06. Gagal Penerbangan

1228 Words
Melati menyipitkan matanya. “Ck, donatur apaan? Yang namanya donatur itu ngasih duit. Lah aku kapan ngasih duit ke kamu?” Rania mengibaskan rambutnya lalu berkaca di depan cermin. “Melati, dengan adanya kamu bisa mendekati Pak Wira itu artinya mantan suamimu yang arogan itu nggak bisa main asal potong gajiku. Kamu tahu selama ini Kapten Arya itu yang menjelekkan absenku. Makanya gajiku kadang sering dipotong. Nah, kalau kamu dekat sama dia kan aku bisa meminta keringanan.” Rania mengedipkan matanya seraya merayu wanita itu untuk memenuhi permintaannya. Melati menggeleng. Jelas dia tidak mau disangkut pautkan antara pekerjaan temannya dengan dia yang harus mendekati presdir maskapai itu. Pagi harinya Melati bangun lebih pagi untuk membuatkan sarapan. Rania yang baru bangun itu pun sampai mengendus-ngendus aroma yang membuat dirinya terbangun hingga melangkah menuju ke dapur. “Hmm ... baunya kayak bau masakan orang jatuh cinta,” celetuk gadis itu yang tidak dihiraukan oleh Melati. Pagi itu Melati masak nasi goreng lengkap dengan telur dadar. “Kamu mau bawa bekal atau sarapan di sini sebelum aku berangkat?” tanya Melati saat mematikan kompor. “Ya elah ini masih subuh kali. Mana ada jam terbang guru TK subuh-subuh begini mau berangkat?” “Aku hari ini ada piket. Kamu kan tahu sendiri di Jakarta ini identik dengan macet. Makanya habis ini aku mau langsung mandi. Kamu mau di bekal apa dimakan sini?” Rania memasang wajah laparnya. Namun, dia paling malas jika harus sarapan sendiri. Dia pun akhirnya memilih di bekal nasi goreng itu yang disiapkan oleh Melati. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk berangkat kerja ke tempat masing-masing. Pagi itu Melati harus naik angkot untuk menghemat biaya bulanannya. Namun tiba-tiba angkot itu mogok di tengah jalan hingga membuat Melati semakin gugup. “Pak, ini kenapa sampai mogok ya?” tanyanya dengan segudang rasa takut. “Saya juga nggak tahu, Neng. Tapi, ini kayaknya harus dibawa ke bengkel. Mau nggak mau saya harus benerin di sini dulu.” Melati semakin khawatir. Dia tidak mau terlambat sebab ini adalah hari kedua dia bekerja sebagai guru TK. Apa kata senior lainnya, jika dia sampai telat masuk. Melati pun akhirnya membayar ongkos lalu menyeberang ke samping lampu merah itu untuk menunggu angkot selanjutnya. Sebuah mobil dengan yang mengendarai itu tak asing melihat wanita yang tengah berdiri panik di samping lampu merah itu pun menghentikan mobilnya kebetulan tepat saat lampu merah. “Melati?” panggil laki-laki itu yang tak lain adalah Wira. “Pa—pak Wira?” “Kamu ngapain di situ?” “Sa—saya sedang menunggu angkot, Pak.” Wira membuka pintu mobil bagian sampingnya. “Ayo naik. Saya antar kamu ke sekolah.” Melati menggeleng. Dia tidak mau ada gosip, apalagi sampai dekat dengan salah satu wali muridnya. “Pak, saya mau menunggu angkot saja,” elaknya. “Ayo, Melati. Daripada kamu terlambat? Apa hari ini kamu ada piket?” Melati pun menjawabnya dengan anggukan. Wira melirik lampu di depannya sudah kuning itu artinya tinggal menunggu beberapa detik lagi lampu itu akan menghijau. Dan benar saja lampu itu seketika menghijau membuat Wira juga ikutan panik. “Melati, ayo naik buruan,” pinta Wira yang sedikit memaksa. Dari belakang mobil Wira pun sudah mendapatkan banyak klakson dari belakang membuat Melati juga merasa malu. “Melati, ayo. Saya nggak enak diklakson sama yang di belakang.” “Tapi ....” Melati masih ragu, tapi dia juga tidak tega melihat Wira sampai diomel beberapa pengendara lain. “Ya ... ya udah, Pak.” Melati membuka pintu mobil itu dengan lebar lalu segera masuk ke dalam mobil itu. Melati menaruh boks bekalnya di dashboard mobil Wira saat hendak memasang sabuk pengaman. Dia benar-benar merasa tidak enak harus satu mobil berdua dengan Wira. “Pak, seharusnya tidak begitu tadi. Pak Wira kan bisa jalan. Saya bisa kok naik angkot lainnya,” ucap Melati untuk menghidupi suasana itu. “Melati, apa kamu tak pernah mendengar kisah penumpang angkot yang disasarkan atau dilecehkan atau bahkan dirampok? Kamu kalau butuh bantuan untuk antar jemput biar satu mobil sama Abil aja. Dia itu kalau nggak bisa sama saya minta diantar sama orang yang dia suka.” “Pak, saya ini bisa kok jaga diri. Bukan hal yang terlalu khawatir bagi saya untuk naik kendaraan umum. Ngomong-ngomong Abil, kok dia tumben nggak diantar bapak?” tanya Melati. Kini Melati mulai terbiasa mengobrol dengan wali muridnya. Dia akan bersikap sesuai dengan profesinya. “Dia belum bangun. Nanti gampang saya iming-iming diantar neneknya. Kan siangnya juga bertemu sama kamu. Semalam dia nggak mau tidur pingin video call sama kamu. Tapi, saya nggak enak takut mengganggu istirahat kamu lagi,” sahut Wira yang mulai merasa nyaman dekat dengan Melati. “Apa Abil sampai insomnia? Saya takut dia kenapa-napa soalnya.” “Nggak dia baik-baik saja.” Wira mengantar Melati menuju ke tempat kerjanya. Setelah itu dia pun segera bergegas untuk menuju ke bandara terdekat untuk mengecek kinerja maskapainya. Wira adalah tipe presdir yang lebih suka tiba-tiba datang tanpa sepengetahuan yang lain. Apalagi dia mengecek setelah subuh untuk melihat siapa yang datang paling awal dan mengecek kinerja lainnya. Dia pun sampai melewatkan sarapan demi melihat dengan mata kepalanya sendiri laporan dari bawahannya, jika ada salah satu kapten yang bekerja seenaknya sendiri. Wira sendiri tipe orang yang tak mudah percaya dengan orang lain. Saat dia hendak turun dari mobil ekor matanya melirik ada sebuah totebag milik guru anaknya yang tertinggal di mobilnya. “I—ini bukannya punya, Melati?” Wira mengambil totebag itu yang berisi bekal makanan. Dia yang penasaran dengan isinya itu pun sampai membuka menunya. Hidungnya pun begitu puas mengendus aroma nasi goreng yang baru matang membuat perutnya ikut keroncongan. “Eh, apa aku balik lagi ke sekolahan buat nganterin ini?” Wira melirik jam tangannya yang sudah mendekati pukul enam pagi. Dia akhirnya membawa tote bag itu menuju ke dalam. Sebab dia tak memiliki waktu banyak untuk mengecek penerbangan pagi hari ini. “P—pak Wira? Se—selamat pagi, Pak,” ucap Rania yang untung saja benar apa kata Melati untuk berangkat lebih awal. Presiden direktur maskapainya telah datang pagi hari itu. Pagi hari itu, Wira merasa emosi sebab beberapa pramugari dan pilotnya masih belum siap stand bay di lapangan untuk apel pagi. Dia asal meletakkan tote bag itu di ruangan singgahnya lalu segera menuju ke lapangan untuk apel pagi. Wira tak segan untuk memimpin barisan itu yang bahkan hanya ada satu co capten pilot di barisan depan. “Selamat pagi semuanya!” ucap Wira dengan tegas. “Pagi, Pak.” “Ternyata berita tentang keterlambatan kalian itu benar ya? Saya paling tidak suka ada karyawan yang seenak jidat masuk tidak sesuai jam kerjanya. Kalian kan sudah tahu antara jam kerja dan apel pagi itu selisih setengah jam. Dan masih kurang setengah jam lagi kapten pilot kalian belum datang?” tanya Wira dengan menyorot matanya yang tajam ke arah karyawannya. Tak selang lama kemudian si kapten itu pun berlarian saat melihat Wira yang menggantikan memimpin apel pagi itu. Dia ikut baris di sampingnya dengan rasa takut yang membara. “Kamu kenapa baru datang, Arya?” “Ma—maaf, Pak. Tadi di jalan macet,” sahut Arya dengan alasan yang membuat Wira memuncak emosinya. “Kamu nggak usah terbang hari ini. Biar saya gantikan yang lain kalau kamu tidak niat kerja di sini,” ucap Wira hingga membuat tennggorokkan Arya merasa tercekik sebab ini adalah pekerjaan yang mampu menyambung kehidupannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD