"Harusnya Bapak enggak perlu repot-repot jemput, saya," ujar Meisya saat baru saja mobil yang ditumpanginya berjalan meninggalkan jalanan depan rumahnya, meninggalkan seorang lelaki yang mendengkus kesal entah apa sebabnya.
"Enggak apa-apa, Sya. Kebetulan tadi saya dari rumah saudara saya, enggak jauh dari rumah kamu," jawab lelaki tampan berlesung pipi itu.
"Bapak Kok tau rumah saya di sini?" tanya Meisya sambil melirik lelaki yang duduk di sampingnya, fokus dengan kemudi tetapi tidak terkesan mengabaikan dirinya.
"Ya, tau-lah. di CV kamu waktu itu, 'kan, tertulis di mana kamu tinggal," jawab lelaki berambut hitam tebal yang tercukur rapi, khas lelaki dewasa yang sudah matang.
"Oh, iya." Sekenanya Meisya menimpali.
"Oh, iya, saya melupakan sesuatu." Meisya menetap pada lawan bicaranya mendengar gumamannya, tampak jika ia baru teringat sebuah hal yang terlupakan.
"Ada yang ketinggalan, Pak?" tanya Meisya segan.
"Kamu sudah bilang atau minta ijin sama suami kamu kalau kamu berangkat kerja sama saya, 'kan?" tanya lelaki itu sejenak melirik pada Meisya.
Meisya tersenyum hambar, "enggak perlu." Meisya mengeluarkan lirih, nyaris berbisik tetapi ternyata dan lawan bicara bisa mendengarnya.
"Kok gitu?" Spontan pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir kemerahan alami lelaki yang tampak mengerutkan dahinya.
"Hem ... enggak, bukan apa-apa," jawab Meisya.
"Maaf, bukan maksud saya untuk bertanya masalah pribadi kamu," ujar lelaki itu, tampak merasa tidak enak pada Meisya.
"Enggak apa-apa, Pak." Meisya tersenyum tipis agar sang lawan bicara tahu jika itu bukan masalah baginya.
Keheningan membersamai kedua sepanjang perjalanan yang tersisa.
Hanya, Sesekali lelaki itu melirik wajah Meisya yang berusaha mengalihkan perhatian pada jalanan yang sudah cukup ramai.
Dialah Kanaka Ghandi Ismoyono atau terbiasa disapa Naka lelaki berusia tiga puluh satu tahun, pengusaha rumah makan sukses di kota Surabaya, dan tempat Meisya bekerja adalah induk dari beberapa cabang rumah makan bernama 'Echo Tenan' yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna enak sekali.
Naka kembali fokus pada kemudi sementara Meisya, pikirannya kembali pada saat beberapa jam yang lalu.
"Ibu hamil itu porsi makannya dobel!" celetuk Meisya saat Samuel meledeknya yang banyak makan.
Sekilas Meisya melirik pada Samuel yang menatapnya dengan pandangan aneh, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Gimana kandungan kamu?" tanya Samuel tiba-tiba, dengan suara lembutnya tidak ketus seperti biasanya.
Entah kenapa pertanyaan seperti itu membuat hatinya menghangat, baru kali ini ada orang lain yang menanyakan hal itu selain Laura dan Celine. Dan ... lelaki itu adalah suaminya, meski bayi dalam kandungannya bukanlah benih dari sang suami tetapi rasanya bahagia juga mendapat sedikit perhatiannya.
"Enggak gimana-gimana," jawab Meisya singkat, Samuel pun hanya diam tidak menanyakan hal apapun lagi.
Meisya lebih memilih diam, membisikkan dalam hatinya sendiri untuk tidak merasa terbang melayang hanya karena sedikit perhatian, ia sadar jika dirinya sama sekali tidak pentas mengharapkan apapun dari Samuel.
Bukankah sejak awal Samuel sendiri yang sudah menekankan untuk tidak saling mengharapkan apapun, menjalani kehidupan sendiri-sendiri, tanpa mencampuri urusan masing-masing.
.
"Terima kasih, Pak," ujar Meisya sebelum menuruni mobil sang bos besar.
"Sama-sama, Meisya," jawab Naka.
Meisya meninggalkan sebuah senyum manis sebelum menutup pintu mobil, sebuah senyum yang juga terukir di wajah tampan Naka sebelum kembali menjalankan mobilnya memasuki area parkir khusus pegawai yang berada di belakang rumah makan, sedangkan Meisya berjalan memasuki restoran juga lewat pintu khusus pegawai.
Wanita itu terus berjalan menuju ruang ganti di mana ia akan menukar pakaiannya dengan seragam pelayan rumah makan itu, tidak ia sadari beberapa pasang mata yang menatap heran padanya, hanya senyum dan ucapan selamat pagi yang ia berikan pada beberapa rekan kerjanya itu.
"Sya!" Meisya menoleh, lalu melambatkan langkahnya menunggu Erni yang mengejarnya. Gadis bertubuh mungil itu adalah orang yang berjasa membawa dirinya bekerja di tempat itu, dia adalah saudara Mbak Tri.
"Erni, baru dateng juga?" sapa Meisya hangat seperti biasanya.
"Enggak juga, sih, tadi aku berdiri di sana." Erni menunjuk ke arah pintu masuk belakang restoran, sekilas Meisya mengikuti ke mana arah telunjuk temannya itu mengarah.
"O." Meisya hanya membulatkan bibirnya, mereka terus berjalan melewati dapur di mana para juru masak tengah sibuk mempersiapkan berbagai hidangan, menu andalan rumah makan yang selalu ramai pelanggan.
"Kok, kamu bisa bareng sama Pak Naka?" tanya Erni, bukan hanya untuk rasa penasarannya tetapi juga untuk mencari jawaban atas rasa penasaran semua pegawai yang melihatnya turun dari mobil bos besar.
Bukan tidak mungkin saat itu juga sebuah berita yang tidak-tidak akan menyebar dari mulut ke mulut seluruh pegawai rumah makan, hal itu membuat Meisya menepuk keningnya sendiri.
"Tadi, Pak Naka dari rumah saudaranya, kebetulan rumahnya enggak jauh dari rumahku," jawab Meisya apa adanya.
"Kalian ketemu di jalan?" tanya Erni lagi, mereka berdua sudah berdiri di depan loker masing-masing sekarang.
Meisya memutar kunci loker untuk mengambil seragamnya.
"Enggak, tadi Pak Naka telpon aku, ngajak bareng. Kebetulan aku belum berangkat, tadinya aku udah nolak tapi Pak Naka maksa, aku lebih enggak buat nolaknya," terang Meisya panjang lebar, ia tidak ingin jika dirinya menjadi bahan bergosip teman-temannya.
Meisya menutup pintu loker dan mendapati Erni yang sedang tercengang, bibirnya sedikit terbuka. Sontak membuat Meisya mengerutkan dahinya.
"Er, kamu kenapa?" tanya Meisya sambil menggoyangkan tangan di depan wajah Erni.
"Pak, Naka punya nomer kamu?" tanya Erni, membuat Meisya semakin terheran, bukankah hal yang wajar jika seorang bos memiliki nomer telepon pegawainya, bukankah pada surat lamaran juga para pegawai menuliskan nomor telepon mereka. Sama seperti jawaban Naka saat Meisya menanyakan dari mana dia tahu alamat rumahnya.
"Ya punya, bos pasti punya nomer telpon kita semua-lah, Er! 'kan, di surat lamaran juga kita tulis," jawab Meisya seperti pemikirannya.
"Ya enggak begitu, lah, Sya. Kita ngelamar kerja, 'kan, bukan sama Pak Naka, tapi sama Bu Ratmi!" jawab Erni.
"Ya tapi, Bu Ratmi itu, 'kan, tangan kanannya Pak Naka, ya wajar aja kalau apa yang Bu Ratmi tau, Pak Naka juga tau," ujar Meisya sambil menepuk pundak Erni yang tampak masih belum bisa terima jawaban Meisya.
"Tapi, tetep aja enggak mungkin Pak Naka nyimpen nomer telepon semua pegawainya, apalagi pegawai rendahan seperti kita," sahut Erni lagi, bibirnya tertarik miring dengan kening mengeriput seperti seorang detektif yang sedang memikirkan pemecahan sebuah masalah.
Meisya menggelengkan kepala, "udah, ah, ngapain juga pusing-pusing mikirin itu!"
Meisya meninggalkan Erni yang masih berpikir di depan lokernya, sedangkan Meisya sudah berjalan menuju toilet untuk berganti pakaian.
"Pasti ada udah di balik bakwan!"
Gumam Erni sebelum menyusul Meisya ke toilet.
* Dita Andriyani *
Sore harinya Meisya turun dari sebuah ojek online yang ia tumpangi, wanita itu lantas berjalan santai menuju teras melepas sepatunya sambil berdiri lalu menaruhnya pada rak sepatu berwarna ungu yang ada di teras samping.
Tidak seperti biasanya rumah terlihat lebih lengang, tidak ada Mbak Tri yang biasa menyapu halaman atau menyiram tanaman, kegiatan yang biasa ia lakukan sebelum pulang.
Pintu samping dan depan juga tertutup rapat, padahal biasanya Mbak Tri selalu membukanya. Mobil Samuel berada di garasi, sudah bisa dipastikan jika lelaki itu ada di rumah.
Tanpa mau pusing memikirkan Meisya lebih memilih membuka pintu yang ternyata tidak terkunci, setelah menyelinap masuk ia kembali menutup pintunya.
Meisya terkejut saat membalikkan badannya, ia melihat Samuel yang tengah berdiri tidak jauh darinya, dengan raut yang aneh dan kulitnya wajahnya yang memerah. Sontak saja Meisya pun menatapnya penuh tanda tanya.
"Kak, Sam?" Meisya berjalan mendekat, tidak mungkin, 'kan, lelaki itu mabuk lagi.
"Ini semua gara-gara kamu!" geram Samuel tertahan dengan wajahnya yang mengerut, ia memegang perutnya lalu berlari ke kamar mandi.
"Apa, sih! Dasar aneh!" gerutu Meisya lalu berjalan santai ke kamarnya, tanpa memikirkan Samuel yang tengah merintih di kamar mandi yang berada di samping dapur wanita itu membasuh tubuhnya di kamar mandi yang berada di kamarnya.
.
Meisya keluar dari kamarnya, rambutnya yang masih basah ia biarkan tergerai, menutupi punggungnya yang terbuka karena terusan piyama tanpa lengan yang ia kenakan berpotongan rendah pada bagian punggungnya, menampakkan punggung putih yang dihiasi bulu-bulu halus.
Wanita itu berjalan menuju dapur.
Samuel yang duduk di ruang tengah sekilas meliriknya sama persis seperti saat tadi pagi Meisya hendak berangkat kerja, hanya bedanya kali ini Meisya terlihat lebih cantik dan seksi.
"Apa-apaan ini, kenapa juga harus merasa kagum sama dia!" bisik Samuel dalam hatinya, lalu kembali mengerutkan wajah saat merasakan dorongan kuat dari dalam perutnya, ia segera bergegas memasuki kamar mandi menuntaskan hajatnya entah untuk yang keberapa kali.
Meisya hanya meliriknya lalu berjalan ke ruang tengah sambil membawa dua cangkir teh yang baru saja dibuatnya.
Samuel keluar kamar mandi sambil memegangi perutnya, wajahnya bukan lagi memerah sekarang tetapi terlihat pucat, ia menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di samping Meisya berada hanya beberapa jengkal jarak mereka.
"Kakak diare?" tanya Meisya memastikan, tapi tanpa perlu Samuel jawab pun Meisya sudah tahu dari kelakuannya yang mondar-mandir kamar mandi sejak tadi.
"Iya, ini semua gara-gara kamu!" jawab Samuel ketus seperti biasanya.
"Aku? Kok aku?" tanya Meisya sambil menunjuk wajahnya sendiri.
"Iya gara-gara kamu pesenin aku lontong sayur pedes!" sungut Samuel, membuat Meisya tertawa terbahak, wanita itu baru menghentikan tawanya setelah sebuah bantal sofa mendarat di wajahnya, siapa lagi pelakunya selain Samuel yang tengah menatapnya dengan pandangan tidak suka.
"Bahagia banget! Sengaja ngeracunin aku?" Samuel memelototkan matanya.
"Enggak, Kak! Kak Sam aja yang perutnya manja, buktinya aku enggak apa-apa," jawab Meisya lalu kembali tertawa, melihatnya Samuel semakin merasa kesal terlebih lagi mengingat setelah 'meracuni' dirinya dengan lontong sayur pedas Meisya malah pergi dengan lelaki lain.
"Udah, enggak usah merana gitu, tuh aku udah bikinin Kakak teh, cepetan diminum," ujar Meisya melihat Samuel yang masih menatapnya.
Samuel berdecak kesal tetapi tetap mengambil cangkir yang ada di depannya lalu menyesap teh hangat yang Meisya buatkan, Meisya mengalihkan perhatiannya pada layar televisi tetapi terkejut karena Samuel yang menyemburkan tehnya.
"Apa-apaan, sih, Kak!" pekik Meisya yang terkejut karena semburan Samuel juga mengenai dirinya, membasahi paha mulusnya yang hanya separuh tertutup piyama berbahan satin putih bunga-bunga.
"Sya! Kamu bener-bener mau ngeracunin aku, ya!" seru Samuel tidak kalah kerasnya.
"Apa?" tanya Meisya yang sama sekali tidak merasa bersalah.
"Teh apa ini?" tanya Samuel yang hanya merasakan sepet dan pahit di lidahnya.
Meisya menghela napas, kesal karena ekspresi Samuel yang menurutnya berlebihan.
"Kak, ini emang teh kental tanpa gula, buat obat diare-nya Kakak!" tegas Meisya. Samuel mengangkat sebelah alisnya mendengar penuturan Meisya.
"Beneran, itu obat tradisional buat diare, resep dari nenek aku. Cepetan minum, abisin!" tekan Meisya, ia pegang tangan Samuel yang masih memegang cangkir lalu mendekatkan ke bibir Samuel.
"Cepet minum, mau sembuh enggak?" perintah Meisya tegas, Samuel menurutinya tanpa bernapas ia teguk habis isi cangkirnya.
Samuel menjulurkan lidahnya sambil mengerutkan wajah merasakan rasa tidak enak di mulutnya.
"Udah, deh, enggak usah berlebihan!" gerutu Meisya seraya melepaskan tangannya dari tangan Samuel.
"Sya, ini beneran obat, 'kan? Gimana kabar Nenek kamu sembuh diare-nya setelah minum teh begini?" tanya Samuel setelah menaruh cangkir kosong di atas meja.
"Nenek aku? Meninggal!" jawab Meisya datar.
"Hah?" Samuel terperanjat mendengar jawaban Meisya.
"Ya iya, sekarang, sih. Nenek aku udah meninggal, tadi Kak Sam tanya gimana kabarnya, 'kan?" jawab Meisya sambil tertawa, Terbahak-bahak sambil memegangi perutnya yang terasa kaku.
"Tenang aja, sih, Kak, mana ada orang mati keracunan teh, coba!" sambung Meisya, Samuel tidak lagi bisa menjawab ia berlari ke kamar mandi karena merasakan perutnya kembali melilit.
* Dita Andriyani *
"Kamu masak apa? Perut aku masih sakit, Sya," keluh Samuel, ia duduk di meja makan setelah menuruni anak tangga.
Meisya yang tampak sedang sibuk dengan wajan dan spatulanya hanya sekilas menoleh pada sang suami, suami rasa teman biasa.
"Aku enggak masak cuma ngangetin kakap merah bumbu kuning buatan Mbak Tri," jawab Meisya, ia mematikan kompor lalu menaruh makanan yang baru saja ia panaskan di atas piring saji.
Ia menaruh piring berisi ikan itu di atas meja, sementara dirinya kembali ke dapur untuk mengambil nasi. Langsung ia taruh di piring nasi yang masih mengepulkan asap itu, satu untuknya dan satu untuk Samuel.
"Ayo makan, Kak. Perut Kak Sam perlu di isi, sejak tadi, 'kan, isinya udah terkuras. Kakak juga harus banyak minum biar enggak dehidrasi." Panjang kali lebar Meisya menasehati Samuel yang hanya diam menatapnya.
"Iya," jawab Samuel datar lalu mulai makan.
"Sya, boleh aku tanya?" Meisya yang tengah sibuk dengan duri ikan menatapnya.
"Tanya apa?" Samuel menelan salivanya seolah bersiap dengan pertanyaan yang akan ia lontarkan.
"Yang tadi jemput kamu siapa?" tanya Samuel ragu, apakah Meisya akan menjawabnya atau tidak.
"Oh, kirain apaan. Dia Pak Naka, pemilik rumah makan tempat aku kerja," jawab Meisya datar lalu kembali fokus pada makanannya.
"Bos? Istimewa banget sampe jemput kamu, atau emang begitu fasilitas kerjanya, dijemput langsung oleh pemilik rumah makannya?" Nyinyir Samuel persisi seperti emak-emak komplek melihat tetangganya beli mobil baru.
"Enggak juga, sih, tapi enggak ada yang istimewa juga. Pak Naka cuma kebetulan dari rumah saudaranya di deket sini, jadi sekalian nawarin tumpangan buat aku," jawab Meisya, Samuel hanya terdiam.
Selanjutnya mereka menghabiskan makan malam mereka dalam diam, lalu keduanya berpisah memasuki kamar masing-masing.
Samuel sibuk dengan ponselnya yang baru ia nyalakan sejak pagi, begitu banyak pesan yang Sarah kirimkan. Samuel tidak menggubrisnya, ia hanya membaca pesan yang menurutnya penting saja lalu membuka story w******p Laura, meski nyeri tetapi ia tetap saja menatapnya. Menatap senyum manis wanita yang berada dalam pelukan sang suami yang juga tersenyum ke arah kamera.
Samuel kembali mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas, ia berbaring dengan menggunakan kedua lengannya sebagai bantal, menatap langit-langit kamarnya pikirannya terbang melayang seiring matanya yang terpejam.
"Laura."
.
"Laura."
"Laura."
Seolah nama itu tidak lepas dari lidahnya yang bergerak kaku, tubuhnya terasa panas dari dalam. Bagai ada bara api yang membakar dirinya dari dalam, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.
"Laura."
Suara Samuel terasa tercekat di tenggorokan saat melihat seorang wanita duduk di tepi ranjangnya, menempelkan sesuatu yang juga terasa hangat di keningnya. Meski terasa lemah Samuel berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat.
"Kak Sam bangun?"
Suara Meisya membawa kesadarannya.
"Sya?"
Untung saja Samuel ingat untuk tidak memanggil Laura.
"Badan Kakak panas, Kakak demam, mungkin efek dehidrasi karena diare." Meisya tampak kikuk menjelaskan.
Samuel menyentuh handuk panas yang ada di keningnya.
"Ini aku udah siapin parasetamol sama air putih buat Kakak, Kakak minum, ya. Aku turun dulu." Tanpa menunggu jawaban Samuel, Meisya bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu.
"Sya."
*****
(Hayo, Sam manggil Sya mau apa, ya? Ditemenin bobo, kah??
Mohon maaf ya temen-temen yang minta cerita ini update tiap hari, karena belum turun kontrak jadi belum bisa up tiap hari. Doain aja biar bulan depan udah bisa up tiap hari, buat sementara seminggu dua kali dulu.
Kalau mau baca ceritaku yang update tiap hari, sambil nunggu Sam Say update kalian bisa baca novelku yang judulnya Randu. Atau bisa juga novelku yang berjudul Sisi Liar, update tiap hari Minggu.
Terima kasih)