi waktunya berangkat kerja. Biasanya udah siap?" Tentu saja Samuel tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena sejak tadi ia memang belum melihat Meisya keluar kamar, Samuel bahkan sama sekali tidak teringat tentang wanita yang semalam terlalu larut tidur karena dirinya itu. "Mungkin masih tidur, coba aja Mbak Tri bangunin," jawab Samuel, ia kembali melanjutkan kegiatannya untuk memulai sarapan paginya yang sebenarnya kesiangan itu. Samuel hanya sekali melirik saat Mbak Tri berjalan dan berhenti di depan pintu kamar Meisya. Beberapa kali Mbak Tri tampak mengetuk pintu kamar, hingga Meisya membukanya, masih dengan wajah bangun tidurnya. "Non Meisya kesiangan bangun? Tumben, itu udah Mbak beliin nasi empal yang Non Meisya pengen," ujar Mbak Tri, Meisya langsung terlihat segar, ia membuka lebar pintu kamarnya. "Wah, makasih, Mbak Tri," ujar Meisya seraya berjalan menuju meja makan. "Iya, Non. Ini kembaliannya." Mbak Tri mengulurkan uang berwarna hijau pada Meisya. "Enggak usah, itu kembaliannya emang buat Mbak Tri," tolak Meisya halus seraya membuka bungkusan di hadapannya. "Terima kasih, Non. Mbak Tri lanjut kerja lagi, ya." Meisya mengangguk sambil tersenyum pada Mbak Tri. Samuel dan Meisya menikmati sarapan mereka dalam diam, hingga Meisya membuka suara. "Kakak udah sembuh?" tanya Meisya setelah meminum air putihnya. "Udah lebih baik," jawab Samuel, datar seperti biasanya, lelaki itu bahkan sama sekali tidak mengucapkan terima kasih atas bantuan yang Meisya berikan padanya. Meisya melirik jam yang menempel di dinding ruang tengah lalu menepuk keningnya. "Sial bentar lagi telat!" rutuk Meisya pada dirinya sendiri yang terlambat bangun. "Kamu enggak usah kerja hari ini," kata Samuel tegas. "Apa?" tanya Meisya yang hampir bangun dari duduknya. "Ijin sehari engga berangkat kerja enggak akan dipecat, 'kan?" ujar Samuel, entah pertanyaan atau pernyataan tidak Meisya ketahui. "Kenapa?" Hanya itu yang ingin Meisya ketahui. "Cepetan siap-siap, kita ke rumah sakit sekarang," perintah Samuel sebelum meninggalkan Meisya yang masih terbengong menatap punggung lelaki yang sudah berjalan meniti anak tangga. "Kenapa dia selalu seenaknya sendiri begitu, sih!" Meisya menggerutu sambil berjalan memasuki kamarnya, ada pilihan lain selain menuruti kemauan Samuel, kalau tidak sudah bisa Meisya pastikan jika wajah galaknya akan selalu terlihat. * Dita Andriyani * "Kak Sam, bilang, tadi udah sembuh? Kak Sam, juga udah enggak keliatan sakit? Kenapa harus ke rumah sakit? Emang obat yang semalem udah abis?" Satu pun dari pertanyaan Meisya tidak mendapat jawaban dari Samuel yang berjalan di depannya, langkah lebar Samuel yang berkaki jenjang membuat Meisya terpintal-pintal menyamai langkahnya. "Bisa enggak, sih, enggak usah cerewet!" kata pamungkas dari Samuel yang berhasil membuat Meisya diam seribu bahasa, mereka juga sudah sampai di meja pendaftaran. Senyum ramah seorang perawat berseragam putih, wanita cantik bertubuh mungil menangkupkan kedua telapak tangan di depan d**a. "Selamat siang, Pak ada yang bisa kamu bantu? Pendaftaran atas mana pasien?" tanya wanita itu lembut dengan jemari yang sudah standby di atas keyboard siap menulis nama yang akan Samuel sebutkan. Meisya hanya diam tidak memperhatikan apa yang mereka bicarakan, tetapi karena jaraknya yang tidak jauh Meisya tetap mendengarnya. "Meisya Latifa Ekantika." Mendengar Samuel mengucap nama lengkapnya sebagai pasien Meisya menatap Samuel penuh tanda tanya. "Usia?" tanya perawat itu. "Berapa usiamu?" tanya Samuel pada Meisya, membuat pertanyaan yang sudah Meisya ucapkan buyar seketika. "Sembilan belas," jawab Meisya, perawat itu menulis jawaban yang Meisya ucapkan. "Mau periksa apa ibu?" perawat cantik itu menatap Meisya yang tentu saja tidak bisa menjawab, ia menatap Samuel. "Periksa kandungan," jawab Samuel datar. "Baik, Pak, Bu. Pendaftarannya sudah saya masukkan, silakan Bapak dan Ibu menunggu di poli kandungan," ujar perawat itu sambil menunjuk ke mana arah poli kandungan yang ia maksud. "Terima kasih," ucap Samuel dan Meisya bersamaan, keduanya berjalan menuju poli kandungan. . "Kak, Kakak ngajak aku ke sini cuma buat periksain kandungan aku?" tanya Meisya setelah keduanya duduk di kursi tunggu depan ruang poli kandungan. "Iya, sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah merawatku tadi malam. Tidak perlu berpikiran macam-macam, kamu juga pasti belum pernah memeriksakan kandunganku ke dokter, kan!" Jawab tegas Samuel, membuat Meisya yang awalnya hampir merasa tersanjung kembali tersadar jika dia tidak pantas merasakannya. "Terima kasih," ujar Meisya, wanita itu mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kirinya di mana terdapat beberapa pasangan yang menunggu giliran periksa, semuanya tampak sangat bahagia, ada seorang bapak yang tengah mengelus perut buncit wanita yang berada di sebelahnya. Meisya mengalihkan perhatiannya untuk berbalas pesan dengan Erni yang menanyakan mengapa ia tidak berangkat bekerja. Hingga tanpa sadar namanya sudah dipanggil oleh seorang perawat, tanda kini adalah gilirannya diperiksa. "Sya, kamu di panggil, tuh!" ucap Samuel karena Meisya yang tidak mendengar panggilan untuknya. "Iya." Meisya memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu bangun dari duduk. Wanita itu sekilas melirik pada Samuel yang duduk sambil memainkan ponsel sebelum memasuki ruang pemeriksaan, dia menertawakan dirinya sendiri karena sempat berpikir jika Samuel aja masuk menemaninya. Di dalam ruangan, seorang dokter lelaki yang masih terlihat muda telah menunggunya. Asisten dokter tersebut melakukan pemeriksaan dasar meliputi berat dan tinggi badan, tekanan darah dan detak jantung baru setelahnya permeriksaan terhadap kandungannya dilakukan. Setelahnya dokter itu menuliskan berbagai resep vitamin untuk Meisya dan meminta Meisya kembali satu bulan kemudian untuk melakukan pemeriksaan rutin. Keadaan bayinya sehat, itu yang membuat Meisya tenang dan bahagia, wanita itu melangkah keluar dan mendapati Samuel masih dalam posisi yang sama. "Kak." Suara Meisya mengalihkan perhatian Samuel dari layar ponselnya, lelaki itu berharap Meisya tidak melihat foto Laura yang tengah dipandanginya. "Eh, udah selesai?" tanya Samuel tergagap seraya memasukkan ponsel ke sakunya. "Ambil obat dulu di apotik," jawab Meisya, Samuel mengangguk paham lalu mengikuti langkah Meisya menuju apotik yang berada dekat dengan pintu masuk tadi. Tidak begitu lama mereka menunggu di apotik, lalu langsung pulang. Meisya hanya diam sepanjang perjalanan, ia hanya membaca buku berwarna merah muda berisi catatan kehamilan. Juga beraneka informasi datar tentang kehamilan, melahirkan, menyusui dan merawat balita. Samuel fokus pada kemudi dan jalanan yang lumayan ramai, lelaki itu tampak tidak berniat sama sekali untuk menanyakan hasil pemeriksaan kandungan Meisya. Meisya pun tahu diri untuk tidak mengharapkannya. . "Mbak Tri," seru Meisya sambil berjalan menghampiri Mbak Tri yang sedang menaruh makanan yang baru dimasaknya di atas meja makan, ini memang sudah waktunya makan siang. "Eh, sudah pulang, Non. Gimana? Den Sam, baik-baik aja, kan? udah enggak diare lagi, 'kan?" tanya Mbak Tri sambil melirik Samuel yang sedang mengambil air dingin di kulkas, lelaki itu tetap berdiri di depan kulkas sambil menenggak air mineral dari botol yang baru ia ambil. "Diare Kak Sam, sih, emang udah sembuh dari kemaren, Mbak. Berkat resep Nenek aku!" jawab Meisya pongah, mendengarnya hampir saja Samuel menyemburkan minumannya. "Eh, enggak usah sombong. Inget, aku juga sakit gara-gara kamu!" seru Samuel dari dapur. Meisya dan Mbak Tri menahan tawa, tidak ingin Samuel semakin meradang jika mendengarnya. "Terus, ngapain ke rumah sakit?" tanya Mbak Tri sambil menatap Meisya yang duduk di kursinya. "Aku abis periksa kandungan, Mbak. Liat, deh." Dengan antusias Meisya menunjukkan foto USG bayinya pada Mbak Tri. "Wah." Mbak Tri tersenyum lebar melihat foto itu, walau hanya warna hitam yang mendominasi dan tidak tahu cara membaca hasilnya tetapi mbak Tri tetap mengamati foto itu dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bagaimana keadaannya?" tanya Mbak Tri, ia masih tetap menatap foto itu. "Sehat, Mbak. Perkembangannya normal, sesuai dengan usianya," jawab Meisya sambil tersenyum bahagia. Ia merasa beruntung ada Mbak Tri di rumah itu hingga ia memiliki tempat untuk berbagi cerita. "Alhamdulillah, jaga kesehatan, ya, Non. Biar bayi yang di dalem juga sehat sampai saatnya lahir nanti," ujar Mbak Tri. "Iya, Mbak." Meisya menggenggam tangan Mbak Tri yang menepuk pundaknya. Perhatian mereka beralih pada Samuel yang menarik kursi hingga menimbulkan suara berderit, lelaki itu lalu duduk di atasnya sambil menatap kedua wanita yang berada di depannya. "Makan yang banyak, ya, Mbak ke belakang dulu." Mbak Tri mengembalikan foto USG itu pada Meisya yang lalu menyelipkannya di dalam buku berwarna merah muda yang ada di hadapannya. " Dita Andriyani * Samuel duduk di ruang tengah dengan laptop di pangkuannya, pekerjaan yang ia tinggalkan seharian ini terpaksa harus ia kerjakan dari rumah. Sebenarnya bukan hanya karena mengantar Meisya ke rumah sakit yang membuat ia tidak berangkat ke kantor, tetapi juga karena ia yang masih merasakan kurang sehat pada dirinya. Lelaki itu melirik jam yang menempel pada dinding tidak jauh darinya, sudah pukul setengah delapan malam dan Meisya belum juga keluar dari kamarnya. Biasanya wanita itu akan menghangatkan masakan Mbak Tri dan mengajaknya untuk makan bersama, sadar atau tidak Samuel menunggu untuk hal itu. "Apa aku panggil aja, ya? tapi entar dia malah marah!" Terjadi tarik ulur dalam hatinya, ia menatap pintu kamar Meisya yang tidak juga menampakkan tanda-tanda akan terbuka. "Laper, tapi kalau aku panggil dia malah besar kepala, dianggapnya aku selalu membutuhkannya!" Masih terjadi pertempuran sengit dalam hatinya, saat ia mendengar suara ketukan dari pintu utama, juga suara salam dari seorang lelaki. Samuel menjawab salam itu dan bergegas berjalan menuju ruang tamu, ia berdiri di belakang pintu sejenak berpikir siapa yang bertamu malam-malam. Samuel sedikit menyingkap tirai jendela agar bisa melihat siapa yang datang. Samuel mengerutkan keningnya melihat lelaki yang berdiri membelakangi pintu sambil membawa beberapa bungkusan plastik, awalnya ia berpikir juga itu adalah driver ojek online yang mengantarkan pesanan makanan yang Meisya pesan, tetapi prediksinya mental saat melihat lelaki itu tidak mengenakan jaket khas ojek online. Samuel menunggu lelaki itu memutar badannya, saat akan kembali mengetuk pintu. Benar prediksinya, hanya selang sepersekian detik lelaki itu memutar tubuhnya hingga Samuel dapat dengan jelas melihat wajahnya. "Naka?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD